MERAPI ERUPSI LAGI, RELAWAN ORANGUFRIENDS BERGEGAS KE LOKASI

Sabtu (11/03) siang, masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta dikejutkan dengan rangkaian erupsi gunung Merapi yang terjadi. Hingga sore hari, awan panas masih membumbung tinggi dan hujan abu mewarnai langit kelabu hingga mencapai wilayah Boyolali, Magelang, dan sekitarnya. Dikatakan oleh Agus Budi, kepala Balai Penyidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) pada pers daring yang digelar sore harinya, erupsi kali ini tergolong efusif yang ditandai dengan aktivitas berupa pertumbuhan kubah lava, guguran, dan awan panas guguran (CNN Indonesia). Awan panas guguran yang terjadi disebabkan oleh runtuhnya kubah lava di sebelah Barat Daya. Sementara aliran lava meluncur dengan jarak 1.500 meter ke Barat Daya. Ia melanjutkan dengan himbauan agar warga menjauhi daerah bahaya sepanjang 7 km dari puncak Gunung Merapi di alur Kali Bebeng dan Krasak.

Menindaklanjuti erupsi tersebut, tim Animal Rescue COP yang terdiri dari Orangufriends (relawan COP) bergegas mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan peninjauan ke daerah Krinjing, salah satu lokasi terdampak erupsi. “Saat ini kita lagi persiapan. Ini ada goggle, masker, helm, handuk, dan senter,” ujar Daeng, relawan Orangufriends yang juga merupakan alumni COP School batch 12. Ia dan Zain, salah seorang Orangufriends lainnya yang turut bersiap di Camp APE Warrior COP telah berpengalaman dalam menghadapi situasi bencana dan beberapa kali melakukan penyelamatan satwa. Tidak lama berselang, mereka bersama dua orang tim COP pun berangkat menuju lokasi. Sesampainya di sana, mereka langsung berkoordinasi dengan berbagai pihak termasuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Kapolres Magelang untuk sementara mendapatkan informasi bahwa hingga saat ini belum ada instruksi agar warga mengungsi.

Tim Animal Rescue pun melanjutkan peninjauan lokasi. Daeng dan Zain melaporkan bahwa di lokasi tersebut, dampak yang paling dirasakan yaitu sektor pertanian dan peternakan. Mereka berjalan menyusuri lahan pertanian yang tertutup abu, menyaksikan pemandangan sayuran yang hancur dan busuk. Rumput-rumputan yang biasa diambil untuk pakan ternak pun tertutup abu dan rusak. Pak Subur, salah seorang warga yang ditemui tim mengatakan bahwa warga mulai kebingungan mencari rumput pakan ternak untuk keesokan hari. Beberapa warga pemilik ternak terpaksa turun ke daerah lain seperti Talun untuk mencari pakan. “Untuk ternak, mayoritas masyarakat memelihara sapi. Pada dusun Trono yang terdampak terdapat sekitar 150 kepala keluarga. Rata-rata satu keluarga bisa memelihara dua hingga tiga ekor sapi,” Desita, salah seorang staff COP yang turut serta mengikuti relawan tim Animal Rescue melaporkan keadaan lapangan.

Setelah meninjau lokasi dan menghimpun informasi, tim Animal Rescue pun berdiskusi dan menetapkan langkah yang akan dilakukan menindaklanjuti dampak khususnya terhadap satwa ternak di lokasi. Mereka berencana untuk berkoordinasi dengan Dinas Peternakan setempat dan juga kepala dusun untuk menginisiasi bantuan pakan satwa ternak. Dalam beberapa kasus bencana, relawan Orangufriends memang turut aktif berperan membantu penyelamatan satwa oleh tim Animal Rescue COP. Seperti saat erupsi Gunung Semeru pada bulan Desember lalu, atau saat terjadi gempa Cianjur pada bulan November. Tidak hanya menyelamatkan satwa ternak warga dan membantu memberi pakan, dalam kejadian-kejadian bencana mereka juga biasa melakukan feeding pada satwa-satwa liar yang turut terdampak bencana. Tanpa bantuan relawan Orangufriends, tim Animal Rescue tentu akan menghadapi lebih banyak tantangan pada saat bertugas. Terima kasih relawan Orangufriends! (NAD)

SAPAAN PAGI DARI ASTUTI, MABEL, DAN PINGPONG

“Selamat pagi!”

Kalau baru memulai hari di rumah, biasanya kita menyapa orang-orang rumah, memeluk, atau memberikan ciuman pagi. Kalau di pusat karantina BORA, Astuti dan Pingpong biasa menyambut Tata, keeper mereka dengan pelukan kepala dari dalam kandang. Tata membalas sapaan pagi dengan sesekali memanggil-manggil nama mereka ketika dipeluk.

“Hai Tutiiiii.. Tuut..” “Ya, Pong? Pingpooong,” panggilnya. Tata merogoh saku dan memberikan buah untuk cemilan pagi Pingpong dan Astuti.

