MENDESAK, EVAKUASI SATWA DARI BUMI KEDATON LAMPUNG

Centre for Orangutan Protection (COP) mendesak Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengevakuasi seluruh satwa dari Taman Satwa dan Wisata Bumi Kedaton Bandar Lampung. Desakan ini didasarkan pada kualitas hidup satwa yang sangat mengenaskan di Lembaga Konservasi tersebut.

Daniek Hendarto, Area Manager Jawa dan Sumatera dari COP, menyatakan sebagai berikut:

“Bukan hanya manusia yang memiliki hak. Satwa pun juga memiliki standar minimum kesejahtera-an yang dikenal dengan 5 Kebebasan Satwa, diantaranya bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari ketidaknyamanan fisik, bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit, bebas untuk mengekspresikan perilaku alaminya dan yang terakhir bebas dari rasa takut dan tertekan.”

“Beruang madu menunjukkan perilaku stress dengan menjilati jeruji dan memakan tahi-nya sendiri. Hal ini disebabkan kandang yang terlalu sempit, ditambah tidak ada air minum serta fasilitas bermain. Kuku beruang mulai panjang melengkung yang dapat menyebabkan telapak tangannya akan terluka nantinya. Kandang beruang juga tidak dalam posisi terkunci, hal ini sangat membahayakan pengunjung.”

“Kukang yang merupakan satwa nokturnal yaitu satwa yang aktif di malam hari tidak memiliki tempat untuk bersembunyi dari paparan sinar matahari. Miskinnya fasilitas di dalam kandangnya akan memperburuk kondisi kukang yang dapat berakibat pada kematian.”

“Siamang dan Owa adalah dua jenis gibbon yang membutuhkan kandang yang luas dan tinggi yang memungkin dia mengeksresikan perilaku alaminya. namun pengelola tidak menyediakannya, sehingga kedua gibbon ini terpaksa duduk di atas tanah.”

Daniek menambahkan, “Semua kandang tanpa jarak dengan pengunjung, yang memungkinkan pengunjung maupun satwa berinteraksi. Ini sangat membahayakan pengunjung maupun satwa melalui penyebaran zoonosis mengingat kondisi satwa sebelumnya karena kandang maupun fasi-litas kandang yang tidak terpenuhi.”

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No: P.31/Menhut-II/2012 mengenai Lembaga Konservasi, Taman Satwa dan Wisata Bumi Kedaton tidak memenuhi syarat. Akibatnya, satwa koleksinya berada dalam kondisi di bawah standar kesejahteraan yang disepakati oleh berbagai asosiasi seperti Perhimpunan Kebun Binatang Seluruh Indonesia (PKBSI) dan World Association of Zoo dan Aquaria (WAZA). Manajemen harus segera memperbaiki fasilitasnya atau harus menghadapi ancaman penutupan.

Untuk informasi dan wawancara lebih lanjut harap menghubungi:

Daniek Hendarto

Area Manager Jawa dan Sumatera COP

HP : 081328837434

email : daniek@cop.or.id

APE CRUSADER TO FIGHT FIRES

Forest fires rage across Borneo, causing systemic disaster for animal, people and environment. COP decided its APE Crusader Team to assist our ally FNPF around Tanjung Puting National Park in Central Kalimantan. The FNPF has replanting program to rehab the designated area for orangutan release. This area burnt very bad. They in urgent need for help. Our team drive for about 50 hours non stop from its base in North East Borneo. We teamed up with Hutan Group from Japan also. Once we arrive, we fight the fires. We do everything what we can do. We are just nothing when fighting against nature amok. It is test for our ego. It is doesn’t matter what is your organisation and no matter how important your in your organisation, we are all just nothing in the mid of smokes and fires. We forced to pause our work as we have very bad news. The house of Paulinus, our APE Crusader captain has burt down in West Kalimantan. His beloved grandpa also died in the accident.

Forest fires kills wildlife and human, also devastated the life of our team member. We do not give up. We will never stop our crusade. We will keep fighting to save wildlife. We would like to say thank you for your support.

#SFO BANJARBARU, FUND FOR PARK

Indonesia should be proud. The young people of Orangufriends, the support group for the Centre for Orangutan Protection, have created a music event aiming to raise financial support for orangutans and their habitat. Sound for Orangutan the annual music event, originally held only in Jakarta since 2011, is now spreading to Yogyakarta and South Kalimantan, specifically Banjarbaru.

