Di sebuah pulau hutan hujan tropis yang lebat, yaitu Pulau Dalwood-Wylie yang terletak di Busang, tim APE Guardian yang merupakan bagian dari Centre for Orangutan Protection (COP) kedatangan orangutan betina dari Borneo Orangutan Rescue Alliance (BORA) bernama Charlotte.
Riwayat Charlotte bermula dari proses penyelamatan pada tahun 2021. Ia ditemukan di kolong rumah panggung dalam keadaan leher terikat. Kondisinya saat itu sangat memprihatinkan sebelum akhirnya diselamatkan oleh tim COP. Charlotte kemudian dibawa ke pusat rehabilitasi orangutan BORA di Berau. Di sana, ia mendapatkan perawatan intensif, diberi makanan bergizi, serta dipantau kesehatannya secara berkala. Selain itu, ia juga diajarkan keterampilan bertahan hidup di hutan, seperti membuat sarang, mencari makan, dan berinteraksi dengan orangutan lainnya.
Setelah melalui masa rehabilitasi selama beberapa tahun, pada awal bulan Mei Charlotte akhirnya dipindahkan ke pulau pra-pelepasliaran. Pulau ini merupakan tempat transisi bagi orangutan sebelum dilepasliarkan ke alam bebas. Charlotte adalah orangutan yang cerdas, ia cepat beradaptasi dengan lingkungan baru di pulau pra-pelepasliaran.
Pada pagi yang dingin, dengan langit berkabut dan dedaunan bergemuruh, saya segera mengambil kamera untuk memotret Charlotte yang sedang berayun di pohon. Selama pemantauan, Charlotte terlihat memakan berbagai jenis makanan alami yang tersedia di pulau, seperti buah ara, buah akar, buah bayur, kambium, dan daun muda. Kami juga beberapa kali melihatnya memakan bambu muda. Di luar itu, kami tetap memberinya makanan tambahan sesuai rekomendasi dokter hewan COP.
Di pulau pra-pelepasliaran, tim mencoba mengelilingi area untuk mengecek apakah Charlotte sudah mampu membuat sarang. Awalnya, tim hanya menemukan satu sarang kecil. Tiga hari kemudian, ditemukan empat sarang dengan ketinggian berbeda. Tim juga menemukan gundukan di tanah yang diduga sebagai alas tempat Charlotte duduk. Selama pemantauan, Charlotte tampak aktif berpindah dari hulu ke hilir pulau, dan sesekali muncul di depan pos monitoring.
Hingga saat ini, Charlotte terus menunjukkan perkembangan perilaku yang positif. Kini, ada dua sarang baru yang dibuat olehnya. Selain itu, Charlotte mulai lebih menyukai buah hutan yang diberikan oleh ranger dibandingkan dengan sayuran. Ia juga terlihat lebih aktif dibanding bulan sebelumnya, seakan menunjukkan bahwa dirinya siap untuk menjelajahi habitat yang lebih luas lagi. (LUT)
5 Februari 2025, sebuah video pendek menyebar seperti api di media sosial. Gambar buram orangutan besar yang berjalan di tengah kawasan tambang membuat banyak orang tersentak. Di tengah landskap tambang yang gersang, kehadiran makhluk berambut itu terasa seperti seruan permintaan tolong dari alam. Orangutan, spesies yang terancam punah dan dilindungi, tak seharusnya berada di sana. Hutan yang dulu menjadi rumahnya kini berbatasan dengan perkebunan sawit dan kawasan tambang, sebuah dunia yang asing dan penuh bahaya baginya.
Melihat video tersebut, BKSDA Kaltim tak membuang waktu. Dengan sigap, tim WRU SKW II Tenggarong berangkat menyelamatkan makhluk luar biasa ini dari nasib tak pasti. Tim bertemu dengan warga setempat yang pertama kali merekam video viral itu. “Dia muncul di pagi hari, biasanya sendirian”, ujar salah seorang warga dengan mata penuh kekhawatiran. Dari cerita mereka, tim tahu bahwa orangutan ini bukan tamu biasa. Ia adalah individual jantan besar, mungkin tersesat atau terdesak dari habitat aslinya oleh perluasan tambang dan kebun sawit. Ditambah lagi informasi penampakan orangutan tersebut sedang memakan umbut sawit di dekat hutan karet, sebuah tanda bahwa ia berjuang mencari makanan di lingkungan yang tak ramah.