Beberapa kali Astuti menambah tepukan di rambut Tata ketika memeluk kepalanya.

“Biasa, Astuti emang suka pegang rambut. Gitu cara dia ngenalin orang, ngebauin rambut. Harus siap keramas deh,” ujarnya.

Sementara Astuti dan Pingpong sudah bangun dan mulai aktif memanjat-manjat, di dalam klinik masih terdengar dengkuran. Mabel yang sedang pilek dan dirawat dalam klinik masih tertidur pulas dalam kandang. Mabel adalah orangutan terkecil di lokasi karantina BORA dan biasanya bangun paling siang. Hari itu ia bangun beberapa menit setelah kami beraktifitas bolak-balik dalam klinik. Ia langsung bangkit memegang pintu kandang dan merengek minta perhatian. Begitu cara si mungil Mabel menyapa tim yang bertugas di pagi hari, dengan rengekan caper. Ketika Tata membuka kandang Mabel, langsung saja ia memanjat tubuh Tata dan memposisikan diri di punggung Tata. Kalau sudah begini, dia susah lepas. Mabel tetap nangkring di pundak Tata ke mana pun Tata pergi dan apa pun yang Tata lakukan. Hanya sesekali dia turun dan bermain-main sendiri sambil diawasi Tata. Jika Mabel mulai lebih nyaman dengan posisi tertentu, Tata menaruhnya di pohon. Mabel pun memanjat dengan cepat sampai puncak pohon. 

“Ya gini aku tiap pagi udah kaya Ibu rumah tangga yang ngasuh bayi kak. Udah kaya Jennifer Bachdim lah ngurus anak sendiri,” ujar Tata.

Aku tertawa sambil mengawasi Mabel yang olahraga pagi memanjat pohon dan berayun-ayun. (NAD)

BANJIR TAWA, HARU DAN CERITA MENGINSPIRASI DI JAMBORE ORANGUFRIENDS 2023

Tanggal 4 dan 5 Maret yang lalu, Omah’e Simbhok di Petingsari, Yogyakarta berada di kaki Gunung Merapi yang dingin justru terasa hangat. Ada 60 orang berkumpul terdiri dari staf COP dan relawan orangutan yang tergabung di Orangufriends untuk menghadiri Jambore Orangufriends 2023. Perayaan ulang tahun COP yang ke-16 dan kilas balik perjalanan Centre for Orangutan Protection dilanjutkan penganugerahan penghargaan untuk tokoh inspiratif di dunia konservasi sekaligus sebagai prosesi wisuda COP School angkatan 11 dan 12.

Seperti reuni keluarga besar, gelak tawa dan candaan menghidupkan suasana selama acara. “Sangat hangat. Kita saling mengenal, jadi berteman dan saling silang ya. Silang pikiran, gagasan juga memperluas pertemanan,”ujar Wanggihoed, Orangufriends Bandung yang aktif berpartisipasi di kegiatan-kegiatan COP.

Jambore yang seyogyanya dilaksanakan setiap tahun terpaksa ditiadakan karena pandemi COVID-19. Bahkan COP School Batch 11 terpaksa menjalani karantina di tengah-tengah kegiatan karena ada yang positif COVID-19 waktu itu. Daniek Hendarto, direktur COP menyampaikan kegiatan COP semasa pandemi itu, sewaktu yang mewajibkan kita melaksanakan protokol dan pembiasaan baru. Perjalanan COP dari 2007 diceritakan kembali oleh Hardi Baktiantoro, pendiri COP. Semangat para alumni COP School menyampaikan pengalaman mereka berkegiatan dibagikan Zain nabil dan Daeng Hudayya.

Jambore Orangufriends juga mengundang CEO BOS Foundation, Jamartin Sihite dan CEO OIC, Panut Hadisiswoyo untuk hadir dan ikut berbagi cerita sepak terjang mereka di dunia konservasi orangutan. Keduanya menekankan bahwa membentuk generasi muda yang peduli pada lingkungan adalah kunci penting dalam dunia konservasi. Mereka mengapresiasi kegiatan-kegiatan COP yang mendukung terbentuknya generasi muda yang aktif. “Tanpa generasi muda, gak ada masa depan orangutan,”, ucap Jamartin.

Di luar sesi terjadwal, semua yang hadir jugu turut berbagi cerita pengalaman lucu, mengharukan dan bahkan menegangkan di dunia konservasi. Permainan ice breaking serta melukis bersama di sela kegiatan membanjiri Omah’e Simbhok dengan tawa dan keceriaan. Ingin merasakan juga suasana menyenangkannya? Kami tunggu di Jambore Orangufriends tahun depan ya! Sampai Jumpa… (NAD)

THE WORK OF INSPIRING WOMEN ENRICHING THE WORLD OF CONSERVATION

Annually on 8th March, the world celebrates the International Women Day since 1910. This celebration is meant to raise awareness on inequity and inequality that women experience around the world. More than a century has passed yet we’re still celebrating it today. This could only mean that we’re still far from creating an equal and fair world for women and we should continue the struggle.