The Sound for Orangutan (SFO) event in Van Der Pijl Park, Banjarbaru, South Kalimantan, was also titled “Fund for Park”. Elin Alvita, coordinator of SFO Banjarbaru, stated “In Van der Pijl Park there are several wild animals such as long-tailed macaques, pig-tailed macaques, gibbons, and lesser storks currently in unsatisfactory enclosures. We at Orangufriends seek to repair and improve these cages to give a better quality of life to the animals in Van der Pijl Park”

Orangufriends worked together with Morning Art to realise the dream of SFO in Kalimantan. Live music was provided by the bands Soul Cry, Buddy Guy Project, Sunday High Club, Joke of Superboys, Seven Ways to Sunday, Hello Kitty Berkumis and Dreamtree Reggae. The event also featured movie screenings about the issues of deforestation, and discussions about COP and fundraising. This is all part of Orangufriends’ efforts to motivate more and more people to care about wildlife. Save or Delete, you decide!

#SFO BANJARBARU, FUND FOR PARK
 
Indonesia patut berbangga. Anak-anak mudanya yang tergabung dalam Orangufriends yaitu kelompok pendukung Centre for Orangutan Protection, membuat acara musik bertujuan menghimpun bantuan dana untuk orangutan dan habitatnya. Sound for Orangutan, acara musik tahunan yang semula hanya diadakan di Jakarta sejak tahun 2011 lalu, kini menjalar ke kota Yogya dan Kalimantan Selatan tepatnya Banjarbaru. 
 
Sound for Orangutan sering disingkat SFO, 26 September 2015 bertajuk “Fund for Park” dilaksanakan di Taman Van der Pijl, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Elin Alvita sebagai koordinator SFO Banjarbaru menyampaikan, “Pada Taman Van der Pijl terdapat beberapa satwa seperti monyet ekor panjang, beruk, owa dan bangau tongtong yang berada dalam kandang yang kurang sejahtera. Kami, Orangufriends berupaya untuk memperbaiki kandang tersebut dan memberikan kehidupan yang lebih baik untuk satwa di Taman Van der Pijl ini.
 
Orangufriends bekerjasama dengan Morning Art untuk mewujudkan mimpi SFO di Kalimantan. Live music yang diisi oleh band Soul Cry, Buddy Guy Project, Sunday High Club, Joke of Superboys, Seven Ways to Sunday, Hello Kitty Berkumis dan DreamtreeReggae. Acara juga diselingi dengan movie screening mengenai pembabatan hutan, diskusi tentang COP dan penggalangan dana. Semua ini merupakan usaha Orangufriends untuk mengajak lebih banyak lagi yang peduli pada satwa. Save or Delete, you Decide!

ORANGUFRIENDS SAMARINDA GOES TO GRAMEDIA

On Saturday the 26 of September 2015, the book store Gramedia in Big Mall Samarinda East Kalimantan invited Orangufriends to present introductory material on world wildlife, including orangutans.
Participants who attended included approximately 40 kindergarten students from TK Komino Samarinda.
The activity began with games run by Gramedia Big Mall and was followed with the delivery of materials by Orangufriends to introduce world wildlife and orangutans.

The material that was presented included several photos and the showing of Face In The Forest, a video about life in the forest. The particpiants who were aged between 3 and 5 years old, enthusiastically looked at photos and also introductory photos of orangutans and how they live in the wild. It was not only the children who were enthusiastically examining the materials, but also thier parents who accompanied them along with the Gramedia team themselves. After the presentation was finished, questions were asked.   Several of the students enthusiastically answered the questions thrown at them and recieved a prize of an orangutan pin for their bravery.

We believe that introducing world wild life, especially orangutans, to kindergarten students in Gramedia Big Mall is the first step in generating an on going wider public awareness of wildlife. thankyou to Orangufriends Samarinda, Inggrid, Indah and Fatima who particpated. (OrangufriendsIndah)

 

ORANGUFRIENDS SAMARINDA GOES TO GRAMEDIA

Sabtu, 26 September 2015. Orangufriends Samarinda berkesempatan diundang oleh Gramedia (toko buku) Big Mall Samarinda, Kalimantan Timur untuk mengisi materi pengenalan satwa-satwa di dunia termasuk orangutan. Peserta yang hadir merupakan siswa-siswi TK Komimo Samarinda dengan jumlah kurang lebih 40 peserta. Kegiatan diawali dengan permainan dari pihak Gramedia Big Mall. Dilanjutkan dengan penyampaian materi pengenalan satwa di dunia dan orangutan oleh Orangufriends Samarinda.