Hutan karet yang lebat dengan tanah basah menyambut mereka, namun tak menghentikan kesigapan tim untuk menyelamatkan orangutan tersebut. Di antara pepohonan, orangutan jantan perkasa dengan bobot lebih dari 70 kg membuat tim terkagum-kagum, tapi bukan saatnya. Orangutan adalah satwa cerdas dan kuat, menyelamatkannya bukanlah tugas yang mudah. Diperlukan koordinasi yang matang untuk memblokir pergerakan orangutan. Senjata bius disiapkan, jaring diatur, dan setiap anggota tim penyelamatan mengambil posisi. Jantung mereka berdegup kencang saat menunggu momen yang tepat. “Sekarang!”, seru salah seorang anggota tim dan sebuah peluru bius melesat mengenai sasaran dengan presisi. Ketegangan belum usai, Orangutan itu memanjat pohon dengan gerakan pelan lalu dengan keadaan tidak sadarkan diri terjatuh pada jaring yang sudah ditarik tegang anggota tim. Usianya sekitar 17 tahun, masih muda, tanpa luka namun cukup besar untuk menjadi simbol kekuatan alam yang rapuh di tangan manusia. Evakuasi selesai, tetapi misi belum berakhir. Anshar begitu namanya, akhirnya dibawa menuju Hutan Lindung Gunung Batu Mesangat, sebuah kawasan yang masih hijau dan liar, tempat ia kembali menjadi bagian dari alam.
Rabu, 12 Februari pukul 13.00 WITA, di tengah lebatnya hutan, kandang angkut Anshar dibuka. Matahari siang menyelinap melalui kanopi hutan, menerangi rambutnya yang bercahaya. Dengan langkah ragu namun penuh makna, Anshar melangkah keluar. Udara segar hutan memenuhi paru-parunya dan suara burung serta gemerisik daun seolah menyanyikan lagu penyambutan. Ia menoleh sekilas ke arah tim yang telah menyelamatkannya, lalu menghilang ke dalam lebatnya hutan, kembali ke tempat ia seharunya berada. Translokasi Anshar bukan sekedar akhir dari sebuah operasi penyelamatan, di bawah naungan pohon-pohon tinggi, Anshar melangkah menuju kehidupan barunya. Mungkin suatu hari, anak-anaknya akan mengisi hutan dengan kehidupan. Dan mungkin, cerita ini akan terus menginspirasi kita untuk tidak menyerah pada pelestarian alam, satu orangutan pada satu waktu.
Betul, tulisan ini akhirnya dibuat setelah video orangutan berada di areal tambang bulan Februari kembali ramai lagi di awal bulan Juni 2025 ini. Terima kasih atas kepedulian warga net, kini Anshar sudah aman. (AGU)
Beberapa hari lalu, Busang diguyur hujan terus-menerus dan mengakibatkan kenaikan debit air sungai yang tinggi. Beberapa desa dari Kecamatan Kutai Timur mengalami imbas dari air pasang yang mencapai tepi jalan desa. Debit air yang tinggi adalah salah satu permasalahan yang sering dihadapi, saat kondisi air sungai meluap. Beberapa akses jalan tertutup dikarenakan banjir dan membuat beberapa agenda aktivitas kerja terhenti.
Terik mulai kembali, tetapi air tetap tak kunjung surut menutupi jalan utama. Tim APE Guardian bergegas memastikan jalan menuju desa Rantau Sentosa dimana SMAN 2 Busang berada. Usaha mencari informasi akses jalan yang bisa dituju hingga batas Desa Long Lees dan Long Pejeng yang merupakan jalan utama pun menemukan titik terang. “Coba kalian lewat gunung jalan baru yang tembus ke tugu”, kata Eka salah satu warga Long Lees. “Banjir bukan halangan, tapi jika sepinggang? Kita pulang”, kata Rindang Angka, anggota tim APE Guardian dengan nada tawa bercanda.
