YOUR REPORTS – SAVING THE ANIMALS

Thanks to the report of one caring person, an online wildlife trafficker has been arrested in Langsa, East Aceh. 3 infant orangutans were saved along with several other rare species of wild animals. The owner of the online account ‘Habitat Aceh’ is now facing 5 years jail time based on Regulation 5, 1990. This is not the first time an online user has saved wild animals by reporting such crimes to COP. Thanks to their awareness, at least 12 individuals trading wildlife via social networks such as Facebook have been jailed and 167 rare species have been confiscated – including orangutans, bears and clouded leopards. Not bad, eh?

 

Reports that come in to COP will be quickly followed up with more detailed information, after an investigation to ascertain the truth of the situation. Once the facts have been confirmed, COP will communicate the report to the acting authorities – in these cases the police and the Office of Natural Resource Conservation (BKSDA)/Forestry Ministry. With this correspondence we are hoping for enforcement of the law. Until the suspects are caught and successfully brought to the interrogation room, the COP team will keep their mouths shut. Everything will be done swiftly and silently.
So, COP will not brag, make it into some kind of competition, ask for information from the public or pretend like we are chasing suspects. COP will not just turn your reports into a statistic like “online wildlife trafficking has risen 70%”, or “we receive as many as 1000 reports of cases per year”. For COP, the indicator of success in this war on crime will be the number of criminals thrown into jail, not the amount of comments, shares, or likes on Facebook.
That’s the way law enforcement should be done.
And so, COP urges you, the online community, not to rave on about these perpetrators, condemning them and spreading their faces far and wide. This only lets the suspect know that they have become a target, and allows them to quickly cover their tracks, making law enforcement a much more complicated task. Simply report them to us and let us deal with them alongside the authorities.

Once again, remember: Your reports are saving the animals!

 

LAPORANMU, MENYELAMATKAN SATWA

Berkat laporan seorang netizen yang peduli, seorang pedagang satwa liar berhasil ditangkap di Langsa, Aceh Timur. 3 bayi orangutan berhasil diselamatkan bersama dengan beberapa jenis satwa liar langka lainnya. Pemilik akun “Habitat Aceh” itu kini menghadapi tuntutan penjara 5 tahun berdasarkan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1990. Ini bukan pertama kalinya para netizen menyelamatkan satwa liar dengan cara melaporkannya ke COP. Berkat kepedulian mereka, setidaknya 12 orang yang berjualan melalui jejaring sosial seperti Facebook berhasil dipenjara dan 167 satwa langka disita termasuk orangutan, beruang dan macan dahan. Lumayan kan?

Laporan yang masuk ke COP akan segera ditindaklanjuti dengan pendalaman informasi, melalui sebuah penyelidikan untuk memastikan kebenarannya. Jika sudah pasti, COP akan memgkomunikasikannya dengan otoritas yang berwenang, dalam hal ini polisi dan BKSDA/ Kemenhut. Dalam komunikasi itu kami merencanakan operasi penegakan hukum. Sampai si tersangka ditangkap dan berhasil dibawa ke ruang interogasi, tim akan tutup mulut. Semua dilakukan dengan sunyi dan cepat.
Jadi, COP tidak akan berkoar – koar, semacam bikin sayembaralah, minta bantuan informasi ke masyarakatlah atau berpura – pura mengejar si tersangka. COP tidak akan menjadikan laporan anda sebagai bahan statistik seperti ini: perdagangan satwa online meningkat 70% atau kami menerima pengaduan sebanyak 1000 kasus per tahun. Bagi COP, indikator suksesnya perang melawan kejahatan adalah banyaknya orang dijebloskan ke penjara, bukan banyaknya komentar, bagi atau suka di Facebook. Begitulah seharusnya penegakan hukum dijalankan.
Bersama ini COP menghimbau kepada Netizen untuk tidak berkoar – koar mengutuk pelaku kejahatan dan menyebarluaskan secara sporadis dan brutal. Kegoblokan seperti ini hanya akan membuat si tersangka sadar bahwa dirinya sudah jadi target masyarakat dan lalu dia menghapus jejaknya. Maka penegakan hukum makin rumit dilakukan. Cukup laporkan kepada kami dan biarkan kami yang menyelesaikannya bersama otoritas yang berwenang.
Sekali lagi, ingatlah: Laporanmu menyelamatkan satwa!

