ANTAK SENANG BERAYUN-AYUN

Orangutan berusia 16 tahun bernama Antak sangat senang berayun-ayun. Ia merupakan orangutan jantan yang sedang menempati kandang karantina di pusat rehabilitasi orangutan Bornean Orangutan Rescue Alliance (BORA), Berau, Kalimantan Timur. Orangutan dengan berat badan kurang lebih 36 kg ini sering terlihat pendiam dan duduk tenang di bawah menunggu pakan saat jadwal pemberian pakan oleh perawat satwa. Namun saat perawat satwa telah meninggalkan area kandang karantina, Antak terlihat lebih aktif bermain sendiri dengan berayun-ayun pada jeruji bagian atas kandangnya.

Antak dapat mengayun-ayunkan dirinya dengan 1 lengan secara bergantian kiri dan kanan ataupun dengan dua lengan sekaligus. Ia dapat berayun-ayun selama lebih dari 5 menit secara terus-menerus sebelum akhirnya istirahat sejenak dan kembali berayun-ayun setelahnya. Ia terlihat lebih sering berayun-ayun dibandingkan dengan 3 individu orangutan penghuni kandang karantina lainnya. Mungkin berayun-ayun adalah hobi Antak.

Saat ini ia merupakan salah satu kandidat calon penghuni pulau pra pelepasliaran yaitu satu tahap terakhir sebelum pelepasliaran orangutan setelah menjalani rehabilitasi. Semoga proses rehabilitasi Antak berjalan dengan lancar, sehingga ia dapat segera berayun-ayun dalam lebatnya kanopi hutan Kalimantan. (RAF)

HARI ZOONOSIS SEDUNIA 2021

Setiap 6 Juli diperingati sebagai Hari Zoonosis Sedunia. Tanggal ini adalah sejak Louis Pasteur sukses menyuntikkan vaksin rabies (yang merupakan penyakit zoonosis) pertama kali di dunia, tahun 1885. Zoonosis adalah penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Zoonosis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, parasit atau bahkan fungi (jamur). Zoonosis dapat ditularkan mel;alui kontak langsung maupun tidak langsung dengan hewan sakit, melalui vector penyakit maupun melalui food-born dan water-born.

Banyak sekali contoh penyakit yang merupakan penyakit zoonosis diantaranya adalah Rabies, Antrax, Leptospirosis, Human Hepatitis B, Toxoplasmosis, Herpes simplex, virus Nipah, demam tifoid (Typus), Malaria dan masih banyak lagi.

Berdasarkan informasi dari Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE), disebutkan bahwa 6 dari 10 penyakit pada manusia berasak dari hewan domestik dan satwa liar, sementara 3 dari 4 penyakit baru/EID (Emerging Infectious Deseases) pada manusia juga berasal dari hewan.

Satwa liar mempunyai peran penting pada sebagian besar zoonosis dan berfungsi sebagai reservoir utama untuk transmisi agen zoonosis ke hewan domistik dan manusia. Penularan agen penyakit seperti virus, bakteri dan lain-lain dari hewan ke manusia terjadi ketika satwa liar yang diambil dari habitatnya lalu dikandangkan dan berinteraksi dengan hewan domestik maupun dengan manusia. “Melindungi alam dan lingkungan sebagai habitat utama satwa liar dan melindungi satwa liar tetap di habitatnya akan berkontibusi pada pencegahan zoonosis. Mari menyebarkan kepedulian tentang penyakit zoonosis karena resikonya tidak bisa diperkirakan!”, kata drh. Dian Tresno Wikanti. (DTK)

MELIHAT ORANGUTAN DI HUTAN

Hari itu menjadi hari pertama saya mengikuti program sekolah hutan. Sekolah hutan merupakan program untuk orangutan-orangutan yang berada di pusat rehabilitasi orangutan BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance) untuk melatih orangutan mengeksplorasi dan beradaptasi di hutan. Banyaknya kasus kejahatan terhadap orangutan yang umumnya orangutan berakhir dalam kurungan sebagai peliharaan membuat banyak orangutan kehilangan insting dan perilaku alaminya, sehingga adanya sekolah hutan penting bagi kemampuan bertahan hidup orangutan rehabilitasi ketika dilepasliarkan nanti.

Pada pagi itu, saya bersama Amir dan Linau membawa tiga individu orangutan untuk menjalani sekolah hutan. Ketiga orangutan tersebut yaitu Popi, Jojo dan Mary. Setelah mengeluarkan mereka bertiga dari kandang, kami membawa mereka masuk hutan lebih dalam, ke tempat biasanya sekolah hutan dilaksanakan. Selama lebih dari dua jam, ketiga orangutan tersebut dibiarkan untuk mengeksplorasi dan beradaptasi dengan kondisi alam liar. Di sana mereka berlatih dan bermain, memanjat pohon hingga mencari pakan-pakan alami yang tersedia di hutan.

