GOODBYE TOILET! UNYIL THE ORANGUTAN IS NOW IN FOREST SCHOOL!

Valentino Unyil Ngau is the name of the tiny 3 year old, thick brown haired orangutan. He has just joined the other orangutans his age in forest school, after being surrendered by his owner to the Kalimantan COP team on the 13th of April 2015. Valentino’s name comes from the belief that this young orangutan was born in April 2012; the name Unyil is taken from a famous cartoon character on national television, and Ngau is a name that comes from the family who previously owned the orangutan.

Unyil was kept in a wooden cage measuring 50x50x50cm, only able to reach out his fingers and arms to take food. The cage was also kept in the toilet, making it very damp. Every morning Unyil’s owner gave him a drink of tea, and rice for breakfast. When he was first found, Unyil looked very pale. Doctors assumed this was due to Unyil rarely seeing the light of day, considering he had been kept inside a bathroom.

Unyil is now in forest school. He looks much happier. He loves climbing trees, learning to eat young leaf shoots, and has even occasionally been seen eating termites with his orangutan classmates. This is great news considering that when he first arrived, Unyil was not even able to open a banana or eat other fruit. Unyil is a fast learner. Forest school’s notes show that he has already braved climbing trees as tall as 30 metres.

It’s still a long time before Unyil can return to his home in the forest. But at least for now Unyil is with friends, no longer alone, like he has been these past 3 years, in a cold cage in a foul-smelling toilet.

By adopting Unyil, you can help him to learn in forest school so that his home will no longer be a cage.

SELAMAT TINGGAL TOILET… KINI ORANGUTAN UNYIL DI SEKOLAH HUTAN

Valentino Unyil Ngau adalah nama orangutan kecil berumur 3 tahun, berambut tebal, serta berwarna coklat gelap. Ia baru saja bergabung dengan teman-teman seumurnya di sekolah hutan setelah pemilik Unyil menyerahkan Unyil kepada tim COP Kalimantan pada 13 April 2015. Nama Valentino diambil dari dari keyakinan bahwa orangutan muda ini lahir pada bulan April 2012. Kemudian Unyil sendiri merupakan tokoh kartun lucu yang sangat terkenal di televisi nasional dan Ngau merupakan nama besar keluarga pemilik orangutan ini. Keseharian orangutan ini dipanggil dengan nama Unyil.

Unyil diletakan di dalam kandang kayu berukuran 50x50x50cm. Hanya jari dan lengan tangannya yang dapat keluar untuk mengambil makanan. Kandang tersebut juga berada di dalam toilet sehingga sangatlah lembab. Setiap pagi si pemilik Unyil memberikan minuman teh dan nasi untuk sarapan pagi.

Saat ditemukan pertama kali Unyil terlihat sangat pucat. Dokter memperkirakan hal ini dikarenakan Unyil sangat jarang terkena sinar matahari apalagi mengingat Unyil ditempatkan dalam kamar mandi.

Kini Unyil telah berada di sekolah hutan. Ia tampak begitu senang. Ia sangat suka memanjat pohon, belajar memakan pucuk daun muda bahkan sesekali tampak makan rayap bersama orangutan sekelasnya. Hal ini sangat baik mengingat pertama kali datang, Unyil bahkan tidak dapat membuka kulit pisang dan makan buah lainnya. Unyil belajar dengan cepat. Catatan sekolah hutan menunjukan bahwa ia sudah berani memanjat pohon hingga ketinggian 30 meter.

Waktu masih panjang bagi Unyil untuk kembali ke rumahnya di hutan. Setidaknya sekarang Unyil telah memiliki teman, tidak sendiri seperti 2

tahun sebelumnya di dalam kandang dingin dengan aroma toilet yang menyengat.

Bantu Unyil belajar di sekolah hutan agar kandang bukan lagi rumahnya ya, dengan mengadopsi Unyil…

300 + 100

The clock hand strikes midnight. The APE Warriors camp is still full of people. Members of Orangufriends Yogya are still busy, packaging 300 T-shirts, to be mailed out to those who have purchased them. The sales of this limited line of T-shirts will fund Sound for Orangutan (SFO), an annual music performance run by COP. The funds from this concert will be used to build a COP Orangutan Rehabilitation Center in East Kalimantan.
COP volunteers battle exhaustion; it is vital that this work is completed on time and customers are not let down. So that they will be happy to become customers again, next time T-shirts are on offer. This effort is for orangutans, for all wildlife.
Tonight, it appears members of Orangufriends will have to work harder again. 100 more shirts must now be packaged. Not for orangutans this time, but for the release of wild animals, caged in the Banjarbaru,City Gardens in South Kalimantan. These poorly-designed cages must be modified, so that these animals are no longer bound by chains. There must be investment in these facilities, so that these animals may prosper. All of this requires money. In the purchasers of these T-shirts we trust. In our members we trust.
With that, goodnight. To the Orangufriends members, now returning to their homes, remain firm – firm and alert. I know you are all exhausted, but the work of COD is not yet finished.

 

300 + 100

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 12 tengah malam. Camp APE Warrior di Yogya masih ramai. Para anggota Orangufriends masih sibuk mengemas 300 kaos untuk dikirimkan ke para pemesannya. Kaos yang diproduksi terbatas itu untuk mendanai pertunjukan musik tahunan Sound For Orangutan (SFO). Keuntungan dari konser musik tersebut akan digunakan untuk membangun Pusat Rehabilitasi Orangutan COP Borneo di Kalimantan Timur.