Beberapa menit telah terlewat, putaran ban mobil mulai melambat, kami pun tiba di depan desa Rantau Sentosa dengan penuh dugaan, dengan adanya beberapa kendaraan yang berlawanan arah, dugaan itu pun semakin kuat dan benar saja, air terlihat di atas permukaan jalan. Satu titik banjir berhasil dilewati dengan jarak yang tidak terlalu jauh dan dalam. Titik lokasi banjir kedua berusaha tetap dilanjutkan, setelah semakin maju ternyata cukup jauh dan dalam hingga lebih sepinggang orang dewasa. Berhenti sejenak merencanakan rencana lanjutan, sembari menunggu informasi dari pihak sekolah, tidak lama pihak sekolah memberi kabar dikarenakan banjir, murid-murid diliburkan.
Hari pun berganti, di keesokan harinya, kami pun kembali menuju ke desa Rantau Sentosa. Cuaca yang cerah serta cahaya matahari memulai senyum dari sambutan hangat guru dan murid saat tiba di sekolah. Perkenalan 56 remaja dari kelas 2 SMA pun dimulai, semakin kenal dan bertambah bobot dengan materi, “Orangutan dalam naungan konservasi”, mari ambil peranmu! (Guardian).
Penghijauan dan pengayaan pohon pakan alami di sekitar area rehabilitasi orangutan Borneo Orangutan Rescue Alliance (BORA) merupakan perbaikan kualitas lingkungan sekitarnya, tidak hanya sebagai langkah pelestarian lingkungan, tetapi juga sebagai bentuk dukungan langsung terhadap kebutuhan ekologis orangutan yang tengah menjalani proses rehabilitasi. Tidak hanya animal keeper tetapi tim COP (Centre for Orangutan Protection) lainnya yang sedang mampir di BORA ikut terlibat.
Proses penanaman diawali dengan pembuatan lubang tanam di titik-titik yang telah direncanakan. Setelah itu, bibit-bibit pohon ditanam secara bersama-sama. Setiap bibit kemudian diberi pupuk kompos yang berasal dari hasil olahan sampah organik kandang orangutan. Penggunaan kompos ini merupakan bagian dari strategi berkelanjutan dalam pengelolaan limbah organik di BORA, sekaligus sebagai cara alami untuk memperkaya nutrisi tanah di lokasi penanaman.
Penanaman berjalan dengan lancar dan penuh semangat. Cuaca yang mendukung turut memberikan suasana yang kondusif sepanjang kegiatan. Harapannya, bibit-bibit pohon yang ditanam ini kelak akan tumbuh menjadi bagian dari habitat pendukung yang penting bagi orangutan, sekaligus memperkuat keseimbangan ekosistem di area rehabilitasi. Ya, COP terus menegaskan komitmennya dalam menciptakan lingkungan yang sehat dan alami bagi satwa yang tengah rehabilitasi, serta memperkuat kinerja antar tim dalam aksi nyata konservasi. (RAF)
Langit Yogyakarta menguncup perlahan pada 9 Mei 2025, saat rintik hujan turun bak salam bumi kepada manusia yang berkumpul di Laboratorium Biologi UGM. Di sinilah talkshow “Cerita dari Jogja: Alam Bukan Warisan, Tapi Titipan” bergulir sebagai kelanjutan dari aksi Hari Bumi di Malioboro, sebulan sebelumnya. Para pembicara tak datang membawa materi kosong, mereka datang dengan napas hutan. Indira Nurul (COP) yang menyuarakan jeritan orangutan dari balik kabut api, Fara Dini (Javan Wildlife) yang menafsir ulang konservasi sebagai relasi hidup, dan Ignas Dwi Wardhana, sang fotografer satwa yang tak berbicara banyak karena fotonya sudah lebih dari cukup untuk mengguncang.
Di tengah guyuran hujan, suasana mendadak magis saat Pentas Tari Owa dibawakan langsung oleh keturunan asli Suku Mentawai. Tubuhnya menari bukan sekedar dengan gerak, tapi dengan jiwa. Ia menyampaikan kisah primata yang kehilangan hutan, rumah, dan waktu.Gerakan yang menyentak, patah, lalu perlahan mengalir seperti sungai di pedalaman. Senja pun tiba dan layar lebar menyala. Film-film dari Forum Film Dokumenter (FFD) Jogja dan 4K Jogja mulai bicara, tentang tanah yang digadaikan, hutan yang dipecundangi, dan manusia-manusia kecil yang bertahan melawan sunyi. Tak ada yang bergerak gegas, semua larut dalam perenungan yang lembab dan jujur.
