Orangufriends

ANJING-ANJING TERLANTAR DITINGGAL WARGA MENGUNGSI

Hari ini Kamis, 10 Desember 2020, pukul 07.45 WIB dua mobil Centre for Orangutan Protection berangkat meninggalkan camp APE Warrior untuk menjemput pakan ternak yang sudah dikumpulkan oleh para peternak. Ada sekitar lima titik penjemputan di Dusun Kalitengah Lor, Desa Glagaharjo. Perjalanan ditempuh sekitar 26 km, terus ke utara menuju kaki Gunung Merapi. Seperti biasa, tim APE Warrior membantu menaikkan pakan hijauan ke atas mobil pikap dan diantarkan ke lokasi pengungsian ternak. Selepas mengantar rumput ke lokasi pengungsian ternak, tim kembali mendatangi ke lima titik penjemputan hingga semua pakan hijauan selesai diangkut.

Setelah selesai mengangkut pakan ternak, tim APE Warrior berhenti di Posko Relawan Tim Kesehatan Hewan milik Dinas Pertanian Pangan dan Perikanan Kabupaten Sleman. Tim beristirahat sejenak dan berbicang dengan ibu Eci, ketua posko, mengenai perkembangan terkini dari hewan ternak di lokasi pengungsian. Dengan membawa makanan anjing, tim kemudian melanjutkan perjalanan memutari Dusun Petung dan Turgo untuk melakukan feeding (pemberian makan) kepada anjing-anjing yang berkeliaran.

Selama feeding hari ini, terdapat tiga lokasi di mana Tim APE Warrior menemukan anjing liar yang perlu diberi makan. Bahkan, Tim APE Warrior menjumpai lima ekor anak anjing di salah satu titik. Selama Gunung Merapi dalam status Siaga dan warga diharuskan mengungsi akan banyak hewan-hewan yang terlantar. Untuk sementara, Tim APE Warrior berusaha untuk menjaga kesehatan dan keamanan hewan-hewan terlantar ini dengan melakukan kunjungan harian ke desa-desa yang sudah ditinggalkan warganya untuk memberi makan hewan-hewan tersebut. Nantinya, tempat singgah hewan sementara (temporary pet shelter) yang sedang dibangun oleh TIM APE Warrior akan menjadi tempat pemeliharaan hewan peliharaan yang terlantar karena ditinggal warga yang mengungsi. (Inez_Orangufriends)

SINGLAR DAN BANJARSARI, TEMPAT PENGUNGSIAN SAPI DI DESA GELAGAHARJO

Selama masa tanggap darurat bencana Gunung Merapi, terdapat dua titik pengungsian besar untuk ternak di Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Selaman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kedua lokasi pengungsian ternak (shelter ternak) tersebut yaitu shelter ternak Singlar dan shelter ternak Banjarsari.

Shelter ternak Singlar didominasi oleh sapi perah. Hal ini dikarenakan shelter Singlar memiliki kebersihan yang baik. Kebersihan penting diperhatikan karena dalam kegiatan pemeliharaan sapi baik sapi, kandang maupun badan pemerah harus dalam keadaan bersih. Shelter singlar memiliki sumber air yang melimpah dari alam, sanitasi yang bagus dan pengelolaan kotoran sapi yang baik. Di shelter ini, kotoran sapi diambil oleh teman-teman koperasi untuk dijadikan pupuk kompos.

Pada awalnya, shelter Singlar dibagun atas evaluasi erupsi Gunung Merapi tahun 2010. Sapi-sapi yang ditinggal pemiliknya tidak pernah diperah hingga mengalami radang ambing. Ambing (kantong susu) sapi perah yang tidak diperah dalam kurun beberapa hari bisa mengalami radang sehingga tidak bisa memproduksi susu. Lebih lanjut lagi, sapi yang mengalami radang bisa sakit, kemudian mati. Oleh karena itu, selama bencana para peternak sapi perah perlu rutin memerah sapinya agar tidak sakit. Shelter Singlar dibuat untuk menampung sapi perah selama masa tanggap darurat bencana.

Berbeda dari shelter ternak Singlar, shelter ternak Banjarsari didominasi oleh sapi potong. Shelter Banjarsari tidak hanya terdiri pengungsian ternak, tetapi juga pengungsian manusia. Karena difokuskan untuk manusia, maka kandang ternak di Shelter Banjarsari hanya beratap seng, bertiang bambu dan beralaskan tanah lapangan. KOndisi ini tidak mendukung untuk melakukan pemerahan sapi perah, sehingga lebih digunakan untuk memelihara sapi potong.

