September 2020

MENGAPA TERJADI KEKERASAN TERHADAP SATWA?

Sejak dahulu hingga kini, tindakan penyiksaan dan kekejaman terhadap satwa masih terus terjadi, baik yang disengaja (Intentional Animal Torture and Cruelty/IATC) maupun yang tidak disengaja. Sasaran tindakannya pun beragam. Mulai dari satwa yang sering ditemukan di pemukiman maupun satwa yang dilindungi. September 2017, Centre for Orangutan Protection menemukan empat tengkorak orangutan yang terpisah, salah satunya di atas pohon.

Bulan lalu, 11 Agustus 2020 BKSDA Jawa Timur dan Perhutani dikejutkan temuan mayat lutung jawa yang berada di kawasan hutan lindung di atas dusun Perinci, kecamatan Dau, kabupaten Malang, Jawa Timur. Pada awalnya, mayat satwa tersebut ditemukan dalam kondisi hanya tinggal kepala dan kulit badannya. Sehari setelahnya, ketika tim gabungan kembali melakukan investigasi, mayat satwa tersebut sudah tidak serupa lagi, hanya tinggal kedua tangan yang digantung di pohon cemara. Hal tersebut sangat mengejutkan dan menimbulkan tanda tanya besat bagi tim penyidik.

Jika ditinjau dari kasus yang selama ini terjadi, alasan seseorang melakukan tindak kekerasan diantaranya seperti ritual pengorbanan keagamaan, faktor ekonomi, keisengan atau kesenangan semata, pelampiasan emosional dan yang terakhir adakah masalah kejiwaan. Sebagian besar penelitian psikologi dan kriminologi menunjukkan bahwa orang-orang yang tega berbuat sadir seperti itu kemungkinan besar memiliki trauma pada masa lalu seperti pelecehan, kebrutalan dan pengabaian yang dilkaukan oleh orangtua atau orang-orang di sekitarnya yang kemudian dilampiaskan kepada pihak yang tidak berdaya, dalam hal ini adalah satwa. Perilaku tersebut juga data menjadi hasil perilaku meniru (modeling) orang-orang di sekitarnya yang menikmati perasaan berkuasa atas hewan yang mereka sakiti, tanpa turut menderita secara emosional (terkait empati)1) . Pelaku melakukan hal tersebut terhadap satwa karena mereka tidak dapat berbuat apa-apa dan di satu sisi, masih sering dipandang sebelah mata oleh pihak penegak hukum sehingga dianggap tidak separah kasus kekerasan yang dilakukan terhadap sesama manusia.

IATC merupakan salah satu perilaku dalam tiga sifat teori psikologi yang sering disebut sebagai ’The Dark Triad’. Tiga sifat dalam teori tersebut adalah psikopati (kurang rasa empati), machiavellianisme (fokus pada keuntungan pribadi) dan narsisme (kebanggaan egosentrik). Hasil penelitian psikolog Phillip. S. Kavanagh, et al (2013) yang mengasosiasikan teori The Dark Triad dengan prilaku kekerasan terhadap satwa3) . Dalam penelitiannya, psikopati menjadi sifat yang dikaitkan dengan perilaku sengaja membunuh satwa liar tanpa alasan yang baik dan dengan sengaja melukai atau menyiksanya untuk menyebabkan rasa sakit.

Psikopati memang erat hubungannya dengan empati yang dimiliki seseorang. Empati merupakan satu bagian dari faktor hubungan interpersonal yang berpengaruh pada aspek penalaran moral agar dapat memahami dan merasakan apa yang dirasakan individu lain. Semakin tinggi empati yang dimiliki oleh seseorang, maka akan semakin rendah kecenderungan orang tersebut untuk melakukan kekerasan terhadap individu lain. Untuk itu, pendidikan ‘sikap proanimal’ memang perlu diterapkan sejak dini agar anak-anak dapat belajar untuk peduli terhadap satwa dan turut serta menjaganya. Meningkatkan empati terhadap satwa juga dipercaya akan meningkatkan empati pada manusia lain, sehingga kekerasan terhadap satwa maupun manusia dapat dicegah. (Amandha_Orangufriends)

Sumber:
1) Arkow, P. (2019). The “Dark Side” of the Human-Animal Bond. In &. C. Lori Kogan, Clinician’s Guide to Treating Companion Animal Issues: Adressing Human-Animal Interaction. Nikki Levy.
2) Kavanagh, P. S., Signal, T. D., & Taylor, N. (2013). The Dark Triad and Animal Cruelty: Dark personalities, dark attitudes, and dark behaviors. Personality and Individual Differences, 55(6), 666-670.

