ENRICHMENT ORANGUTAN DARI BORA UNTUK SRA

Dua orang perawat satwa BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance) membuatkan enrichment selang pemadam yang berisi potongan buah jambu sebanyak 30% dan 70% dedaunan ditambah dengan madu untuk orangutan di SRA (Sumatran Rescue Alliance). Pemberian enrichment ini untuk mengisi waktu luang Asto dan Asih di kandang ketika hujan lebat atau saat panas terik jika sekolah hutan ditiadakan.

Selang pemadam kebakaran menjadi pilihan wadah karena bahan yang kuat. Asto dan Asih berusaha menggapai enrichment bentuk baru ini. Aroma madu yang tercium dan menetes keluar selang secara alamiah membuat mereka menghisap-hisap ujung-ujung selang. Ketika sudah tidak ada lagi tetesan yang tersisa, keduanya mulai mencongkel dan menggigit enrichment tersebut.

Perilaku bertukar enrichment pun terjadi. Asih mengambil selang milik Asto, begitu pula sebaliknya. Keduanya bertukar enrichment yang tak mengeluarkan cairan lagi. Tapi keduanya menyadari, masih ada sesuatu di dalamnya. Berulang kali, mereka mengendus, menggigit, dan mencongkel ujung selang yang dijahit tali. Asto yang memiliki tubuh sedikit lebih besar mulai bertugas sebagai “penghancur” dan membesarkan lubang. Sementara Asih sebagai “penerus” nya, membuat lubang semakin besar agar seluruh isi enrichment berhasil dikeluarkan dan dinikmati.

Apakah mereka saling bekerja sama? Atau kah Asto selalu menjadi tempat meminta tolong Asih? Saatnyakah mereka berdua berpisah kandang agar bisa lebih mandiri? Ahmad Nabil kembali membuka catatan lama Asto dan Asih yang telah dua tahun menghuni pusat konservasi orangutan SRA yang berada di Besitang, Sumatra Utara ini. Sebagai biologist, perilaku keduanya terpantau dan menjadi evaluasi untuk program rehabilitasi orangutan tersebut. Program ini adalah usaha untuk merangsang perilaku alami dan kemampuan orangutan agar siap dilepasliarkan pada waktunya. (BIL)

PAGARI PANTI SELATAN SIAP LINDUNGI HARIMAU

Hari ketiga pelatihan dan pembentukan PAGARI (Patroli Anak Nagari) Panti Selatan, Kecamatan Panti, Kabupaten Pasaman, Sumatra Barat diisi praktek simulasi patroli dan simulasi konflik Harimau Sumatra. Tim langsung dibagi dua grup kecil dengan materi yang sama yaitu mengidentifikasi temuan jejak, feses, jerat, dan pertemuan warga yang berprilaku negatif (memasang jebak dan mengambil kayu). Materi terakhir menjadi sangat menarik karena ternyata berkomunikasi memang ada seninya.

Semangat tim PAGARI mengikuti pelatihan di tengah-tengah bulan Ramadhan patut diacungi jempol. Semuanya serius apalagi saat latihan penggunaan aplikasi avenza maps dan pratek pemasangan kamera trap.

Hari terakhir pelatihan ini pun ditutup Wali Nagari Panti Selatan dengan harapan tim PAGARI yang sudah dibekali materi dasar penanganan konflik satwa liar bisa terus didampingi dan terus mendapatkan pembekalan untuk kesiapsiagaan terhadap konflik satwa liar. Konflik bisa terjadi kapan saja dengan kondisi yang tidak pernah kita perkirakan. Tapi pelatihan tiga hari ini akan jadi bekal menuju Nagari Ramah Harimau. (DAN)

PEMBENTUKAN PATROLI ANAK NAGARI PANTI SELATAN

Hari pertama Pelatihan dan Pembentukan PAGARI (Patroli Anak Nagari) untuk wilayah Nagari Panti Selatan, Kecamatan Panti, Kabupaten Pasaman, Sumatra Barat dimulai dengan pembukaan acara yang dipimpin oleh Kepala BKSDA Resort Pasaman, Bapak Ade Putra yang juga sebagai pembina PAGARI di Sumatra Barat. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan bahwa pembentukan PAGARI di Panti Selatan ini merupakan tim PAGARI keenam di Sumatera Barat dan yang kedua di Kabupaten Pasaman.