Materi yang disampaikan berupa slide foto dan pemutaran video tentang kehidupan di hutan, Face In The Forest. Peserta yang rata-rata berusia 3-5 tahun ini terlihat antusias menyimak materi yang berupa foto berbagai macam satwa yang ada di dunia dan juga foto-foto pengenalan orangutan dan bagaimana kehidupan orangutan di alam liar. Tidak hanya para siswa yang terlihat antusias dan tertarik menyimak materi, tetapi juga para orangtua yang mendampingi serta kru Gramedia sendiri. Setelah penyampaian materi dan pemutaran video selesai dilanjutkan dengan tanya jawab. Tidak sedikit dari para siswa yang bersemangat menjawab pertanyaan yang dilontarkan dan mendapatkan hadiah berupa pin orangutan karena telah berani menjawab pertanyaan.

Kami percaya pengenalan terhadap satwa-satwa di dunia khususnya satwa dilindungi termasuk orangutan kepada siswa-siswi TK di Gramedia Big Mall merupakan langkah awal dalam penyadartahuan terhadap khalayak yang lebih luas lagi selanjutnya. Terimakasih kepada Orangufriends Samarinda Inggrid, Indah, dan Fahmi yang telah berpartisipasi (OrangufriendsIndah).

FILE P21, PROTECTED ANIMAL SMUGGLING CASE PASSED ON TO LANGSA DISTRICT ATTORNEY

The Langsa District Attorney has finally announced that its investigations into a protected animal smuggling case in Aceh (known as P21) are complete. This comes after the arrest of Ramadhani, a suspected animal smuggler. Ramadhani was caught on 1 August 2015 by the Aceh branch of the Office for Natural Resource Conservation (BKSDA), on PDAM Tirta Pondok Kemuning Road, in Pondok Kemuning village, which is located in the Old Langsa district in the city of Langsa, East Aceh. As part of the operation, the BKSDA team seized 3 (three) orangutan, 2 (two) bald eagles, 1 (one) king pheasant, and 1 (one) clouded leopard. Each of these animals are classified as protected species. Ramadhani’s arrest, along with the recovery of three baby orangutan, makes this the largest smuggling operation to be uncovered in Aceh to date.

Genman Hasibuan, the head of BKSDA Aceh, gave the following statement:

“BKSDA Aceh will continue to monitor this case, and is committed to ensuring that the accused suspect is met with the full force of the law, in line with Regulation Number 5/1990 concerning the conservation of natural resources and ecosystems, which stipulates a 5 year prison sentence and fine of 100 million rupiah.”

In addition, Panut Hadisiswoyo, a Director at the Orangutan Information Centre (OIC), offered the following statement:

“OIC will continue to observe this case and do all within its reach so that the suspect receives the maximum punishment. Upholding the rule of law is key to enabling the success of orangutan conservation and biodiversity programs throughout Indonesia. BKSDA must be supported in their efforts to carry out the legal process properly. Because of this, we call upon the Langsa District Attorney to carry out their task with fairness and transparency. Doing so would see the judicial process become an important reference to guide future legal cases brought against animal smugglers. Charged suspects must be handed the maximum punishment as a way of further discouraging animal smuggling throughout the community.”

Daniek Hendarto, the Anti-Kejahatan Satwa Liar Manager at the Centre for Orangutan Protection (COP), also gave the following statement:

“This is the biggest case ever recorded in Aceh, and it bears the potential to be repeated, given that until now, the sentences to befall convicted smuggling suspects in previous cases have been so light. COP uses social networking to monitor the networks of known offenders, and we can conclude that smugglers are not afraid of being prosecuted, as the benefits of their smuggling activities significantly outweigh the associated risks. The key to bringing about change lies with the Langsa District Attorney. If its judges can show courage and dispense the maximum sentence, this will be a significant breakthrough, all while operating within the law.”

