HUTAN RESTORASI EKOSISTEM BUSANG, HARAPAN MASA DEPAN ORANGUTAN DI KALIMANTAN TIMUR

Berau – Maraknya video yang beredar di dunia maya terkait orangutan yang masuk pemukiman warga, area pertambangan dan perkebunan bukan merupakan kasus yang baru di wilayah Kalimantan Timur. Kejadian ini sering terekam video masyarakat dan viral di media sosial. Seringnya perjumpaan orangutan yang berada di area aktivitas manusia berpotensi terjadinya konflik antara manusia dan satwa liar khususnya orangutan. Dalam setahun terakhir, setidaknya terdapat 33 kasus orangutan di kawasan pertambangan, pemukiman warga dan perkebunan yang telah terdata oleh tim Centre for Orangutan Protection (COP) di wilayah Kalimantan Timur sampai saat ini.

“Catatan dari COP tersebut cukup mengejutkan, adanya 33 kasus yang terdata terkait orangutan masuk pertambangan, pemukiman warga dan perkebunan berpotensi menimbulkan konflik antara manusia dan orangutan. Banyaknya kasus ini setidaknya menjadi pertanda bahwa kondisi orangutan dan hutan di wilayah Kalimantan Timur tidak baik-baik saja dan memerlukan perhatian khusus”, jelas Sari Fitriani, Manajer Program Perlindungan Habitat COP.

Dari dampak maraknya video viral orangutan di area aktivitas manusia membuat BKSDA Kalimantan Timur bekerja sangat keras dalam menanggulangi potensi konflik orangutan dan manusia. Pada tanggal 31 Januari 2021, BKSDA Kaltim bersama COP terpaksa melakukan evakuasi orangutan yang diberi nama Gisel di Sangatta Selatan, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur karena memasuki pemukiman. Tim melakukan upaya preventif dengan melakukan evakuasi guna meminimalisir potensi kejadian yang buruk bagi manusia maupun orangutan tersebut.

Dengan banyaknya catatan potensi konflik satwa liar dengan manusia diperlukan sebuah solusi area perlindungan bagi orangutan secara terpadu dan komprehensif. BKSDA Kalimantan Timur, Centre for Orangutan Protection (COP) dan UPTD KPHK Kelinjau membentuk tim terpadu untuk melakukan survei bersama calon lokasi pelepasliaran orangutan guna menyediakan solusi untuk konflik-konflik orangutan yang terjadi di Kalimantan Timur. Lokasi yang telah dilakukan survei dan kajian berada di kawasan hutan di Kecamatan Busang, Kutai Timur. Hasil survei menunjukan bahwa daya dukung pakan, keamanan, tutupan hutan dan dukungan masyarakat cukup baik untuk dijadikan kawasan pelepasliaran orangutan sehingga dapat menjadi solusi yang tepat bagi orangutan, baik orangutan yang terdesak dari habitatnya dan memerlukan translokasi serta orangutan eks-rehabilitasi. Kawasan ini juga merupakan areal yang dalam proses pengajuan izin konsesi restorasi ekosistem oleh PT. Hutan Orangutan Perlindungan Ekosistem (PT. HOPE), perusahaan yang didirikan oleh COP khusus untuk menjalankan kegiatan restorasi ekosistem sekaligus menjadi areal perlindungan bagi orangutan di kawasan tersebut.

“Kawasan restorasi PT. HOPE akan menjadi harapan baru untuk program restorasi ekosistem serta upaya perlindungan keanekaragaman hayati termasuk orangutan. Kawasan ini juga diharapkan akan memacu peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya yang akan berjalan beriringan dengan program-program konservasi orangutan berbasis masyarakat. Dukungan masyarakat setempat terkait program pelepasliaran orangutan juga cukup besar karena orangutan akan menjadi harapan mereka untuk mempertahankan hutan terakhir sekaligus sumber kehidupan mereka. Bahkan dukungan masyarakat tersebut juga telah diwujudkan dalam bentuk surat pernyataan dukungan. Proses permohonan hutan retorasi PT. HOPE saat ini masih berjalan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tentu saja kami berharap agar izin tersebut dapat segera diterbitkan. Sehingga, hutan restorasi PT. HOPE dapat dengan cepat memberikan rumah yang baik, aman dan terjaga bagi orangutan dan satwa liar lainnya”, jelas Sari Fitriani, Manajer Program Perlindungan Habitat COP.