Kepala Nagari Panti Selatan, Didi Al Amin menceritakan perjumpaan dengan harimau sumatra di ladang dan membuat resah warga di Nagari Panti Selatan bermula akhir tahun 2022 hingga awal tahun 2023. Centre for Orangutan Protection bersama aparatur Nagari Panti Selatan terus bertemu dan berdiskusi hingga ada solusi yang bisa dikerjakan bersama, yaitu pembentukan PAGARI yang memang merupakan program BKSDA Sumbar. Inilah pelatihan yang berlangsung tiga hari kedepan yang akan kita jalani bersama.

Dua hari diawal adalah teori dan sehari terakhir praktek simulasi konflik dirancang bersama-sama antara BKSDA Sumbar, COP, dan Sintas Indonesia. Materi tentang bagaimana perilaku harimau sumatra, sebaran, dan bagaimana mengetahui jejaknya akan disampaikan oleh SINTAS Indonesia. Sedangkan untuk peraturan dan perundang-undangan, birokrasi dan metode patroli disampaikan oleh tim BKSDA Sumatera Barat. (DAN)

SEGERA PULIH ORANGUTAN TAPANULI, KEMBALILAH SECEPATNYA

Satu orangutan dari Tapanuli Selatan masuk ke Sumatran Rescue Alliance (SRA). Orangutan berjenis kelamin betina ini memasuki usia dewasa namun sayang memiliki tubuh yang kurus. Kondisi malnutrisinya teramati menjadi penyebab tidak aktifnya dia selama diperjalanan bahkan di awal kehadirannya di SRA. Ini diperparah dengan diare yang dideritanya.

Orangutan Tapanuli adalah spesies orangutan baru, yang secara resmi dipublikasikan pada November 2017. Bahkan tim di SRA tak seorang pun pernah melihatnya secara langsung. “Sesungguhnya kami tidak pernah berharap ada orangutan tapanuli masuk pusat rehabilitasi kami. Ini membuat kami prihatin, apalagi melihat kondisinya yang malnutrisi serta stres”, ujar Ahmad Nabil, biologist SRA dengan sedih.

Pengamatan prilaku di awal kedatangan, orangutan terlihat berkeliling kandang dan berputar-putar cukup banyak. Sembari menggelantung, dia melakukan kiss squek cukup sering karena banyaknya orang yang memperhatikannya, hal ini membuat tim medis di SRA kesulitan saat melakukan treatment. Untungnya, orangutan tersebut memiliki nafsu makan yang mulai membaik. Tapi tidak dengan dedaunan dan jenis sayur yang tim berikan, dia bahkan tidak menyentuhnya. Buah-buahan saja yang dihabiskannya.

Penanganan konflik satwa liar memang menjadi perhatian utama tim APE Sentinal di Sumatra. “Dalam satu bulan ini saja, tim mendapatkan dua laporan konflik orangutan dan sempat menjadi viral di media sosial. Belum lagi laporan konflik dengan jenis satwa liar lainnya”, jelas Netu Damayanti dari tim APE Sentinel COP. Memasuki tahun ketiganya Centre for Orangutan Protection di Medan secara khusus, tim berharap kasus konflik satwa dan manusia tidak sampai berakibat fatal yang berujung pada kematian. (BIL)