ANIMAL TRADERS ARRESTED IN BKSDA ACEH. 3 INFANT ORANGUTANS SAVED

Aceh’s Natural Resource Conservation Organisation (BKSDA) has succeeded in arresting a suspected wild life trader in Langsa, East Aceh.  In the operation, the team confiscated 3 (three) orangutan, 3 (two) Brahminy Kites, 1 (one) Kuau King bird and I (one) protected clouded leopard. The suspect was detained in the Police Head Quarters in Aceh.

“This operation is the first of its kind in Aceh. The success of this operation is thanks to the solid support from the regional police team, OIC from Medan and COP from Jakarta.  The next major task is ensuring the suspect is punished to the full extent of the 5th law under the 1990 Conservation of Natural Resources and Ecosystem Act.” , stated Genman Hasibuan, the Head of BKSD Aceh.

Daniek Hendarto, Manager of the Anti-Crimes against Wild Life from the Centre for Orangutan Protection (COP) explained “The mother of the three infants which were confiscated had obviously been killed by the poachers.  Without the establishment of harsh laws, orang-utans will continue to die in this manner.  A light sentence will only make the perpetrators return to their business because the potential profit is so large. From the hands of a poacher, a trader can receive between 500 thousand to 1 million rupiah and then can sell the animal on the market for 5 to 10 million rupiah.  On the international market, the price of an orangutan can be estimated at 400 million rupiah

“The majority of animals which are traded have been taken from the wild including the Leuser Ecosystem. Poaching and trading often causes suffering and unnecessary death for the wild life and disturbs the ecosystem. It is time that Indonesia seriously fights this crime. OIC will mobilise all of its potential so that the suspect receives the maximum punishment, that is 5 years imprisonment and a fine of 100 million rupiah.”, asserted  Panut Hadisiswoyo, Director of the Orangutan Information Centre.

So far, in the year 2015, COP has already exposed 2 cases of orangutan trade online. 4 infant orang-utans have already been saved along with tens of birds and other mammals associated with these cases. The Centre for Orangutan Protection through the APE Warrior team is fighting the illegal wild life trade. #PERANGIPERDAGANGANSATWALIAR

 

PEDAGANG DITANGKAP BKSDA ACEH, 3 BAYI ORANGUTAN SELAMAT

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh berhasil menjebak seorang tersangka pedagang satwa liar di Langsa, Aceh Timur. Dalam operasi tersebut, tim menyita 3 (tiga) orangutan, 2 (dua) elang bondol, 1 (satu) burung kuau raja dan 1 (satu) awetan macan dahan. Tersangka langsung ditahan di markas Polda Aceh.

“Operasi ini merupakan yang pertama kali dilakukan di Aceh. Suksesnya operasi ini berkat dukungan tim yang solid dari Polda, OIC dari Medan dan COP dari Jakarta. Tugas berat selanjutnya adalah memastikan tersangka mendapatkan hukuman seberat – beratnya sesuai dengan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.”, kata Genman Hasibuan, Kepala BKSDA Aceh

Daniek Hendarto, Manager Anti Kejahatan Satwa Liar dari Centre for Orangutan Protection (COP) menjelaskan, “Induk dari 3 bayi orangutan yang disita, jelas sudah dibunuh oleh pemburunya. Tanpa penegakan hukum yang keras, korban orangutan akan terus berjatuhan. Hukuman yang ringan hanya akan membuat para penjahat kembali ke bisnisnya karena keuntungannya sangat besar. Dari tangan pemburu, seorang pedagang mendapatkan harga antara 500 ribu hingga 1 juta rupiah dan kemudian dijualnya di pasaran seharga 5 sampai 10 juta rupiah. Di pasaran internasional, harga bayi orangutan ditaksir 400 jutaan rupiah.”

“Hampir sebagian besar satwa liar yang diperdagangan adalah tangkapan dari alam, termasuk dari Ekosistem Leuser. Perburuan dan perdagangan seringkali menimbulkan penderitaan dan kematian yang tidak perlu pada satwa liar dan mengacaukan ekosistem. Sudah saatnya Indonesia serius memerangi kejahatan ini. OIC akan mengerahkan segenap potensinya agar si tersangka bisa mendapatkan hukuman maksimal, yakni penjara 5 tahun dan denda 100 juta rupiah.”, tegas Panut Hadisiswoyo, Direktur Orangutan Information Centre

Selama tahun 2015 ini, COP telah membongkar 2 kasus perdangangan orangutan secara online. Ada 4 bayi orangutan yang telah diselamatkan dan puluhan burung serta belasan mamalia lainnya dalam kasus perdagangan tersebut. Centre for Orangutan Protection melalui tim APE Warriornya memerangi perdagangan satwa liar #PERANGIPERDAGANGANSATWALIAR

A CERTIFICATE IS NOT ENOUGH, COMMIT NOW !