Capek dan ngantuk harus dilawan. Pekerjaan harus diselesaikan tepat waktu, agar para langganan tidak kecewa. Agar mereka dengan senang membeli kaos yang ditawarkan di kemudian hari. Hasilnya untuk orangutan. Hasilnya untuk satwa liar.

Malam ini, nampaknya para anggota Orangufriends harus bekerja lebih keras. Ada 100 lagi kaos yang harus dikemas. Kali ini bukan untuk orangutan, tetapi untuk membebaskan satwa – satwa yang kini dirantai di Taman Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Kandang yang salah desain di sana harus dimodifikasi, agar binatang – binatang di sana tidak perlu dirantai. Kandang mereka harus diperkaya fasilitasnya agar mereka bisa hidup lebih baik dan sejahtera. Semua butuh duit. Pada para penggemar kaos bergambar binatang kami berharap. Pada para anggota kami berharap.

Begitulah, selamat malam. Bagi para anggota Orangufriends yang kembali ke rumah masing – masing, tetap hati – hati dan waspada. Saya tahu kalian mengantuk, tapi tugas COD kaos dengan pembeli tetap harus diselesaikan.

FENESIA AND THE REALITY OF OIL

It is difficult to prove that palm plantation farmers are killing orang-utans during their land clearing and planting activities. It is even harder to prove this for the ‘pest control’ (the term that companies often use when referring to the task of hunting). Of course, their employment contract does not state that they officially work to kill wildlife that eat or damage oil palms. Consequently, investigations into orang-utan killings tend to take a long time.

This is all common knowledge for palm oil workers. Most of them often see or become perpetrators. To maintain the security and the continuity of their employment, workers tend to stay away from questions about orang-utans. Fenesia is a witness to how orang-utans and other wildlife can fall victim to companies’ land clearing processes when they have land use permits in the forest. Fenesia once worked for a palm oil company in Muara Wahau. In the same district, the COP was confiscating more than 10 baby orang-utans from the hands of the public and campaigning against three companies that had clearly damaged orang-utan habitats.

Fenesia is just one of many people who ultimately decided to tell this story to the public. Namely, that palm oil companies are the largest contributors to the extinction of orang-utans in Borneo. “Many orang-utans are there and they (the companies) do not care. They only care about their land clearing targets, and the orang-utans are secondary.” Fenesia talks while carrying a baby orang-utan to forest school. Fenesia has now has decided to work with the COP to care for orang-utans. His concern grew from seeing what happened to orang-utans while he was working for the oil company.

Fenesia became the first keeper at the COP Orang-utan Rehabilitation Centre. He saw so much sorrow in orang-utans’ lives. He decided to help them. Do you also choose to help orang-utans? Save or delete, you decide!

 

FENESIA, KENYATAAN DI SAWIT

Sulit untuk membuktikan bahwa pembunuhan orangutan oleh pihak perkebunan sawit dalam kegiataan landclearing maupun tanam baru mereka. Terlebih lagi para pembasmi hama (bahasa yang sering digunakan perusahaan untuk pekerjaan berburu). Memang tidak terikat kontrak kerja yang menyatakan ia secara resmi bekerja untuk membunuh satwa yang memakan atau merusak tanaman sawit tersebut. Karenabeberapa kejadian yang terungkap biasanya memerlukan waktu yang panjang dalam investigasi.

Sebenarnya ini merupakan rahasia umum dalam dunia pekerja kelapa sawit. Kebanyakan dari mereka sering melihat atau menjadi pelaku itu sendiri. Tentu saja untuk menjaga keamanan serta kelangsungan pekerjaanya di perusahaan tersebut, para pekerja cenderung menjauh dari pertanyaan seputar orangutan. Fenesia, merupakan saksi bagaimana proses landclearing oleh perusahaan sawit sering mengorbankan orangutan dan satwa lainnya di hutan tempat perusahaan tersebut mendapatkan Hak Guna Usaha. Fenesia dahulunya merupakan pekerja di sebuah perusahaan kelapa sawit di kecamatan Muara Wahau. Merupakan kecamatan yang sama, saat COP melakukan penyitaan lebih dari 10 bayi orangutan dari tangan masyarakat serta mengkampanyekan 3 perusahaan yang terbukti secara jelas merusak habitat orangutan.

Fenesia hanya satu dari sekian banyak orang yang pada akhinya memutuskan untuk menceritakan hal ini kepada khalayak ramai. Bahwa perusahan sawit memberikan sumbangan terbesar dalam punahnya orangutan di Kalimantan. “Di sana sangat banyak orangutan dan mereka (perusahaan), tidak peduli. Mereka punya target landclearing hanya itu yang mereka perdulikan, orangutan itu urusan belakangan.”, Fenesia bercerita sambil menggendong bayi orangutan berangkat sekolah hutan. Kini Fenesia telah memutuskan untuk berkerja di COP untuk merawat orangutan. Kepeduliannya tersebut beranjak dari rasa iba melihat nasib orangutan sewaktu ia masih berkerja di perusahaan sawit.

Fenesia menjadi keeper pertama di Pusat Rehabilitasi Orangutan COP. Dia melihat begitu banyak duka di dalam kehidupan orangutan. Dia memutuskan untuk membantu orangutan. Apakah anda juga memilih untuk membantu orangutan? Save or delete, you decide!

 

PRAYER LEADER RECRUITED AS ORANGUTAN KEEPER

Kanisius Jahenam was born in the village of Golo Ketak, in the sub-district of Terang, Manggarai. This man, known simply as Kanis, settled in East Kalimantan in 2001. He moved to Kalimantan with the purpose of working for a timber company, since Timber Utilisation Permits were still widely available at the time. More than 100 of these permits were still in operation by the end of 2005.

