PERDAGANGAN SATWA LIAR PICU PANDEMI LAINNYA

Pada Februari 2020 silam, pemerintah Cina secara resmi melarang impor satwa liar sekaligus mengeluarkan peraturan yang melarang warganya mengkonsumsi satwa liar. Awalnya, diyakini secara luas bahwa COVID-19 kemungkinan besar berasal dari pasar hewan di Wuhan, hal ini didukung dengan survei bahwa mayoritas orang di Cina rela menyerahkan satwa liar sebagai makanan. Walaupun aturan ini sifatnya sementara, beberapa ahli menganjurkan agar pelarangan itu bersifat permanen. Ini memang sesuatu yang dilematis, ketika mengkonsumsi satwa liar sudah menjadi budaya. Karena negara gingseng ini, memperdagangkan satwa liar dan mengkonsumsinya dapat menjadi gengsi.

Jika melihat daftar satwa yang dikonsumsi tersebut, sebagian merupakan binatang langka yang statusnya dilindungi. Makanya perdagangan satwa belakangan ini mengakitbatkan satwa tertentu masuk List Merah IUCN. Beberapa di antaranya akibat masif diperdagangkan sehingga berstatus kritis, di ambang punah di alam aslinya. Berdasarkan hasil pantauan terakhir IUCN, populasi satwa ini menurun hingga 80 persen dalam 21 tahun terakhir.

Di Indonesia, masih banyak masyarakat yang gemar memelihara satwa liar dengan dalih hobi. Satwa-satwa liar itu diburu dan diperdagangkan baik secara individu maupun kelompok. Maraknya perdagangan dan penyeludupan satwa secara ilegal ditimbulkan oleh permintaan pasar yang dipicu oleh pola konsumsi, gaya hidup dan sikap hedonistik manusia yang selalu ingin mencari hal baru.

Pasar burung merupakan salah satu contoh aktivitas perdagangan satwa secara terbuka yang ada di Indonesia. Di tempat ini spesies satwa dan tumbuhan diperjualbelikan secara langsung kepada para pembeli. Pasar ini dapat ditemukan di kota-kota besar hingga menyebar ke daerah-daerah pelosok. Pasar ini dapat ditemukan di kota-kota besar hingga menyebar ke daerah -daerah pelosok. Hampir sebagian para penghobi satwa pergi ke pasar burung untuk mendapatkan satwa yang diinginkan. Di Jakarta terdapat salah satu pasar burung yang berdiri sejak tahun 1975. Di pasar ini dapat ditemukan burung lokal seperti Perkutut Jawa, Cucakrawa, Prenjak, Kepondang kuning, Nuri Irian, Dara, Merpati, Beo dan Kenari.

Jika masuk lebih ke dalam pasar, kita akan dikejutkan karena pasar burung ini ternyata tidak semata menjual burung, akan tetapi juga menjual berbagai jenis satwa liar lainnya termasuk primata. Tak hanya itu, kondisi kandang satwa yang diperjualbelikan sangat jauh dari kata layak. Beberapa satwa hanya ditaruh pada kandang kecil dan ditumpuk bersusun dengan kandang-kandang yang lain. Berbagai macam satwa berjajar tan jarak dan tak sedikit yang berbagi kotoran dengan satwa lainnya. Dengan kondisi yang sangat memprihatinkan ini, tak heran jika satu per satu satwa akan mati dengan sendirinya. Karena tidak semua satwa mampu bertahan dan jika merupakan satwa hasil tangkapan liar, akan lebih beresiko kematian. Hal ini patut dijadikan perhatian khusus, dimana tempat jual beli satwa tersebut bisa jadi potensi penyebaran virus yang berbahaya. Beberapa studi yang dilakukan para peneliti diyakini, bahwa satwa buruan yang diperjualbelikan dapat membawa berbagai macam virus pathogen. Perdagangan satwa liar dan pasar hewan hidup merupakan kecelakaan pandemi yang menunggu untuk terjadi.