Pukul 17.30 WIB, acara usai. Tapi bukan akhir yang terasa melainkan awal dari benih kecil yang tumbuh di kepala-kepala muda. Sebuah bisikan baru bahwa menjaga alam bukanlah proyek besar yang menunggu dana jutaan, tapi keputusan harian yang bisa dimulai hari ini. Di sore yang basah itu, Jogja menyampaikan satu pesan yang tidak mudah dihapurshujan. Bumi memang bukan warisan, ia adalah titipan dan sudah waktunya kita bersiap menjadi penjaganya. (DIT)
Tiap lihat anakan orangutan, selalu menyempatkan 10 detik untuk memperhatikan ibu jari kaki mereka (karena unik). Ibu jari tangan mereka masih ada kukunya, sedangkan di kaki engga ada. Tapi ada juga individual yang ibu jari kakinya punya kuku kecil banget, setitik.
Ibu jari mereka berukuran jauh lebih pendek dan posisinya berlawanan daripada keempat jari lain (opposable thumb). Struktur jari ini mendukung aktivitas dan pergerakannya di atas pohon. Mulai dari genggaman ke batang, cabang, liana, atau akar gantung untuk pindah tempat, sampai memetik daun, tunas bahkan buah untuk dimakan.
Ternyata, anakan orangutan selalu pilih batang pohon berdiameter kecil atau akar gantung untuk dipanjat. Diameter substrat yang kecil lebih mudah untuk mereka menggenggam dan me-minimalisir tergelincir jatuh. Tapi di beberapa momen mereka masih sering merosot seperti meluncur dari atas pohon besar secara tiba-tiba. Kayak kalau digigit semut rang-rang, dengar suara asing yang keras, ada orang asing mendekat, atau ketika liat buah pancingan yang ranum.
Faradiva Zahra Maharani, seorang sarjana Biologi dari Universitas Diponegoro yang saat ini menjadi babysitter di BORA (Borneo Orangutan Rescue Alliance). (FAR)
Pada awal Mei 2025, tim APE Patriot menggelar rangkaian edukasi konservasi satwa liar di sejumlah sekolah di Kabupaten Tapanuli Selatan. Bersama dengan BBKSDA Sumatera Utara, mereka menyambangi berbagai tingkatan sekolah untuk menanamkan kepedulian terhadap kelestarian dan hutan sejak dini.
Perjalanan dimulai sejak Senin, 5 Mei di SMP Negeri 3 Sipirok. Kedatangan tim disambut hangat oleh Kepala Sekolah yang langsung menyiapkan kelas untuk kegiatan edukasi. Sebanyak 35 siswa kelas 9 yang baru saja menyelesaikan ujian sekolah hadir didampingi Wakil Kepala Sekolah bidang kurikulum. Perkenalan diselingi permainan ringan untuk mencairkan suasana. Kemudian dilanjutkan dengan kisah menarik seputar orangutan dan pentingnya melestarikan satwa liar. Antusiasme siswa terlihat sejak awal hingga sesi diskusi. Sebagai penutup, tim menyerahkan poster info grafis dan berfoto bersama para siswa sebagai kenang-kenangan.
Keesokan harinya, Selasa 6 Mei, tim melanjutkan edukasi ke Kecamatan Arse yang berdekatan dengan kawasan Ekosistem Batang Toru. Sekolah pertama yang dikunjungi adalah SMK Negeri 1 Arse. Sebanyak 41 siswa dari kelas 10 da 11 mengikuti sesi edukasi yang juga dihadiri oleh Kepala Resort Cagar Alam Dolok Sipirok, Bapak Martono Gurusinga. Beliau memberikan pengantar tentang kawasan Cagar Alam. Seperti biasa tim melanjutkan kegiatan dengan mengajak siswa memahami peran mereka dalam menjaga satwa liar dan bagaimana bersikap jika menemukan kasus kejahatan terhadap satwa. Suasana kelas hangat dan penuh semangat.