Kepuasan batin yang mendalam saya rasakan ketika pertama kali melihat orangutan di habitatnya secara langsung dalam kemegahan hutan Kalimantan. Bukan dalam kurungan kandang kebun binatang ataupun eksploitasi satwa berkedok edukasi dan hiburan. Karena orangutan seharusnya hidup bebas di hutan. (RAF)

GISEL, SI AHLI MEMBUAT SARANG

Gisel saat ini merupakan orangutan yang paling ahli dalam membuat sarang di pusat rehabilitasi orangutan BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance). Ia merupakan orangutan betina berusia sekitar 4-5 tahun yang dititipkan ke BORA oleh BKSDA Seksi II Tenggarong. Pada bulan Juni 2021 ini, ia rencananya akan dilepasliarkan ke habitat alaminya.

Berdasarkan observasi pada tanggal 23-24 Mei 2021 dengan empat kali pengamatan, 46,48% kegiatan yang dilakukan Gisel di dalam kandang diisi dengan berdiam atau beristirahat di atas sarang buatannya sendiri. Kegiatan lain yang ia lakukan antara lain makan (11,3%) bergerak seperti berpindah (11,3%), autogrooming (menggaruk badan/membersihkan rambut sendiri) sebesar 9,6%, mengamati keadaan sekitar (14,08%), perilaku afiliatif terhadap perawat satwa (2,82%), bermain sendiri (1,4%) dan membuat sarang ketika enrichment daun diberikan (1,4%).

“Wih beratnya!”, ujar drh. Ray ketika mencoba mengangakat sarang Gisel dalam hammock dengan tongkat. Dedaunan yang terus menerus Gisel susun menjadi sarang selama berhari-hari mungkin sudah mencapai bobot belasan kilogram. “Jadi gak sabar melepasliarkan Gisel dan mengamati sarang-sarang yang yang dibuatnya nanti di hutan Kalimantan”, ujar Raffi Ryan Akbar, asisten manajer BORA. (RAF)

AKHIRNYA KOLA BISA TURUN SENDIRI

Kola, orangutan berusia 11 tahun akhirnya bisa menuruni pohon dengan kemampuannya sendiri pada kegiatan sekolah hutan, Jumat, 14 Mei 2021 di BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance). Pada sekolah hutan sebelumnya, Kola tidak mampu turun sendiri dari ketinggian pohon yang ia panjat. Sehingga dengan terpaksa harus ditembak bius oleh perawat satwa dan dokter hewan BORA untuk bisa menurunkannya.

Pada hari itu (14/5), Kola mengikuti program sekolah hutan bersama dengan tiga orangutan lainnya, Aman, Bagus dan Septi. Sejak awal tiba di lokasi sekolah hutan, Kola langsung menaikipohon hingga ketinggian 25 meter dan tidak berpindah posisi hingga tiba waktu sekolah hutan usai. Berbeda dengan tiga orangutan lainnya yang aktif berpindah-pindah posisi dan mudah ketika diajak turun dari pohon.

Beberapa jam berlalu, Kola masih saja betah berdiam di posisi ketinggian yang sama sejak pagi hari. “Kola, turun Kola”, ujar para perawat satwa BORA memanggil Kola untuk turun karena waktu sekolah hutan telah selesai. Namun Kola tetap bertahan di posisinya. Aman, Bagus dan Septi pulang terlebih dahulu ke kandangnya. Satu jam berlalu semenjak ketiga orangutan lainnya telah pulang ke kandang terlebih dahulu. Saat keadaan sudah sepi, barulah kola bisa turun sendiri dari pohon tanpa perlu ditembak bius lagi. (RAF

SEPTI MEMBUAT REKOR BARU

“Terharu aku”, ujar Widi Nursanti, manajer pusat rehabilitasi Bornean Orangutan Rescue Alliance (BORA) saat melihat foto Septi yang sedang memanjat pohon saat mengikuti program sekolah hutan yang dilaksanakan pada Jumat, 14 Maret 2021. Pada hari itu, Septi berhasil memecahkan rekor pribadinya dalam hal ketinggian memanjat pohon.

Septi akhirnya mau memanjat pohon lebih tinggi dari biasanya. Septi merupakan orangutan betina berusia 15 tahun yang sedang menjalani rehabilitasi di BORA. Pada hari itu, Septi ke sekolah hutan bersama orangutan Aman, Bagus dan Kola. Dibandingkan dengan Aman, Bagus dan Kola yang senang memanjat pohon sampai tinggi, Septi lebih suka berada di permukaan tanah dan sangat jarang memanjat pohon. Ketinggian maksimal yang biasa dicapai Septi sebelumnya hanya 6 meter dengan frekuensi memanjat yang sangat jarang. Namun pada hari itu, Septi mampu memanjat pohon hingga ketinggian 11 meter di atas permukaan tanah. Ketinggian tersebut hampir dua kali dari rekor pribadi Septi sebelumnya.