Satu tahun lebih pandemik berjalan, semakin ke sini orang-orang makin melupakan kemungkinan kaitan COVID-19 dengan satwa liar dan hampir tidak ada lagi yang membicarakannya. Ketakutan tertular virus karena satwa liar pada tahun lalu tidak ada lagi. Di sisi lain pasar perdagangan satwa liar malah makin marak di masa pandemi. Orang tampak tidak kawatir lagi memelihara bahkan mengkonsumsi satwa liar.

Indonesia merupakan salah satu pemasok satwa liar yang diperdagangkan. Pada 2017, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat pendapatan dari perdagangan itu mencapai Rp 8,7 M. Sebagian dari perdagangan itu sudah berasal dari penangkaran. namun permintaan pasar yang masif dan tidak mudahnya menangkar satwa liar mengakibatkan perburuan liar yang tidak mudah dikendalikan. Banyak satwa tersebut diburu dan diperdagangkan secara ilegal. (SAT)

MONYET ADALAH SATWA LIAR

Terimakasih Orangufriends, kamu menyelamatkan dua monyet ini dan memberikan kesempatan kedua untuknya hidup lebih baik lagi. Seminggu yang lalu di belakang sebuah restoran tengah sawah di Yogyakarta, kedua monyet ini dikurung dalam kandang kecil beratapkan seng dan terpal bekas banner. Laporan mahasiswi ini ditindak-lanjuti WRC (Wildlife Rescue Center) Jogja dan tim APE Warrior COP.

Selasa pagi, bersama lima Orangufriends (relawan orangutan), tim telah tiba di lokasi. “Namanya juga satwa liar, pasti galak lah. Ya gitu masih aja dipelihara. Kecil sih lucu, tambah besar…”, ujar Satria Wardhana, kapten APE Warrior tanpa meneruskan kalimatnya. Dokter hewan WRC terpaksa melakukan pembiusan untuk mempercepat proses evakuasi. Tepat pukul 13.00 WIB, kedua monyet ekor panjang ini sudah masuk kandang angkut dan siap dibawa ke WRC Jogja.

Kedua monyet itu telah dipelihara selama 3 tahun. Menurut si pemilik, ia mendapatkan satwa ini saat masih bayi dan dibeli dari pedagang satwa yang ada di Yogyakarta. Setelah sekian lama dipelihara, monyetnya semakin besar dan galak. Pemilik sudah kewalahan dan akhirnya kebingungan dan melemparkan persoalan ini ke siapa saja termasuk pecinta satwa. “Hal ini merupakan alasan klasik para pecinta primata sebagai kedok membuang satwa peliharaannya”, kata Satria lagi.

Menjadikan monyet ekor panjang sebagai hewan peliharaan adalah salah satu hal yang salah. Walau dengan lengkapnya perawatan, tersedianya makanan yang cukup bahkan tempat yang nyaman, tidak bisa dijadikan dasar untuk memelihara satwa primata. Primata termasuk satwa liar, sudah sewajarnya mereka hidup bebas dan harapannya kita bisa ikut andil untuk melestarikan nya di alam liar. (SAT)

APE WARRIOR LEPAS-LIARKAN KEMBALI DUA ULAR KE HABITATNYA

Seorang warga menemukan ular dengan panjang 2,8 meter di bawah mobil di daerah jalan Monjali, Sleman, DI. Yogyakarta pada Jumat, 29 Oktober yang lalu. Tim APE Warrior bersama Orangufriends akhirnya membawa ular tersebut ke WRC Jogja untuk diperiksa kesehatannya. Setelah pemeriksaan, ular tersebut diberi vitamin A, D, E dan B dan ditranslokasi di area yang jauh dari pemukiman warga.

Bersama ular ini, tim juga membawa satu ular sanca batik yang sebelumnya juga sempat dititipkan di WRC Jogja untuk mendapat perawatan pada bulan Juli lalu. Ular yang dinamai Jaja ini, sebelumnya merupakan hasil serahan warga di sekitar dusun Gondanglegi, Ngaglik, Sleman. Jaja ditemukan dengan keadaan mulut yang terbuka hingga akhirnya harus menjalani perawatan intensif dan siap untuk dilepasliarkan kembali ke alam.