For further information or to access the full interviews, please contact:

Genman Hasibuan- Head of BKSDA Aceh.

Phone  : 081286319877

Panut Hadisiswoyo- Director, Orangutan Information Centre.

Phone  : 081376879114

 

Daniek Hendarto- Manager, Anti Kejahatan Satwa Liar, COP.

Phone : 081328837434

 

BERKAS P21, KASUS PEDAGANG SATWA DILINDUNGI DILIMPAHKAN KE KEJAKSAAN NEGERI LANGSA

Kejaksaan Negeri Langsa akhirnya menyatakan lengkap (P21) atas berkas penyidikan perkara ‎tersangka penjual pedagang satwa dilindungi dengan tersangka Ramadhani. Ramadhani ditangkap tangan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh di Jalan PDAM Tirta Pondok Kemuning, Desa Pondok Kemuning, Kecamatan Langsa Lama, Kota Langsa, Aceh Timur pada tanggal 1 Agustus 2015. Dalam operasi tersebut, tim BKSDA menyita 3 (tiga) orangutan, 2 (dua) elang bondol, 1 (satu) burung kuau raja dan 1 (satu) awetan macan dahan. Kesemua satwa tersebut merupakan satwa dilindungi.  Penangkapan ini merupakan yang terbesar pertama di Aceh dimana pedagang berhasil ditangkap bersama dengan tiga bayi orangutan sekaligus.

 

Genman Hasibuan, Kepala BKSDA Aceh memberikan pernyataan sebagai berikut:

“BKSDA Aceh akan terus mengawal dan berkomitmen untuk memastikan tersangka mendapatkan hukuman sesuai dengan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yakni penjara 5 tahun dan denda 100 juta rupiah.”

 

Panut Hadisiswoyo, Direktur Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) memberikan pernyataan sebagai berikut:

“OIC akan terus mengawal kasus ini dan mengerahkan segenap potensinya agar si tersangka bisa mendapatkan hukuman maksimal. Penegakan hukum merupakan salah satu kata kunci untuk mendukung keberhasilan program upaya konservasi orangutan dan keanekaragaman hayati di Indonesia. Proses hukum yang sudah dijalankan pihak BKSDA Aceh harus didukung dan kami meminta pihak Kejaksaan Negeri Langsa dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara adil dan transparan sehingga proses peradilan nantinya dapat menjadi acuan penting bagi upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perdagangan satwa dilindungi. Hukuman maksimal harus diberikan kepada tersangka agar ada efek jera di masyarakat.”

 

Daniek Hendarto, Manager Anti Kejahatan Satwa Liar dari Centre for Orangutan Protection (COP) memberikan pernyataan sebagai berikut:

“Ini adalah kasus terbesar yang pernah ada di Aceh dan berpotensi terulang kembali karena hukuman yang dijatuhkan selama ini pada kasus-kasus kejahatan terhadap satwa liar sangatlah ringan. COP memantau jaringan si pelaku di jejaring sosial dan kami berkesimpulan bahwa mereka tidak takut menghadap jerat hukum karena keuntungan sangat besar jika dibandingkan resikonya. Kuncinya ada di Kejaksaan Negeri Langsa. Jika mereka berani membuat terobosan dengan sebuah tuntutan maksimal, maka hakim akan menjatuhkan hukuman yang tidak terpaut jauh.”

 

Informasi dan wawancara lanjutan harap berkomunikasi dengan:

Genman Hasibuan, Kepala BKSDA Aceh.

Phone  : 081286319877

Panut Hadisiswoyo, Direktur Orangutan Information Centre.

Phone  : 081376879114

 

Daniek Hendarto, Manajer Anti Kejahatan Satwa Liar COP.

Phone : 081328837434

UPDATES ON THE LANGSA CASE; CRIME SCENE RECONSTRUCTION

Do you still remember the confiscation of 3 orangutan babies on August 1st? Based on COP’s investigation, the Aceh National Police with the assistant from COP and OIC have raided a warehouse in Langsa. COP work to ensure that the trader would get maximum penalty. We want him to be jailed for 5 years according to Law number 5 year 1990. We sent the letter to Great Attorney in Jakarta to consider this case as priority and need proper monitoring.