Meskipun kondisi kedua shelter tadi berbeda, keduanya memiliki peran masing-masing dalam pengungsian ternak pada masa tanggap darurat Gunung Merapi. Tim APE Warrior beranggapan bahwa baik sapi perah maupun sapi potong merupakan bagian penting dari kehidupan warga di Glagaharjo, sehingga sama-sama harus menjadi perhatian. Memasuki minggu keempat tanggap bencana Siaga Merapi 2020, tim APE Warrior membantu pakan hijau dan tambahan konsentrat dan mineral untuk ternak. (Inez_relawan satwa)

PUSAT PERLINDUNGAN ORANGUTAN BANTU SATWA BENCANA ALAM

Organisasi orangutan kok bantu sapi, anjing, kucing dan lainnya? Nyinyiran itu selalu datang kalo bencana datang. Nama lembaga kami, Pusat Perlindungan Orangutan atau lebih sering disebut Centre for Orangutan Protection (COP) memang memiliki tim khusus bantuan satwa bencana. Tim ini bernama APE Warrior yang sudah bekerja sejak tahun 2010 membantu satwa yang terdampak bencana alam.

Tahun 2010 tepat saat Gunung Merapi erupsi besar, tim ini menyelamatkan satwa yang membutuhkan pertolongan seperti ternak dan hewan peliharaan yang ditinggal pemiliknya mengungsi. Erupsi Gunung Agung, Gunung Sinabung, Gunung Kelud, gempa Aceh, tsunami Banten bahkan likuifaksi dan tsunami Palu, tim ini dengan cepat memberi bantuan. Tim ini di dukung penuh para relawan orangutan yang tergabung di Orangufriends baik secara fisik maupun finansial.

Apa saja yang dikerjakan APE Warrior? Setiap nyawa sangat berarti! Penyelamatan satwa yang terkurung tanpa pakan maupun minum yang cukup, ada yang dibawa ke pengungsian satwa, ada juga pemberian pakan dan minum di tempat, pengecekkan kesehatan satwa, apakah ada yang membutuhkan perlakuan khusus seperti operasi. APE Warrior membangun tempat penampungan sementara yang sering disebut shelter. “Karena jamak terjadi ketika bencana terjadi di Indonesia bantuan pertolongan manusia adalah utama. Kekosongan bantuan satwa bencana inilah yang kami isi dengans egala kemampuan kami.”, ujar Daniek Hendarto, direktur COP.

“Tentu saja karena keahlian kami di satwa ya kami membantu sesuai keahlian kami. Ya tetap budheg (tuli) saja kalo ada yang bilang cari populer, memperkaya diri dan lainnya. Karena menyelamatkan makhluk lain di luar manusia dalam kondisi darurat adalah mulia.”, tambah Daniek lagi. Saat ini, relawan satwa Siaga Merapi tanpa membedakan gender saling bahu membahu membantu satwa masyarakat yang membutuhkan. Kamu juga mau membantu? (NIK)

PANGGILAN UNTUK MENJADI RELAWAN SATWA SIAGA MERAPI

Sejak 2010, Centre for Orangutan Protection (COP) telah mulai membangun tim bantuan satwa untuk Tanggap Darurat bencana. Sebagaimana kita thu, di Indonesia sudah jamak ketika bencana terjadi, prioritas bantuan masih ditujukan ke manusia.Sementara perhatian terhadap satwa korban bencana, masih menjadi hal yang terabaikan. Padahal, satwa yang menjadi ternak masyarakat adalah sumber utama bagi pemulihan ekonomi mereka kelak paska bencana.

Tak sedikit masyarakat yang tidak mau mengungsi karena masih ada sapi atau hewan ternak peliharaan lainnya yang harus ditinggal di rumah mereka. Mereka merasa tidak ada jaminan keamanan terhadap hewan-hewan ternak mereka, saat diharuskan mengungsi oleh aturan standar keselamatan tanggap darurat bencana. Sementara, jika proses mengungsi ditunda, potensi terjadi korban menjadi lebih besar, baik korban manusia maupun satwa.

Pagi ini, relawan COP yang terdiri dari Orangufriends Yogyakarta kembali naik ke Gunung Merapi. Kegiatan tanggap darurat menyelamatkan satwa ternak warga yang ditinggal mengungsi ini sudah berjalan seminggu. Mereka membantu melakukan evakuasi satwa, memberi suplai air minum, memberikan pakan hijauan hingga mencari opsi bantuan satwa lainnya.