“Satwa liar muncul di dekat manusia biasanya mengalami sesuatu hal yang tidak biasa. Kalau saat ini musim penghujan, satwa liar seperti ular sering masuk ke pemukiman atau perumahan. Usahakan untuk tidak membunuh! Karena kematian satwa liar yang tidak lazim biasanya akan membuat ketimpangan atau membuat keseimbangan alam terganggu. Segera hubungi tim penyelamat satwa terdekat. Karena penangganan satwa liar tertentu yang mungkin butuh penanganan khusus. Untuk daerah Yogyakarta, tim APE Warrior siap membantu”, ujar Satria Wardhana, kapten APE Warrior COP. (LIA)

UPAYA PENERTIBAN BERUJUNG PADA KEMATIAN CANON

Media sosial diramaikan dengan video penangkapan hewan anjing bernama “Canon” oleh Satpol PP di Aceh. Dalam video itu, sejumlah petugas Satpol PP terlihat berusaha menangkap anjing berwarna hitam dengan menggunakan kayu. Aksi tersebut menuai banyak protes dari jagad dunia maya. Tidak sedikit yang marah dan balik mengecam oknum Satpol PP tersebut. Canon juga dimasukkan ke dalam kotak kayu, dilakban dan diberi sedikit lubang kemudian ditutup terpal. Diduga tata cara evakuasi anjing ini malah menyebabkan hewan cerdas ini meninggal dunia.

Terlepas dari kasus tersebut, sebelumnya Camat Pulau Banyak, Mukhlis menyatakan bahwa pihaknya telah memberikan surat pemberitahuan terhadap pihak Kimo Resort. Ia menjelaskan kegiatan penertiban ini dilakukan karena mendapat laporan bahwa Canon diduga telah membuat beberapa wisatawan resah karena kehadirannya. Bahkan disebutkan bahwa Canon pernah menggigit wisatawan di sana.

Sejak tahun 2010, tim APE Warrior COP telah melakukan penanganan satwa pada situasi bencana. Walaupun kematian satwa akibat bencana menjadi hal wajar dan bagian seleksi alam. Namun, menjadi catatan penting ketika proses penanganan baik itu seperti evakuasi/penyelamatan maupun perawatan langsung tetap mengutamakan animal welfare (kesejahteraan satwa). Memang dalam situasi yang bisa mengancam keselamatan diri sendiri, kita dituntut untuk menangani satwa dengan cepat dan tidak boleh ada kesalahan sedikitpun. Tapi untuk kasus kematian Canon ini seharusnya bisa diantisipasi lebih awal, karena situasinya berbeda jauh dari kondisi darurat. Penanganannya pun bisa lebih dipersiapkan dengan matang.

“Upaya penertiban apalagi ada dugaan kekerasan, semoga tidak akan terjadi lagi pada hewan peliharaan maupun satwa liar lainnya, kerena mereka juga termasuk makhluk hidup. Turut berduka untuk Canon”, ucap Satria Wardhana, kapten APE Warrior prihatin. (SAT)

ORANGUFRIENDS BERLATIH TANGANI BURUNG PARUH BENGKOK

APE Warrior bersama Wildlife Rescue Center (WRC) Jogja berupaya untuk memberikan obat cacing yang biasa disebut deworming pada sejumlah burung Kakatua dan Nuri yang berada di WRC, Sebelum pemberian obat, para relawan diberikan informasi terlebih dahulu tentang pola perilaku burung dan langkah-langkah dalam menyuntikkan obat cacing ke dalam mulut burung. Suntikan atau deworming wajib masuk ke dalam mulut dan harus benar-benar dipastikan sebelum berpindah ke kandang lainnya, bahkan jika masih ragu bisa dilakukan lebih dari satu kali.