Kanisius now lives in the village of Merasa, only 16 kilometres from COP’s Center for Orangutan Rehabilitation. Previously, Kasinius worked as a prayer leader in various small Catholic worship stations throughout a number of regional villages in Kalimantan. These experiences led to his being appointed as prayer leader in Merasa’s Santo Petrus church. Every Sunday, he can be found leading worship in the small church just downstream from the village center. His perseverance as a leader has led to various developments in the church, which is now never empty of people coming to pray.

Aside from his devotion to prayer, Kasinius is also known for his love of animals. As a result, in April 2015, he was called to assist COP in their mission to save orangutans. His desire to interact directly with the animals led to his appointment as an orangutan keeper.

“Mankind and animals have the same opportunities in life, and God loves animals with the same strength that He loves humans.”

Such is the philosophy that Kasinius implements in his everyday life. When working with orangutans, Kasinius is famous for being loving and caring. At times, he has even been known to climb trees while holding baby orangutans, to teach them a love for climbing, when their parents have been injured or captured and are unable to do so.

As he says, “If we show love for animals, in turn they will love us as they do their own family.”.

Baby orangutan Michelle is further evidence of this idea. Kasinius has an especially close relationship with Michelle, which has been likened to that of a mother and child. Michelle only follows instructions from Kasinius in jungle lessons, and whenever she becomes sad she immediately seeks him out.

This case shows us that saving orangutans is not only a job, but a calling of the heart. Orangutans do not understand who we are or what our backgrounds are. What they do understand however, is the care we show for them, continuing to work to save their homes and the lives of their future generations.(KAN)

 

PENDOA TERPANGGIL MENJADI KEEPER ORANGUTAN

Kanisius Jahenam merupakan pria kelahiran kabupaten Manggarai, kecamatan Terang, desa Golo Ketak. Pria yang sering disapa dengan nama Kanis ini merupakan perantau di Kalimantan Timur semenjak 2001. Tujuan utama pada saat itu adalah berkerja di perusahan kayu, hal ini dikarenakan memang pada saat itu Ijin Pemanfaatan Kayu di Kalimantan masih sangat banyak. Tercatat setidaknya ada lebih dari 100 ijin penggunaan kayu yang beroperasi hingga pada akhir 2005.

Kanisius kini menetap di desa Merasa, desa yang hanya berjarak 16 km dari Pusat Rehabilitasi Orangutan COP. Sebuah kebetulan Kanisius yang dulunya pernah mengikuti pelatihan memimpin ibadah umat di stasi-stasi kecil Katolik di desa-desa terpencil kini menjadikan dia terpanggil sebagai pemimpin umat gereja Katolik di stasi Santo Petrus desa Merasa. Setiap hari minggu kita dapat menjumpai Kanisius memimpin ibadah di gereja kecil di desa Merasa  bagian hilir. Ketekunannya memimpin umat Katolik ternyata membawa banyak perubahan, kini gereja Katolik Merasa tidak pernah sepi pen-doa.

Di sela kesibukannya sebagai pendoa, Kanisus pun dikenal sebagai penyayang binatang. Sehingga pada April 2015, Ia terpanggil untuk membantu COP dalam misi menyelamatkan Orangutan. Keinginannya untuk berinteraksi langsung dengan orangutan menjadikannya ia terpanggil untuk menjadi perawat orangutan atau sering disebut keeper.

“Manusia dan hewan mempunyai kesempatan yang sama untuk hidup, dan Tuhan mencintai mereka sama besarnya dengan Dia mencintai manusia.”, begitulah pemahaman Kanisius dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Selama menjaga orangutan, Kanisius memang terkenal sebagai penyayang dan penyabar, terkadang ia rela memanjat pohon dan menggendong bayi orangutan hanya agar bayi-bayi orangutan ini mau memanjat. Tentu saja seperti yang pernah ia katakan, “Jika kita mencintai binatang, mereka juga akan mencintai kita layaknya keluarga mereka.” Maka hal ini terbukti pada bayi orangutan bernama Michelle. Ia memiliki kedekatan khusus dengan Kanisius. Layaknya kedekatan ibu dan anak. Michelle hanya mau menuruti perintah Kanisius di setiap sekolah hutan, bahkan ketika Michelle menangis maka ia akan segera berlari dan mendekati Kanisius.

Hal ini mengajarkan kita bahwa menyelamatkan kehidupan orangutan bukan saja hanya sebuah pekerjaan tetapi pilihan hati. Orangutan tidak pernah mengerti siapa kita dan apa latar belakang kehidupan kita. Yang mereka tahu hanyalah kepedulian kita untuk terus menyelamatkan generasi nya dan hutan sebagai rumahnya.(KAN)

YOUR REPORTS – SAVING THE ANIMALS

Thanks to the report of one caring person, an online wildlife trafficker has been arrested in Langsa, East Aceh. 3 infant orangutans were saved along with several other rare species of wild animals. The owner of the online account ‘Habitat Aceh’ is now facing 5 years jail time based on Regulation 5, 1990. This is not the first time an online user has saved wild animals by reporting such crimes to COP. Thanks to their awareness, at least 12 individuals trading wildlife via social networks such as Facebook have been jailed and 167 rare species have been confiscated – including orangutans, bears and clouded leopards. Not bad, eh?