The Centre for Orangutan Protection (COP) believes that a certificate is not enough for a company to claim that a palm oil product is environmentally friendly. In reality, certificates are often merely a document on a table and do not reflect the actual conditions in the field. Based on the COP watch list which was started in 2007, companies who are members of RSPO are intentionally not meeting the principles and criteria of the RSPO to the extent that their operations often sacrifice forest and orangutans. Although it started in 2001 and has been going for 14 years, violations still continue.  Strangely, companies who commit violations, are not removed from the RSPO. The RSPO has become a green shield which protects palm oil companies who commit crimes. The RSPO could lose its credibility if it fails to act decisively.

Commitment is needed for the palm oil industry to become an industry which is friendly to the forests and orangutans and that commitment must be monitored. The COP asserts that it is ready to provide real information to players in the palm oil businesses to ensure the ‘greenness’ of their business.

COP thanks The Palm Oil Investigation and The Forest Trust who have already facilitated this important meeting to open the eyes of the palm oil industry in Australia and formulate actions which are required to help the conservation of orangutans and their habitat.

 

SERTIFIKASI SAJA TIDAK CUKUP, KOMITMEN SEKARANG

Pusat Perlindungan Orangutan (COP) menekankan bahwa sertifikasi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa sebuah produk kelapa sawit bisa dikatakan sebagai produk yang ramah lingkungan. Pada kenyataannya, sertifikasi seringkali berupa dokumen di atas meja yang tidak memcerminkan kondisi sesungguhnya di lapangan. Berdasarkan pantauan COP sejak tahun 2007, perusahaan – perusahaan anggota RSPO secara sengaja tidak menjalankan Prinsip dan Kriteria sehingga operasinya seringkali mengorbankan hutan dan orangutan. Meskipun dimulai sejak tahun 2001 atau sudah berjalan selama 14 tahun, namun pelanggaran – pelangaran masih terus terjadi. Anehnya, keanggotaan mereka dari RSPO tidak dicabut. RSPO telah dijadikan tameng hijau untuk melindungi kejahatan perusahaan sawit yang nakal. RSPO dapat kehilangan reputasinya jika tidak bertindak tegas.

Dibutuhkan komitmen untuk menjadi sebuah industri yang ramah bagi hutan dan orangutan. Dan komitmen itu harus dipantau. COP menegaskan bahwa pihaknya siap memberikan informasi yang sesungguhnya bagi para pelaku bisnis kelapa sawit guna memastikan ke-hijau-an mitra bisnisnya.

COP mengucapkan terima kasih kepada Palm Oil Investigation dan The Forest Trust yang telah memfasilitasi pertemuan penting ini guna membuka mata industri kelapa sawit di Australia dan merumuskan tindakan yang dianggap perlu untuk membantu perlindungan orangutan dan habitatnya.

NOVI CLIMBS HIS FIRST TREE

The day is clear, several wild gibbons sing from the top of the forest canopy. Deer and mouse deer call back and forth to each other signifying that the night has passed.

A fly rises from the dung in the cage the keeper is hosing out.

Yes, today in the first day that a young orang-utan named Novi will start forest school. The door of her cage screeches as it opens and a keeper calls for Novi to leave the cage. Novi appears hesitant to approach the keeper however he coaxes her out with a glass of milk.

Finally, Novi climbs onto the keepers’ shoulder, still confused, Novi stays there as he walks along the narrow trail towards the forest school. “Welcome to the forest school Novi”, says another keeper who arrived previously at the forest school with other young orang-utans.

Novi appears frightened and confused as she tries to go higher, then dangles from a branch to look around, while biting a root and anything else which he can reach with his hands. Novi moves quickly from one branch to another, like he is trying to run away from the keeper. He grabs a rattan root and injures her hand. Finally Novi decides to return to the first branch where he dangled from.

After twenty minutes has past, Novi is brave enough to move away from the keeper, he moves quite quickly between small trees, twisting his body between small branches, again and again. Novi now appears happier.

His mouth does not seem to want to stop chewing leaves and rattan roots, however he doesn’t take his eyes off an insect which goes by. Novi is like a young child happily playing in a pond full of sweets.