Relawan dari COP atau sering disebut Orangufriends juga turut belajar handling beberapa burung dan feeding berupa jagung, melon juga buah-buahan lain untuk semua jenis burung yang ada di WRC dan dipandu oleh perawat satwa dan dokter berpengalaman yaitu dokter Tom.

Relawan yang terdiri dari Lia, Owi, Reva, Tata dan Satria ini mendapatkan banyak pengalaman dan pelajaran yang belum tentu didapatkan di tempat lain, ditambah perawat satwa dan dokter yang tidak henti-hentinya memberikan kesempatan untuk handling dan feeding secara mandiri pada beberapa waktu agar setiap relawan memiliki pengalaman yang berharga dan berarti, khususnya berhadapan dengan dengan satwa liar. Yuk, jadi relawan satwa, bergabung dengan Orangufriends! (Owi_COPSchool11)

HARI RABIES SEDUNIA 2021, INDONESIA BISA

Rabies atau lebih dikenal dengan penyakit anjing gila, merupakan penyakit zoonosis yang sangat ditakuti nomor 1 di dunia. Penyakit bersifat fatal karena bisa menyebabkan kematian bagi hewan maupun manusia yang terinfeksi. Ini merupakan penyakit penting di Indonesia. Virus genus Lyssavirus yang menyebabkan penyakit ini sudah dikenal sejak berabad-abad lampau dan menyebar di seluruh dunia. Menurut WHO, Rabies terjadi di 92 negara dan endemik di 72 negara termasuk Indonesia. Kasus di Indonesia dilaporkan pertama kali pada tahun 1889 pada kerbau oleh Esser dan tahun 1894 kasus pada manusia dilaporkan oleh de Hann. Sejak saat itu, kasus rabies meluas hampir ke seluruh negeri.

Rabies dapat terjadi pada semua hewan berdarah panas, seperti anjing, kucing, kera, kuda, sapi domba, kambing dan lain-lain termasuk manusia.Namun demikian menurut data Kementan, penyebar utama rabies di Indonesia adalah anjing (92%), kucing (6%) dan kera (3%). Menurut Badan Kesehatan Hewan Dunia (EIO), pada hewan penderita rabies, virus ditemukan pada air liurnya oleh sebab itu penularan ke manusia atau hewan berdarah panas lain adalah melalui gigitan atau luka terbuka dengan masa inkubasi berkisar dari harian sampai berbulan-bulan. Tentu saja tergantung banyak tidaknya virus yang masuk melalui luka, dekat tidaknya luka dengan sistem syaraf karena virus ini menyerang sistem syaraf dan perlakukan luka setelah gigitan. Gejala umum yang timbul adalah berupa manifestasi peradangan otak yang akut baik pada manusia maupun hewan. Di seluruh dunia, rabies sendiri sudah mengakibatkan kematian sekitar 59.000 orang setiap tahun.

Di beberapa negara seperti Amerika, satwa liar seperti kelelawar, skunk dan sigung merupakan vektor beberapa jenis rabies. Sedangkan di Indonesia, jenis Canine rabies yang terjadi lebih banyak menyerang anjing dan sedikit kucing. Ada sekitar 100 kasus gigitan pada manusia per tahun 2020. Tingginya tingkat kasus penularan pada hewan peliharaan ke manusia tersebut disebabkan karena faktor perilaku sosial masyarakat sendiri, dimana anjing dipergunakan dalam aktivitas manusia sehari-hari seperti berburu babi hutan, penjaga kebun/ladang yang berbatasan dengan hutan, mobilitas anjing dan kucing antar daerah yang tidak terkontrol maupun pemeliharaan yang tidak bertanggung jawab (diliarkan dan tidak tervaksin).