SATWA LIAR DI HUTAN AJA

Pandemi COVID-19 mengharuskan kita untuk tetap di rumah saja, namun tidak dengan satwa-satwa yang masih dipelihara manusia. Maraknya pemeliharaan satwa yang terjadi saat pandemi mangakibatkan meningkatnya perburuan terhadap satwa liar. Walaupun tidak murah, tetapi permintaannya semakin meningkat. Rasanya, orang tajir dan terkenal zaman sekarang wajib memiliki hewan eksotis dalam hidupnya. Bagi orang-orang yang memelihara satwa liar, mereka (satwa) dapat memberikan persahabatan dan rasa nyaman. Lalu apakah dampak terhadap satwa bahkan lingkungan?

Satwa liar berperan sangat besar pada ekosistem hutan, sebaliknya hutan juga menyediakan sumber makanan dan rumah bagi satwa. Tak hanya bagi kehidupan mereka, kehidupan manusia pun bergantung besar pada keberadaan hutan dan satwa liar. Menurunnya populasi satwa liar dapat merusak kestabilan ekosistem hutan. Tanpa adanya satwa liar, perputaran rantai makanan, penyerbukan bunga, penyebaran biji dan penyuburan tanah tidak dapat berjalan dengan baik.

Memelihara satwa liar juga dapat meningkatkan penyebaran Penyakit infeksi Emerging (PIE) dan Zoonosis yaitu penyakit yang menular dari satwa vertebrata ke manusia. Setiap tahunnya, tiga dari lima penyakit baru bersifat zoonosis. Lebih dari 60% berasal dari hewan dan 70% berasal dari satwa liar.

Stop pelihara satwa liar. Satwa liar #dihutanaja (NETU_Orangufriends)

ORANGUTAN DISABILITAS AKTIF BUAT SARANG

Aman pandai membuat sarang di kandang dengan daun-daun maupun ranting yang tim medis pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo berikan. Tak hanya di kandang karantinanya saja, Aman pun aktif menyusun daun-daun yang kami berikan pada saat dia di taman bermain. Aman menyusun daun-daun tadi di ban bekas yang berada di tengah playground, dimana dia biasanya beristirahat saat gagal meraih tali yang bergelantungan.

Aman adalah orangutan yang baru masuk pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo di Berau, Kalimantan Timur pada bulan Juni 2020 yang lalu. Jari-jarinya tak sempurna di kedua tangannya. Aman tidak memiliki ujung jari di tangan kanan pada jari tengah dan jari manisnya selain itu jari telunjuk, jari tengah jari manis dan kelingking tangan kirinya juga tidak ada. Dari bekas luka yang sudah tertutup dengan baik ini, Aman kehilangan ujung-ujung jarinya karena terpotong benda tajam. Aman menjadi orangutan disabilitas yang paling banyak kehilangan ruas jarinya yang pernah ditangani Centre for Orangutan Protection.

“Kami, tim medis bersyukur sekali, Aman termasuk orangutan yang aktif membuat sarang. Keterbatasan fisiknya tidak menghentikan keinginannya membuat sarang saat daun-daun dan ranting diberikan perawat satwa kepadanya. Bahkan dia bisa membuat sarangnya dulu baru mengambil makanannya.” ujar drh. Ray kagum. Semoga Aman dapat mempertahankan kemampuannya membuat sarang dan menularkan kemampuannya pada orangutan kecil lainnya yang berada di COP Borneo. (RAY)

BEDU DAN TEGAN DAPAT ENRICHMENT BATANG PISANG

Kamis, 10 September 2020, Zain, Angel, Rakyan dan San yang tergabung di Orangufriends (kelompok relawan orangutan) membantu Wildlife Rescue Center (WRC) Jogja membuat enrichment untuk beruang madu.

Enrichment kali ini menggunakan batang pohon pisang, buah-buahan dan madu serta selai kacang. Potongan buah diselipkan atau dimasukan ke batang pisang yang sudah dilubangi. Kemudian ditambahkan madu juga selai kacang untuk menambah rasa dan bau ke batang pisang. Lalu lubang ditutup kembali dengan potongan batang pisang.

