APE SENTINEL MENUJU ABELII FEST BATCH 2

Selangkah demi selangkah kegiatan memperingati hari orangutan (World Orangutan Day yang diperingati pada 19 Agustus setiap tahunnya) dilalui. Tim APE Sentinel COP yang berada di kota Medan, Sumatra Utara telah menyusun serangkaian acara yang tentu saja berbeda, bahasa kerennya out of the box lah. Tapi bukan COP kalau tidak begitu. Konservasi orangutan tidak melulu berbicara jurnal atau pun di seminar saja. Konservasi orangutan milik masyarakat luas. Mari berperan untuk melindungi orangutan.

APE Sentinel bersama Kinocolony dan Kurator Personal (Jedi) kembali membahas teknis open call artist, guide open call dan timeline open call seniman. “Kolaborasi Abelii Fest Batch 2 tidak hanya sebatas dengan Kinocolony dan Kurator Personal saja. Kali ini akan melibatkan Sei Design dan bertempat di Pos Bloc Medan, tempat dimana kreatifitas anak muda Medan berkumpul”, jelas Netu Damayanti dari APE Sentinel COP.

APE Sentinel adalah tim Centre for Orangutan Protection yang telah bekerja menetap tiga tahun di Medan. Tim ini fokus pada perlindungan orangutan sumatra (Pongo abelii)  dan orangutan tapanuli (Pongo tapalunesis). Ini menjadikan COP, satu-satunya organisasi di luar pemerintahan yang bekerja untuk ketiga spesies orangutan yang ada di Indonesia. Ketiga jenis orangutan yang ada memiliki karakter yang berbeda, satu dengan yang lainnya. Ketiganya adalah satwa liar yang dilindungi dan masuk kategori kritis terancam punah menurut IUCN Redlist. “Kami mengajak seluruh lapisan masyarakat dengan latar belakang yang beraneka ragam untuk berperan aktif membantu perlindungan orangutan. Konservasi adalah tanggung jawab kita bersama, bukan hanya ilmuan atau sebatas pekerja konservasi”, tegas Netu lagi. (BAL)

TIGA HARI YANG MENDEBARKAN, MICHELLE DITEMUKAN

Begitulah tiga hari ini kami yang jauh dari pulau pra pelepasliaran orangutan BORA gelisah tanpa akhir. Badan bisa saja di depan meja makan, namun pikiran dan hati ada bersama tim APE Defender yang sedang mencari orangutan Michelle. Michelle adalah orangutan kandidat pelepasliaran orangutan yang telah mendiami pulau orangutan selama tiga bulan ini sebagai ujian akhir, apakah dia berhasil bertahan hidup di alam dan bisa meningkatkan kemampuan alaminya di pulau tersebut.

Sebulan terakhir ini, air sungai Kelay naik luar biasa namun kembali normal. Saat banjir, kondisi orangutan di pulau sering membuat tim khawatir, Arus yang deras dan tingginya air tentu saja membuat daratan pulau tenggelam. Jika orangutan tidak berada di atas pohon atau lengah dan berada di daratan kecil atau sering disebut juga gersik maka dapat dipastikan tidak akan dapat bertahan hidup, terbawa arus.

Dua hari sudah tim mencari keberadaan Michelle dan belum menghasilkan apapun. COP pun menurunkan tambahan orang, perahu, dan tim APE Crusader untuk membantu pencarian orangutan. Sembari menyusuri sungai menuju pulau, tim memasang mata baik-baik di setiap cerukan dan kemungkinan hanyut atau tersangkut di sepanjang sungai. Ini adalah hari ketiga, yang merupakan golden time untuk kasus kecelakaan di sungai.

Siangnya tim kembali menyisir pulau orangutan di tengah hujan. Bahkan banjir sudah hampir menghanyutkan gapura pos pantau, itu berarti BORA telah kehilangan 3 meter tanahnya dari bibir sungai sejak pos monitoring ini didirikan. Tim terus fokus mencari dan memeriksa setiap sudut pulau yang mungkin menjadi tempat berlindung orangutan Michelle.

Tanpa putus asa, tim terus melakukan pencarian hingga 17.00 WITA, disaat matahari mulai jatuh, Michelle ditemukan di gersik belakang pulau. Michelle terlihat pucat dengan hidung yang mengering, mata kotor namun tidak ditemukan luka di tubuhnya. Melihat kondisi seperti ini, sepertinya Michelle kelaparan karena tidak makan selama tiga hari.