Saat ini Merapi sudah di level 3 atau Siaga, jika teman-teman ada waktu dan bisa curi-curi waktu, teman-teman di Yogyakarta sangat butuh bala bantuan lebih banyak lagi untuk kegiatan ini. Jika kalian merasa tertantang untuk bisa ambil bagian, ditunggu kedatangannya di camp APE Warrior Jogja! (Novi_Orangufriends)

TANGISAN INDUK PRIMATA TANPA AIR MATA

Pernah melihat induk primata yang tidak ingin melepaskan anaknya bahkan ketika anak tersebut sudah mati? Perilaku ini memang benar ada dan disebut sebagai infant-corpse-carrying behavior. Tidak semua satwa memiliki perilaku ini, hanya anthropoid primates atau primata tingkat tinggi yang biasa melakukannya. Induk tersebut dapat membawa jasad anaknya selama beberapa hari, namun simpanse dan monyet jepang pernah terobservasi membawa anaknya selama lebih dari satu bulan, mulai dari jasadnya membusuk hingga akhirnya mengeras seperti mumi.

Sang induk memperlakukan anaknya seolah-olah mereka masih hidup. Merawat, mengusir lalat bahkan menjerit kesedihan ketika tidak sengaja menjatuhkan jasad anaknya dan meletakkannya di tanah secara pelan-pelan. Seorang pelajar Campfire Academy (Tracey) yang melihat kejadian itu mengatakan, “Dia (induk) tampak sedih seolah-olah sedang berduka dan terus mencoba melatakkannya di pohon seolah-olah mendorongnya untuk bergerak dan berpegangan.”. Walaupun dari jauh kita sudah dapat mencium bau yang tidak sedap, tetapi sang induk tampak tidak menghiraukannya.

Tidak diketahui secara pasti penjelasan mengapa perilaku itu muncul. Namun, peneliti mempercayai beberapa hipotesis. Pertama, “unawareness hypothesis’ yang menunjukkan sang induk tidak memiliki kemampuan kognitif untuk membedakan kondisi ‘mati’ pada anaknya. Hipotesis ini masih perlu dipertanyakan karena pada faktanya induk primata memperlakukan anaknya yang sudah mati berbeda dengan ketika anak tersebut asih hidup, contohnya anak yang sudah mati lebih sering digendong dan diseret, dimana perilaku ini tidak pernah dilakukan pada anak yang masih hidup.

Kedua, ‘unresponsive but alive’, menganggap bahwa anaknya hanya sakit dan akan pulih seperti normal kembali. Ketiga, ‘social-bonds hypothesis’ yang menyatakan bahwa sang induk melakukannya karena ikatan sosial terhadap anaknya yang sangat kuat hingga sulit untuk diputuskan. Ikatan antara induk dan anak ini memang sudah terbentuk sejak lahir dan tidak akan hilang begitu saja begitu anaknya mati. Terakhir, hipotesis yang dipercaya peneliti paling kuat dan masuk akal adalah ‘grief-management hypothesis’ yang menyatakan hal itu dilakukan sebagai cara untuk mengatasi kehilangan yang dirasakan sang induk secara emosional.

Kita memang tidak tahu pasti apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh setiap satwa. Namun jelas sekali bahwa mereka juga memiliki perasaan dan dapat kehilangan layaknya manusia. Tidak sepantasnya manusia terus menerus mengeksploitasi kehidupan mereka. Penting sekali untuk diingatkan bahwa manusia bukanlah satu-satunya makhluk yang sangat menyayangi anaknya dan akan melakukan apapun demi melindungi, mengasuh dan membesarkan anaknya. Ancaman hidup terhadap satwa harus dihentikan karena kehidupan mereka sama pentingnya seperti kehidupan kita (manusia). (Amandha_Orangufriends)

Sumber:
https://www.sciencedaily.com/releases/2020/03/200311082942.htmhttps://mol.im/a/7621385

ORANGUTAN BUKAN MAINAN, ORANGUTAN DI HUTAN AJA

Kurang lebih 97% DNA orangutan memang sama dengan manusia, namun bukan berarti mereka memiliki kebiasaan yang sama dengan manusia. Beredar beberapa hari belakangan, sebuah video singkat yang entah darimana asal-usulnya tiba-tiba banyak dibagikan di media sosial oleh beberapa akun. Dalam video ini nampak beberapa orang sedang berada di dalam sebuah mobil sambil merekam orangutan yang terlihat sedang minum dari minuman kaleng sambil memegang buah pisang. Lalu terdengar tawa orang-orang yang menonton setiap kali melihat orangutan tersebut minum dari kaleng minuman.