Transmisi rabies pada peliharaan domestik ke satwa liar sangat bisa terjadi. Aktivitas manusia yang mulai merambah kehidupan satwa liar telah menyebabkan terjadinya interaksi hewan-hewan peliharaan ini dengan satwa liar dan akan menjadi ancaman besar bagi populasi dan konservasi satwa liar. Tercatat selain rabies, beberapa penyakit hewan domestik sudah mulai menyerang satwa liar. Beberapa tradisi dan kepercayaan juga turut mengambil peran dalam penyebaran rabies seperti tidak mau memcaksin anjing pemburu, pemeliharaan beruk (Macaca nemestring) untuk proses pemanenan kelapa serta pengambilan dari alam kera ekor panjang (Macaca fasicularis) untuk Topeng Monyet turut mendorong semakin meluasnya penyakit ini baik ke lingkup domestik maupun satwa liar.

Saat ini pemerintah sedang menggalakkan vaksinasi rabies terutama untuk anjing, kucing dan kera yang dipelihara di seluruh pelosok negeri. Tindakan ini sangat penting untuk mengeliminasi kasus rabies baik di hewan maupun manusia. Vaksinasi dan pemeliharaan yang bertanggung jawab untuk hewan domestik adalah suatu upaya untuk meminimalisir transmisi kasus rabies ke satwa liar karena bagaimana pun dengan penyebaran populasi manusia serta perubahan lingkungan dan globalisasi, sangat sulit mencegah transmisi penyakit ini kehidupan liar.

Selamat Hari Rabies Sedunia, 28 September 2021! (DTW)

PEDAGANG ORANGUTAN DI SAMARINDA DENGAN VONIS 2,6 TAHUN

Samarinda, Sidang kasus perdagangan satwa liar orangutan melalui akun media sosial facebook akhirnya mencapai puncaknya. Pada hari Kamis (2/9) Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Samarinda menyatakan terdakwa Nur SAS alias Simex Bin Suwandi telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Terdakwa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 21 ayat (20 huruf A, Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yaitu menangkap, menyimpan, memiliki dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.

Majelis Hakim menjatuhkan Bonie pidana penjara selama 2 (dua) tahin dan 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) subsidair 2 (dua) bulan kurungan kepada Simex. Secara terpisah, ada terdakwa Abdullah Bin (alm) Bedu sebagai oelaku yang menyuruh dan turut melakukan transaksi jual-beli pada Senin, 26 April 2021 sekitar pukul 21.00 WITA atau setidak-tidaknya pada suatu waktu masih pada bulan April 2021 bertempat di depan Rumah Makan Bebek Ayam Ranjau, Jl. Pelita Sungai Pinang Dalam, Kecamatan Sunagi Pinang, Kota Samarinda. Lelaki paruh baya ini dijatuhi hukuman penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) sebsidair 2 (dua) bulan kurungan.

Sebelumnya pada Senin (26/4) Ditreskrimsus (Direktorat Reserse Kriminal Khusus) Mabes Polri dibantu COP dan OIC menggerebek pedagang satwa di Samarinda. Tim menangkap pedagang bernama Max dan mengamankan 1 individu bayi orangutan betina yang ditaruh dalam ember kecil di bagasi mobil. Untuk orangutan tersebut kini telah mendapatkan perawatan penuh di Bornean Orangutan Rescue Alliance (BORA) di Berau, Kalimantan Timur.

Vonis ini tentunya patut disambut baik sebagai bentuk apresiasi atas kinerja jajaran Kepolisian Daerah Kalimantan Timur yang bekerjasama dengan Balai KSDA Kalimantan Timur dalam mengungkap kasus-kasus perdagangan satwa liar. Dengan hukuman 2 tahun 6 bulan dan denda 10 juta ini mudah-mudahn dapat memberikan efek jera kepada para pelakju kejahatan lingkungan hidup, termasuk perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Harapannya ke depan dalam kasus yang lain, putusan majelis hakim dapat lebih berpihak pada dunia konservasi.

Perdagangan ilegal satwa liar meru[akan jenis kejahatan terorganisir yang berskala besar. Keuntungan ilegalnya bisa mencapai miliaran rupiah setiap tahun. Bisnis tersebut turut mendorong praktik korupsi, mengancam keanekaragaman hayati dan dapat menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap negara. Untuk memindahkan, menyembunyikan dan mencuci keuntungan yang didapatkan, pelaku memanfaatkan berbagai kelemahan di sektor keuangan dan non-keuangan yang memungkinkan kejahatan terhadap satwa liar terus berlangsung sekaligus merusak integritas sistem keuangan. Terlepas dari fakta ini, investigasi terhadap jejak keuangan yang ditinggalkan oleh tindak kejahatan ini masih tergolong langka.