Masih di hari yang sama, sekolah kedua yang disambangi adalah SD Negeri 100403 Arse. Edukasi di sekolah dasar ini teraan begitu semarak dengan kehadiran 126 siswa kelas 6. Salah satu bagian paling menarik adalah permainan “pemburu dan penebang”, yang menjadi refleksi tentang kerusakan hutan akibat ulah manusia. Momen berkesan muncul ketika seorang siswa mengaku pernah melihat orangutan di sekitar tempat tinggalnya dan berharap bisa melihatnya lagi suatu hari nanti.
Bulan depan, kita ke sekolah mana lagi ya? (DIM)
The sky was still gray when we left the small dock at Long Lees, a quiet village on the banks of the Atan River in Busang District, East Kutai. The morning dew had not yet completely evaporated, and the remnants of last night’s rain made the air feel fresh and cool. On one of the four boats moving along the river, whose water level was rising and murky, an orange metal cage containing Charlotte, a female orangutan around 10 years old, was securely tied to the center of the boat. She was quiet, simply observing through the bars, as if she knew she was being taken to something better than her past. Along with the East Kalimantan Natural Resources Conservation Agency (BKSDA), the Centre for Orangutan Protection (COP) team headed upstream toward the pre-release island.
Charlotte became a special memory in my career in orangutan conservation. She was the first individual I encountered during my assignment in an orangutan rescue operation, a moment that marked the beginning of my journey with COP. I still clearly remember our long journey in 2021, traversing the vast, endless labyrinth of oil palm plantations, until we finally arrived at a wooden house where Charlotte was tied under the raised house, her neck entangled in a chain with only one meter of movement space. From there, we brought her to the Borneo Orangutan Rescue Alliance (BORA) rehabilitation center in Berau. Now, four years later, I am once again embarking on a long journey with Charlotte, but with a different mission—no longer to rescue her from the chains, but to escort her toward freedom.
The journey to the prerelease island of Dalwood Wylie that morning was not entirely smooth. About 15 minutes after leaving Long Lees, the engine of the boat carrying Charlotte’s cage suddenly stopped. In the middle of the wide and deep Atan River, the boat had to be towed to the riverbank for inspection. Due to the engine issue that couldn’t be resolved, the team decided to replace the engine with one from another boat. Out of the four boats that originally set off, only three continued the journey. One boat remained on the riverbank, with rangers Ulang and Billy staying behind to repair the engine.
About two hours later, we finally arrived at the APE Guardian monitoring post located across from Dalwood Wylie Island. After lunch, we moved the cage containing Charlotte onto the island. After a count of three, Mr. Rudi from the East Kalimantan Natural Resources Conservation Agency opened the cage door. When the door opened, Charlotte did not hesitate. Within seconds, she climbed the first tree she saw, continuing to climb until she reached the canopy. Leaves rustled above our heads as she moved between trees, tasting leaves, fruits, and even bark—a good sign that she was ready to resume her life as a forest dweller. On this island, Charlotte will undergo further observation to test her independence, far from human footprints, toward the final stage of her freedom. (RAF)
CHARLOTTE, DARI KOLONG RUMAH KE KANOPI HUTAN
Langit masih kelabu saat kami meninggalkan dermaga kecil di Long Lees, sebuah kampung tenang di tepi Sungai Atan, Kecamatan Busang, Kutai Timur. Embun pagi belum benar-benar menguap, sisa hujan semalam membuat udara terasa segar dan dingin. Di salah satu dari empat perahu yang bergerak menyusuri sungai yang bergerak menyusuri sungai yang permukaan airnya sedang naik dan keruh itu, sebuah kandang logam berwarna jingga berisi Charlotte, orangutan betina berusia sekitar 10 tahun, terikat rapi di tengah kayu. Ia tidak berisik, hanya diam memperhatikan dari balik jeruji, seolah tahun ia sedang dibawa menuju sesuatu yang lebih baik dari masa lalu. Bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur, tim Centre for Orangutan Protection (COP) berangkat ke arah hulu, menuju pulau pra-pelepasliaran.