“Kami sempat kesulitan untuk melubangi batang pisang dan membawa batang pisang ke area kandang beruang yang terletak di area bawah. Namun karena gotong royong semua dapat dierjakan dengan baik.”, ujar Liany Suwito, manajer program konservasi eksitu Centre for Orangutan Protection.

Bedu menyambut enrichment dengan semangat, ia segera menghampiri batang pisang dan membuka lubang dengan cakarnya yang besar. Ia juga menggunakan kekuatan gigitannya untuk memecah batang piang. Sementara Tegan terlihat ragu-ragu dan awas. Mungkin karena melihat kami, muka-mukaasing bagi dirinya. Maka setelah kami sedikit menjauh dari area kandang, Tegan keluar secara perlahan dan memberanikan diri menghampiri batang pisang. Terimakasih Orangufriends Jogja… (LIA)

KESEMPATAN KEDUA UNTUK ORANGUTAN MERABU

Penyelamatan orangutan kali ini cukup sulit. Tujuh bulan mengamati, mengikuti dan kehilangan keberadaan orangutan kecil ini. Berbagai cara pun tak luput dilakukan, mulai dari persuasif hingga ke arah jalur hukum. Sekali lagi, orangutan bukanlah satwa peliharaan, memilikinya berarti melanggar hukum. Lalu apakah kemudian pemelihara ilegal orangutan tersebut bisa serta merta menyerahkan orangutannya?

Pukul 07.00 WITA, tim APE Defender sudah melaju ke Pusat Rehabilitasi Orangutan COP Borneo yang berada di KHDTK Labanan, Berau, Kalimantan Timur. Kandang angkut sudah siap angkat ke mobil. BKSDA SKW I Berau dan Polres Berau sudah siap berangkat. Tepat pukul 08.30 tim gabungan ini pun bergerak. Tengah hari tim tiba di lokasi.

Kurang lebih dua jam, drh. Gilang Maulana menjelaskan zoonosis. Sekali lagi, edukasi menunjukkan hasil. “Tiga jam perjalanan dari pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo ke orangutan ini menjadi tidak sia-sia. Tidak seperti Maret 2020 yang lalu. Tim terpaksa gigit jari.”, ujar Ibnu Ashari lega.

Orangutan yang berasal dari Merabu, Kalimantan Timur ini berjenis kelamin jantan. “Tim medis COP Borneo akan mengamati tingkah laku dan pola hidup orangutan ini selama seminggu ke depan. Selanjutnya tim akan memeriksa kesehatannya secara menyeluruh, termasuk pemeriksaan darah apakah mengidap penyakit menular atau tidak.”, jelas drh. Gilang.

Kita tunggu kabar selanjutnya ya.

POPI SUDAH EMPAT TAHUN DI COP BORNEO

Apa kabar orangutan betina yang sangat terkenal dengan kelucuannya, keimutannya dan terlihat manja yang menjadi penghuni Pusat Rehabilitasi Orangutan COP Borneo, Berau, Kalimantan Timur? Kalau tidak salah, dia sudah empat tahun menjalani rehabilitasi.

Popi… bayi orangutan dengan pusar yang masih memerah, empat tahun yang lalu. Popi yang tidak berdaya karena kecil dan sangat lemah. Popi yang seharusnya bersama induknya bukan dengan pakaian bayi dan selalu di kelilingi manusia. Setelah empat tahun dengan grafik perkembangan yang naik turun, berusaha menunjukkan, Popi adalah orangutan yang patut diperhitungkan.

Kini Popi bisa menghindari orangutan lainnya yang berusaha mengambil jatah makanannya. Bagaimana caranya? Saat waktu makan tiba, Popi sudah menunggu di bagian depan. Sesaat menerima makanannya, dia segera menjauh dari ketiga orangutan lainnya. Mary, Jojo bahkan Bonti yang memiliki badan lebih besar, kini tak bisa dengan mudah mengambil makanannya. Popi tidak akan pernah menyerahkan jatah makanannya lagi.

“Bagus Popi! Pertahankan!” (WID)

AMAN KEMBALI KE PLAYGROUND COP BORNEO

Hari ini, cuaca sedang bersahabat. Saatnya untuk membawa Aman ke playground. Seperti biasanya, Aman susah diajak bekerja sama. Ketika kandangnya dibuka, Aman selalu menghindar dan tak mau mendekat karena mungkin dia berpikir, kalau dia akan diberi obat lagi. Wajar saja karena dia benar-benar tidak menyukai obat.