In the world of conservation, women face different kinds of inequity and inequality in different countries. In Indonesia, we might often hear a bias assumption that the world of conservation is a men world. It’s believed as a masculine field because it requires physical strength, courage, and intelligence, qualities often attributed to men. Women’s contribution and role are often overlooked and degraded. Say the least, women pay great contribution to work of conservation to this day. Let’s have a talk with mbak Yuyun, a mother and one of tough women who co-founded COP and still work in COP as a communication manager today.

How’s your journey with COP from day 1?

Truly it was chaotic. My children were so young I had to leave them with my parents. When I found the work pace and pattern suitable for me, I took care of my children while working for COP. Luckily, the world of media started to shift from printed and conventional to digital at that time.

What are the challenges you face as a women workin in conservation?

For me, it’s time management. It’s indeed impossible to manage time. I have to be physically and mentally tough because I have the role of being a mom and I have to do my best in the role. Meanwhile as a woman worker in conservation, especially Orangutan conservation, I have to perform well in the role and be responsible for every work assigned to me. I have to give lots of support to my fellow in the field so our hard-work doesn’t just end in the field, we have to tell the stories to people.

What do you think about the statement that the world of conservation is for men?

Well, it’s true that out work here requires great physical strength. But don’t get it wrong! Women can be tough if they exercise well. We also have to learn fieldwork management well so our physical limitation don’t trouble us. If this world of conservation was only rum by men, surely it will miss lots of details and various interesting point of view. Women and men have their own weaknesses and strength, but it’s fulfilling each other.  So take your role!

How’s the gender equity in COP?

To be honest, I never think whether I walk or work with a men or women. I value their competence regardless the gender. I see everyone as a unique individual, not degrading them by sex. Men and women both have their own roles.

What do you like to say to your fellow women worker in conservation?

Don’t let your self down whenever people look down on you as a woman, just show them what you can do. When they told you that women are weak, overly sensitive, and don’t belong in field work, just twist and use that judgement as a weapon and be resilient. Hold on and do your best. Time will show the truth.

Mbak Yuyun is one among other tough and inspiring women worker in the world of conservation. There are a lot of extraordinary women in our COP family with outstanding contribution and dedication in protecting Orangutan and beyond. Let’s meet them sometime! Support women and #EmbraceEquity in the world of conservation! (NAD)

 

SALING MENGISI DI DUNIA KONSERVASI, PEREMPUAN JUGA TURUT MENGINSPIRASI

Hari Perempuan Internasional setiap 8 Maret sejak tahun 1910 diperingati untuk meningkatkan kesadaran akan ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang diterima oleh kelompok perempuan di seluruh dunia. Satu abad lebih telah berlalu, sayangnya kita masih memperingatinya. Hal ini menunjukkan kalau perjalanan kita dalam menciptakan lingkungan yang setara bagi perempuan dan laki-laki masih panjang dan belum berakhir.

Perempuan menghadapi tantangan kesetaraan yang berbeda-beda di seluruh dunia. Mungkin kita masih sering mendengar anggapan bias bahwa kerja konservasi adalah dunia laki-laki di Indonesia. Dunia konservasi dilihat sebagai dunia kerja maskulin yang membutuhkan keberanian, kecerdasan dan kekuatan fisik yang besar, hal-hal yang sering diatributkan pada laki-laki. Peran perempuan masih sering dikecilkan dan dipandang rendah kontribusinya. Padahal, kerja-kerja konservasi hingga hari ini tidak terlepas dari peran perempuan loh. Mari kita berbincang dengan mabak Yuyun, seorang ibu dan salah satu perempuan tangguh yang turut mendirikan COP dan masih berperan hingga saat ini.

Bagaimana perjalanan mbak Yuyun bersama COP sejak awal berdiri?Jungkir balik pastinya. Apalgi saat itu anak-anak masih kecil sekali. Sempat saya titipkan kepada orang tua saya. Ketika pola bekerja sudah ketemu, saya mengasuh anak-anak sembari mengerjakan pekerjaan di COP. Beruntung sekali saat itu peralihan dunia serba cetak ke dunia online.

Apa tantangan yang dihadapi sebagai seorang perempuan pekerja konservasi? Menurut saya, membagi waktu menjadi tantangan dan memang hampir mustahil membaginya. Yang pasti kondisi kesehatan fisik maupun mental harus kuat karena sebagai ibu, saya harus menjalankan peran itu dengan semaksimal mungkin. Lalu sebagai orang yang engabdi di dunia konservasi khususnya orangutan, saya juga harus menjalankan peran dan tanggung jawab yang sudah diberikan. Teman-teman di lapangan harus mendapat dukungan penuh agar kerja keras yang di lapangan tidak hanya sampai di situ saja, tapi terkomunikasikan (ke dunia luar).