KUKU IBU JARI KAKI ASTUTI NGGAK ADA

“Nad, kita adain Posyandu yuk”.
Aku terheran saat Tata berujar padaku seusai sesi feeding sore. Hari itu, hanya giliranku dan Tata, paramedis COP yang berjaga siang di klinik BORA. Jevri, penjaga satwa yang biasa menemani kami sedang bertugas ke lokasi lain.
Hah? Memangnya klinik di BORA bisa juga untuk manusia? Itu kan klinik Orangutan?
Dalam hati aku bertanya-tanya. Maklum saja, hari itu adalah hari ketigaku di klinik BORA dan ikut merawat orangutan. Seperti membaca raut bingungku, Tata menambahkan, “Haha, maksudnya Posyandu si Mabel sama Astuti, Nad”.
Aku mengangguk-ngangguk mengerti. Kemudian Tata menjelaskan padaku bahwa bayi-bayi orangutan yang ada di pusat rehabilitasi BORA secara berkala dilihat dan dicatat perkembangan serta pertumbuhannya. Persis seperti bayi-bayi manusia di Posyandu.
“Berarti nanti kita gantian? Aku ikut megang juga ya? Tata mengangguk.
Aku deg-degan membayangkan harus memeluk atau menggenggam Astuti dan Mabel. Pada hari itu, aku masih canggung saat harus bersentuhan dengan orangutan. Bukan karena takut digigit atau disakiti, tapi aku melihat perilaku bayi orangutan sangat mirip seperti bayi manusia. Selama ini aku merasa canggung saat berhadapan dengan anak-anak dan tidak terlalu pandai apalagi sabar saat harus mengasuh mereka. Meski takut, aku juga merasa tertantang. Mungkin ini adalah kesempatanku untuk menghadapi kecanggunganku itu.
Setelah Tata mempersiapkan berkas pencatatan, alat timbang dan meteran, ia menjelaskan padaku apa saja yang akan kita lihat dan ukur dari Astuti dan Mabel.
“Kita timbang di sini. Terus ukur-ukur badan, tangan, kepala, kaki… Umm, semuanya deh sesuai daftar ini. Nanti kita lihat juga giginya dan kita cap jari-jarinya”, ujar Tata sambil membolak-balikkan kertas pencatatan. Kemudian kami bergegas ke kandang Astuti dan membawanya ke klinik. Benar saja, perilaku Astuti terlihat seperti bayi manusia bagiku. Ia naik ke tubuhku minta digendong dan harus dibujuk dengan madu agar mau naik ke timbangan. Aku berusaha tetap tenang. Akhirnya ia mau diam di atas timbangan. Beratnya menunjukkan 7,7 kg. Pantas saja lumayan berat. Kemudian kita mengukur lingkar kepala, panjang tubuh, jarak antar mata, panjang dan lebar tiap ruas tangan dan kaki, hingga ukuran telapak kaki. Sesekali Astuti tidak mau diam dan kami harus memegang tubuhnya dan dengan sabar menunggunya tenang. Saat hendak memeriksa giginya, Astuti sempat mengamuk dan tidak mau menunjukkan giginya. Tata dengan lembut membujuk Astuti hingga akhirnya kami sampai di rangkaian pencatatan terakhir, memeriksa jari-jari dan membubuhkan cap tiap jari Astuti di atas kertas. Wah, sabar banget si Tata, pikirku. Aku jadi kagum dengan Tata dan membayangkan tim medis lainnya yang juga harus sabar dalam bekerja.
“Catat di bagian keterangan Nad. Ini kuku ibu jari Astuti nggak ada. Kanan dan kiri”, ujar Tata sambil menahan tubuh Astuti yang mulai kabur ke sana ke mari. Aku terkejut mendengarnya, “Hah?! Koq bisa? Dilepasin sama pedagangnya dulu?”. Astuti adalah orangutan yang diselamatkan di Gorontalo saat hendak diseludupkan ke luar negeri oleh pedagang. Jadi kupikir kukunya sengaja dilepaskan dengan kejam.
“Bukan Nad. Emang ada orangutan yang lahir dengan kuku ibu jari kaki, tapi ada juga yang nggak. Normal koq. Bukan kelainan ini tuh”, jelasnya. Aku lega mendengar penjelasannya. Dari semua yang kami catat, Astuti tergolong baik pertumbuhan dan perkembangannya, Sykurulah. Akhirnya rangkaian ‘posyandu’ hampir selesai. Banyak hal baru tentang anatomi orangutan yang kupelajari saat itu. Selain variasi pada kuku ibu jari kaki, aku juga baru mengetahui bahwa orangutan memiliki sidik jari yang unik seperti manusia. Ternyata, mengidentifikasi orangutan bia juga dilakukan melalui sidik jari. Saat kami membubuhkan cap tiap jari tangan dan kaki Astuti di satu kolom dalam kertas pencatatan, aku nyeletuk, “Terus ini kita catat juga buat apa Ta? Buat dia bikin KTP ya?”, Tata tertawa. “Bukan Nad. Buat bikin surat permohonan utang”, balasnya. Kami berdua tertawa sementara Astuti masih sibuk berusaha merebut madu yang Tata sembunyikan di kantong bajunya. (NAD)