Satwa liar dilindungi adalah aset negara yang nilainya tidak terukur dan negara rugi besar dengan adanya praktek pengambilan dan perdagangan satwa secara ilegal. Hal ini berhubungan langsung dengan keseimbangan ekosistem alam yang memberikan manfaat banyak bagi masyarakat luas. (SAT)

VONIS 2 TAHUN UNTUK PENYELUDUP ORANGUTAN SUMATRA

Pada penghujung bulan April 2021 lalu, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu, Seksi Konservasi Wilayah (SKW) III Lampung bersama dengan Kepolisian Sektor Kawasan Pelabuhan (KSKP) Bakauheni Polres Lampung Selatan dan Balai Karantina Pertanian Wilayah Karja Bakauheni melakukan operasi kegiatan K9 di pelabuhan Bakauheni. Operasi gabungan ini berhasil menyelamatkan dua individu bayi orangutan Sumatra (Pongo abelii) berkelamin jantan dan betina dengan umur diperkirakan 1 hingga 1 tahun 4 bulan.

Awalnya kedua bayi ini sempat dirawat di lokasi transit Pusat Penyelamatan Satwa Lampung, Sumatran Wildlife Center (SWC JAAN) Lampung. Kemudian pada bulan Mei 2021, kedua bayi tersebut diserahkan ke BKSDA Jambi bersama Frankfurt Zoogical Society (FZS) sebagai pengelola sekolah orangutan. Oleh Menteri Siti Nurbaya, kedua orangutan ini diberi nama Siti untuk yang betina dan Sudin untuk yang jantan.

Ketika diseludupkan, kedua orangutan ini dibawa oleh bus ALS dengan Nomor polisi BK 7885 DK dari Medan, Sumatra Utara menuju Tanggerang. Semua awak bus diamankan oleh pihak berwajib untuk dimintai keterangan. Dari hasil pemeriksaan, supir dan kernet bus ditetapkan menjadi tersangka oleh penyidik KSKP yang berada di bawah Kepolisian Resor Lampung Selatan. Penunjukkan kedua tersangka tersebut menunjukkan bahwa kasus ini telah masuk ke dalam proses hukum di tingkat penyidikan. Penyidik dapat melakukan upaya paksa yakni penyitaan dan penggeledahan di Tempat Kejadian Perkara (TKP) hingga melakukan pengembangan kasusnya.

Selanjutnya, 30 April 2021, penyidik Polres Lampung Selatan berhasil mengamankan seseorang yang diduga penjual orangutan yang beralamat di kota Medan, Sumatra Utara. Disinyalir pelaku kejahatan ini adalah pemain lama perdagangan orangutan, namun belum pernah tertangkap dan diproses hukum.

Terkait dengan tindak pidana pada kasus ini, penyidik menjerat pelaku dengan Pasal 21 Ayat 2 UU No.5 tahun 1990 tentang Koservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan bunyi, “Setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup’. Pasal 40 Ayat 2 berbunyi, “Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketntuan sebagaimana dimaksud pasal 21 Ayat 2 dipida dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.

Penantian panjang pemerhati satwa langka ini pun berbuah manis. Selama kurang lebih lima bulan proses pengembangan, penyidikan dan persidangan akhirnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kalianda menjatuhkan vonis pidana penjara kepada 2 orang pelaku penyeludupan orangutan ke pulau Jawa dan kepemilikan satwa dilindungi lainnya.

Tersangka berinisial EDP pemilik satwa dijatuhi pidana penjara selama 2 tahun, sementara terdakwa HP yang merupakan supir kendaraan bus ALS yang mengangkut orangutan, dijatuhi hukuman pidana penjara selama 1 tahun.