Every now and again Novi appears confused, he goes quiet at the continuous sound of birds calling back and forth. She tries again to climb higher to find the bird, but unsurprisingly, once he is five steps in front of it, the bird screeches and flies far away from him.

Novi is one the orang-utans who have been successfully rescued from the Kongbeng area by the team from the Centre for Orang-utan Protection (COP). Novi was first found, malnourished in a space underneath a house with a chain tied around her neck. The chain, which for five years tortured his day and night still leaves a scar. His only friend at that time was the poacher’s dog.

After five years of suffering, finally Novi has another opportunity to return to the forest, he is now in COP Kalimantan along with fourteen other friends to return to school so that they can become complete orang-utans (NUS)

 

NOVI MEMANJAT POHON PERTAMANYA

Ini adalah hari yang cerah, beberapa owa liar bernyanyi di atas kanopi hutan. Rusa dan kijang berteriak memanggil pulang menandakan malam telah berlalu. Seekor lalat terbang dari sisa kotoran di kandang setelah keeper membersihkannya dengan air.

Ya, hari ini, hari pertama orangutan muda bernama Novi berangkat ke sekolah hutan. Sreeeeeet bunyi pintu kandang terbuka, seorang keeper memanggil Novi untuk keluar dari kandang. Novi tampak ragu mendatangi keeper, namun keeper berusaha meyakinkan Novi dengan segelas susu.

Akhirnya Novi naik di atas punggung keeper, meski masih kebingungan, Novi tetap saja berada di bahu keeper melewati jalan setapak menuju sekolah hutan.

Selamat datang di sekolah hutan Novi, kata seorang keeper yang lebih dahulu datang bersama orangutan muda lainnya di area sekolah hutan.

Novi tampak merindinging dan kebingunan di atas akar, ia mencoba naik lebih tinggi kemudian bergelantungan untuk melihat sekeliling, serta menggigit akar apapun yang dapat ia raih dengan tangannya. Novi berpindah dari akar satu ke akar lainnya dengan sangat cepat, seperti berusaha lari dari keeper. Ia menarik akar rotan sehingga tangannya terluka. Pada akhirnya Novi memutuskan untuk kembali ke akar pertama di mana ia bergelantungan.

Setelah 20 menit berlalu, Novi memberanikan diri untuk menjauh dari keeper, ia bergerak dengan sangat cepat di antara pepohonan kecil, memutarkan badannya di antara ranting, lagi, lagi dan lagi. Novi tampak begitu senang.

Mulutnya tampak tak mau berhenti mengunyah daun, akar, ranting, bahkan serangga yang lewat pun tak luput dari matanya. Novi tampak seperti anak kecil yang begitu senang bermain di dalam kolam penuh dengan permen.

Sesekali Novi tampak bingung, ia terdiam karena suara burung bersahutan tanpa henti. Ia mencoba naik lebih tinggi untuk menemukan burung itu, namun sepertinya burung masih enggan berbicara dengan terbang jauh dari Novi ketika 5 langkah lagi sampai di depan burung tersebut.

Novi adalah salah satu orangutan yang berhasil diselamatkan oleh tim Centre for Orangutan Protection (COP) dari kecamatan Kongbeng. Saat pertama kali ditemukan Novi dalam kondisi yang sangat kurus, saat itu Novi diletakkan di kolong rumah dengan rantai terikat di leher. Rantai yang sudah 5 tahun menyiksanya siang dan malam masih meninggalkan bekas. Hanya anjing pemburu lah yang menjadi teman Novi saat itu.

Setelah 5 tahun penderitaan itu akhirnya Novi mendapat kesempatan kedua untuk kembali ke hutan. Ia kini berada di COP Kalimantan  bersama 14 temannya yang lain untuk kembali sekolah agar dapat menjadi orangutan seutuhnya. (NUS)

STOP THE EXPLOITATION OF ORANGUATAN FOR CIRCUSES AND PHOTOGRAPHS

Orangutans are being forced to work to make money for off-site conservation institutions such as zoos and safari parks. They are put through harsh and rigorous training so that they can appear in photographs with visitors, dance on music stages, or perform in circus shows. The Centre for Orangutan Protection (COP) views these practices as harsh and inhumane and demands their immediate abolition.

Today, a group of COP supporters, members of Orangufriends, launched their campaign simultaneously in 9 cities: Jakarta, Denpasar, Banda Aceh, Bandung, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang and Samarinda. This campaign is known as #orangutanbukanmainan or #orangutanarenottoys.

Following are statements from the campaign coordinators in each city.