WHEN FOREST SCHOOL FEELS LIKE HOME, ORANGUTANS BACK TO THE CAGE CAN BE TOUGH

The sun was shining bright that morning, a sign of a good day to begin the Jungle School session in BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance). In Jungle school, rehabilitated Orangutans are let to revive their instinct and recall how to survive in the rainforest. As usual, after the first meal, the keepers carried Orangutans on their back or took them by hand and led them to the Forest School. Some Orangutans walked on their own following the keepers from behind.

Bonti, an 8 years old female Orangutan is the most difficult orangutan to call when forest school session is over. Sometimes she still wants to play around or explore the forest and swing from one branch to another. Other times she seems busy tasting some fruits she found, or just sits silently as she watches other Orangutans get back to their cage. Sure enough, that day, when school was over, Bonti didn’t want to come down. Some keepers kept calling her and followed her but instead of coming down and getting herself picked up, she went around in the cage area. She jumped from one canopy to another, causing other Orangutans to get wild in their cage. She even ignored Raffi, the Biologist at Bora. But when the keepers lured her with a bottle of her favorite milk, she finally came down and let the keepers pick her up and carried her back to the cage. 

The next day, it’s Devi’s day. Devi is an Orangutan who likes to stay and play on the treetop. Sometimes it’s difficult to spot her in forest school. That day, she couldn’t stop swinging joyfully from one tree to another. Devi prefers to be alone than be with other Orangutans, let alone humans. Just when the time’s over, we saw Devi on a fruitful tree. When Devi enjoys fruits, she forgets the whole world. We knew very well that it’s gonna be tough to get her back to the cage. It was such a busy evening! When Devi was finally full, she broke some leafy branches and piled them up carefully. Yup, she was building a comfy nest. We were stunned. It was an amazing moment. We stopped calling her and let her do her business. “Let her focus and finish the nest,” said There, the vet at Bora. It didn’t take long for Devi to finish her solid and comfy nest. We were so proud of Devi. Raffi said that it wasn’t Devi’s first time building a nest. Finally she came down and finished a bottle full of milk that the medical team gave her.

It’s a sunny Sunday. It was Bonti and Mary’s turn to go to Forest School. The keepers braced themselves as they read Bonti and Mary’s name on the list when they did morning briefing. They had to be prepared as both Orangutans were among those who often refused to get back to the cage. As expected, during the Forest School, Bonti and Mary roamed deeper into the forest, and got further and further from the cage area. Suddenly gray clouds were hanging in the sky. Sunny day’s over as rain poured down. Bonti and Mary took shelter on a big tree, hugging each other while we were soaked on the ground. We were joking around, hoping our laughter could warm our body. We followed Bonti and Mary wherever they went. At last the rain’s over. Bonti and Mary continued their journey. It had been two hours yet none of them got down. While luring them with everything we could and we had, we also prayed that they would come down soon. Finally Mary came down to get a bottle of milk and her favorite fruit the keeper lured her with. It didn’t work for Bonti. Bonti kept going back to forest school. We followed her while hoping that we didn’t have to stay overnight in forest school. Though it’s frustrating, we were also glad. It means that she feels at home in the forest. How can we not be glad when she’s getting closer to returning to where she belongs? Either got exhausted, lured by bottled milk, or pitied us the keeper, Bonti finally came down. 

“Thank God we don’t have to stay overnight here!” (TER)

 

TIGA HARI MERAYU ORANGUTAN

Pagi yang cerah adalah awal yang baik untuk memulai sekolah hutan di BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance). Sekolah untuk orangutan yang sedang menjalani rehabilitasi dimana mereka akan mengasah kembali insting alaminya dan bertahan hidup di hutan. Setelah makan pagi, sesuai jadwal orangutan pun dibawa ke lokasi sekolah hutan, ada yang digendong, dituntun bahkan berjalan sendiri mengikuti jalur yang ada.