Terimakasih tim yang tidak putus harapan dalam pencarian Michelle di waktu hilang yang penting ini. Harunya kami yang mendengar kabar ditemukannya Michelle dalam kondisi baik, tak putus mengucapkan syukur. Michelle, seharusnya kamu lebih peka lagi dengan kondisi alam jika mau dilepasliarkan kembali ke habitat mu!

KAGET DIBERI RAYAP, HAPPI LARI KE POJOK KANDANG

“Hari ini enrichmentnya sarang rayap aja”, usul bang Amir, salah seorang animal keeper saat briefing pagi hari itu. Macam-macam enrichment makanan biasa diberikan untuk menghibur orangutan di luar jadwal makan pagi dan sore. Selain memakan daun dan buah hutan, orangutan juga terkadang memakan serangga seperti rayap, semut bahkan juga ulat. Aku sendiri pernah melihat Mabel, bayi orangutan yang sedang karantina memakan ulat-ulat kecil dengan lahap. “Biasa kita tuh cari di hutan. Tapi aku lihat di jalan dekat klinik ada”, jawab bang Amir ketika kutanyakan bagaimana cara mendapatkan sarang rayap.

Setelah berganti wearpack dan mengambil cangkul, aku, bang Amir, Syarif, Bima, dan Gavrila yang hari itu bertugas menjadi animal keeper segera berangkat ke lokasi sarang rayap yang dimaksud bang Amir. Saat sampai dan ditunjukkan, aku sempat tak percaya bahwa itu adalah sarang rayap. Yang kulihat dihadapanku hanyalah gundukan tanah liat setinggi sekitar 1,5 m. Bima dan bang Amir memberi aba-aba agar kami mundur. Kemudian mereka mulai mengacangkul gundukan tanah liat itu. Lapisan tanahnya cukup tebal dan butuh berkali-kali cangkulan hingga sarang rayap di dalamnya tampak. “Waaah berarti ini gede banget ya sarangnya?”, aku dan Gav terkagum melihat sarang rayap yang terlihat seperti bangunan yang sangat kompleks. Lalu kami memasukkan potongan-potongan sarang rayap ke keranjang.

Setelah sekitar 40 menit, keranjang sudah penuh dengan sarang rayap dan kami pun menuju kandang orangutan untuk membagikannya. Lucu sekali memperhatikan respon mereka yang bermacam-macam. Jainul terlihat penasaran dan pelan-pelan memperhatikan sarang rayap di tangannya. Ketika ada rayap yang keluar, dia tidak memakannya. Justru sarangnya yang ia masukkan ke mulutnya. Yang lain terlihat memakan sang rayap. Ada juga yang membuangnya bahkan terlihat tidak tertarik sama sekali.

Namun yang reaksinya membuat kami tertawa terpingkal-pingkal adalah reaksi orangutan Happi. Ketika kami meletakkan potongan-potongan sarang di tempat makannya, ia mendekat tanpa ragu da langsung memegang satu potong sarang. Ia begitu penasaran dan memperhatikan lekat-lekat sarang itu. Tiba-tiba, ia menjatuhkan sarang dalam genggamannya dan lari pontang-panting ke pojok kandang seperti manusia yang terkejut. Sepertinya ia terkejut ketika ada rayap yang muncul dari lubang-lubang sarang dan berpindah ke tangannya. Setelah puas tertawa, kami mencoba kembali memanggil-manggil Happi, berusaha memberitahunya bahwa rayap dan sarangnya tidak berbahaya. Untungnya Happi masih mau mendekat. Mungkin rasa penasarannya belum terpuaskan. Ia kembali memandangi dan memegang sarang rayap itu. Kemudian ia memain-mainkannya dan mulai memakannya. Kami ikut senang melihat Happi seperti terhibur dengan enrichment yang kami bawa. Jerih payah kami tidak sia-sia.