“One of the main goals for off-site conservation foundations is education. Orangutan exploitation is not humorous, but unethical. These harsh businesses will continue to survive if society supports them by buying tickets to shows or paying to appear in photographs with orangutans”, said Desya Maharani, a member of Orangufriends Yogyakarta.

“Circuses and photo opportunities with orangutans set a bad example, and demonstrate a disregard for the values of education and understanding about orangutan lives, for which these institutions are supposed to stand. It is no longer appropriate for society to visit these institutions and watch orangutans as circus entertainment or pose for photographs with them”, said Vilinda Maya Marvelina, member of Orangufriends Malang.

“It is not necessary to use circuses or photo opportunities with orangutans to entertain visitors and bring in income for zoos. Clear and accurate education about wildlife must become the priority for these institutions. It’s time to replace circus entertainment with information”, said Ikhwanussafa Sadidan, coordinator of Orangufriends, Bandung.

“The activities performed by orangutans on the circus stage or in photographs with guests do not constitute natural orangutan behaviour. Orangutans have to undergo long training processes to learn to perform these actions. It is clear that this is not how orangutans behave in their natural environment”,said Mawar Purba, coordinator of Orangufriends, Surabaya.

“Orangutans share 97% of their DNA with humans, and therefore can experience emotions such as sadness, fear, love and oppression. Circuses and forced photographs with orangutans constitute a form of mistreatment which we as a society must not support financially”, said Indira Nurul Qomariyah, coordinator of Orangufriends, Solo.

“Orangutans are an international icon for wildlife conservation. Now their very existence is under threat, and it is time for those in management positions to raise their understanding and respect for this issue, and put a stop to these exploitative practices. Circuses and photographs with orangutans do not provide a learning experience, and are not in line with the values of conservation,” said Bintang Dian Pertiwi, coordinator of Orangufriends, Jakarta.

“Orangutans have already been pushed out of their natural environments because of the actionss of mankind. Now in off-site conservation fields, orangutans are still suffering mistreatment at the hands of humans. It is important for these animals to receive protection and better living standards, rather than being made into a source of entertainment in circuses and photographs”, said Andro Sulopadang, coordinator of Orangufriends, Samarinda, East Kalimantan.

“Bali is a beautiful destination for international tourists, and yet in many in zoos, orangutans can still be found in circus shows and being forced into photographs. We should be embarrassed that we are continuing with activities that are already illegal in many nations”, said Rian Winardi, coordinator of Orangufriends, Bali.

“Rescue teams often save baby orangutans whose parents have already died, sometimes as a result of the expansion of palm oil plantations. This fact is not revealed to park visitors. All attempts to educate society about orangutan lives will continue to fail until visitors can understand this context behind the seemingly happy orangutans that appear in circus shows and photographs”, said Ratno Sugito, coordinator of Orangufriends, Aceh.

For further information and interviews please contact:

Rian Winardi, Campaign Coordinator of Orangufriends Bali

Mobile Phone: 085245905754

Vilinda Maya Marvelina, Campaign Coordinator of Orangufriends Malang

Mobile Phone: 085230453454

Mawar Purba, Campaign Coordinator of Orangufriends Surabaya

Mobile Phone: 082230957562

Indira Nurul Qomariyah, Campaign Coordinator of Orangufriends Solo

Mobile Phone: 08567634086

Destya Maharani, Campaign Coordinator of Orangufriends Yogyakarta

Mobile Phone: 083869533631

Bintang Dian Pertiwi, Campaign Coordinator of Orangufriends Jakarta

Mobile Phone: 081212715451

Ikhwanussafa Sadidan, Campaign Coordinator of Orangufriends Bandung

Mobile Phone: 085624066740

Andro Sulopadang, Campaign Coordinator of Orangufriends Samarinda, Kalimantan Timur

Mobile Phone: 081350355822

Ratno Sugito, Campaign Coordinator of Orangufriends Aceh

Mobile Phone: 085360866756

STOP EKSPLOITASI ORANGUTAN SEBAGAI SIRKUS DAN PROPERTI FOTO
Orangutan dipaksa bekerja untuk menghasilkan uang di Lembaga-Lembaga Konservasi Ex Situ seperti Kebun Binatang dan Taman Safari. Orangutan harus dilatih dengan keras dan kejam agar dapat digunakan sebagai properti foto bersama dengan pengunjung, menari di pentas musik atau bermain di sirkus atau pentas satwa. Centre for Orangutan Protection (COP) memandang bahwa praktek – praktek seperti ini harus segera dihentikan karena kejam dan tidak mendidik.
 