Today, the High Attorney of Aceh conduct crime scene reconstruction as the legal process before the case goes to court. Following instruction from Attorney, 3 confiscated babies being transported to crime scene location today by a team from SOCP and OIC.

Masih ingat penyitaan 3 bayi orangutan pada tanggal 1 Agustus? Berdasarkan penyelidikan COP dan Polda Aceh dengan dukungan COP dan OIC menggerebek rumah pedagang satwa liar di Langsa. COP terus bekerja untuk memastikan si pelaku mendapatkan hukuman maksimal, 5 tahun penjara seperti yang diamanatkan UU No.5 Tahun 1990. Kami telah mengirim surat ke Kejaksaan Agung di Jakarta untuk mempertimbangkan kasus ini sebagai prioritas dan karena itu membutuhkan pemantauan yang memadai.

Pada hari ini Kejaksaan Aceh menggelar rekonstruksi lapangan sebagai bagian dari proses hukum sebelum kasus dikirimkan ke pengadilan. Mengikuti instruksi Jaksa, pada hari ini SOCP dan OIC memberangkat 3 bayi sitaan tersebut ke Langsa.

GOODBYE TOILET! UNYIL THE ORANGUTAN IS NOW IN FOREST SCHOOL!

Valentino Unyil Ngau is the name of the tiny 3 year old, thick brown haired orangutan. He has just joined the other orangutans his age in forest school, after being surrendered by his owner to the Kalimantan COP team on the 13th of April 2015. Valentino’s name comes from the belief that this young orangutan was born in April 2012; the name Unyil is taken from a famous cartoon character on national television, and Ngau is a name that comes from the family who previously owned the orangutan.

Unyil was kept in a wooden cage measuring 50x50x50cm, only able to reach out his fingers and arms to take food. The cage was also kept in the toilet, making it very damp. Every morning Unyil’s owner gave him a drink of tea, and rice for breakfast. When he was first found, Unyil looked very pale. Doctors assumed this was due to Unyil rarely seeing the light of day, considering he had been kept inside a bathroom.

Unyil is now in forest school. He looks much happier. He loves climbing trees, learning to eat young leaf shoots, and has even occasionally been seen eating termites with his orangutan classmates. This is great news considering that when he first arrived, Unyil was not even able to open a banana or eat other fruit. Unyil is a fast learner. Forest school’s notes show that he has already braved climbing trees as tall as 30 metres.

It’s still a long time before Unyil can return to his home in the forest. But at least for now Unyil is with friends, no longer alone, like he has been these past 3 years, in a cold cage in a foul-smelling toilet.

By adopting Unyil, you can help him to learn in forest school so that his home will no longer be a cage.

SELAMAT TINGGAL TOILET… KINI ORANGUTAN UNYIL DI SEKOLAH HUTAN

Valentino Unyil Ngau adalah nama orangutan kecil berumur 3 tahun, berambut tebal, serta berwarna coklat gelap. Ia baru saja bergabung dengan teman-teman seumurnya di sekolah hutan setelah pemilik Unyil menyerahkan Unyil kepada tim COP Kalimantan pada 13 April 2015. Nama Valentino diambil dari dari keyakinan bahwa orangutan muda ini lahir pada bulan April 2012. Kemudian Unyil sendiri merupakan tokoh kartun lucu yang sangat terkenal di televisi nasional dan Ngau merupakan nama besar keluarga pemilik orangutan ini. Keseharian orangutan ini dipanggil dengan nama Unyil.

Unyil diletakan di dalam kandang kayu berukuran 50x50x50cm. Hanya jari dan lengan tangannya yang dapat keluar untuk mengambil makanan. Kandang tersebut juga berada di dalam toilet sehingga sangatlah lembab. Setiap pagi si pemilik Unyil memberikan minuman teh dan nasi untuk sarapan pagi.

Saat ditemukan pertama kali Unyil terlihat sangat pucat. Dokter memperkirakan hal ini dikarenakan Unyil sangat jarang terkena sinar matahari apalagi mengingat Unyil ditempatkan dalam kamar mandi.