Sesampai di taman bermain, kami membiarkannya bermain sembari mengawasinya. Ternyata Aman sangat bersemangat karena akhirnya sangat bersemangat. Lebih bersemangat dibandingkan saat pertama kali bermain di playground. “Ini adalah kesempatannya lagi bermain di playground.”, ujar drh. Ray, dokter hewan COP Borneo yang baru.

Aman adalah bayi orangutan yang pandai. Meskipun dengan ujung jari yang tidak sempurna, dia tetap mencoba menggapai tali-tali yang ada di playground dan dengan usaha yang lebih tentunya. Sesekali genggamannya lepas tapi dia selalu punya cara untuk tetap bisa bergelantungan. Baiknya lagi, Aman tidak suka bermain di tanah. Beberapa kali terlihat dia beristirahat di ban yang ada di tengah playground karena butuh tenaga ekstra untuk menggapai tali-tali yang sebenarnya bisa dia gapai dengan ujung jarinya. Tapi ruas jari itu tak ada lagi.

Jika pandemi COVID-19 ini berakhir dan Aman berkesempatan untuk bergabung di sekolah hutan bersama orangutan lainnya, bukan tidak mungkin Aman akan menjadi salah satu siswa yang pandai. Harapan itu akan ada, jika kita berani bermimpi. (RAY)

SAAT SENAPAN ANGIN MENJADI SENJATA MAKAN TUAN

Penggunaan senapan angin memang sudah tidak asing lagi di sekitar masyarakat, baik di bidang olahraga maupun berburu. Senjata ini terus mengalami perkembangan yang membuatnya semakin canggih. Seperti alur laras, panjang laras, dan juga tabung dengan kapasitas lebih besar yang membuat senapan semakin baik. Senjata ini juga banyak dijual di pasaran, walaupun tidak semua orang dapat memiliki nya. Jika penjual menerapkan peraturan yang ada, dalam PERKAPOLRI Nomor 8 Tahun 2012 Bab III Pasal 12, hanya orang yang memiliki kartu tanda anggota klub menembak yang bernaung di bawah Perbakin, berusia paling rendah 15 tahun dan paling tinggi 65 tahun, sehat jasmani dan rohani dengan bukti Surat Keterangan dari Dokter dan Psikolog, serta memiliki keterampilan menembak yang dibuktikan dengan surat keterangan yang dikeluarkan oleh Pengprov Perbakin, yang dapat memiliki senapan angin.

Jika dibandingkan dengan pisau, ketapel, atau panah, senapan angin memang menjadi alat yang paling efektif untuk berburu. Laras nya yang panjang membuat tembakan semakin akurat dan jauh. Tetapi dibalik semua itu, tak jarang pengguna senapan angin menjadi korban dari senjatanya sendiri. Dalam kurun waktu lima tahun, telah terjadi kasus ‘senjata makan tuan’ secara berturut-turut setiap tahunnya. Pada tahun 2015, KO (25) menjadi korban peluru senapan angin yang menembus dada kirinya akibat terpeleset saat hendak membidik peluru ke ayam buruannya 1). Tahun 2016, AD (50) tewas akibat tertembak senapan angin miliknya sendiri setelah berpencar dengan rekannya saat berburu 2). Tahun 2017, DP (16) tertembak peluru yang tiba-tiba keluar saat hendak membenarkan senapan miliknya menggunakan lidi karena peluru tidak keluar alias macet 3). Tahun 2018, Manis (35) tewas usai kepalanya tertembus peluru senapan angin yang dilesatkan teman dekatnya sendiri dari atas pohon saat hendak membidik ayam 4). Dan tahun 2019, KS (30) tewas setelah senapan angin rakitan yang dipegangnya, tidak sengaja meletus dan mengenai tangan serta menghujam dadanya 5).

Senapan angin bukanlah senjata mainan yang dapat digunakan secara asal-asalan, apalagi digunakan tanpa pengetahuan, pengawasan, dan keterampilan yang baik. Senjata ini merupakan senjata yang mematikan dan dapat merugikan diri sendiri, maupun orang lain, dan juga satwa. Jika memang ingin menggunakannya untuk berolahraga atau sekedar bersenang-senang, lakukanlah di lapangan tembak, seperti milik Perbakin, yang memang khusus menyediakan fasilitas untuk menembak dan telah sesuai standar serta kelengkapan. Mulai dari pakaian sampai peralatan berstandar nasional yang wajib digunakan saat menembak agar tidak merugikan diri sendiri maupun makhluk hidup di sekitar kita. (MANDA_Orangufriends)