 

Reports that come in to COP will be quickly followed up with more detailed information, after an investigation to ascertain the truth of the situation. Once the facts have been confirmed, COP will communicate the report to the acting authorities – in these cases the police and the Office of Natural Resource Conservation (BKSDA)/Forestry Ministry. With this correspondence we are hoping for enforcement of the law. Until the suspects are caught and successfully brought to the interrogation room, the COP team will keep their mouths shut. Everything will be done swiftly and silently.
So, COP will not brag, make it into some kind of competition, ask for information from the public or pretend like we are chasing suspects. COP will not just turn your reports into a statistic like “online wildlife trafficking has risen 70%”, or “we receive as many as 1000 reports of cases per year”. For COP, the indicator of success in this war on crime will be the number of criminals thrown into jail, not the amount of comments, shares, or likes on Facebook.
That’s the way law enforcement should be done.
And so, COP urges you, the online community, not to rave on about these perpetrators, condemning them and spreading their faces far and wide. This only lets the suspect know that they have become a target, and allows them to quickly cover their tracks, making law enforcement a much more complicated task. Simply report them to us and let us deal with them alongside the authorities.

Once again, remember: Your reports are saving the animals!

 

LAPORANMU, MENYELAMATKAN SATWA

Berkat laporan seorang netizen yang peduli, seorang pedagang satwa liar berhasil ditangkap di Langsa, Aceh Timur. 3 bayi orangutan berhasil diselamatkan bersama dengan beberapa jenis satwa liar langka lainnya. Pemilik akun “Habitat Aceh” itu kini menghadapi tuntutan penjara 5 tahun berdasarkan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1990. Ini bukan pertama kalinya para netizen menyelamatkan satwa liar dengan cara melaporkannya ke COP. Berkat kepedulian mereka, setidaknya 12 orang yang berjualan melalui jejaring sosial seperti Facebook berhasil dipenjara dan 167 satwa langka disita termasuk orangutan, beruang dan macan dahan. Lumayan kan?

Laporan yang masuk ke COP akan segera ditindaklanjuti dengan pendalaman informasi, melalui sebuah penyelidikan untuk memastikan kebenarannya. Jika sudah pasti, COP akan memgkomunikasikannya dengan otoritas yang berwenang, dalam hal ini polisi dan BKSDA/ Kemenhut. Dalam komunikasi itu kami merencanakan operasi penegakan hukum. Sampai si tersangka ditangkap dan berhasil dibawa ke ruang interogasi, tim akan tutup mulut. Semua dilakukan dengan sunyi dan cepat.
Jadi, COP tidak akan berkoar – koar, semacam bikin sayembaralah, minta bantuan informasi ke masyarakatlah atau berpura – pura mengejar si tersangka. COP tidak akan menjadikan laporan anda sebagai bahan statistik seperti ini: perdagangan satwa online meningkat 70% atau kami menerima pengaduan sebanyak 1000 kasus per tahun. Bagi COP, indikator suksesnya perang melawan kejahatan adalah banyaknya orang dijebloskan ke penjara, bukan banyaknya komentar, bagi atau suka di Facebook. Begitulah seharusnya penegakan hukum dijalankan.
Bersama ini COP menghimbau kepada Netizen untuk tidak berkoar – koar mengutuk pelaku kejahatan dan menyebarluaskan secara sporadis dan brutal. Kegoblokan seperti ini hanya akan membuat si tersangka sadar bahwa dirinya sudah jadi target masyarakat dan lalu dia menghapus jejaknya. Maka penegakan hukum makin rumit dilakukan. Cukup laporkan kepada kami dan biarkan kami yang menyelesaikannya bersama otoritas yang berwenang.
Sekali lagi, ingatlah: Laporanmu menyelamatkan satwa!

ANIMAL TRADERS ARRESTED IN BKSDA ACEH. 3 INFANT ORANGUTANS SAVED

Aceh’s Natural Resource Conservation Organisation (BKSDA) has succeeded in arresting a suspected wild life trader in Langsa, East Aceh.  In the operation, the team confiscated 3 (three) orangutan, 3 (two) Brahminy Kites, 1 (one) Kuau King bird and I (one) protected clouded leopard. The suspect was detained in the Police Head Quarters in Aceh.

“This operation is the first of its kind in Aceh. The success of this operation is thanks to the solid support from the regional police team, OIC from Medan and COP from Jakarta.  The next major task is ensuring the suspect is punished to the full extent of the 5th law under the 1990 Conservation of Natural Resources and Ecosystem Act.” , stated Genman Hasibuan, the Head of BKSD Aceh.

Daniek Hendarto, Manager of the Anti-Crimes against Wild Life from the Centre for Orangutan Protection (COP) explained “The mother of the three infants which were confiscated had obviously been killed by the poachers.  Without the establishment of harsh laws, orang-utans will continue to die in this manner.  A light sentence will only make the perpetrators return to their business because the potential profit is so large. From the hands of a poacher, a trader can receive between 500 thousand to 1 million rupiah and then can sell the animal on the market for 5 to 10 million rupiah.  On the international market, the price of an orangutan can be estimated at 400 million rupiah

“The majority of animals which are traded have been taken from the wild including the Leuser Ecosystem. Poaching and trading often causes suffering and unnecessary death for the wild life and disturbs the ecosystem. It is time that Indonesia seriously fights this crime. OIC will mobilise all of its potential so that the suspect receives the maximum punishment, that is 5 years imprisonment and a fine of 100 million rupiah.”, asserted  Panut Hadisiswoyo, Director of the Orangutan Information Centre.