Bonti, orangutan betina berumur 8 tahun ini adalah orangutan yang paling sulit dipanggil pulang saat sekolah hutan berakhir, entah karena masih ingin bermain, menjelajah hutan, berpindah dari satu dahan ke dahan yang lain, menikmati buah hutan yang ditemukannya atau kesibukan lainya yang kadang hanya memperhatikan orangutan lainnya yang sudah mulai menuju kandang lagi. Benar saja, ketika waktu itu tiba, Bonti pun tidak mau turun walaupun dipanggil berulang kali. Beberapa perawat satwa  berusaha memanggil dan mengikutinya, namun Bonti tetap tidak mau turun dan menuju ke area kandang dengan berpindah dari satu kanopi ke kanopi yang lain sampai akhirnya dia mengelilingi kandang hingga membuat orangutan yang berada di dalam kandang ricuh. Panggilan Raffi, Biologis BORA yang pendiam ini pun tak dihiraukannya. Sampai akhirnya, botol berisi susu kesukaannya menjadi magnet yang membawanya kembali ke kandang.

Keesokan harinya, orangutan Devi adalah orangutan yang paling suka bermain di ketinggian, kadang hampir tidak kelihatan. Kali ini Devi berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain sepanjang lokasi sekolah hutan. Devi lebih suka sendiri daripada bermain dengan orangutan lain apalagi manusia. Waktu sekolah hutan pun usai dan Devi menemukan pohon yang sedang berbuah lebat. Kami semua tau, dia tak akan turun jika sudah menikmati buah hutan. Siang itu menjadi siang yang paling sibuk, kenyang dan dia pun mulai mematahkan ranting yang berdaun lebat. Ya… Devi menyusun ranting-ranting itu. Bersarang. Kami pun terdiam, momen luar biasa, kami tak ingin menggagunya dengan memanggilnya, “biar fokus menyelesaikan pembuatan sarangnya”, ujar drh. There. Tidak membutuhkan waktu lama, sarang yang terlihat kokoh pun jadi, kami yang menyaksikan pun bangga. Menurut Raffi, Devi memang sudah beberapa kali terlihat membuat sarang.Selesai makan dan membuat sarang, Devi pun akhirnya turun dan meminum habis susu yang dibawa tim medis.

Minggu pagi yang cerah giliran kelompok yang di dalamnya ada orangutan Bonti dan Mary. Jika briefing pagi ada dua nama orangutan ini maka perawat satwa harus menyiapkan tenaga lebih untuk menunggu dan mengikuti keduanya yang tidak mau pulang. Benar saja, waktu semua orangutan sudah kembali ke kandang, keduanya malah menjelajah menjauh dari lokasi sekolah hutan. Cuaca cerah sekejab berubah mendung dan hujan deras pun turun. Bonti dan Mary berada di pohon yang besar dan lebat saling berpelukan dan berlindung dari hujan. Sedangkan kami yang berjaga menjadi basah kuyup dan bercanda satu sama lain mengusir dingin sambil menjaga dan mengikuti kedua orangutan ini kemanapun mereka pergi. Hujan cukup lama pun akhirnya reda. Bonti memimpin Mary melanjutkan penjelajahan mereka. Dua jam berlalu namun tak satupun mau turun. Doa dan usaha membawa mereka kembali ke kandang terucap. Untung saja Mary tergiur dengan botol susu dan buah yang dipegang perawat satwa. Tapi tak berlaku pada Bonti. Bonti kembali ke lokasi sekolah hutan. Kami pun mengikutinya dan berdiam diri sembari berharap semoga tak harus menginap di sekolah hutan. Walau harapan itu sebenarnya kebahagian kami melihat Bonti semakin dekat dengan hutan yang merupakan rumah sesungguhnya. Entah karena capek atau tergoda susu yang kami bawa. Atau lebih tepatnya kasihan pada kami, Bonti pun akhirnya turun. “Hampir saja kita bermalam di sekolah hutan”. (TER)

ASTO STILL WANTS TO BE IN FOREST SCHOOL BUT SHE’S HUNGRY

I still remember how irritated Iwas that day. It was a lovely day at the beginning when I started my routine in SRA (Sumatran Rescue Alliance) at 8 A.M. As usual, I started with breakfast, then prepared the food, cleaned up the cage, and started Forest School time for Orangutan Asto and Asih.