Kini Unyil telah berada di sekolah hutan. Ia tampak begitu senang. Ia sangat suka memanjat pohon, belajar memakan pucuk daun muda bahkan sesekali tampak makan rayap bersama orangutan sekelasnya. Hal ini sangat baik mengingat pertama kali datang, Unyil bahkan tidak dapat membuka kulit pisang dan makan buah lainnya. Unyil belajar dengan cepat. Catatan sekolah hutan menunjukan bahwa ia sudah berani memanjat pohon hingga ketinggian 30 meter.

Waktu masih panjang bagi Unyil untuk kembali ke rumahnya di hutan. Setidaknya sekarang Unyil telah memiliki teman, tidak sendiri seperti 2

tahun sebelumnya di dalam kandang dingin dengan aroma toilet yang menyengat.

Bantu Unyil belajar di sekolah hutan agar kandang bukan lagi rumahnya ya, dengan mengadopsi Unyil…

300 + 100

The clock hand strikes midnight. The APE Warriors camp is still full of people. Members of Orangufriends Yogya are still busy, packaging 300 T-shirts, to be mailed out to those who have purchased them. The sales of this limited line of T-shirts will fund Sound for Orangutan (SFO), an annual music performance run by COP. The funds from this concert will be used to build a COP Orangutan Rehabilitation Center in East Kalimantan.
COP volunteers battle exhaustion; it is vital that this work is completed on time and customers are not let down. So that they will be happy to become customers again, next time T-shirts are on offer. This effort is for orangutans, for all wildlife.
Tonight, it appears members of Orangufriends will have to work harder again. 100 more shirts must now be packaged. Not for orangutans this time, but for the release of wild animals, caged in the Banjarbaru,City Gardens in South Kalimantan. These poorly-designed cages must be modified, so that these animals are no longer bound by chains. There must be investment in these facilities, so that these animals may prosper. All of this requires money. In the purchasers of these T-shirts we trust. In our members we trust.
With that, goodnight. To the Orangufriends members, now returning to their homes, remain firm – firm and alert. I know you are all exhausted, but the work of COD is not yet finished.

 

300 + 100

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 12 tengah malam. Camp APE Warrior di Yogya masih ramai. Para anggota Orangufriends masih sibuk mengemas 300 kaos untuk dikirimkan ke para pemesannya. Kaos yang diproduksi terbatas itu untuk mendanai pertunjukan musik tahunan Sound For Orangutan (SFO). Keuntungan dari konser musik tersebut akan digunakan untuk membangun Pusat Rehabilitasi Orangutan COP Borneo di Kalimantan Timur.

Capek dan ngantuk harus dilawan. Pekerjaan harus diselesaikan tepat waktu, agar para langganan tidak kecewa. Agar mereka dengan senang membeli kaos yang ditawarkan di kemudian hari. Hasilnya untuk orangutan. Hasilnya untuk satwa liar.

Malam ini, nampaknya para anggota Orangufriends harus bekerja lebih keras. Ada 100 lagi kaos yang harus dikemas. Kali ini bukan untuk orangutan, tetapi untuk membebaskan satwa – satwa yang kini dirantai di Taman Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Kandang yang salah desain di sana harus dimodifikasi, agar binatang – binatang di sana tidak perlu dirantai. Kandang mereka harus diperkaya fasilitasnya agar mereka bisa hidup lebih baik dan sejahtera. Semua butuh duit. Pada para penggemar kaos bergambar binatang kami berharap. Pada para anggota kami berharap.

Begitulah, selamat malam. Bagi para anggota Orangufriends yang kembali ke rumah masing – masing, tetap hati – hati dan waspada. Saya tahu kalian mengantuk, tapi tugas COD kaos dengan pembeli tetap harus diselesaikan.

FENESIA AND THE REALITY OF OIL

It is difficult to prove that palm plantation farmers are killing orang-utans during their land clearing and planting activities. It is even harder to prove this for the ‘pest control’ (the term that companies often use when referring to the task of hunting). Of course, their employment contract does not state that they officially work to kill wildlife that eat or damage oil palms. Consequently, investigations into orang-utan killings tend to take a long time.

This is all common knowledge for palm oil workers. Most of them often see or become perpetrators. To maintain the security and the continuity of their employment, workers tend to stay away from questions about orang-utans. Fenesia is a witness to how orang-utans and other wildlife can fall victim to companies’ land clearing processes when they have land use permits in the forest. Fenesia once worked for a palm oil company in Muara Wahau. In the same district, the COP was confiscating more than 10 baby orang-utans from the hands of the public and campaigning against three companies that had clearly damaged orang-utan habitats.