Untuk wawancara dan informasi lebih lanjut hubungi:

Sari Fitriani
Manajer Program Perlindungan Habitat COP
HP: 082385578778
Email: sari@orangutan.id

PELEPASLIARAN ORANGUTAN DI HUTAN LINDUNG SUNGAI LESAN

Berau, Minggu (20 Juni 2021) – Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur bersama Centre for Orangutan Protection-Bornean Orangutan Rescue Alliance (COP-BORA) dan Kesatuan Pemangkuan Hutan Produksi (KPHP) Berau Barat, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur pada hari Sabtu, 19 Juni 2021, melakukan pelepasliaran 1 (satu) individu orangutan yang telah menjalani rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi BORA Labanan yang dikelola oleh BKSDA Kaltim dengan COP. Orangutan tersebut dilepasliarkan di Hutan Lindung Sungai Lesan (HLSL) yang memiliki luasan 11.238 hektar. Kawasan ini telah menjadi pilihan sebagai lokasi pelepasliaran orangutan sejak 2017. Hingga saat ini telah terdapat 7 (tujuh) individu orangutan yang dilepasliarkan di HLSL dan masih terus dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap populasi orangutan yang berada di kawasan tersebut. Kegiatan pelepasliaran orangutan ini merupakan upaya untuk memberikan kesempatan kedua setelah rehabilitasi agar orangutan tersebut dapat hidup secara bebas di habitat alaminya.

Sebelumnya, orangutan betina yang diberi nama Gisel (diperkirakan berumur kurang lebih 4-5 tahun), dilaporkan berkeliaran di wilayah pemukiman warga di daerah Sangatta Selatan, Kutai Timur. Awalnya, orangutan Gisel diselamatkan dan ditranslokasi ke kawasan Taman Nasional Kutai (TNK) Resort Sangkima sekitar bulan Januari 2021. Akan tetapi, tidak berselang lama, orangutan tersebut dilaporkan kembali mendatangi petugas TNK di Resort Sangkima. Tim WRU BKSDA Kalimantan Timur bnersama Balai TNK kembali melakukan upaya penyelamatan pada bulan Februari 2021 dan kemudian mengirimkannya untuk menjalani rehabilitasi ke BORA. Tahapan rehabilitasi tersebut dilakukan dengan harapan bahwa orangutan Gisel dapat kembali menjadi liar dan hidup bebas tanpa tergantung pada manusia.

Setelah dilakukan pengamatan intensif oleh tim perawat dan medis satwa, orangutan Gisel masih memiliki kepekaan sebagai satwa liar yang ditunjukkan dengan perilaku dan kemampuannya untuk membuat sarang dengan baik. Kemampuan dasar membuat sarang ini merupakan salah satu indikator yang harus dimiliki oleh orangutan rehabilitasi sebelum menjalani proses pelepasliaran. Dari hasil pengamatan perilaku tersebut dan pemeriksaan kesehatan secara lengkap, orangutan Gisel dinyatakan memenuhi standar untuk dilepasliarkan.

Plt. Kepala BKSDA Kalimantan Timur, Nur Patria Kurniawan, sesaat setelah melepasliarkan orangutan Gisel menyampaikan pernyataan bahwa kegiatan pelepasliaran merupakan tahapan penting dari kegiatan penyelamatan populasi Orangutan Kalimantan sekaligus sebagai indikator utama keberhasilan rehabilitasi orangutan. Hal penting berikutnya setelah orangutan dilepasliarkan adalah monitoring dan evaluasi secara berkala terhadap kemampuan kawasan tersebut untuk menampung orangutan maupun perkembangan populasinya dalam jangka panjang. BKSDA Kalimantan Timur bersama COP terus melakukan monitoring rutin terhadap populasi orangutan di kawasan tersebut dengan harapan bahwa kehidupan orangutan dikawasan ini dapat hidup bebas alami sesuai dengan daya dukung dan daya tampung kawasan,

Manajer Pusat Rehabilitasi BORA, Widi Nursanti mengatakan bahwa BORA terwujud atas kemitraan multipihak BKSDA Kalimantan Timur dengan Centre for Orangutan Protection (COP) dan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Ekosistem Hutan Dipterokarpa (B2P2EHD). Di BORA saat ini merehabilitasi 24 (dua puluh empat) individu orangutan dengan latar belakang berbeda-beda antara lain orangutan korban perdagangan satwa ilegal hingga kepemilikan ilegal. “Rehabilitasi orangutan sampai pada tahap pelepasliaran merupakan kerjasama kolektif yang panjang serta melalui proses yang kompleks. Namun upaya yang panjang ini tetap harus dilakukan untuk memberikan kesempatan kedua yang lebih baik bagi orangutan”, tambah Widi Nursanti.