Bagaimana tanggapan terhadap anggapan bahwa dunia konservasi adalah dunia laki-laki? Betul, di sini dibutuhkan kekuatan fisik. Tapi jangan salah, perempuan sebenarnya adalah sosok yang lebih tangguh jika dia melatih kemampuannya dengan baik.Manajemen perjalanan di lapangan harus dipelajari juga agar kekurangan fisik perempuan tidak menjadi halangan. Jika dunia konservasi berisikan laki-laki saja, tentunya hal kecil dan detil akan banyak terlewati. Laki-laki dan perempuan tentunya punya kekurangan dan kelebihan, ini akan mengisi dunia konservasi. Ambil peranmu!

Bagaimana mbak Yuyun memandang kesetaraan gender dalam kerja di COP? Sejujurnya, saya tidak pernah melihat sedang jalan atau bekerja dengan berjenis kelamin apa. Tapi lebih ke kemampuan orang tersebut. Saya melihat seseorang sebagai pribadi yang unik bukan sekedar jenis kelaminnya. Perempuan maupun laki-laki punya peran masing-masing.

Apa pesan yang ingin disampaikan terhadap sesama perempuan pekerja konservasi? Jangan kecil hati ketika kamu dilihat sebagai perempuan, tunjukkan saja kemampuanmu. Manfaatkan pandangan miring yang menyertai perempuan pekerja konservasi seperti lemah, tidak siap ke lapangan atau sensitif. Bertahanlah dan lakukan yang terbaik. Waktu akan membuktikan.

Mbak Yuyun hanyalah seorang di antara perempuan yang tangguh dan menginspirasi di dunia konservasi. Masih banyak anggota keluarga Centre for Orangutan Protection (COP) yang luar biasa peran dan dedikasinya untuk melindungi orangutan dan satwa lainnya. Kapan-kapan kita berkenalan dan berbincang dengan mereka ya! Ayo bersama-sama kita #RangkulKesetaraan di dunia konservasi! (NAD)

AMAN PASTI BISA

Aman, orangutan remaja jantan yang ada di pusat rehabilitasi BORA dengan kondisi fisik yang sangat menyedihkan. Dia memiliki kondisi cacat pada jari-jari di kedua tangannya yang diduga akibat ulah kejam manusia dan kondisi ini sangat mempengaruhi keseharian Aman sebagai oragutan yang sedang tumbuh dan berkembang. Akibat dari kecacatan yang dialaminya, Aman terlihat memiliki pergerakan yang jauh lebih lamban dibandingkan dengan orangutan remaja lainnya. Aman cukup kesulitan untuk berpindah saat diatas pohon. Meski demikian, Aman tetap tumbuh sebagai orangutan jantan yang tangguh dan cukup menggemaskan.

Pertumbuhan orangutan Aman terbilang baik selama berada di pusat rehabilitasi BORA, kekurangan yang Aman miliki tidak menghentikan kehidupan alam liarnya. Aman terhitung sebagai orangutan yang cukup aktif saat sekolah hutan, meski seringkali mengalami kesulitan ia tetap mampu memanjat pohon yang cukup tinggi dengan baik. Begitupun dengan sosialnya, Aman masih cukup aktif bersosialisasi dengan orangutan lain saat sekolah hutan, meski terkadang ia seringkali tertinggal oleh orangutan lain karena pergerakannya yang cukup lamban.

Aman seringkali bertingkah manja saat di dalam kandang, tetapi menjadi cukup agresif saat sedang sekolah hutan, terkadang Aman akan mengejar para perawat satwa dan mencoba untuk menggigit kaki para perawat satwa. Meski demikian, hal tersebut bukan menjadi menakutkan namun justru membuat Aman semakin menggemaskan.

Sampai saat ini, kami masih harus terus mengusahakan agar orangutan Aman dapat tumbuh besar dengan baik selama di pusat rehabilitasi BORA, hal ini terus kami lakukan untuk mencegah kepunahan satwa asli Indonesia yang saat ini sudah cukup langka ditemukan di habitat aslinya. Kami juga mengharapkan agar Aman dapat dilepasliarkan suatu saat nanti agar ia dapat melanjutkan rantai populasi untuk spesiesnya.

HAPPY WORLD WILDLIFE DAY, AYO LINDUNGI SATWA LIAR

Tahukah kamu? World Wildlife Day atau Hari Satwa Liar Sedunia yang diperingati setiap tanggal 3 Maret adalah pengingat bagi kita agar terus memaknai pentingnya menjaga kehidupan alam liar, terutama satwa dan flora yang dilindungi seperti orangutan. Tahun ini #WildlifeDay menekankan pentingnya kerjasama dan kolaborasi di dunia perlindungan alam liar, hal yang sudah menjadi nilai yang dimaknai COP (Centre for Orangutan Protection) dalam menjalankan misi untuk melindungi orangutan dan yang lainnya. COP telah bekerja bersama dengan berbagai organisasi, pemerintah dan perorangan untuk bersama-sama menyelamatkan satwa liar.