Fenesia is just one of many people who ultimately decided to tell this story to the public. Namely, that palm oil companies are the largest contributors to the extinction of orang-utans in Borneo. “Many orang-utans are there and they (the companies) do not care. They only care about their land clearing targets, and the orang-utans are secondary.” Fenesia talks while carrying a baby orang-utan to forest school. Fenesia has now has decided to work with the COP to care for orang-utans. His concern grew from seeing what happened to orang-utans while he was working for the oil company.

Fenesia became the first keeper at the COP Orang-utan Rehabilitation Centre. He saw so much sorrow in orang-utans’ lives. He decided to help them. Do you also choose to help orang-utans? Save or delete, you decide!

 

FENESIA, KENYATAAN DI SAWIT

Sulit untuk membuktikan bahwa pembunuhan orangutan oleh pihak perkebunan sawit dalam kegiataan landclearing maupun tanam baru mereka. Terlebih lagi para pembasmi hama (bahasa yang sering digunakan perusahaan untuk pekerjaan berburu). Memang tidak terikat kontrak kerja yang menyatakan ia secara resmi bekerja untuk membunuh satwa yang memakan atau merusak tanaman sawit tersebut. Karenabeberapa kejadian yang terungkap biasanya memerlukan waktu yang panjang dalam investigasi.

Sebenarnya ini merupakan rahasia umum dalam dunia pekerja kelapa sawit. Kebanyakan dari mereka sering melihat atau menjadi pelaku itu sendiri. Tentu saja untuk menjaga keamanan serta kelangsungan pekerjaanya di perusahaan tersebut, para pekerja cenderung menjauh dari pertanyaan seputar orangutan. Fenesia, merupakan saksi bagaimana proses landclearing oleh perusahaan sawit sering mengorbankan orangutan dan satwa lainnya di hutan tempat perusahaan tersebut mendapatkan Hak Guna Usaha. Fenesia dahulunya merupakan pekerja di sebuah perusahaan kelapa sawit di kecamatan Muara Wahau. Merupakan kecamatan yang sama, saat COP melakukan penyitaan lebih dari 10 bayi orangutan dari tangan masyarakat serta mengkampanyekan 3 perusahaan yang terbukti secara jelas merusak habitat orangutan.

Fenesia hanya satu dari sekian banyak orang yang pada akhinya memutuskan untuk menceritakan hal ini kepada khalayak ramai. Bahwa perusahan sawit memberikan sumbangan terbesar dalam punahnya orangutan di Kalimantan. “Di sana sangat banyak orangutan dan mereka (perusahaan), tidak peduli. Mereka punya target landclearing hanya itu yang mereka perdulikan, orangutan itu urusan belakangan.”, Fenesia bercerita sambil menggendong bayi orangutan berangkat sekolah hutan. Kini Fenesia telah memutuskan untuk berkerja di COP untuk merawat orangutan. Kepeduliannya tersebut beranjak dari rasa iba melihat nasib orangutan sewaktu ia masih berkerja di perusahaan sawit.

Fenesia menjadi keeper pertama di Pusat Rehabilitasi Orangutan COP. Dia melihat begitu banyak duka di dalam kehidupan orangutan. Dia memutuskan untuk membantu orangutan. Apakah anda juga memilih untuk membantu orangutan? Save or delete, you decide!

 

PRAYER LEADER RECRUITED AS ORANGUTAN KEEPER

Kanisius Jahenam was born in the village of Golo Ketak, in the sub-district of Terang, Manggarai. This man, known simply as Kanis, settled in East Kalimantan in 2001. He moved to Kalimantan with the purpose of working for a timber company, since Timber Utilisation Permits were still widely available at the time. More than 100 of these permits were still in operation by the end of 2005.

Kanisius now lives in the village of Merasa, only 16 kilometres from COP’s Center for Orangutan Rehabilitation. Previously, Kasinius worked as a prayer leader in various small Catholic worship stations throughout a number of regional villages in Kalimantan. These experiences led to his being appointed as prayer leader in Merasa’s Santo Petrus church. Every Sunday, he can be found leading worship in the small church just downstream from the village center. His perseverance as a leader has led to various developments in the church, which is now never empty of people coming to pray.