So far, in the year 2015, COP has already exposed 2 cases of orangutan trade online. 4 infant orang-utans have already been saved along with tens of birds and other mammals associated with these cases. The Centre for Orangutan Protection through the APE Warrior team is fighting the illegal wild life trade. #PERANGIPERDAGANGANSATWALIAR

 

PEDAGANG DITANGKAP BKSDA ACEH, 3 BAYI ORANGUTAN SELAMAT

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh berhasil menjebak seorang tersangka pedagang satwa liar di Langsa, Aceh Timur. Dalam operasi tersebut, tim menyita 3 (tiga) orangutan, 2 (dua) elang bondol, 1 (satu) burung kuau raja dan 1 (satu) awetan macan dahan. Tersangka langsung ditahan di markas Polda Aceh.

“Operasi ini merupakan yang pertama kali dilakukan di Aceh. Suksesnya operasi ini berkat dukungan tim yang solid dari Polda, OIC dari Medan dan COP dari Jakarta. Tugas berat selanjutnya adalah memastikan tersangka mendapatkan hukuman seberat – beratnya sesuai dengan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.”, kata Genman Hasibuan, Kepala BKSDA Aceh

Daniek Hendarto, Manager Anti Kejahatan Satwa Liar dari Centre for Orangutan Protection (COP) menjelaskan, “Induk dari 3 bayi orangutan yang disita, jelas sudah dibunuh oleh pemburunya. Tanpa penegakan hukum yang keras, korban orangutan akan terus berjatuhan. Hukuman yang ringan hanya akan membuat para penjahat kembali ke bisnisnya karena keuntungannya sangat besar. Dari tangan pemburu, seorang pedagang mendapatkan harga antara 500 ribu hingga 1 juta rupiah dan kemudian dijualnya di pasaran seharga 5 sampai 10 juta rupiah. Di pasaran internasional, harga bayi orangutan ditaksir 400 jutaan rupiah.”

“Hampir sebagian besar satwa liar yang diperdagangan adalah tangkapan dari alam, termasuk dari Ekosistem Leuser. Perburuan dan perdagangan seringkali menimbulkan penderitaan dan kematian yang tidak perlu pada satwa liar dan mengacaukan ekosistem. Sudah saatnya Indonesia serius memerangi kejahatan ini. OIC akan mengerahkan segenap potensinya agar si tersangka bisa mendapatkan hukuman maksimal, yakni penjara 5 tahun dan denda 100 juta rupiah.”, tegas Panut Hadisiswoyo, Direktur Orangutan Information Centre

Selama tahun 2015 ini, COP telah membongkar 2 kasus perdangangan orangutan secara online. Ada 4 bayi orangutan yang telah diselamatkan dan puluhan burung serta belasan mamalia lainnya dalam kasus perdagangan tersebut. Centre for Orangutan Protection melalui tim APE Warriornya memerangi perdagangan satwa liar #PERANGIPERDAGANGANSATWALIAR

A CERTIFICATE IS NOT ENOUGH, COMMIT NOW !

The Centre for Orangutan Protection (COP) believes that a certificate is not enough for a company to claim that a palm oil product is environmentally friendly. In reality, certificates are often merely a document on a table and do not reflect the actual conditions in the field. Based on the COP watch list which was started in 2007, companies who are members of RSPO are intentionally not meeting the principles and criteria of the RSPO to the extent that their operations often sacrifice forest and orangutans. Although it started in 2001 and has been going for 14 years, violations still continue.  Strangely, companies who commit violations, are not removed from the RSPO. The RSPO has become a green shield which protects palm oil companies who commit crimes. The RSPO could lose its credibility if it fails to act decisively.

Commitment is needed for the palm oil industry to become an industry which is friendly to the forests and orangutans and that commitment must be monitored. The COP asserts that it is ready to provide real information to players in the palm oil businesses to ensure the ‘greenness’ of their business.

COP thanks The Palm Oil Investigation and The Forest Trust who have already facilitated this important meeting to open the eyes of the palm oil industry in Australia and formulate actions which are required to help the conservation of orangutans and their habitat.

 

SERTIFIKASI SAJA TIDAK CUKUP, KOMITMEN SEKARANG

Pusat Perlindungan Orangutan (COP) menekankan bahwa sertifikasi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa sebuah produk kelapa sawit bisa dikatakan sebagai produk yang ramah lingkungan. Pada kenyataannya, sertifikasi seringkali berupa dokumen di atas meja yang tidak memcerminkan kondisi sesungguhnya di lapangan. Berdasarkan pantauan COP sejak tahun 2007, perusahaan – perusahaan anggota RSPO secara sengaja tidak menjalankan Prinsip dan Kriteria sehingga operasinya seringkali mengorbankan hutan dan orangutan. Meskipun dimulai sejak tahun 2001 atau sudah berjalan selama 14 tahun, namun pelanggaran – pelangaran masih terus terjadi. Anehnya, keanggotaan mereka dari RSPO tidak dicabut. RSPO telah dijadikan tameng hijau untuk melindungi kejahatan perusahaan sawit yang nakal. RSPO dapat kehilangan reputasinya jika tidak bertindak tegas.

Dibutuhkan komitmen untuk menjadi sebuah industri yang ramah bagi hutan dan orangutan. Dan komitmen itu harus dipantau. COP menegaskan bahwa pihaknya siap memberikan informasi yang sesungguhnya bagi para pelaku bisnis kelapa sawit guna memastikan ke-hijau-an mitra bisnisnya.

COP mengucapkan terima kasih kepada Palm Oil Investigation dan The Forest Trust yang telah memfasilitasi pertemuan penting ini guna membuka mata industri kelapa sawit di Australia dan merumuskan tindakan yang dianggap perlu untuk membantu perlindungan orangutan dan habitatnya.

NOVI CLIMBS HIS FIRST TREE

The day is clear, several wild gibbons sing from the top of the forest canopy. Deer and mouse deer call back and forth to each other signifying that the night has passed.