Charlotte menjadi bagian dari memori yang spesial dalam perjalanan karier saya di dunia konservasi orangutan. Dialah individu pertama yang saya temui saat ditugaskan dalam operasi penyelamatan orangutan, momen yang menjadi awal perjalanan saya bersama COP. Saya masih mengingat jelas perjalanan panjang kami pada 2021, menyusuri luasnya labirin kebun sawit yang tiada habisnya, hingga akhirnya tiba di sebuah rumah kayu tempat Charlotte diikat di kolong rumah panggung, lehernya terjerat rantai dengan ruang gerak hanya 1 meter. Dari sana, kami membawanya menuju pisat rehabilitasi Borneo Orangutan Rescue Alliance (BORA) di Berau. Kini, setelah empat tahun berlalu, saya kembali melakukan perjalanan panjang membawa Charlotte, namun dengan misi berbeda, bukan lagi menyelamatkannya daru kekangan rantai, tetapi mengantarkannya menuju kebebasan.
Perjalanan menuju pulau pra-pelepasliaran Dalwood Wylie pagi itu tidak sepenuhnya mudah. Sekitar 15 menit meninggalkan Long Lees, mesin perahu pengangkut kandang Charlotte mendadak mati. DI tengah sungai Atan yang lebar dan dalam, perahu itu harus digandeng ke tepi sungai untuk diperiksa. Karena kendala mesin yang tak kunjung teratasi, tim memutuskan menukar mesinnya dengan mesin perahu lain. Dari empat perahu yang semula berangkat, hanya tiga yang akhirnya melanjutkan perjalanan. Satu perahu menetap di tepi sungai, ranger Ulang dan Billy tetap tinggal untuk memperbaiki mesin tersebut.
Sekitar dua jam kemudian akhirnya kami tiba di pos monitoring APE Guardian yang berlokasi di seberang pulau Dalwood Wylie. Selepas makan siang, kami memindahkan kandang berisi Charlotte ke dalam pulau. Setelah hitungan ketiga, Pak Rudi dari BKSDA Kalimantan Timur membuka pintu kandang. Ketika pintu kandang dibuka, Charlotte tidak ragu. Dalam hitungan detik, ia memanjat pohon pertama yang ia lihat, terus memanjat hingga ke kanopi. Daun-daun bergoyang di atas kepala kami saat ia berpindah antar pohon, mencicipi daun, buah, dan bahkan kulit kayu, tanda awal yang baik bahwa ia siap kembali menjalani hidup sebagai penghuni hutan. Di pulau ini, Charlotte akan menjalani pengamatan lanjutan untuk menguji kemandiriannya, jauh dari jejak manusia, menuju tahap akhir kebebasannya. (RAF)
Selalu menyenangkan berjumpa kembali dengan orangutan yang sudah lama tidak teramati di hutan. Hal ini terutama kami rasakan karena kemunculan mereka membuktikan bahwa orangutan yang kami lepas-liarkan di Hutan Lindung Gunung Batu Mesangat dapat bertahan hidup. Siapakah orangutan yang kali ini kami temui?
Hari yang cerah di pos monitoring Busang, cuaca yang ideal untuk tim APE Guardian memulai kegiatan lebih pagi. Pada jadwal hari ini, waktunya kami berpatroli menyusuri Sungai Menyuq. Saat mentari mulai menampakkan sinarnya, teman-teman ranger sudah sedia dengan mesin perahu. Suara mesin memecah nyanyian alam, perahu melaju perlahan, 5 orang anggota tim APE Guardian pun menengok kanan dan kiri tepi sungai, barangkali terdapat tanda-tanda keberadaan orangutan.
Semakin lama waktu berjalan, kami semakin menjauh dari pos, belum satupun tanda-tanda teramati. Tim memutuskan untuk istirahat sebentar di muara Sungai Payau, memakan bekal yang dibawa sembari bercanda penuh harap perjumpaan dengan siapa pun orangutan yang menghuni ekosistem Busang ini. Tak jauh dari muara, kami menjumpai sarang orangutan kelas 2, artinya sarang tersebut masih belum lama dibuat. Kami menghentikan perahu dan mengamati sekitar, tak jauh dari lokasi sarang, salah satu tim kami melihat ranting-ranting jatuh seperti dilempar. “Kayaknya ada yang gerak-gerak di pohon seberang”, ujar Dedi, ranger tim APE Guardian COP. Kami pun mendekat ke pohon tersebut dan benar saja, terdapat satu orangutan jantan yang sedang makan buah Baran (Dracontomelon dao).