Orangutan hingga sekarang masih sering dijadikan sebagai obyek, padahal statusnya kritis terancam punah menurut IUCN. Orangutan juga termasuk dalam satwa dilindungi menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No. P.106 tahun 2018. Lalu, menurut UU No. 5 tahun 1990, setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi baik dalam keadaan hidup ataupun mati.

Selain itu, pengecualian dari larangan tersebut, hanya dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan dan atau upaya penyelamatan jenis satwa yang bersangkutan. “Sayangnya dalam video yang dimaksud, orangutan hanya menjadi sebuah obyek hiburan bagi orang-orang tersebut. Padahal orangutan di alam atau habitatnya sangat jauh lebih besar daripada sekedar menjadi hiburan.”, kata Liany Dianita Suwito, manajer program konservasi eks-situ Centre for Orangutan Protection. Orangutan adalah salah satu spesies payung yang memiliki peranan sangat penting dalam menyebar biji-bijian dan menjaga regenerasi hutan. Dan banyak spesies lainnya yang hidup bergantung pada peranan orangutan di alam.

Kecerdasan orangutan membuat mereka mudah untuk belajar dan bahkan meniru perilaku manusia (Russon&Galdikas, 2014). Dan ketika orangutan dipelihara oleh manusia maka tentu perilaku alaminya pun terpengaruh. Di sinilahsebab mengapa orangutan tidak seharusnya menjadi hewan peliharaan. Ketika kecerdasan hewan ini disalahgunakan dan dieksploitasi maka tenta tak hanya berakibat buruk bagi orangutan tersebut secara fisik dan mental, tetapi juga menurunkan kemungkinannya untuk dilepasliarkan kembali ke alam. (LIA)

MARAKNYA JUAL-BELI MACACA DI PLATFORM ONLINE SHOP

Macaca atau yang disebut dengan monyet ekor panjang (MEP) ramai diburu untuk diperjualbelikan oleh masyarakat luas. Setidaknya di setiap pasar burung atau pasar hewan di kota besar maupun kecil terdapat pedagang yang menjual macaca. Di Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta (PASTY), bahkan terdapat pedagang yang menjual 8-11 ekor macaca pada kiosnya. Padahal, Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) memiliki batas atas jumlah maksimal per tahunnya dalam memanfaatkan macaca, yaitu sebanyak 20.000 ekor. Jumlah tersebut sudah termasuk kuota untuk diekspor ke beberapa negara, seperti Tiongkok dan Amerika Serikat (Aditya, 2019).

Di sisi lain, saat ini macaca menjadi salah satu primadona masyarakat untuk dipelihara. Tren memelihara macaca ini juga semakin meningkat dengan adanya influencer-influencer di media sosial yang memamerkan berbagai satwa liar peliharaannya. Seperti Irfan Hakim dan Lukman Hakim yang memamerkan macaca albinonya. Pemahaman yang diterima masyarakat dari influencer menjadi bias, terutama keurgensian dalam memelihara macaca. Mereka yang mengidolakan para influencer tersebut tentunya memilih mengikuti jejak memelihara satwa liar. Sayangnya, tidak semua orang memiliki pengetahuan dan juga biaya yang cukup untuk memeliharanya.

Dampak dari pameran influencer atas kepemilikan satwa liarnya, permintaan masyarakat terhadap macaca sebagai hewan peliharaan naik secara signifikan. Dalam kondisi pandemi COVID-19, platform jual-beli online menjadi alternatif penjualan yang digemari. Penelusuran Orangufriends platform seperti Bukalapak, Tokopedia, Shopee, FJBKaskus, Jualo.com dan Carousell banyak memperdagangkan bayi macaca. Bayi macaca dengan usia 1-3 bulan dijual mulai dari harga Rp 80.000,- hingga Rp 1.200.000,00 per ekornya.

Apa yang bisa kita lakukan? Jika kamu peduli, laporkan toko online tersebut pada platform nya. Satwa liar, di hutan aja. Biarkan macaca menjalankan perannya di habitatnya. Bukan dalam pelukanmu! (Rakyan_Orangufriends)

STOP PASANG JERAT!