Sesungguhnya, sarang rayap bukanlah enrichment yang baru untuk Happi. Namun Happi selalu mengekpresikannya dalam bentuk yang berbeda-beda. Orangutan kecil memang selalu lucu karena itu juga banyak orang berpikiran untuk memeliharanya. Tapi orangutan bukanlah satwa peliharaan, rumahnya ya di hutan. Happi pun saat ini sedang menjalani karantina untuk masuk pulau pra-pelepasliaran. Tujuh tahun di BORA, saatnya kembali ke habitatnya. (NAD)

APE GUARDIAN MEMPERSIAPKAN KEDATANGAN 3 ORANGUTAN YANG AKAN DILEPASLIARKAN

Pelepasliaran orangutan kembali ke habitatnya merupakan tujuan akhir dari program rehabilitasi. Dalam kegiatan pelepasliaran perlu dilakukan persiapan yang baik, salah satunya adalah penentuan titik lokasi pelepasliaran. Kawasan Hutan Lindung Batu Mesangat telah menjadi lokasi pelepasliaran orangutan oleh Centre for Orangutan Protection sejak tahun 2022. Ada lima individu orangutan yang telah dilepasliarkan. Tiga orangutan jantan dewasa dan dua individu betina. 

Pertengahan tahun 2023 ini, BKSDA Kaltim bersama COP akan kembali pelepasliaran dan translokasi orangutan. Tim APE Guardian COP pun mulai mempersiapkan jalur yang akan dilalui. Survei jalur menuju lokasi pelepasliaran menghasilkan skenario-skenario berikut resiko terburuk yang mungkin terjadi. Pencarian titik ini mempertimbangkan keamanan lokasi dari aktivitas manusia di sekitar kawasan, evaluasi dari kegiatan pelepasliaran sebelumnya dan mitigasi konflik. Akses pada pelaksanaan kegiatan rilis nantinya juga tak kalah bobot dari penentuan titik. 

Sayangnya, survei harus mengalah pada kondisi cuaca yang kurang bagus. Hampir setiap malam hujan, pagi hari mendung serta gerimis. Matahari baru muncul sekitar pukul 10.00 atau 11.00 WITA. Hal ini membuat pekerjaan membuat jalur rilis tertunda dan sulit. Tapi tidak cukup menyurutkan semangat tim yang terbakar untuk menyambut kedatangan tiga orangutan yang akan dilepasliarkan. 

Terima kasih atas dukungan yang diberikan pada COP. Semangat di dunia maya pun mampu menguatkan tim yang berada di pedalaman Kalimantan dan tanpa sinyal telepon apalagi internet. Semoga semesta mendukung niat baik ini hingga waktu pelepasliaran tiba. (MIN)

PULAU BANJIR DAN MICHELLE MENGHILANG

Banjir kembali menghampiri, seolah-olah tak pernah bosan menggerus pinggiran pos pantau. Gapura pos pantau sudah dicopot, jaga-jaga banjir yang tak kenal waktu menghanyutkannya. Sayang tanaman akar wangi kiriman Orangufriends Yogya setengah tahun yang lalu sebagai usaha menahan laju erosi tak mampu  lagi bertahan. Sungai Kelay terlalu murka.

“Posisi terakhir Michelle berada di pohon yang tinggi di hulu pulau. Pohon itu sering ditempati Michelle. Dari pagi hingga Minggu siang, dia pun masih berada di sekitaran hulu pulau dan bermain di tempat biasanya”, berikut keterangan Lio, perawat satwa BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance) yang terakhir kali melihat Michelle dan memastikan dua orangutan kandidat rilis lainnya juga aman di pulau tersebut. Namun Minggu (14/5) malam hujan dan air sedikit naik. 

Keesokan pagi, perawat satwa yang bertugas memberi makan pagi orangutan di pulau mulai kecarian orangutan Michelle dengan kondisi air sungai yang naik. Tim juga sampai turun dari perahu dan mencari keberadaan Michelle di sisa daratan pulau yang ada. Tapi pencarian tidak membuahkan hasil.

Hari mulai gelap dan air tetap tinggi dengan arus yang cukup deras. Hanya doa yang bisa kami panjatkan, agar Michelle bertahan di tempat yang aman. Pandangan tak tembus lagi dan keselamatan tim juga jadi perhatian. Malam ini hanya doa yang bisa dipanjatkan.