Masih ingat orangutan Astuti yang menjadi korban perdagangan satwa liar antar negara? Upaya penyelamatan dan peminahan Astuti dari Menado, Sulawesi Utara hingga tiba di pusat rehabilitasi BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance) di Berau, Kalimantan Timur merupakan kerja bersama lintas instansi pemerintah, swasta dan COP.Tanpa kerjasama ini, Astuti mungkin saja tidak punya kesempatan untuk dilepasliarkan kembali ke habitatnya, hutan Kalimantan.

Sementara itu, tim patroli COP yang berada di Sumatra Barat melibatkan warga Nagari Sontang-Cubadak untuk membentuk tim PAGARI (Patroli Nagari) sebagai usaha mitigasi konflik harimau dan manusia di Sumatra Barat. Keterlibatan masyarakat lokal yang berbatasan langsung dengan hutan lindung Sontang-Cubadak ini menjadi model untuk pembentukan tim PAGARI di nagari yang lain.

Di dalam COP sendiri, semangat kerjasama juga menjadi nilai penting. BORA  tidak bisa bekerja sendiri tanpa dukungan tim APE Crusader yang menyelamatkan habitat orangutan dan menyelamatkan orangutan konflik. Pusat rehab akan penuh jika tim APE Guardian tidak mengusahakan kawasan pelepasliaran yang layak untuk orangutan. Sementara tanpa dukungan APE Warrior, akan sulit sekali mencari dukungan publik untuk mempercepat proses perlindungan satwa liar. Mari bersama melindungi satwa liar. (NAD)

BRINGING HOME JOY FROM TK ANNISA BERAU, EAST BORNEO

A teacher from TK Annisa Berau visited us in the COP Borneo office in Tasuk village, just a few miles away from the kindergarten. She came to the office hoping that her children could see Orangutans. However, the Orangutans in the BORA rehabilitation center are under medical evaluation therefore human visit is very restricted. So, in return, on February 26 we visited the school with a giant stuffed Orangutan called Morio.

“Knock knock… An Orangutan is here!” 

The students were overjoyed to welcome Morio! They were so thrilled as they listened to the stories about wildlife Morio told. They answered every question about wildlife with huge enthusiasm. We were so overwhelmed by their energy in the class and we couldn’t stop laughing at their innocence! The joy and the fun energy was contagious and we brought it home. On our way back from the school visit, we greeted everyone we met on the way.

“School visits, teaching students, I am not new to the thing. But to face these younger students, we need a lot more energy!” Mia, a volunteer and an alumni of COP School batch 12 shared her experience. 

As she and the team evaluated the school visit, they learned that even though the children are able to distinguish domestic animals, many of them couldn’t mention the wildlife of East Kalimantan. This has become a concern. Now, after the school visit, the children know that ducks can provide many benefits if taken care of well, and Rangkong should stay in the forest and be the “forest farmers”.

“I wish that we can always keep the joyful energy the children gave us and the children can always keep the awareness of wildlife protection that we gave them in return. Long live good deeds!” Mia said passionately. (MIA_COPSchool)

TERTULAR KECERIAAN SAAT SCHOOL VISIT DI TK ANNISA BERAU

Jumat lalu, ada orangutan mendatangi TK Annisa Berau. Ini adalah kunjungan balasan dari seorang guru TK Annisa di kantor COP Borneo yang berada di kampung Tasuk tak jauh dari tempatnya bekerja. Awalnya, si Ibu Guru berharap anak-anak muridnya bisa melihat orangutan secara langsung, namun keinginan tersebut belum bisa terwujud karena pusat rehabilitasi BORA sangat membatasi interaksi manusia dan orangutan sebab kondisi orangutan yang dalam evaluasi medis. 

Bersama Morio kami pun berbagi cerita pada anak-anak TK. “Sebenarnya ini bukanlah hal yang baru untukku mengajar anak-anak, namun untuk kelompok usia yang lebih kecil ini ternyata kita harus punya enegi yang jauh lebih besar”, ujar Mia, relawan COP yang merupakan alumni COP School Batch 12. Anak-anak antusias mendengar dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai satwa liar. Saking antusiasnya, energi kelas menjadi begitu tinggi dan membuat kami sedikit kewalahan. Kami pun hanyut tertawa melihat tingkah lugu mereka. Energi kecerian anak-anak ini menular ke kami yang datang. Sepulangnya kami dari school visit, kami dengan riang menyapa orang-orang yang berpapasan dengan kami.