Kedua vonis yang diberikan lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Lampung Selatan (Lamsel).”Kendati demikian, Centre for Orangutan Protection mengapresiasi kinerja tim penegakan hukum pada kasus ini. Vonis tersebut menjadi langkah serius untuk upaya menekan kasus kejahatan terhadap satwa liar dilindungi, khususnya orangutan”, kata Satria Wardhana, kordinator Anti Wildlife Crim COP. (SAT)

KELANJUTAN KASUS PERDAGANGAN ELANG DI LAMPUNG

Senin (6/9) berkas perdagangan empat (4) elang sudah tengah disusun oleh Tipidter Polda Lampung yang sebelumnya menyelesaikan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terhadap pelaku. Tim Sumatra Mission juga dibuatkan BAP sebagai saksi sumpah terkait kasus perdagangan 4 satwa liar dilindungi yang berhasil digagalkan pada hari Jumat, 3 September yang lalu.

Pemeriksaan yang berlangsung sekitar 2 jam ini akhirnya dilanjutkan ke BAP penyerahan atau pelimpahan satwa dari Polda ke BKSDA Seksi III Lampung. Keempat elang tersebut langsung dipindahkan ke tempat fasilitas karantina BKSDA yang berada di Kalianca, Lampung Selatan sambil menunggu arahan dari Balai Pusat selanjutnya barang bukti akan menjalani perawatan dimana.

Keempat elang yang berhasil diselamatkan ini terdiri dari satu Elang Bondol dan tiga Elang Brontok. “Satwa ini berusia kisaran 3-6 bulan. Hanya elang bondol saja yang sudah berusia di atas satu tahun. Kondisi satwa terlihat baik dan menunjukkan respon bagus saat dikasih makan”, ungkap drh. Dian, dokter hewan senior COP yang sedang merawat satwa paska penangkapan.

“Elang-elang ini sangat jinak. Di sisi lain mudah untuk diberi makanan, namun ini juga yang menjadikannya sebuah pekerjaan yang panjang untuk membuat satwa ini kembali liar lagi karena sudah terbiasa bergantung dengan manusia”, tambahnya lagi.

Elang merupakan salah satu jenis burung di Indonesia yang dilindungi di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. (SAT)

PERBURUAN ELANG MENGANCAM EKOSISTEM DAN HASIL PERTANIAN

Tipidter Polda Lampung bersama COP dan JAAN berhasil menangkap seorang pemburu dan pedagang satwa di Bandar Lampung. Tim berhasil mengamankan barang bukti 1 elang bondil (Haliastur indus) dan 3 elang brontok (Nisaetus cirrhatus). Pelaku mengaku berburu elang dengan cara menandai sarang-sarang elang dan mengambil anakan elang jika telurnya sudah menetas.

Semua spesies elang dimasukkan dalam daftar spesies yang dilindungi menurut UU No. 5/1990 dan Permenhut No. 106/2018. Menangkap dan memperjualbelikan elang dapat dipidana maksimal 5 tahun penjara dan denda 100 juta rupiah. Elang bondol dan elang brontok termasuk 2 spesies yang paling sering diburu dan diperdagangkan di Indonesia.

Tingkat reproduksi elang tergolong lambat. Elang brontok betina hanya memproduksi 1 telur setiap musim kawin, sementara elang bondol betina memproduksi 2 telur. Setelah menetas, anak elang akan diberi makan oleh induk selama 3-4 bulan hingga bisa mencari makan sendiri. Elang betina baru bisa kawin dan bertahun lagi setahun kemudian.

Sebagai burung pemangsa atau predator, elang berfungsi dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Elang memangsa hewan-hewan kecil yang cepat berkembangbiak, seperti tikus, kadal dan bajing. “Perburuan elang akan berdampak buruk bagi penurunan populasi satwa langka yang reproduksinya lambat ini. Hilangnya elang juga akan merugikan petani akibat ledakan populasi hama tikus”, ujar Indira Nurul Qomariah, ahli biologi dan asisten direktur Centre for Orangutan Protection. (IND)