Untuk wawancara dan informasi bisa menghubungi:

Dheny Mardiono,
Kepala Seksi Konservasi Wilawah 1 BKSDA Kalimantan Timur
HP: +62 812 3487 467

Widi Nursanti,
Manajer Bornean Orangutan Rescue Alliance (BORA)
HP: +62 813 3501 3032
Email: info@orangutanprotection.com

GISEL, SI AHLI MEMBUAT SARANG

Gisel saat ini merupakan orangutan yang paling ahli dalam membuat sarang di pusat rehabilitasi orangutan BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance). Ia merupakan orangutan betina berusia sekitar 4-5 tahun yang dititipkan ke BORA oleh BKSDA Seksi II Tenggarong. Pada bulan Juni 2021 ini, ia rencananya akan dilepasliarkan ke habitat alaminya.

Berdasarkan observasi pada tanggal 23-24 Mei 2021 dengan empat kali pengamatan, 46,48% kegiatan yang dilakukan Gisel di dalam kandang diisi dengan berdiam atau beristirahat di atas sarang buatannya sendiri. Kegiatan lain yang ia lakukan antara lain makan (11,3%) bergerak seperti berpindah (11,3%), autogrooming (menggaruk badan/membersihkan rambut sendiri) sebesar 9,6%, mengamati keadaan sekitar (14,08%), perilaku afiliatif terhadap perawat satwa (2,82%), bermain sendiri (1,4%) dan membuat sarang ketika enrichment daun diberikan (1,4%).

“Wih beratnya!”, ujar drh. Ray ketika mencoba mengangakat sarang Gisel dalam hammock dengan tongkat. Dedaunan yang terus menerus Gisel susun menjadi sarang selama berhari-hari mungkin sudah mencapai bobot belasan kilogram. “Jadi gak sabar melepasliarkan Gisel dan mengamati sarang-sarang yang yang dibuatnya nanti di hutan Kalimantan”, ujar Raffi Ryan Akbar, asisten manajer BORA. (RAF)

AKHIRNYA KOLA BISA TURUN SENDIRI

Kola, orangutan berusia 11 tahun akhirnya bisa menuruni pohon dengan kemampuannya sendiri pada kegiatan sekolah hutan, Jumat, 14 Mei 2021 di BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance). Pada sekolah hutan sebelumnya, Kola tidak mampu turun sendiri dari ketinggian pohon yang ia panjat. Sehingga dengan terpaksa harus ditembak bius oleh perawat satwa dan dokter hewan BORA untuk bisa menurunkannya.

Pada hari itu (14/5), Kola mengikuti program sekolah hutan bersama dengan tiga orangutan lainnya, Aman, Bagus dan Septi. Sejak awal tiba di lokasi sekolah hutan, Kola langsung menaikipohon hingga ketinggian 25 meter dan tidak berpindah posisi hingga tiba waktu sekolah hutan usai. Berbeda dengan tiga orangutan lainnya yang aktif berpindah-pindah posisi dan mudah ketika diajak turun dari pohon.

Beberapa jam berlalu, Kola masih saja betah berdiam di posisi ketinggian yang sama sejak pagi hari. “Kola, turun Kola”, ujar para perawat satwa BORA memanggil Kola untuk turun karena waktu sekolah hutan telah selesai. Namun Kola tetap bertahan di posisinya. Aman, Bagus dan Septi pulang terlebih dahulu ke kandangnya. Satu jam berlalu semenjak ketiga orangutan lainnya telah pulang ke kandang terlebih dahulu. Saat keadaan sudah sepi, barulah kola bisa turun sendiri dari pohon tanpa perlu ditembak bius lagi. (RAF

SEPTI MEMBUAT REKOR BARU

“Terharu aku”, ujar Widi Nursanti, manajer pusat rehabilitasi Bornean Orangutan Rescue Alliance (BORA) saat melihat foto Septi yang sedang memanjat pohon saat mengikuti program sekolah hutan yang dilaksanakan pada Jumat, 14 Maret 2021. Pada hari itu, Septi berhasil memecahkan rekor pribadinya dalam hal ketinggian memanjat pohon.