“Khas sekali, kiss squeak pun terdengar, tanda orangutan mengusir. Ditambah suara ranting dipatahkan berlanjut dengan lemparan ranting-ranting tersebut. Perilaku orangutan liar”, gumam tim sembari semakin mengamati orangutan tersebut. Cheekpad yang berlekuk pada sisi kanan wajahnya menjadi ciri khas orangutan jantan Tara, yang diselamatkan tim Wildlife Rescue Unit (WRU) Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur bersama APE Crusader COP dari interaksi negatif dengan manusia di Kecamatan Bengalon. Sebelumnya Tara terlihat oleh masyarakat di pemukiman Desa Sepaso. Perangainya yang besar membuat masyarakat takut untuk berkebun. Akhirnya 28 April 2024, orangutan Tara ditranslokasi menuju rumah barunya, dan setelah setahun kami pun berjumpa kembali. Sekilas kondisinya terlihat sehat dan aktif mencari makan. Hari yang sangat beruntung dengan perjumpaan ini, rasa syukur ‘rumah’ ini baik untuk orangutan. (YUS)
“Tuti nih orangutan paling cantik,” kata Indah, biologist BORA saat hendak membawa Astuti ke sekolah hutan. Wajah orang Astuti memang menggemaskan seperti boneka dan rambut keritingnya unik menarik hati. Belum ada orangutan di pusat rehabilitasi BORA yang rambutnya keriting seperti Astuti. Kalau rambutnya basah, keritingnya lebih terlihat menggemaskan lagi. Mungkin karena rupa imut nya itu penjahat pedagang satwa liar berusaha menyelundupkannya dan menjualnya. Astuti berhasil diselamatkan saat hendak dikirim ke luar negeri melalui Sulawesi pada akhir tahun 2022. Ia kemudian dipindahkan ke pusat rehabilitasi BORA dan menjalankan masa karantina selama beberapa bulan.
Pada bulan Maret, setelah hasil tes kesehatannya keluar dan berhasil baik, ia resmi menjadi murid baru di sekolah hutan! Sebagai murid baru, ia berhasil mencuri perhatian kami dan membuat kami kagum akan kemampuannya. Pada hari pertama sekolah hutan saja ia sudah memanjat setinggi 18 meter. Ia tidak sesering berada di tanah seperti Jainul, murid orangutan sebayanya yang selalu berguling-guling di tanah dan masih susah sekali disuruh memanjat pohon. Sekali-kalinya ia berguling-guling di tanah, tubuhnya akan ditempeli banyak daun kering dan ranting. Rambutnya yang panjang membuat benda-benda di tanah lebih mudah menyangkut. Kami sering menertawakannya ketika tubuhnya sudah sangat kotor. Rupanya yang paling lucu adalah ketika dia baru saja berguling-guling di tanah dan tubuhnya ditempeli lumpur! Kami para perawat satwa dibuat terpingkal-pingkal melihat rambutnya yang jadi gimbal.
Akhir-akhir ini, Astuti semakin jago menjelajah dan seringkali keasyikan. Suatu hari saat sekolah hutan (29/04), ia mengikuti orangutan Charlotte yang usianya sekitar lima tahun lebih tua dan sudah lebih piawai menjelajah. Mereka makan bersama-sama di satu pohon dan sulit sekali dipanggil untuk turun dan pulang dari sekolah hutan. Bima dan Syarif, perawat satwa yang bertugas saat itu terus memanggil mereka dan memancing dengan buah. Sayangnya Astuti dan Charlotte tetap asyik makan di atas pohon. Mereka akhirnya kekenyangan dan turun sendiri setelah satu jam waktu sekolah hutan usai. Meski harus repot menunggu dan memanggil-manggilnya, kami bangga sekali dengan perkembangan pesat murid baru yang berhasil mencuri perhatian kami ini. Terus berkembang ya, Astuti!