I could hear the sound of the steel cage being shaken and I could see Asto and Asih peeking out from behind the tall bars, ready to get out of the cage. They seemed restless and couldn’t wait to get out and start the Forest School time. I saw them waiting right in front of the door when I opened the main gate. Then I unlocked the key to their cage and slid the doo cage. Asto even helped me slide the door! Then they climbed up straight to my back in such a rush! I carried them t the Forest School are. When we arrived, Asto and Asih didn’t wait to climb up the tree top. They looked so happy as I observed their social behavior when they played around fallen trees. It was their doings on the previous days. During forest school time, sometimes they came to me just to bite me. Other times they just observed whatever we’re doing, or roamed around jumping from one leafy tree to another just next to the Forest School are.

That evening, they both looked exhausted and hungry. The day got hotter and hotter. Asto and Asih looked so messy as they played on the ground. I thought maybe it’s time to put them in the cage. So I lured them with fruits and called them to get on my shoulders. I had put the fruit basket in their cage earlier but suddenly Asto took the fruit and claimed up so fast to the cage roof and hopped to the tree! He ate the fruit on that treetop, showing me that she still wants to be in the Forest School but she was hungry! I chuckled. Really, taking care of two rehabilitated orangutans who are getting smarter and stronger every day is no easy task! (BIL)

 

ASTO MASIH INGIN SEKOLAH HUTAN TAPI LAPAR

Hari itu merupakan hari yang menjengkelkan bagiku. Ketika pagi yang cerah dan penuh semangat, ku mulai tepat pukul 08.00 WIB. Seperti biasa kami memulai aktivitas di SRA (Sumatran Rescue Alliance) dengan sarapan, menyiapkan pakan, membersihkan kandang dan kemudian sekolah hutan untuk orangutan bernama Asto dan Asih.

Dari kejauhan terdengar suara gemuruh kandang besi yang digoyangkan dan terlihat Asto dan Asih yang sedang mengintip di balik pagar yang tinggi dengan wajah berharap untuk keluar kandang. Keduanya terlihat sudah tidak sabar untuk sekolah hutan. Ku buka pintu utama untuk masuk ke dalam area kandang orangutan dan melihat keduanya telah berada di depan pintu kandangnya untuk bersiap keluar. Kubuka kunci dan menggeser pintu kandangnya, dengan sigap Asto membantu menggeser pintu lalu keduanya meraih punggungku untuk digendong ke area sekolah hutan. Sesampainya di area sekolah hutan, Asto dan Asih dengan segera menaiki pohon. Keduanya terlihat gembira sembari melakukan sosial behavior di pepohonan yang sudah banyak tumbang karena ulah mereka sebelumnya. Sesekali keduanya menghampiriku untuk sekedar menggigit, memperhatikan dan lari ke area pepohonan yang lebih rimbun di sebelah sekolah hutan.

Kala itu Asto dan Asih terlihat kelelahan dan lapar. Hari semakin siang dan terik. Keduanya sudah tidak karuan bermain di area tanah. Mungkin saatnya membawa mereka kembali ke kandang, pikir ku. Dengan pancingan buah aku membujuk Asto dan Asih naik ke pundakku. Keranjang buah pakan Asto dan Asih telah kuletakkan di dalam kandang sebelumnya. Asih pun masuk ke dalam kandang namun dengan lincahnya Asto meraih buah dan naik ke atas kandang luar dan naik ke atas atap kandang lalu menaiki pohon yang berada di area kandang. Asto memakan buah di pohon tersebut sebagai isyarat belum puas sekolah hutan namun kelaparan. Sungguh, ternyata tak mudah mengurus dua orangutan rehabilitasi yang semakin hari semakin pintar dan kuat. (BIL)