Aside from his devotion to prayer, Kasinius is also known for his love of animals. As a result, in April 2015, he was called to assist COP in their mission to save orangutans. His desire to interact directly with the animals led to his appointment as an orangutan keeper.

“Mankind and animals have the same opportunities in life, and God loves animals with the same strength that He loves humans.”

Such is the philosophy that Kasinius implements in his everyday life. When working with orangutans, Kasinius is famous for being loving and caring. At times, he has even been known to climb trees while holding baby orangutans, to teach them a love for climbing, when their parents have been injured or captured and are unable to do so.

As he says, “If we show love for animals, in turn they will love us as they do their own family.”.

Baby orangutan Michelle is further evidence of this idea. Kasinius has an especially close relationship with Michelle, which has been likened to that of a mother and child. Michelle only follows instructions from Kasinius in jungle lessons, and whenever she becomes sad she immediately seeks him out.

This case shows us that saving orangutans is not only a job, but a calling of the heart. Orangutans do not understand who we are or what our backgrounds are. What they do understand however, is the care we show for them, continuing to work to save their homes and the lives of their future generations.(KAN)

 

PENDOA TERPANGGIL MENJADI KEEPER ORANGUTAN

Kanisius Jahenam merupakan pria kelahiran kabupaten Manggarai, kecamatan Terang, desa Golo Ketak. Pria yang sering disapa dengan nama Kanis ini merupakan perantau di Kalimantan Timur semenjak 2001. Tujuan utama pada saat itu adalah berkerja di perusahan kayu, hal ini dikarenakan memang pada saat itu Ijin Pemanfaatan Kayu di Kalimantan masih sangat banyak. Tercatat setidaknya ada lebih dari 100 ijin penggunaan kayu yang beroperasi hingga pada akhir 2005.

Kanisius kini menetap di desa Merasa, desa yang hanya berjarak 16 km dari Pusat Rehabilitasi Orangutan COP. Sebuah kebetulan Kanisius yang dulunya pernah mengikuti pelatihan memimpin ibadah umat di stasi-stasi kecil Katolik di desa-desa terpencil kini menjadikan dia terpanggil sebagai pemimpin umat gereja Katolik di stasi Santo Petrus desa Merasa. Setiap hari minggu kita dapat menjumpai Kanisius memimpin ibadah di gereja kecil di desa Merasa  bagian hilir. Ketekunannya memimpin umat Katolik ternyata membawa banyak perubahan, kini gereja Katolik Merasa tidak pernah sepi pen-doa.

Di sela kesibukannya sebagai pendoa, Kanisus pun dikenal sebagai penyayang binatang. Sehingga pada April 2015, Ia terpanggil untuk membantu COP dalam misi menyelamatkan Orangutan. Keinginannya untuk berinteraksi langsung dengan orangutan menjadikannya ia terpanggil untuk menjadi perawat orangutan atau sering disebut keeper.

“Manusia dan hewan mempunyai kesempatan yang sama untuk hidup, dan Tuhan mencintai mereka sama besarnya dengan Dia mencintai manusia.”, begitulah pemahaman Kanisius dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Selama menjaga orangutan, Kanisius memang terkenal sebagai penyayang dan penyabar, terkadang ia rela memanjat pohon dan menggendong bayi orangutan hanya agar bayi-bayi orangutan ini mau memanjat. Tentu saja seperti yang pernah ia katakan, “Jika kita mencintai binatang, mereka juga akan mencintai kita layaknya keluarga mereka.” Maka hal ini terbukti pada bayi orangutan bernama Michelle. Ia memiliki kedekatan khusus dengan Kanisius. Layaknya kedekatan ibu dan anak. Michelle hanya mau menuruti perintah Kanisius di setiap sekolah hutan, bahkan ketika Michelle menangis maka ia akan segera berlari dan mendekati Kanisius.

Hal ini mengajarkan kita bahwa menyelamatkan kehidupan orangutan bukan saja hanya sebuah pekerjaan tetapi pilihan hati. Orangutan tidak pernah mengerti siapa kita dan apa latar belakang kehidupan kita. Yang mereka tahu hanyalah kepedulian kita untuk terus menyelamatkan generasi nya dan hutan sebagai rumahnya.(KAN)