Pada hari ini, kelompok pendukung COP yang tergabung dalam Orangufriends menggelar kampanye serentak di 9 kota, yakni Jakarta, Denpasar, Banda Aceh, Bandung, Yogya, Solo, Surabaya, Malang dan Samarinda. Kampanye ini lebih dikenal dengan #orangutanbukanmainan. 
 
Berikut ini pernyataan para koordinator kampanye dari masing – masing daerah: 
 
“Salah satu misi utama Lembaga Konservasi Ex Situ adalah pendidikan. Eksploitasi orangutan adalah tindakan yang tidak lucu dan salah. Bisnis kejam seperti ini akan terus berlangsung bila masyarakat mendukungnya dengan membeli tiket pertunjukan atau membayar untuk bisa berfoto bersama orangutan.”, kata Destya Maharani, anggota Orangufriends Yogya. 
 
“Sirkus dan foto bersama orangutan merupakan edukasi yang keliru dan tidak memiliki nilai edukasi apapun tentang kehidupan orangutan. Sudah sepantasnya masyarakat tidak perlu mengunjungi dan menonton hiburan sirkus dan foto bersama orangutan.”, kata Vilinda Maya Marvelina, anggota Orangufriends Malang.
 
“Tidak perlu menggunakan sirkus dan foto bersama orangutan untuk mengejar daya tarik pengunjung dan pemasukan pendapatan kebun binatang. Pendidikan yang baik dan benar tentang satwa liar bagi pengunjung perlu menjadi prioritas dan sudah sepantasnya kebun binatang mengganti hiburan sirkus dan foto bersama orangutan dengan metode informasi yang lebih mendidik tanpa sirkus dan foto bersama Orangutan.”, Ikhwanussafa Sadidan, Kordinator Kampanye Orangufriends Bandung.
 
“Setiap gerakan yang ditampilkan orangutan dalam panggung hiburan sirkus dan foto bersama orangutan bukan merupakan gerakan alaminya. Orangutan akan menjalani pelatihan panjang untuk setiap gerakan ini dan ini jelas bahwa bukan gerakan alaminya orangutan layaknya di alam liar.”,  Mawar Purba, Kordinator kampanye Orangufriends Surabaya.
 
“Orangutan memiliki 97% DNA yang sama dengan manusia, orangutan bisa memiliki rasa sedih, tertekan, jatuh cinta dan takut. Sirkus dan foto dengan orangutan adalah bentuk pemaksaan terhadap orangutan yang sudah sepantasnya kita sebagai masyarakat tidak mendukung dengan mengunjungi sirkus dan berfoto dengan orangutan.”, Indira Nurul Qomariyah, Kordinator Kampanye Orangufriends Solo.
 
“Orangutan merupakan salah satu ikon konservasi satwa di dunia Internasional. Keberadaannya sangat terancam dan sudah sepantasnya pihak pemangku kepentingan sadar dan memahami serta menghormati dan menghentikan praktek exploitasi ini. Sirkus dan foto bersama orangutan tidak mendidik dan bukan upaya konservasi.”, Bintang Dian Pertiwi, Kordinator Kampanye Orangufriends Jakarta.
 
“Di habitat aslinya orangutan sudah terdesak dan tergusur oleh aktivitas manusia. Dan di lembaga konservasi Ex Situ Orangutan masih mendapatkan perlakuan yang tidak baik. Digunakan untuk sirkus dan foto bersama orangutan. Sudah sepantasnya mereka mendapatkan perlindungan dan kehidupan yang baik bukan menjadi ajang hiburan seperti sirkus dan foto bersama orangutan.”, Andro Sulopadang, Kordinator Kampanye Orangufriends Samarinda, Kalimantan Timur.
 
“Bali merupakan salah satu tujuan pariwisata yang indah namun di beberapa kebun binatang masih menjadikan orangutan sebagai Objek sirkus dan foto bersama orangutan. Seharusnya kita malu karena di beberapa negara maju kegiatan sirkus yang melibatkan satwa liar sudah dilarang.”, Rian Winardi, Kordinator Kampanye Orangufriends Bali.
 
“Tim penyelamat orangutan terkadang menyelamatkan bayi-bayi orangutan tanpa induk yang kemungkinan sudah mati akibat terdampak ekspansi perluasan lahan kelapa sawit. Fakta ini tidak pernah diungkap dengan baik dan pendidikan masyarakat akan gagal manakala masyarakat masih memahami konteks bahagia semu orangutan dalam panggung hiburan sirkus dan foto bersama orangutan.”, Ratno Sugito, Kordinator Kampanye Orangufriends Aceh.
 