ASTUTI, MURID BARU PENCURI PERHATIAN

“Tuti nih orangutan paling cantik”, kata Indah, biologist BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance) saat hendak membawa Astuti ke sekolah hutan. Wajah orangutan Astuti memang menggemaskan sepeti boneka dan rambut keritingnya unik menarik hati. Belum ada orangutan di pusat rehabilitasi BORA yang rambutnya keriting sepeti Astuti. Kalau rambutnya basah, keritingnya lebih terlihat menggemaskan lagi. Mungkin karena rupa imutnya itu penjahat pedagang satwa liar berusaha menyeludupkannya dan menjualnya. Astuti berhasil diselamatkan saat hendak dikirim ke luar negeri melalui Sulawesi tahun 2022. Ia kemudian dipindahkan ke BORA dan menjalankan masa karantina selama 3 bulan.

Pada bulan Maret, setelah hasil tes kesehatannya keluar dengan hasil baik, ia resmi menjadi murid baru di sekolah hutan. Sebagai murid baru, ia berhasil mencuri perhatian kami dan membuat kami kagum akan kemampuannya. Pada hari pertama sekolah hutan saja ia sudah memanjat setinggi 18 meter. Ia tidak sesering berada di tanah seperti Jainul, murid orangutan sebaya nya yang selalu berguling-guling di tanah dan masih sudah sekali disuruh memanjat pohon. Sekali-kalinya ia berguling di tanah, tubuhnya akan ditempeli banyak daun kering dan ranting. Rambutnya yang panjang membuat benda-benda di tanah lebih mudah menyangkut. Kami sering menertawakannya ketika tubuhnya sudah sangat kotor. Rupanya yang paling lucu adalah ketika dia baru saja berguling-guling di tanah dan tubuhnya ditempeli lumpur. Kami para perawat satwa dibuat terpingkal-pingkal melihat rambutnya yang menjadi gimbal.

Akhir-akhir ini, Astuti semakin jago menjelajah dan seringkali keasyikan. Suatu hari saat sekolah hutan (29/04), ia mengikuti orangutan Charlotte yang usianya sekitar lima tahun lebih tua dan sudah lebih piawai menjelajah. Mereka makan bersama-sama di satu pohon dan sulit sekali dipanggil untuk turun dan pulang dari sekolah hutan. Bima dan Syarif, Perawat satwa yang bertugas saat itu terus memanggil mereka dan memancing dengan buah. Sayangnya, Astuti dan Charlotte tetap asyik makan di atas pohon. Mereka akhirnya kekenyangan dan turun sendiri setelah satu jam waktu sekolah hutan usai. Meski harus repot menunggu dan memanggil-manggilnya, kami bangga sekali dengan perkembangan pesat murid baru yang berhasil mencuri perhatian kami ini. Terus berkembang ya, Astuti! (NAD)

PEDAGANG KULIT HARIMAU SUMATRA TERTANGKAP TANGAN

Harimau Sumatra atau Patera trigis Sumatrae merupakan raja hutan yang menduduki kasta tertingi di keluarga kucing-kucingan yang ada di Indonesia. Kini nasibnya makin memprihatinkan. Dalam satu pekan terakhir, lembaga penegakan hukum di Indonesia mengganggalkan 2 transaksi jual beli kulit harimau yang masih basah. Dalam arti, satwa ini belum lama dibunuh dan dikuliti oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Setelah gempar dengan berita penangkapan salah satu oknum pengiat konservasi yang menjual kulit harimau di Sumatera Barat. Pada tanggal 10 Mei 2023, digagalkan kembali transaksi jual beli kulit harimau utuh beserta dengan tulang-tulangnya yang masih merah. Dalam satu pekan, dua raja hutan ini mati dengan sia-sia.

Lantas apa yang jadi motif dasar para pelaku ini menjerat dan membunuh satwa ini. Dari keterangan para tersangka, bahwa harimau banyak diburu untuk diambil bagian organ tubuhnya seperti kulit, taring, daging, kuku bahkan kumisnya. Organ-organ tersebut diperjualbelikan di pasar gelap dengan harga tinggi karena dapat dimanfaatkan sebagai obat, kerajinan (tas, pakaian, sepatu, dll) bahkan tak sedikit permintaan memanfaatkannya sebagai jimat.

“Jaringan perburuan dan perdagangan bagian-bagian tubuh harimau sangat tertutup dan rapi. Harga jualnya yang fantastis juga menjadi salah satu faktor perburuan, marak terjadinya. Kulit harimau basah dibandrol dengan harga di atas 60 juta rupiah, sedangkan dengan bagian tubuh lainnya seperti kuku, taring kumis berkisar 3 sampai 5 juta rupiah per item. Tergantung kualitas dan ukuran”, jelas Satria Wardhana, kapten APE Warrior COP yang fokus memerangi perdagangan satwa liar sejak sepuluh tahun terakhir.