A fly rises from the dung in the cage the keeper is hosing out.

Yes, today in the first day that a young orang-utan named Novi will start forest school. The door of her cage screeches as it opens and a keeper calls for Novi to leave the cage. Novi appears hesitant to approach the keeper however he coaxes her out with a glass of milk.

Finally, Novi climbs onto the keepers’ shoulder, still confused, Novi stays there as he walks along the narrow trail towards the forest school. “Welcome to the forest school Novi”, says another keeper who arrived previously at the forest school with other young orang-utans.

Novi appears frightened and confused as she tries to go higher, then dangles from a branch to look around, while biting a root and anything else which he can reach with his hands. Novi moves quickly from one branch to another, like he is trying to run away from the keeper. He grabs a rattan root and injures her hand. Finally Novi decides to return to the first branch where he dangled from.

After twenty minutes has past, Novi is brave enough to move away from the keeper, he moves quite quickly between small trees, twisting his body between small branches, again and again. Novi now appears happier.

His mouth does not seem to want to stop chewing leaves and rattan roots, however he doesn’t take his eyes off an insect which goes by. Novi is like a young child happily playing in a pond full of sweets.

Every now and again Novi appears confused, he goes quiet at the continuous sound of birds calling back and forth. She tries again to climb higher to find the bird, but unsurprisingly, once he is five steps in front of it, the bird screeches and flies far away from him.

Novi is one the orang-utans who have been successfully rescued from the Kongbeng area by the team from the Centre for Orang-utan Protection (COP). Novi was first found, malnourished in a space underneath a house with a chain tied around her neck. The chain, which for five years tortured his day and night still leaves a scar. His only friend at that time was the poacher’s dog.

After five years of suffering, finally Novi has another opportunity to return to the forest, he is now in COP Kalimantan along with fourteen other friends to return to school so that they can become complete orang-utans (NUS)

 

NOVI MEMANJAT POHON PERTAMANYA

Ini adalah hari yang cerah, beberapa owa liar bernyanyi di atas kanopi hutan. Rusa dan kijang berteriak memanggil pulang menandakan malam telah berlalu. Seekor lalat terbang dari sisa kotoran di kandang setelah keeper membersihkannya dengan air.

Ya, hari ini, hari pertama orangutan muda bernama Novi berangkat ke sekolah hutan. Sreeeeeet bunyi pintu kandang terbuka, seorang keeper memanggil Novi untuk keluar dari kandang. Novi tampak ragu mendatangi keeper, namun keeper berusaha meyakinkan Novi dengan segelas susu.

Akhirnya Novi naik di atas punggung keeper, meski masih kebingungan, Novi tetap saja berada di bahu keeper melewati jalan setapak menuju sekolah hutan.

Selamat datang di sekolah hutan Novi, kata seorang keeper yang lebih dahulu datang bersama orangutan muda lainnya di area sekolah hutan.

Novi tampak merindinging dan kebingunan di atas akar, ia mencoba naik lebih tinggi kemudian bergelantungan untuk melihat sekeliling, serta menggigit akar apapun yang dapat ia raih dengan tangannya. Novi berpindah dari akar satu ke akar lainnya dengan sangat cepat, seperti berusaha lari dari keeper. Ia menarik akar rotan sehingga tangannya terluka. Pada akhirnya Novi memutuskan untuk kembali ke akar pertama di mana ia bergelantungan.

Setelah 20 menit berlalu, Novi memberanikan diri untuk menjauh dari keeper, ia bergerak dengan sangat cepat di antara pepohonan kecil, memutarkan badannya di antara ranting, lagi, lagi dan lagi. Novi tampak begitu senang.

Mulutnya tampak tak mau berhenti mengunyah daun, akar, ranting, bahkan serangga yang lewat pun tak luput dari matanya. Novi tampak seperti anak kecil yang begitu senang bermain di dalam kolam penuh dengan permen.

Sesekali Novi tampak bingung, ia terdiam karena suara burung bersahutan tanpa henti. Ia mencoba naik lebih tinggi untuk menemukan burung itu, namun sepertinya burung masih enggan berbicara dengan terbang jauh dari Novi ketika 5 langkah lagi sampai di depan burung tersebut.

Novi adalah salah satu orangutan yang berhasil diselamatkan oleh tim Centre for Orangutan Protection (COP) dari kecamatan Kongbeng. Saat pertama kali ditemukan Novi dalam kondisi yang sangat kurus, saat itu Novi diletakkan di kolong rumah dengan rantai terikat di leher. Rantai yang sudah 5 tahun menyiksanya siang dan malam masih meninggalkan bekas. Hanya anjing pemburu lah yang menjadi teman Novi saat itu.

Setelah 5 tahun penderitaan itu akhirnya Novi mendapat kesempatan kedua untuk kembali ke hutan. Ia kini berada di COP Kalimantan  bersama 14 temannya yang lain untuk kembali sekolah agar dapat menjadi orangutan seutuhnya. (NUS)

STOP THE EXPLOITATION OF ORANGUATAN FOR CIRCUSES AND PHOTOGRAPHS

Orangutans are being forced to work to make money for off-site conservation institutions such as zoos and safari parks. They are put through harsh and rigorous training so that they can appear in photographs with visitors, dance on music stages, or perform in circus shows. The Centre for Orangutan Protection (COP) views these practices as harsh and inhumane and demands their immediate abolition.

Today, a group of COP supporters, members of Orangufriends, launched their campaign simultaneously in 9 cities: Jakarta, Denpasar, Banda Aceh, Bandung, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang and Samarinda. This campaign is known as #orangutanbukanmainan or #orangutanarenottoys.