Evaluasi kunjungan ke sekolah pun memberikan catatan tersendiri. Anak-anak mengetahui semua hewan domestik namun tidak tahu sata liar yang khas dari Kalimantan Timur. Hal ini menjadi perhatian karena pengetahuan adalah kekuatan. Kini anak-anak TK Annisa tahu bahwa bebek memiliki banyak manfaat jika dipelihara dengan baik dan Rangkong harus tetap tinggal di hutan sebagai petani hutan. “Aku berharap, energi keriangan anak-anak terus menular ke kami dan energi kesadaran pentingnya menjaga satwa liar di alam bisa menular juga ke anak-anak. Panjang umur upaya-upaya baik!”, tambah Mia penuh semangat. (MIA_COPSchool)

CHARLOTTE TAK INGIN DITINGGAL DI SEKOLAH HUTAN

Setelah membersihkan kandang, perawat satwa pun membukakan pintu kandang orangutan Charlotte agar dia bisa mengikuti sekolah hutan. Sesampai di sekolah hutan, Charlotte langsung bermain di tanah sambil melihat sekeliling untuk mengetahui apa saja yang bisa dimaininnya. Pandangannya berhenti pada orangutan lainnya yang masih di tanah juga. Charlotte pun mulai mendekati dan mengganggu orangutan itu.

“Dia itu memang sangat santai. Setelah bermain di bawah, Charlotte akan naik ke atas pohon, mencari buah-buahan hutan, tapi kalau tidak ketemu, dia akan cari apa saja yang mungkin bisa dia makan. Pucuk yang muda atau kulit kayu pun dicobanya. Setelah selesai makan di satu tempat dia akan pindah ke pohon yang lain dan mulai makan lagi. Puas mencoba makanan alaminya, dia akan turun ke tanah, bermain sama perawat satwa. Charlotte itu paling suka melihat perawat satwanya, dia pasti akan mengajak bermain perawat satwa yang mencatatnya”, kata Amir, perawat satwa yang bertanggung jawab mengawasi Charlotte.

“Charlotte ini juga paling suka main di akar, lalu diayun-ayunin. Terus turun dan menghampiri perawat satwa yang lainnya, setelah mengamati beberapa saat, dia pergi lagi. Tidak lama lagi, dia akan datang lagi dan duduk di samping perawat satwa. Dia balas mengamati kita”, tambah Amir lagi. “Bosan mungkin dia, terus kayak tadi lagi, pergi dan kembali lagi”. “Entah apa yang membuatnya bolak-balik menghampiri perawat satwa karena setelah aktivitas berulang itu, dia akan memanjat pohon lagi, makan dan menjelajah. Kalau sudah mulai menjelajah, Charlotte sering menghilang, tidak diketahui keberadaannya. Biasanya menjelang masa berakhirnya sekolah hutan hari itu”.

Sekolah hutan bisa berakhir lebih cepat karena hujan deras disertai petir. Tapi kalau menjadi lebih lama biasanya karena orangutan-orangutan masih asik menjelajah atau tak mau turun dan mengabaikan palnggilan pulang. Lama… Charlotte baru menyadari dia ditungguin untuk turun. Amir akan bilang,” Lotte kalau gak turun, tinggal nih”. Habis itu Charlotte nangis, mungkin karena takut ditinggal. Dia pun dengan sendirinya turun dan lari ke perawat satwa lalu memegang tangan perawat satwa. Bahkan dia berjalan lebih duluan sambil memegang tangan perawatnya. Ada-ada aja. (MIR)

WHEN FOREST SCHOOL FEELS LIKE HOME, ORANGUTANS BACK TO THE CAGE CAN BE TOUGH

The sun was shining bright that morning, a sign of a good day to begin the Jungle School session in BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance). In Jungle school, rehabilitated Orangutans are let to revive their instinct and recall how to survive in the rainforest. As usual, after the first meal, the keepers carried Orangutans on their back or took them by hand and led them to the Forest School. Some Orangutans walked on their own following the keepers from behind.

Bonti, an 8 years old female Orangutan is the most difficult orangutan to call when forest school session is over. Sometimes she still wants to play around or explore the forest and swing from one branch to another. Other times she seems busy tasting some fruits she found, or just sits silently as she watches other Orangutans get back to their cage. Sure enough, that day, when school was over, Bonti didn’t want to come down. Some keepers kept calling her and followed her but instead of coming down and getting herself picked up, she went around in the cage area. She jumped from one canopy to another, causing other Orangutans to get wild in their cage. She even ignored Raffi, the Biologist at Bora. But when the keepers lured her with a bottle of her favorite milk, she finally came down and let the keepers pick her up and carried her back to the cage. 

The next day, it’s Devi’s day. Devi is an Orangutan who likes to stay and play on the treetop. Sometimes it’s difficult to spot her in forest school. That day, she couldn’t stop swinging joyfully from one tree to another. Devi prefers to be alone than be with other Orangutans, let alone humans. Just when the time’s over, we saw Devi on a fruitful tree. When Devi enjoys fruits, she forgets the whole world. We knew very well that it’s gonna be tough to get her back to the cage. It was such a busy evening! When Devi was finally full, she broke some leafy branches and piled them up carefully. Yup, she was building a comfy nest. We were stunned. It was an amazing moment. We stopped calling her and let her do her business. “Let her focus and finish the nest,” said There, the vet at Bora. It didn’t take long for Devi to finish her solid and comfy nest. We were so proud of Devi. Raffi said that it wasn’t Devi’s first time building a nest. Finally she came down and finished a bottle full of milk that the medical team gave her.