Harimau merupakan satwa yang berperan sebagai konsumen puncak. Satwa ini berfungsi sebagai pengontrol populasi mangsanya seperti babi hutan. Dalam konteks hilangnya harimau, akan memberikan efek kompleks pada ekosistem hutan. Ini juga akan berdampak pada ketersedian tumbuhan dan produk tumbuhan seperti buah. Hutan akan jadi rusak dan mempengaruhi kehidupan di bumi seperti berkurangnya udara bersih, air bersih, penyerbukan, hingga pengaturan suhu bumi. (SAT)

POPI MASUK KLINIK, SEMUA ORANG PANIK

Hari ini murid-murid orangutan di sekolah hutan sedang aktif-aktifnya. Popi, Astuti, Jainul, dan Charlotte semakin pintar mencari makan dan menjelajah kesana-kemari hingga lokasi hutan yang cukup jauh. Artinya perkembangan mereka sangat baik walaupun kami para perawat satwa harus berjuang menerabas tumbuhan lebat dan berduri untuk mengikuti dan mengawasi mereka.

Bahkan Popi yang biasanya hanya memanjat pohon sebentar lalu turun mengikuti kami dan mengincar keranjang buah, hari itu betah di atas pohon. “Dia pinter banget dari tadi cari makannya. Sekarang lagi makan daun muda. Sebelumnya selama setengah jam dia habisin buah ini”, ujarku pada Gavrila, kawan perawat satwa sambil menunjuk buah hutan yang berserakan di tanah. Buah itu bulat seperti bola batu sebesar genggaman orang dewasa. Warnanya coklat dan tekturnya sangat keras seperti kayu. Butuh waktu 20 menit bagi Popi untuk menghabiskan buah itu.

Setengah jam sebelum waktu sekolah hutan berakhir, Popi sempat turun lama dan memakan daun-daunan dari tumbuhan pendek. Aku sempat lega melihatnya sudah turun ke bawah, artinya aku tidak perlu menunggu, membujuk dan memanggilnya turun ketika sesi sekolah hutan berakhir. Namun aku seperti diberi ujian sabar. Lima menit lagi sebelum sesi sekolah hutan berakhir, Popi justru naik lagi. Selama 15 meit aku memanggil dan membujuknya pulang. Lalu ketika akhirnya ia berhasil turun dan kutuntun hingga depan kandang, ia tiba-tiba turun dari gendongan dan berlari menjauh.

Aku yang sudah kelelahan sekolah hutan dan menggendongnya hingga kandang jadi lebih kalah cepat dengannya. Tenaganya belum juga habis walau sudah sangat aktif di sekolah hutan. Aku berusaha menarik tangan Popi tapi ia lebih kuat dariku walaupun tubuhnya lebih kecil. Ia terus menjauh dan aku mengikutinya hingga kami sampai di depan klinik dan aku dilanda panik. Ia naik ke wastafel cuci tangan! Benar saja dugaanku, ia penasarang dengan sabun cuci dan mengacak-acaknya. Untung saja sabun yang kami pakai di situ adalah sabun cuci food grade yang lebih aman apabila Popi tidak sengaja menelannya. Melihatku mendatanginya dan segera mengambil sabun itu, Popi langsung menjauh lagi dan menuju pintu klinik. Aku segera mengangkat tempat sampah di dekat pintu sebelum ia meraihnya lebih dulu. “Tata, Lala, tolongin aku!”, teriakku memanggil kawan-kawan paramedis yang biasa bertugas di klinik. Kulihat di dalam Popi sudah meraih bungkus deterjen dari rak penyimpanan. Untungnya Tata dan Lala segera datang. Lalu kami bersama-sama berhasil menghalau Popi dan menuntunnya kembali masuk ke kandang. Butuh tiga orang untuk membawanya kembali ke kandang. Popi… Popi… Bisa-bisanya sampai masuk klinik dan bikin panik! (NAD)

APE PROTECTOR JAGA HUTAN LINDUNG SINUANGON

Setahun lebih tim APE Protector menetap dan berkegiatan di Nagari Sontang Cubadak, Pasaman, Sumatra Barat. Pada 6 Mei yang lalu, tim PAGARI atau Patroli Anak Nagari mengecek kamera jebak yang telah dipasang sebulan lalu di Hutan Lindung Sinuangon (Pasaman Raya) tersebut. Selain monitoring kawasan, tim juga berkesempatan observasi satwa liar dan sayangnya gangguan habitat masih juga ada.