DEVI, SISWA BARU SEKOLAH HUTAN YANG SUDAH LAYAK NAIK KELAS

Devi dahulunya merupakan korban perdagangan ilegal satwa liar yang berhasil diselamatkan pada tahun 2021. Ia sudah menjalani rehabilitasi di pusat rehabilitasi BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance) sejak April 2021. Namun Devi baru bisa mengikuti sekolah hutan pertamanya pada 10 Desember 2022. Hal ini disebabkan karena sifatnya yang selama setahun ke belakang masih agresif dan takut terhadap perawat satwa. Kemungkinan sifat agresif ini disebabkan oleh trauma masa lalunya, saat ia dipisahkan dari induknya oleh pemburu yang kemungkinan besar dilakukan dengan membunuh induknya.

Saat ini sudah dua bulan Devi mengikuti sekolah hutan di BORA. Meski masih baru menjadi siswa sekolah hutan, Devi langsung menjadi siswa paling aktif mencari pakan alami dibandingkan orangutan lain. Dengan mudah ia dapat menemukan pakan alami sepanjang sekolah hutan. Pakan alami yang teramati dimakan oleh Devi di lokasi sekolah hutan antara lain beragam buah-buahan hutan, daun-daunan, kulit kayu, umbut rotan dan umbut pisang. Devi selalu menjadi yang terakhir pulang ketika sekolah hutan karena selalu aktif mencari makan. Devi selalu pulang sekolah hutan dengan keadaan bibir yang sudah menghitam oleh noda getah dari pakan alami yang ia makan. Devi sama sekali tidak pernah meminta makanan kepada perawat satwa.

Selain aktif mencari pakan alami, Devi sudah lebih dari tiga kali teramati membuat sarang di atas pohon. Kualitas sarang yangia buat pun sudah sangat baik, sama seperti sarang buatan orangutan liar dewasa. Pada sekolah hutan terakhir (28/1/2023), Devi sempat tertidur di sarang buatannya setelah ia kenyang memakan pakan alami yang ia temukan. Kami terpaksa menunggu di bawah pohon sampai ia terbangun dari sarangnya. Pada akhirnya Devi mau turun setelah dipancing oleh drh. Theresia dengan sebotol susu. Ia pun turun dengan wajah yang masih mengantuk. “Ih Devi kentut”, kata There saat Devi sudah digenongannya. Sepertinya hari itu ia sudah makan kenyang karena bulan ini hutan Labanan sedang musim berbuah. (RAF)

SETELAH 4 ORANGUTAN KEMBALI KE RUMAH

Haru dan bahagia ketika empat orangutan yaitu Antak, Hercules, Ucokwati  dan Mungil berhasil melewati proses yang panjang untuk kembali pulang ke rumah (hutan). Keempat orangutan ex-rehab ini akhirnya dilepasliarkan kembali ke hutan pada akhir Oktober 2022. Tahap demi tahap telah mereka lalui mulai dari rescue, karantina, pemeriksaan kesehatan, program sekolah hutan untuk mengembalikan insting alami, program pulau pra-pelepasliaran dengan tujuan melatih kemampuan bertahan hidup mereka dan akhirnya rilis. Hal ini memakan waktu yang tidak sebentar dan melibatkan kerja keras staf dari berbagai bidang ilmu dan keahlian yang saling bekerja sama untuk kesejahteraan hidup orangutan. Bahkan pemantauan terhadap orangutan terus dilakukan setelah dilepasliarkan untuk mencatat perilaku harian dan menjaga orangutan dari perburuan.

drh. Yudi yang dalam perjalanan kembali ke Berau setelah mengikuti monitoring pada minggu pertama setelah pelepasliaran harus putar balik haluan untuk kebali ke pos monitoring karena orangutan Hercules yang tiba-tiba sudah berada di pos mengancam staf yang ada. Hercules pun dibius kemudian dilepaskan jauh ke dalam hutan untuk mencegah agar tidak kembali ke pos pantau. 