It’s a sunny Sunday. It was Bonti and Mary’s turn to go to Forest School. The keepers braced themselves as they read Bonti and Mary’s name on the list when they did morning briefing. They had to be prepared as both Orangutans were among those who often refused to get back to the cage. As expected, during the Forest School, Bonti and Mary roamed deeper into the forest, and got further and further from the cage area. Suddenly gray clouds were hanging in the sky. Sunny day’s over as rain poured down. Bonti and Mary took shelter on a big tree, hugging each other while we were soaked on the ground. We were joking around, hoping our laughter could warm our body. We followed Bonti and Mary wherever they went. At last the rain’s over. Bonti and Mary continued their journey. It had been two hours yet none of them got down. While luring them with everything we could and we had, we also prayed that they would come down soon. Finally Mary came down to get a bottle of milk and her favorite fruit the keeper lured her with. It didn’t work for Bonti. Bonti kept going back to forest school. We followed her while hoping that we didn’t have to stay overnight in forest school. Though it’s frustrating, we were also glad. It means that she feels at home in the forest. How can we not be glad when she’s getting closer to returning to where she belongs? Either got exhausted, lured by bottled milk, or pitied us the keeper, Bonti finally came down. 

“Thank God we don’t have to stay overnight here!” (TER)

 

TIGA HARI MERAYU ORANGUTAN

Pagi yang cerah adalah awal yang baik untuk memulai sekolah hutan di BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance). Sekolah untuk orangutan yang sedang menjalani rehabilitasi dimana mereka akan mengasah kembali insting alaminya dan bertahan hidup di hutan. Setelah makan pagi, sesuai jadwal orangutan pun dibawa ke lokasi sekolah hutan, ada yang digendong, dituntun bahkan berjalan sendiri mengikuti jalur yang ada.

Bonti, orangutan betina berumur 8 tahun ini adalah orangutan yang paling sulit dipanggil pulang saat sekolah hutan berakhir, entah karena masih ingin bermain, menjelajah hutan, berpindah dari satu dahan ke dahan yang lain, menikmati buah hutan yang ditemukannya atau kesibukan lainya yang kadang hanya memperhatikan orangutan lainnya yang sudah mulai menuju kandang lagi. Benar saja, ketika waktu itu tiba, Bonti pun tidak mau turun walaupun dipanggil berulang kali. Beberapa perawat satwa  berusaha memanggil dan mengikutinya, namun Bonti tetap tidak mau turun dan menuju ke area kandang dengan berpindah dari satu kanopi ke kanopi yang lain sampai akhirnya dia mengelilingi kandang hingga membuat orangutan yang berada di dalam kandang ricuh. Panggilan Raffi, Biologis BORA yang pendiam ini pun tak dihiraukannya. Sampai akhirnya, botol berisi susu kesukaannya menjadi magnet yang membawanya kembali ke kandang.

Keesokan harinya, orangutan Devi adalah orangutan yang paling suka bermain di ketinggian, kadang hampir tidak kelihatan. Kali ini Devi berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain sepanjang lokasi sekolah hutan. Devi lebih suka sendiri daripada bermain dengan orangutan lain apalagi manusia. Waktu sekolah hutan pun usai dan Devi menemukan pohon yang sedang berbuah lebat. Kami semua tau, dia tak akan turun jika sudah menikmati buah hutan. Siang itu menjadi siang yang paling sibuk, kenyang dan dia pun mulai mematahkan ranting yang berdaun lebat. Ya… Devi menyusun ranting-ranting itu. Bersarang. Kami pun terdiam, momen luar biasa, kami tak ingin menggagunya dengan memanggilnya, “biar fokus menyelesaikan pembuatan sarangnya”, ujar drh. There. Tidak membutuhkan waktu lama, sarang yang terlihat kokoh pun jadi, kami yang menyaksikan pun bangga. Menurut Raffi, Devi memang sudah beberapa kali terlihat membuat sarang.Selesai makan dan membuat sarang, Devi pun akhirnya turun dan meminum habis susu yang dibawa tim medis.