Untuk informasi dan wawancara silahkan menghubungi:
 
Rian Winardi, Kordinator Kampanye Orangufriends Bali
Mobile Phone: 085245905754
 
Vilinda Maya Marvelina, Kordinator Kampanye Orangufriends Malang
Mobile Phone: 085230453454
 
Mawar Purba, Kordinator Kampanye Orangufriends Surabaya
Mobile Phone: 082230957562
 
Indira Nurul Qomariyah, Kordinator Kampanye Orangufriends Solo
Mobile Phone: 08567634086
 
Destya Maharani, Kordinator Kampanye Orangufriends Yogyakarta
Mobile Phone: 083869533631
 
Bintang Dian Pertiwi, Kordinator Kampanye Orangufriends Jakarta
Mobile Phone: 081212715451
 
Ikhwanussafa Sadidan, Kordinator Kampanye Orangufriends Bandung
Mobile Phone: 085624066740
 
Andro Sulopadang, Kordinator Kampanye Orangufriends Samarinda, Kalimantan Timur.
Mobile Phone: 081350355822
 
Ratno Sugito, Kordinator Kampanye Orangufriends Aceh.
Mobile Phone: 085360866756

Debbie underwent minor operation

Living in a cage with unfriendly mate was a long misery for Debbie. She was translocated to her new home at the COP Borneo. She have her own room. We provide her best care she deserve. Yesterday, she underwent minor operation to cure her wound. She was bitten by Ambon while in the KRUS Zoo. Get well soon Debbie.

 

Tinggal sekandang dengan teman yang tak ramah adalah derita panjang yang dilalui Debbie selama bertahun – tahun di Kebun Binatang KRUS Samarinda. Kini dia sudah dipindahkan ke tempat kami dan menikmati kamar pribadinya. Kami memberikan perawatan terbaik yang dibutuhkannya. Kemarin kami melakukan operasi kecil untuk mengobati luka bekas gigitan si Ambon. Kami mengeluarkan nanah dan belatung dari lukanya. Lekas sembuh ya Debbie.

 

 

PATTY SHENKER: CONNECTING PEOPLE

3 months ago we had to pause our work as we have to conduct search and rescue operation. 2 students lost while doing field research in Labanan forest. The SAR operation become more complicated as our radio are broken already. 3 days later we found them.  The problem will not till we have proper radio. Our site size is 10 hectares. We still have to work around 7900 hectares . It is impossible to communicate with mobile phone. No BTS tower there. The only solution is radio. Thanks to Patty Shenker for providing solution. Now we have Handy Talky Radio. Communication is much more easier now. We are all well connected now. We plan to improve it to DSTAR, a digital system that allow us to connect with internet. Let see.

 

3 bulan yang lalu kami harus menghentikan kerja kami karena harus melaksanakan operasi pencarian dan penyelamatan. 2 orang siswa hilang dalam penelitian lapangan di hutan Labanan. Operasi SAR menjadi makin rumit karena radio kami sudah rusak. 3 hari kemudian kami menemukan mereka. Masalah tidak akan berhenti sampai kami memiliki radio yang memadai. Ukuran situs kami seluas 10 hektar dan kami masih bekerja di kawasan seluas 7900 hektar. Tidak mungkin berkomunikasi dengan telepon genggam karena tidak ada menara BTS. Solusi satu satunya adalah radio. Terima kasih kepada Patty Shenker yang memberikan solusi. Kini kami memiliki radio radio HT. Komunikasi menjadi semakin mudah. Kami semua terhubung satu sama lainnya. Kami berencana meningkatkannya menjadi DSTAR, sebuah system digital yang memungkinkan kami tersambung dengan internet. Lihat saja nanti.

 

RESCUED: UNYIL.

Following report from the COP’s APE Crusader Team, a team from Wildlife Authority and COP’s APE Defender Team rescued Unyil, a 4 years old who live inside a toilet. Once he arrived in the centre, our vet Imam do several check. Unyil have to be quarantined for a while until we determine wether he is free or not from any contagious diseases like Tuberculin and Hepatitis.

Unyil case is very common in Indonesia. People try to help animals from trade and be the hero in the wrong ways. They pay the proposed price from traders and look after them as family members. The ex owner of Unyil even celebrated Unyil’s “birthday” every Valentine Day, give him human food and shower him everyday.