“Beruntungnya kalau lagi patroli, kita bisa berjumpa langsung dengan satwa liar yang juga kaget dengan kehadiran kita. Kali ini tim berjumpa dengan satu ekor Simpai (Presbytis melalophos) yang merupakan monyet endemik Pulau Sumatra. Selain itu, tim juga berhasil mendokumentasikan burung raja udang walau dengan kamera yang sangat terbatas. Sepanjang perjalanan, suara-suara alam serta kepakan burung enggang menemani perjalanan yang medannya cukup ekstrim. Secara tidak langsung, tim juga mengidentifikasi kehadiran babi hutan dan rusa lewat jejak yang ditinggalkan”.

Suara gergaji mesin dikejauhan menandakan aktivitas manusia yang membawa kayu turun dari lokasi hutan. Dentuman pohon roboh yang menyentuh tanah menandakan gangguan habitat masih terpantau aktif di area kawasan Hutan Lindung. Beda punggunggan dan tim harus kembali fokus menjemput kamera jebak.

Dari empat kamera yang terpasang sejak 6 April yang lalu, tertangkap kamera babi hutan. Kehadiran babi hutan tiga bulan berturut-turut membuat tim lega. Semoga ini tanda berakhirnya virus ASF (African Swine Fever). Jika perjumpaan langsung dengan jejaknya saja, kini, tim menyaksikannya langsung, termasuk rusa dari kamera jebak. Kehadiran Macan dahan, Musang congkok, Tikus hutan, Tupai tanah, Bajing tanah bergaris tiga, Sigung Sumatra, landak Sumatra, Musang bulan, Burung puyuh, Kucing Emas, dan Sinpai menambah deretan keanekaragaman satwa liar di hutan ini. Tak lupa si Beruk yang selalu eksis di hapir setiap kamera jebak. Satwa liar di hutan aja. (REV)

ENRICHMENT ORANGUTAN DARI BORA UNTUK SRA

Dua orang perawat satwa BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance) membuatkan enrichment selang pemadam yang berisi potongan buah jambu sebanyak 30% dan 70% dedaunan ditambah dengan madu untuk orangutan di SRA (Sumatran Rescue Alliance). Pemberian enrichment ini untuk mengisi waktu luang Asto dan Asih di kandang ketika hujan lebat atau saat panas terik jika sekolah hutan ditiadakan.

Selang pemadam kebakaran menjadi pilihan wadah karena bahan yang kuat. Asto dan Asih berusaha menggapai enrichment bentuk baru ini. Aroma madu yang tercium dan menetes keluar selang secara alamiah membuat mereka menghisap-hisap ujung-ujung selang. Ketika sudah tidak ada lagi tetesan yang tersisa, keduanya mulai mencongkel dan menggigit enrichment tersebut.

Perilaku bertukar enrichment pun terjadi. Asih mengambil selang milik Asto, begitu pula sebaliknya. Keduanya bertukar enrichment yang tak mengeluarkan cairan lagi. Tapi keduanya menyadari, masih ada sesuatu di dalamnya. Berulang kali, mereka mengendus, menggigit, dan mencongkel ujung selang yang dijahit tali. Asto yang memiliki tubuh sedikit lebih besar mulai bertugas sebagai “penghancur” dan membesarkan lubang. Sementara Asih sebagai “penerus” nya, membuat lubang semakin besar agar seluruh isi enrichment berhasil dikeluarkan dan dinikmati.

Apakah mereka saling bekerja sama? Atau kah Asto selalu menjadi tempat meminta tolong Asih? Saatnyakah mereka berdua berpisah kandang agar bisa lebih mandiri? Ahmad Nabil kembali membuka catatan lama Asto dan Asih yang telah dua tahun menghuni pusat konservasi orangutan SRA yang berada di Besitang, Sumatra Utara ini. Sebagai biologist, perilaku keduanya terpantau dan menjadi evaluasi untuk program rehabilitasi orangutan tersebut. Program ini adalah usaha untuk merangsang perilaku alami dan kemampuan orangutan agar siap dilepasliarkan pada waktunya. (BIL)