Following are statements from the campaign coordinators in each city.

“One of the main goals for off-site conservation foundations is education. Orangutan exploitation is not humorous, but unethical. These harsh businesses will continue to survive if society supports them by buying tickets to shows or paying to appear in photographs with orangutans”, said Desya Maharani, a member of Orangufriends Yogyakarta.

“Circuses and photo opportunities with orangutans set a bad example, and demonstrate a disregard for the values of education and understanding about orangutan lives, for which these institutions are supposed to stand. It is no longer appropriate for society to visit these institutions and watch orangutans as circus entertainment or pose for photographs with them”, said Vilinda Maya Marvelina, member of Orangufriends Malang.

“It is not necessary to use circuses or photo opportunities with orangutans to entertain visitors and bring in income for zoos. Clear and accurate education about wildlife must become the priority for these institutions. It’s time to replace circus entertainment with information”, said Ikhwanussafa Sadidan, coordinator of Orangufriends, Bandung.

“The activities performed by orangutans on the circus stage or in photographs with guests do not constitute natural orangutan behaviour. Orangutans have to undergo long training processes to learn to perform these actions. It is clear that this is not how orangutans behave in their natural environment”,said Mawar Purba, coordinator of Orangufriends, Surabaya.

“Orangutans share 97% of their DNA with humans, and therefore can experience emotions such as sadness, fear, love and oppression. Circuses and forced photographs with orangutans constitute a form of mistreatment which we as a society must not support financially”, said Indira Nurul Qomariyah, coordinator of Orangufriends, Solo.

“Orangutans are an international icon for wildlife conservation. Now their very existence is under threat, and it is time for those in management positions to raise their understanding and respect for this issue, and put a stop to these exploitative practices. Circuses and photographs with orangutans do not provide a learning experience, and are not in line with the values of conservation,” said Bintang Dian Pertiwi, coordinator of Orangufriends, Jakarta.

“Orangutans have already been pushed out of their natural environments because of the actionss of mankind. Now in off-site conservation fields, orangutans are still suffering mistreatment at the hands of humans. It is important for these animals to receive protection and better living standards, rather than being made into a source of entertainment in circuses and photographs”, said Andro Sulopadang, coordinator of Orangufriends, Samarinda, East Kalimantan.

“Bali is a beautiful destination for international tourists, and yet in many in zoos, orangutans can still be found in circus shows and being forced into photographs. We should be embarrassed that we are continuing with activities that are already illegal in many nations”, said Rian Winardi, coordinator of Orangufriends, Bali.

“Rescue teams often save baby orangutans whose parents have already died, sometimes as a result of the expansion of palm oil plantations. This fact is not revealed to park visitors. All attempts to educate society about orangutan lives will continue to fail until visitors can understand this context behind the seemingly happy orangutans that appear in circus shows and photographs”, said Ratno Sugito, coordinator of Orangufriends, Aceh.

For further information and interviews please contact:

Rian Winardi, Campaign Coordinator of Orangufriends Bali

Mobile Phone: 085245905754

Vilinda Maya Marvelina, Campaign Coordinator of Orangufriends Malang

Mobile Phone: 085230453454

Mawar Purba, Campaign Coordinator of Orangufriends Surabaya

Mobile Phone: 082230957562

Indira Nurul Qomariyah, Campaign Coordinator of Orangufriends Solo

Mobile Phone: 08567634086

Destya Maharani, Campaign Coordinator of Orangufriends Yogyakarta

Mobile Phone: 083869533631

Bintang Dian Pertiwi, Campaign Coordinator of Orangufriends Jakarta

Mobile Phone: 081212715451

Ikhwanussafa Sadidan, Campaign Coordinator of Orangufriends Bandung

Mobile Phone: 085624066740

Andro Sulopadang, Campaign Coordinator of Orangufriends Samarinda, Kalimantan Timur

Mobile Phone: 081350355822

Ratno Sugito, Campaign Coordinator of Orangufriends Aceh

Mobile Phone: 085360866756

STOP EKSPLOITASI ORANGUTAN SEBAGAI SIRKUS DAN PROPERTI FOTO
Orangutan dipaksa bekerja untuk menghasilkan uang di Lembaga-Lembaga Konservasi Ex Situ seperti Kebun Binatang dan Taman Safari. Orangutan harus dilatih dengan keras dan kejam agar dapat digunakan sebagai properti foto bersama dengan pengunjung, menari di pentas musik atau bermain di sirkus atau pentas satwa. Centre for Orangutan Protection (COP) memandang bahwa praktek – praktek seperti ini harus segera dihentikan karena kejam dan tidak mendidik.
 
Pada hari ini, kelompok pendukung COP yang tergabung dalam Orangufriends menggelar kampanye serentak di 9 kota, yakni Jakarta, Denpasar, Banda Aceh, Bandung, Yogya, Solo, Surabaya, Malang dan Samarinda. Kampanye ini lebih dikenal dengan #orangutanbukanmainan. 
 
Berikut ini pernyataan para koordinator kampanye dari masing – masing daerah: 
 
“Salah satu misi utama Lembaga Konservasi Ex Situ adalah pendidikan. Eksploitasi orangutan adalah tindakan yang tidak lucu dan salah. Bisnis kejam seperti ini akan terus berlangsung bila masyarakat mendukungnya dengan membeli tiket pertunjukan atau membayar untuk bisa berfoto bersama orangutan.”, kata Destya Maharani, anggota Orangufriends Yogya. 
 