Minggu pagi yang cerah giliran kelompok yang di dalamnya ada orangutan Bonti dan Mary. Jika briefing pagi ada dua nama orangutan ini maka perawat satwa harus menyiapkan tenaga lebih untuk menunggu dan mengikuti keduanya yang tidak mau pulang. Benar saja, waktu semua orangutan sudah kembali ke kandang, keduanya malah menjelajah menjauh dari lokasi sekolah hutan. Cuaca cerah sekejab berubah mendung dan hujan deras pun turun. Bonti dan Mary berada di pohon yang besar dan lebat saling berpelukan dan berlindung dari hujan. Sedangkan kami yang berjaga menjadi basah kuyup dan bercanda satu sama lain mengusir dingin sambil menjaga dan mengikuti kedua orangutan ini kemanapun mereka pergi. Hujan cukup lama pun akhirnya reda. Bonti memimpin Mary melanjutkan penjelajahan mereka. Dua jam berlalu namun tak satupun mau turun. Doa dan usaha membawa mereka kembali ke kandang terucap. Untung saja Mary tergiur dengan botol susu dan buah yang dipegang perawat satwa. Tapi tak berlaku pada Bonti. Bonti kembali ke lokasi sekolah hutan. Kami pun mengikutinya dan berdiam diri sembari berharap semoga tak harus menginap di sekolah hutan. Walau harapan itu sebenarnya kebahagian kami melihat Bonti semakin dekat dengan hutan yang merupakan rumah sesungguhnya. Entah karena capek atau tergoda susu yang kami bawa. Atau lebih tepatnya kasihan pada kami, Bonti pun akhirnya turun. “Hampir saja kita bermalam di sekolah hutan”. (TER)

ASTO STILL WANTS TO BE IN FOREST SCHOOL BUT SHE’S HUNGRY

I still remember how irritated Iwas that day. It was a lovely day at the beginning when I started my routine in SRA (Sumatran Rescue Alliance) at 8 A.M. As usual, I started with breakfast, then prepared the food, cleaned up the cage, and started Forest School time for Orangutan Asto and Asih.

I could hear the sound of the steel cage being shaken and I could see Asto and Asih peeking out from behind the tall bars, ready to get out of the cage. They seemed restless and couldn’t wait to get out and start the Forest School time. I saw them waiting right in front of the door when I opened the main gate. Then I unlocked the key to their cage and slid the doo cage. Asto even helped me slide the door! Then they climbed up straight to my back in such a rush! I carried them t the Forest School are. When we arrived, Asto and Asih didn’t wait to climb up the tree top. They looked so happy as I observed their social behavior when they played around fallen trees. It was their doings on the previous days. During forest school time, sometimes they came to me just to bite me. Other times they just observed whatever we’re doing, or roamed around jumping from one leafy tree to another just next to the Forest School are.

That evening, they both looked exhausted and hungry. The day got hotter and hotter. Asto and Asih looked so messy as they played on the ground. I thought maybe it’s time to put them in the cage. So I lured them with fruits and called them to get on my shoulders. I had put the fruit basket in their cage earlier but suddenly Asto took the fruit and claimed up so fast to the cage roof and hopped to the tree! He ate the fruit on that treetop, showing me that she still wants to be in the Forest School but she was hungry! I chuckled. Really, taking care of two rehabilitated orangutans who are getting smarter and stronger every day is no easy task! (BIL)

 

ASTO MASIH INGIN SEKOLAH HUTAN TAPI LAPAR

Hari itu merupakan hari yang menjengkelkan bagiku. Ketika pagi yang cerah dan penuh semangat, ku mulai tepat pukul 08.00 WIB. Seperti biasa kami memulai aktivitas di SRA (Sumatran Rescue Alliance) dengan sarapan, menyiapkan pakan, membersihkan kandang dan kemudian sekolah hutan untuk orangutan bernama Asto dan Asih.

Dari kejauhan terdengar suara gemuruh kandang besi yang digoyangkan dan terlihat Asto dan Asih yang sedang mengintip di balik pagar yang tinggi dengan wajah berharap untuk keluar kandang. Keduanya terlihat sudah tidak sabar untuk sekolah hutan. Ku buka pintu utama untuk masuk ke dalam area kandang orangutan dan melihat keduanya telah berada di depan pintu kandangnya untuk bersiap keluar. Kubuka kunci dan menggeser pintu kandangnya, dengan sigap Asto membantu menggeser pintu lalu keduanya meraih punggungku untuk digendong ke area sekolah hutan. Sesampainya di area sekolah hutan, Asto dan Asih dengan segera menaiki pohon. Keduanya terlihat gembira sembari melakukan sosial behavior di pepohonan yang sudah banyak tumbang karena ulah mereka sebelumnya. Sesekali keduanya menghampiriku untuk sekedar menggigit, memperhatikan dan lari ke area pepohonan yang lebih rimbun di sebelah sekolah hutan.

Kala itu Asto dan Asih terlihat kelelahan dan lapar. Hari semakin siang dan terik. Keduanya sudah tidak karuan bermain di area tanah. Mungkin saatnya membawa mereka kembali ke kandang, pikir ku. Dengan pancingan buah aku membujuk Asto dan Asih naik ke pundakku. Keranjang buah pakan Asto dan Asih telah kuletakkan di dalam kandang sebelumnya. Asih pun masuk ke dalam kandang namun dengan lincahnya Asto meraih buah dan naik ke atas kandang luar dan naik ke atas atap kandang lalu menaiki pohon yang berada di area kandang. Asto memakan buah di pohon tersebut sebagai isyarat belum puas sekolah hutan namun kelaparan. Sungguh, ternyata tak mudah mengurus dua orangutan rehabilitasi yang semakin hari semakin pintar dan kuat. (BIL)