Pengalaman bertahun-tahun hidup di luar habitat alaminya membuat Septi dan banyak orangutan lainnya kehilangan insting dan kemampuan alami mereka, seperti keahlian memanjat pohon, mencari makan, membuat sarang serta berlindung dari bahaya maupun cuaca. Kemampuan dan insting tersebut dapat hilang karena umumnya orangutan yang hidup di luar habitatnya tidak dapat mengekspresikan perilaku alaminya karena berbagai keterbatasan dan hambatan. Program sekolah hutan bertujuan untuk melatih dan mengembalikan kemampuan serta insting alami orangutan untuk dapat hidup mandiri dan bertahan hidup di alam liar sebagai habitat alaminya. (RAF)

KOLA KE SEKOLAH HUTAN LAGI!

Apakah kamu mengenalinya? Dia adalah Kola, orangutan repatriasi Thailand pada akhir tahun 2019 yang lalu. BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance) adalah tempat rehabilitasi orangutan yang berada di Berau, Kalimantan Timur memiliki kurikulum sekolah hutan terunik yang ada. Setiap orangutan dipantau perkembangannya dan diberi tantangan lebih lagi jika berhasil melaluinya. Jika gagal, orangutan akan tetap diberi kesempatan untuk mencoba lagi.

Seperti Kola, yang awal tahun 2021 yang lalu sempat membuat para perawat satwa menginap di hutan karena dia tak kunjung turun dari pohon yang dipanjatnya. Kola terpaksa dibius keesokan harinya untuk bisa membawanya turun dari pohon. Saat itu, Kola tidak berani turun bahkan untuk mengambil makanannya.

Kola mendapatkan kembali kesempatannya berkembang, kali ini para perawat satwa dengan perseiapan terburuk harus menginap lagi di hutan dan bersiap memanjat pohon untuk menjemputnya. Persiapan dan skenario matang akhirnya hanya sekedar rencana. Saatnya kembali ke kandang usai waktu sekolah hutan, Kola pun turun.

“Lega!!! Walau tak semudah itu”, ujar Linau, kordinator perawat satwa di BORA.

MISI PERTAMA DOKTER HEWAN YUDI DI KALTIM

Malam, 24 April saat sedang mempersiapkan nutrisi tambahan untuk orangutan-orangutan di pusat rehabilitasi BORA, telepon camp berbunyi. Daniek Hendarto, direktur Centre for Orangutan Protection menanyakan kesiapan tim APE Defender untuk memindahkan orangutan dari Samarinda ke BORA yang berada di Berau, utaranya Kalimantan Timur. Setelah berdiskusi drh. Ray akhirnya menyuruh drh. Yudi untuk menjalankan tugas ini.

“Rasanya gak karuan, takut, cemas dan bersemangat, campur aduk. Ini adalah perjalanan pertama saya menyelamatkan orangutan”, gumam Yudi Ardianto, dokter hewan lulusan Universitas Brawijaya ini sembari mengecek kembali microchip, alkohol, meteran, obat bius dan peralatan medis lainnya. Tepat pukul 00.30 WITA tim APE Defender berangkat. Sekilas terlihat senyum drh. Ray melihat kepanikan drh. Yudi yang baru bergabung di COP pada akhir bulan Maret yang lalu. Jalan darat ini pun dimulai, mulai jalan aspal mulus seperti kemeja yang baru disetrika hingga jalan berlubang yang sering membuat kami melompat dan terbentur atap mobil.

Menjelang siang, drh. Yudi telah siap untuk memeriksa kesehatan orangutan malang ini. “Orangutan ini sangat agresif, untuk ukuran orangutan kecil, tenaganya lumayan kuat. Pemeriksaan gigi untuk mengetahui perkiraan usia orangutan, dilanjut pemeriksaan apakah ada luka atau tidak dan tiba-tiba saja jari saya sudah berada disela-sela giginya. Ahrgg… rasanya lumayan!”, cerita Yudi lagi.

Tepat pukul 07.00 WITA keesokan harinya, tim APE Defender telah tiba di BORA. “Orangutan betina berusia 1-3 tahun ini akan menjalani masa karantina terlebih dahulu. Saya sendiri masih harus menjalani tes COVID-19 usai perjalanan jauh dan isolasi mandiri”, ujar Yudi. BORA menerapkan prosedur kesehatan yang cukup ketat untuk mencegah penyebaran virus Corona. Mencegah lebih baik daripada Mengobati. (YUD)

KEDUA ORANGUTAN DARI WRC JOGJA TELAH TIBA DI BORA

Begitu banyak orang yang menunggu berita ini. Kapan Ucokwati dan Mungil mendapatkan kesempatan keduanya kembali ke habitatnya. Induk dan anak yang telah bertahan hidup di seberang pulau yaitu pulau Jawa, sebuah pulau dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Tentu saja itu akan menjadi hari yang mengharukan. Ternyata tidak semudah itu, keduanya tetap harus menjalani proses panjang yang mendebarkan.