“Sirkus dan foto bersama orangutan merupakan edukasi yang keliru dan tidak memiliki nilai edukasi apapun tentang kehidupan orangutan. Sudah sepantasnya masyarakat tidak perlu mengunjungi dan menonton hiburan sirkus dan foto bersama orangutan.”, kata Vilinda Maya Marvelina, anggota Orangufriends Malang.
 
“Tidak perlu menggunakan sirkus dan foto bersama orangutan untuk mengejar daya tarik pengunjung dan pemasukan pendapatan kebun binatang. Pendidikan yang baik dan benar tentang satwa liar bagi pengunjung perlu menjadi prioritas dan sudah sepantasnya kebun binatang mengganti hiburan sirkus dan foto bersama orangutan dengan metode informasi yang lebih mendidik tanpa sirkus dan foto bersama Orangutan.”, Ikhwanussafa Sadidan, Kordinator Kampanye Orangufriends Bandung.
 
“Setiap gerakan yang ditampilkan orangutan dalam panggung hiburan sirkus dan foto bersama orangutan bukan merupakan gerakan alaminya. Orangutan akan menjalani pelatihan panjang untuk setiap gerakan ini dan ini jelas bahwa bukan gerakan alaminya orangutan layaknya di alam liar.”,  Mawar Purba, Kordinator kampanye Orangufriends Surabaya.
 
“Orangutan memiliki 97% DNA yang sama dengan manusia, orangutan bisa memiliki rasa sedih, tertekan, jatuh cinta dan takut. Sirkus dan foto dengan orangutan adalah bentuk pemaksaan terhadap orangutan yang sudah sepantasnya kita sebagai masyarakat tidak mendukung dengan mengunjungi sirkus dan berfoto dengan orangutan.”, Indira Nurul Qomariyah, Kordinator Kampanye Orangufriends Solo.
 
“Orangutan merupakan salah satu ikon konservasi satwa di dunia Internasional. Keberadaannya sangat terancam dan sudah sepantasnya pihak pemangku kepentingan sadar dan memahami serta menghormati dan menghentikan praktek exploitasi ini. Sirkus dan foto bersama orangutan tidak mendidik dan bukan upaya konservasi.”, Bintang Dian Pertiwi, Kordinator Kampanye Orangufriends Jakarta.
 
“Di habitat aslinya orangutan sudah terdesak dan tergusur oleh aktivitas manusia. Dan di lembaga konservasi Ex Situ Orangutan masih mendapatkan perlakuan yang tidak baik. Digunakan untuk sirkus dan foto bersama orangutan. Sudah sepantasnya mereka mendapatkan perlindungan dan kehidupan yang baik bukan menjadi ajang hiburan seperti sirkus dan foto bersama orangutan.”, Andro Sulopadang, Kordinator Kampanye Orangufriends Samarinda, Kalimantan Timur.
 
“Bali merupakan salah satu tujuan pariwisata yang indah namun di beberapa kebun binatang masih menjadikan orangutan sebagai Objek sirkus dan foto bersama orangutan. Seharusnya kita malu karena di beberapa negara maju kegiatan sirkus yang melibatkan satwa liar sudah dilarang.”, Rian Winardi, Kordinator Kampanye Orangufriends Bali.
 
“Tim penyelamat orangutan terkadang menyelamatkan bayi-bayi orangutan tanpa induk yang kemungkinan sudah mati akibat terdampak ekspansi perluasan lahan kelapa sawit. Fakta ini tidak pernah diungkap dengan baik dan pendidikan masyarakat akan gagal manakala masyarakat masih memahami konteks bahagia semu orangutan dalam panggung hiburan sirkus dan foto bersama orangutan.”, Ratno Sugito, Kordinator Kampanye Orangufriends Aceh.
 
Untuk informasi dan wawancara silahkan menghubungi:
 
Rian Winardi, Kordinator Kampanye Orangufriends Bali
Mobile Phone: 085245905754
 
Vilinda Maya Marvelina, Kordinator Kampanye Orangufriends Malang
Mobile Phone: 085230453454
 
Mawar Purba, Kordinator Kampanye Orangufriends Surabaya
Mobile Phone: 082230957562
 
Indira Nurul Qomariyah, Kordinator Kampanye Orangufriends Solo
Mobile Phone: 08567634086
 
Destya Maharani, Kordinator Kampanye Orangufriends Yogyakarta
Mobile Phone: 083869533631
 
Bintang Dian Pertiwi, Kordinator Kampanye Orangufriends Jakarta
Mobile Phone: 081212715451
 
Ikhwanussafa Sadidan, Kordinator Kampanye Orangufriends Bandung
Mobile Phone: 085624066740
 
Andro Sulopadang, Kordinator Kampanye Orangufriends Samarinda, Kalimantan Timur.
Mobile Phone: 081350355822
 
Ratno Sugito, Kordinator Kampanye Orangufriends Aceh.
Mobile Phone: 085360866756

Debbie underwent minor operation

Living in a cage with unfriendly mate was a long misery for Debbie. She was translocated to her new home at the COP Borneo. She have her own room. We provide her best care she deserve. Yesterday, she underwent minor operation to cure her wound. She was bitten by Ambon while in the KRUS Zoo. Get well soon Debbie.

 

Tinggal sekandang dengan teman yang tak ramah adalah derita panjang yang dilalui Debbie selama bertahun – tahun di Kebun Binatang KRUS Samarinda. Kini dia sudah dipindahkan ke tempat kami dan menikmati kamar pribadinya. Kami memberikan perawatan terbaik yang dibutuhkannya. Kemarin kami melakukan operasi kecil untuk mengobati luka bekas gigitan si Ambon. Kami mengeluarkan nanah dan belatung dari lukanya. Lekas sembuh ya Debbie.