Pengalaman luar biasa ketika diberi kesempatan untuk monitoring minggu kedua paska rilis. Hari pertama sudah dikejutkan orangutan Antak yang menyeberang sungai dan masuk ke dalam pos monitoring. Orangutan ex-rehab kadang memiliki kecenderungan mendekati manusia. Tim APE Guardian dengan berbagai cara mengalihkan perhatian Antak supaya mau naik ke atas perahu. Antak dipancing menggunakan buah, setelah Antak di perahu, tim menarik perahu menuju lokasi pelepasliarannya. Cara ini terlihat seperti wahana bermain untuk Antak. Tidak hanya sampai di situ, orangutan Hercules yang sudah dibawa jauh sebelumnya dan beberapa kali digiring oleh tim ke dalam hutan seolah memiliki peta diotaknya, ia kembali lagi ke pinggir sungai Menyuk dan terpantau selalu berjalan dipinggir sambil sesekali memantau kondisi air. Tentu saja ini membuat tim monitoring khawatir ditambah lagi kondisi air sungai yang surut karena tidak kunjung hujan. Pengambilan keputusan untuk orangutan yang menyeberang ke pos pantau maupun yang mendekati manusia harus ilakukan dengan berbagai pertimbangan, bahkan jalan terakhir yaitu pembiusan hanya dilakukan apabila orangutan mengejar atau mengancam keberadaan staf.

Mengamati orangutan paska pelepasliaran berbeda ketika mengamati orangutan di kandang maupun saat mengikuti sekolah hutan di BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance). Monitoring dilakukan mulai jam 7 pagi saat orangutan turun dari pohon tempat beristirahat hingga jam 5-6 sore saat orangutan akan membuat sarang untuk tidur. Segala aktivitas yang dilakukan orangutan sangat menarik, seperti Hercules yang tanpa sadar membuat jalan setapak karena selalu melewati jalan yang sama setiap hari dan kadang beraktivitas sambil membawa dan memakan buah hutan. Mengamati tanaman dan buah hutan yang dikonsumsi orangutan seperti Mungil yang memakan tanah dan selalu aktif bergerak dari satu pohon ke pohon lain dan pernah terlihat berjemur. Antak yang menyeberang sungai sambil mengangkat kedua tangannya, Hercules yang mengikuti Mungil bahkan sempat terlihat kontak fisik. Bahkan mengamati proses defakasi Mungil dan memeriksa fesenya menjadi hal yang sangat menarik. Selain itu dalam proses pencarian orangutan, kadang tim menemukan sisa-sisa buah bekas dimakan hewan dan bekas cakaran di batang pohon. Tim juga mencoba memakan buah hutan yang dimakan orangutan. Terkadang… tim pun kehilangan jejak orangutan saat melakukan pengamatan. (TER)

SORE BERSAMA ASTO, ASIH DAN RYAN

Sore-sore terakhir ini selalu saja turun hujan, jadwal sekolah hutan Sumatran Rescue Alliance (SRA) dua individu orangutan Asto dan Asih kadang terpaksa absen kalau hujannya sudah duluan datang sebelum “kelas” dimulai. Hari ini pun sejam sebelum jadwal sekolah hutan, langit mulai gelap. Sekolah hutan pun dimajukan, intinya agar orangutan keluar dari kandang setiap pagi dan sore.

Perawat Satwa sore ini ada tiga orang yang bertugas. Iqbal menyiapkan pakan, Ryan dan Ikram mulai memakain baju tugas. Karena di SRA tidak hanya orangutan tapi juga primata kecil lainnya. Pakan pun di potong kecil dan sesuai porsinya masing-masing.

Asto dan Asih dikeluarkan dari kandang oleh perawat Ryan. Masuk ke “kelas” dengan semangat. Asto memilih prilaku berpindah-pindah pohon, sedangkan Asih sibuk mematah-matahkan ranting kecil di bagian atas pohon dengan pergerakan berpindah pohon yang sedikit.

Sore ini sesuai prediksi, matahari tetap tertutup awan kelabu disusul oleh hujan kecil. Asto dan Asih memilih tidak turun dan tidak mau kembali ke kandang walaupun sudah dipanggil berulang-ulang oleh Ryan. Buah-buahan untuk memancing mereka pun diabaikan, mereka tetap memilih di atas pohon. (DAN)