Indonesia merupakan salah satu wilayah yang memiliki tingkat keragaman hayati yang tinggi, berbagai macam flora dan fauna endemik yang khas dapat ditemui. Kekayaan alamnya banyak dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat pedalaman untuk menjadikannya sebagai tumpuan hidup. Namun masih banyak masyarakat yng memanfaatkannya dengan tidak bertanggung jawab, salah satunya perdagangan satwa liar yang mana MABES POLRI mencatat pada pekan ke-27 tahun 2020 tingkat kriminalisasi tertinggi ke-3 adalah penggelapan termasuk penggelapan satwa dilindungi.

Tingginya nilai jual bagian tubuh satwa liar menyebabkan besarnya ancaman terhadap satwa liar. Dampak yang terjadi karena meningkatnya perdagangan satwa liar adalah perburuan. Berbagai cara dilakukan agar mendapat satwa incaran. Salah satunya dengan memasang jerat. Jerat masih menjadi cara lain yang digunakan untuk berburu satwa karena mudah didapat dan dimodifikasi. Jerat lebih berbahaya karena tidak memiliki target spesifik. Satwa apapun bisa menjadi korban. Pada awal bulan September lalu, satu Harimau Sumatera di kabupaten Siak, Riau ditemukan mati dengan kondiri leher terjerat tali kawat baja. Selain hutan, Taman Nasional juga menjadi incaran pemburu. Dalam surat siaran yang dikeluarkan KLHK 12 September 2020, tim Gabungan Ditjen Gakkum adan Balai TN Bukit Tiga Puluh menemukan dan mengamankan 24 jerat yang dipasang pemburu untuk menangkap satwa dilindungi di dalam kawasan TN Bukit Tiga Puluh. Operasi pembersihan jerat ini dilakukan sejak 27 Agustus sampai 7 September 2020.

Memasang jerat termasuk dalam kejahatan terhadap tumbuhan dan satwa liar dilindungi melanggar pasal 21 ayat (2) huruf a jo pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman hukum pidana penjara maksimum 5 tahun dan denda maksimum Rp 100 juta. #JeratJahat (Netu_Orangufriends)

KERJA SUKARELA UNTUK SATWA LIAR DI JOGJA

Di tengah pandemi COVID-19 yang tak kunjung reda, ada satu sisi pekerjaan yang tidak mungkin dilewatkan begitu saja. Bekerja sukarela untuk satwa liar yang terpaksa hidup di dalam kandang. Angel, relawan orangutan yang secara berkala meluangkan waktunya membantu tim APE Warrior COP, kali ini berkesempatan menjadi perawat satwa di Wildlife Rescue Center (WRC) Jogja selama dua hari. Tentu saja tidak sendirian, dia bersama Jogi dan Santini.

Pagi ini, kandang-kandang burung elang, nuri dan kakatua akan dibersihkan. Lalu, si predator tingkat tinggi itu pun diberi pakan berupa kadal dan mencit. “Seram loh, lihat betapa cepatnya elang menyambar kadal hidup yang disediakan untuk makanannya.”. Tapi para relawan yang tergabung di Orangufriends ini tanpa ragu mengerjakan satu per satu tugas hari pertama ini. Tak lupa memberikan enrichment untuk orangutan berupa batang pisang.

Setelah makan siang, pekerjaan lainnya pun menanti. Potong-memotong buah membuat enrichment es buah untuk primata kecil seperti owa dan siamang. Tentu saja ketujuh orangutan yang berada di sana juga mendapatkan es buah itu. “Cara buatnya, mudah saja. Setelah berbagai macam buah dipotong dadu, masukkan ke dalam gelas bekas, beri air dan masukkan ke dalam lemari es. Tunggu beberapa saat, dan berikan ke orangutan. Aku aja pengen koq.”, ujar Oktaviani Safitri, salah satu staf COP yang ikut mendampingi para relawan.

Santini, mahasiswa yang kebetulan sedang tidak ada jadwal kuliah berharap, bisa mengikuti kegiatan seperti ini lagi. “Ini pengalaman baru.”, ujarnya. Sementara Jogi melihat sisi lain dari satwa liar, “Prihatin, apalagi orangutan-orangutan dewasa yang terlihat stres dan satwa liar lainnya yang harus hidup di kandang.”. Bagaimana pun, satwa liar sesungguhnya lebih baik hidup di alam. (LIA)

MENGAPA TERJADI KEKERASAN TERHADAP SATWA?