Januari 2021, pemeriksaan medis di tengah pandemi COVID-19 menguras energi tersendiri. Tim medis dan lainnya harus mematuhi protokol kesehatan yang ketat. Pemakaian baju hazmat menjadi tantangan tertentu, tetap harus lincah dan berpikir cepat. Pengiriman sampel juga tidak semudah sebelumnya, sampel harus aman. Syukurlah hasil medis yang tidak sekaligus keluar itu membawa kabar gembira. Pemindahan Ucokwati dan Mungil tinggal menunggu waktu.

8 April 2021, kedua orangutan dalam pengaruh bius dimasukkan ke kandang angkut. Sifat agresif keduanya sempat membuat ciut tim. Tengah hari tim melaju kendaraan ke kargo Garuda Indonesia di bandara Yogyakarta Internasional Airport. Perencanaan dua minggu sebelumnya benar-benar diuji. BKSDA Yogyakarta tak putus-putus berkordinasi dengan BKSDA Kaltim. COP sendiri sangat terbantu dengan Garuda Indonesia dan kargo Garuda Indonesia. “Sayang penerbangan ke Balikpapan-Berau tak bisa dilalui jalur udara karena ukuran kandang tak bisa masuk kargo. Tim menempuh jalur darat yang menguras tenaga”, ujar Ramadhani, kordinator pemindahan orangutan dari Yogya ke Berau.

10 April, setelah melalui transit di Jakarta selama delapan jam dan melalui perjalanan darat 24 jam, Ucokwati dan Mungil tiba di Bornean Orangutan Rescue Alliance, Berau-Kalimantan Timur. Keduanya tampak tenang. “Ucokwati dan Mungil kini berada di kandang karantina, kami berharap dalam dua minggu ini dapat mengumpulkan data prilakunya selama di kandang karantina. Semoga keduanya dapat melalui masa karantina dengan baik”, jelas Widi Nursanti, manajer BORA.

TRAGEDI DI SEKOLAH HUTAN ‘AMAN’

Ada lima orangutan yang akan ikut sekolah hutan hari ini. Owi, Happi, Berani dan Annie dengan pengawasan bang Linau, Amir, Steven, Simson sementara Aku yang bertugas mengawasi setiap behaviour atau tingkah laku orangutan bernama Aman. Setelah para perawat satwa memberi makan orangutan yang tidak ikut sekolah hutan, cerita sekolah hutan pertama saya dimulai.

Ketika kandang orangutan jantan dibuka, keempat orangutan tersebut sudah paham dan mengerti kalau hari ini adalah giliran mereka yang ke sekolah hutan, tetapi tidak bagi orangutan Aman dengan tubuhnya yang kecil dan terlihat masih takut-takut hingga harus dipaksa keluar kandang. Buah pepaya kesukaannya tak cukup membawanya keluar kandang sebagai pancingan, akhirnya bang Linau, kordinator perawat satwa pun masuk dan menariknya keluar kandang. Selanjutnya bang Linau menyerahkan Aman kepadaku, tak disangka Aman langsung memelukku dengan kuat. Di situlah untuk pertama kalinya aku menggendong orangutan. “Lupa, berapa beratnya Aman yang tertera di dinding gudang pakan orangutan, hanya perkiraan saja seperti berat dua buah galon air minum”, gumam Yudi sambil mengatur nafas yang mulai terengah-engah.

Tidak mudah berjalan di hutan sambil menggendong bayi orangutan. Sebenarnya jarak lokasi sekolah hutan dari kandang tidak terlalu jauh, melewati akar pohon besar, tanah berlumpur dan becek bercampur emosiku yang melayang membayangkan apa yang terjadi dengan induknya. Sesampai di sekolah hutan, para orangutan segera bergerak menjauhi perawat satwa untuk langsung memanjat pohon yang tinggi. Aman masih tak mau melepaskan pelukannya dariku.

“Taruh saja di pohon ini, nanti dia naik sendiri”, ujar salah satu perawat satwa. Tak disangka Aman mulai memanjat. Lagi-lagi, ini adalah pertama kalinya aku melihat orangutan memanjat dari bawah menuju puncak pohon. Aman begitu tenang di atas sambil sesekali memetik beberapa daun untuk dimakannya, bergerak ke sana-sini mencari daun muda yang bisa dimakan hingga bergerak ke ujung pohon. “Baiklah Aman… aku mengawasimu”. (YUD)