Menindaklanjuti laporan dari tim APE Crusader, maka tim gabungan dari BKSDA dan APE Defender segera bergerak untuk menyelamatkan Unyil, anak orangutan berusia 4 tahun yang tinggal dalam sebuah toilet. begitu sampai di tempat kami, dokter hewan Imam melakukan beberapa test. Unyil harus dikarantina dulud beberapa waktu untuk menentukan apakah dia mengidap penyakit menular Tubercolusis dan Hepatitis.

Kasus seperti Unyil sangat umum terjadi di Indonesia. Orang – orang mencoba menolong satwa dari perdagangan dengan membelinya. Mereka membayar harga yang diatwarkan penjual dan memperlakukannya sebagai anggota keluarga. Pemilik Unyil bahkan merayakan “ulang tahun” Unyil setiap Hari Valentine, memberikannya makanan manusia dan memandikan setiap hari.

 

I AM NESTING

Nesting is an essential skill for orangutan. They have to build a nest for sleep in the canopy, away from predators. They learn it from mom. For orphaned orangutans in the rehab centre, the will learn it from baby sitter or technician as surrogate mother. Many of them still remember the lesson they learnt when their mother still alive. So we just need to give them opportunities as much we can to develop their skill during forest school or even inside the cage. We provide leaves inside the cages before evening. Many of them are expert now, just like wild one. We confidence to release 3 of them to wild in the next semester. Keep support us to create second chance to them to be wild and free orangutan.

Membuat sarang adalah keahlian yang harus dimiliki orangutan. Mereka harus membuat sarang untuk tidur di tajuk pohon, jauh dari jangkauan pemangsa. Mereka mempelajari keahlian itu dari induknya ketika mereka masih hidup. Bagi orangutan yatim piatu, mereka mempelajarinya dari baby sitter atau teknisi sebagai ibu pengganti. Banyak diantara mereka masih ingat pelajaran yang didapat dari ibunya. Jadi kami hanya menyediakan sebanyak mungkin kesempatan untuk melatih keahliannya selama sekolah hutan atau bahkan di dalam kandang. Kami menyediakan dedaunan di dalam kandang sebelum malam. Banyak diantara mereka sudah sangat ahli selayaknya orangutan liar. Kami percaya diri bisa melepasliarkan mereka di semester depan. Tetap dukung kami menciptakan kesempatan kedua bagi mereka untuk hidup bebas di alam.

FROM BOSF WITH LOVE

Finally, all the 13 orangutans arrived in their new home at the COP Borneo. Labanan Forest is a prefect place for rehabilitation as well as sanctuary for Ambon, Debby and Memo. No more people intervene their privacy. This big job would not done without support from our ally Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF). They deployed a vet and 6 keepers to assist COP. So, 50% percent of this success was belong to BOSF. It is impossible for us to do it alone as COP just a tiny organisation. We only have 1 vet and 6 keepers at the moment.

This is not the first time for COP and BOSF teams to work together. It was not difficult for COP and BOSF team together as team as we have similar standard. Our Principal, Hardi was the assistant for Lone Nielsen in BOSF Nyarumenteng several years ago. He just adopt and implement what he learn from the Guru. We show to the world that partnership is good to achieve our common goal.

Akhirnya, ke 13 orangutan itu tiba di rumah barunya di COP Borneo. Hutan Labanan adalah tempat yang sempurna untuk rehabilitasi dan pensiun bagi Ambon, Debby dan Memo. Tidak ada lagi orang yang bisa mengganggu privasi mereka. Kerja besar ini tidak akan beres tanpa dukungan dari sekutu kami Yayasan BOS. Mereka menerjunkan 1 dokter hewan dan 6 perawat to membantu COP. 50% dari sukses ini adalah milik mereka. Tidak mungkin bagi kami untuk melakukannya sendiri karena kami hanya organisasi mini. Kami hanya punya 1 dokter hewan dan 6 perawat saat ini.

Ini bukan yang pertama bagi tim COP dan BOSF. Tidak sulit bagi tim COP dan BOSF dalam bekerja bersama karena kami punya standar yang mirip. Ketua kami, Hardi, dulunya adalah asisten Lone Nielsen di BOSF Nyarumenteng beberapa tahun lalu. Dia hanya mengadopsi dan menjalankan apa yang dipelajari dari gurunya.  Kami menunjukkan pada dunia bahwa kerjasama itu baik untuk mencapai tujuan bersama.