Sejak dahulu hingga kini, tindakan penyiksaan dan kekejaman terhadap satwa masih terus terjadi, baik yang disengaja (Intentional Animal Torture and Cruelty/IATC) maupun yang tidak disengaja. Sasaran tindakannya pun beragam. Mulai dari satwa yang sering ditemukan di pemukiman maupun satwa yang dilindungi. September 2017, Centre for Orangutan Protection menemukan empat tengkorak orangutan yang terpisah, salah satunya di atas pohon.

Bulan lalu, 11 Agustus 2020 BKSDA Jawa Timur dan Perhutani dikejutkan temuan mayat lutung jawa yang berada di kawasan hutan lindung di atas dusun Perinci, kecamatan Dau, kabupaten Malang, Jawa Timur. Pada awalnya, mayat satwa tersebut ditemukan dalam kondisi hanya tinggal kepala dan kulit badannya. Sehari setelahnya, ketika tim gabungan kembali melakukan investigasi, mayat satwa tersebut sudah tidak serupa lagi, hanya tinggal kedua tangan yang digantung di pohon cemara. Hal tersebut sangat mengejutkan dan menimbulkan tanda tanya besat bagi tim penyidik.

Jika ditinjau dari kasus yang selama ini terjadi, alasan seseorang melakukan tindak kekerasan diantaranya seperti ritual pengorbanan keagamaan, faktor ekonomi, keisengan atau kesenangan semata, pelampiasan emosional dan yang terakhir adakah masalah kejiwaan. Sebagian besar penelitian psikologi dan kriminologi menunjukkan bahwa orang-orang yang tega berbuat sadir seperti itu kemungkinan besar memiliki trauma pada masa lalu seperti pelecehan, kebrutalan dan pengabaian yang dilkaukan oleh orangtua atau orang-orang di sekitarnya yang kemudian dilampiaskan kepada pihak yang tidak berdaya, dalam hal ini adalah satwa. Perilaku tersebut juga data menjadi hasil perilaku meniru (modeling) orang-orang di sekitarnya yang menikmati perasaan berkuasa atas hewan yang mereka sakiti, tanpa turut menderita secara emosional (terkait empati)1) . Pelaku melakukan hal tersebut terhadap satwa karena mereka tidak dapat berbuat apa-apa dan di satu sisi, masih sering dipandang sebelah mata oleh pihak penegak hukum sehingga dianggap tidak separah kasus kekerasan yang dilakukan terhadap sesama manusia.

IATC merupakan salah satu perilaku dalam tiga sifat teori psikologi yang sering disebut sebagai ’The Dark Triad’. Tiga sifat dalam teori tersebut adalah psikopati (kurang rasa empati), machiavellianisme (fokus pada keuntungan pribadi) dan narsisme (kebanggaan egosentrik). Hasil penelitian psikolog Phillip. S. Kavanagh, et al (2013) yang mengasosiasikan teori The Dark Triad dengan prilaku kekerasan terhadap satwa3) . Dalam penelitiannya, psikopati menjadi sifat yang dikaitkan dengan perilaku sengaja membunuh satwa liar tanpa alasan yang baik dan dengan sengaja melukai atau menyiksanya untuk menyebabkan rasa sakit.

Psikopati memang erat hubungannya dengan empati yang dimiliki seseorang. Empati merupakan satu bagian dari faktor hubungan interpersonal yang berpengaruh pada aspek penalaran moral agar dapat memahami dan merasakan apa yang dirasakan individu lain. Semakin tinggi empati yang dimiliki oleh seseorang, maka akan semakin rendah kecenderungan orang tersebut untuk melakukan kekerasan terhadap individu lain. Untuk itu, pendidikan ‘sikap proanimal’ memang perlu diterapkan sejak dini agar anak-anak dapat belajar untuk peduli terhadap satwa dan turut serta menjaganya. Meningkatkan empati terhadap satwa juga dipercaya akan meningkatkan empati pada manusia lain, sehingga kekerasan terhadap satwa maupun manusia dapat dicegah. (Amandha_Orangufriends)

Sumber:
1) Arkow, P. (2019). The “Dark Side” of the Human-Animal Bond. In &. C. Lori Kogan, Clinician’s Guide to Treating Companion Animal Issues: Adressing Human-Animal Interaction. Nikki Levy.
2) Kavanagh, P. S., Signal, T. D., & Taylor, N. (2013). The Dark Triad and Animal Cruelty: Dark personalities, dark attitudes, and dark behaviors. Personality and Individual Differences, 55(6), 666-670.