Septi akhirnya mau memanjat pohon lebih tinggi dari biasanya. Septi merupakan orangutan betina berusia 15 tahun yang sedang menjalani rehabilitasi di BORA. Pada hari itu, Septi ke sekolah hutan bersama orangutan Aman, Bagus dan Kola. Dibandingkan dengan Aman, Bagus dan Kola yang senang memanjat pohon sampai tinggi, Septi lebih suka berada di permukaan tanah dan sangat jarang memanjat pohon. Ketinggian maksimal yang biasa dicapai Septi sebelumnya hanya 6 meter dengan frekuensi memanjat yang sangat jarang. Namun pada hari itu, Septi mampu memanjat pohon hingga ketinggian 11 meter di atas permukaan tanah. Ketinggian tersebut hampir dua kali dari rekor pribadi Septi sebelumnya.

Pengalaman bertahun-tahun hidup di luar habitat alaminya membuat Septi dan banyak orangutan lainnya kehilangan insting dan kemampuan alami mereka, seperti keahlian memanjat pohon, mencari makan, membuat sarang serta berlindung dari bahaya maupun cuaca. Kemampuan dan insting tersebut dapat hilang karena umumnya orangutan yang hidup di luar habitatnya tidak dapat mengekspresikan perilaku alaminya karena berbagai keterbatasan dan hambatan. Program sekolah hutan bertujuan untuk melatih dan mengembalikan kemampuan serta insting alami orangutan untuk dapat hidup mandiri dan bertahan hidup di alam liar sebagai habitat alaminya. (RAF)

KOLA KE SEKOLAH HUTAN LAGI!

Apakah kamu mengenalinya? Dia adalah Kola, orangutan repatriasi Thailand pada akhir tahun 2019 yang lalu. BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance) adalah tempat rehabilitasi orangutan yang berada di Berau, Kalimantan Timur memiliki kurikulum sekolah hutan terunik yang ada. Setiap orangutan dipantau perkembangannya dan diberi tantangan lebih lagi jika berhasil melaluinya. Jika gagal, orangutan akan tetap diberi kesempatan untuk mencoba lagi.

Seperti Kola, yang awal tahun 2021 yang lalu sempat membuat para perawat satwa menginap di hutan karena dia tak kunjung turun dari pohon yang dipanjatnya. Kola terpaksa dibius keesokan harinya untuk bisa membawanya turun dari pohon. Saat itu, Kola tidak berani turun bahkan untuk mengambil makanannya.

Kola mendapatkan kembali kesempatannya berkembang, kali ini para perawat satwa dengan perseiapan terburuk harus menginap lagi di hutan dan bersiap memanjat pohon untuk menjemputnya. Persiapan dan skenario matang akhirnya hanya sekedar rencana. Saatnya kembali ke kandang usai waktu sekolah hutan, Kola pun turun.

“Lega!!! Walau tak semudah itu”, ujar Linau, kordinator perawat satwa di BORA.

NASIB ORANGUTAN DI BENGALON (4)

Tim APE Crusader juga mengecek lokasi video viral orangutan menyeberang jalan. Video yang sempat ramai di media sosial ini dibuat pada akhir Februari 2021 yang lalu. Menurut saksi, orangutan tersebut menyeberang jalan dari arah kawasan konsesi pertambangan milik PT. KPC menuju kebun masyarakat di balik bukit. Orangutan tersebut memporak-porandakan kebun pepaya, mangga dan pisang warga.

Konflik seperti ini memang sulit dihindari. PT. KPC sendiri memiliki kebijakan untuk meminimalisir konflik satwa liar, salah satunya dengan mengganti rugi kerusakan yang disebabkan orangutan tersebut. Namun karena kebun yang dirusak posisinya sudah di seberang jalan, PT. KPC menolak untuk mengganti ruginya. Padahal, orangutan tidak pernah tahu, kebun siapa dan masih berbatasan langsung dengan pertambangan atau tidak. Orangutan hanya mencari makan di habitatnya. Saat habitatnya menjadi pertambangan, bukankah seharusnya tanggung jawab perusahaan?

Usaha PT. KPC yang menyelamatkan orangutan karena ada orangutan yang terluka juga bukanlah solusi jangka panjang. “Tapi saya pikir KPC omong kosong juga itu. Hutannya aja dihabisinya, gimana mau orangutannya selamat”, kata warga sekitar jalan Poros Bontang, Kalimantan Timur.

Selama penelusuran, tim APE Crusader juga menemukan satwa lain. Sepasang Elang Bondol (Haliastur indus) sedang bertengger di cabang kayu yang sudah kering. Selain itu, sepasang rangkong (Rhinoplax sp) sedang bertengger di ujung ranting pepohonan tinggi dan berjarak sekitar 70 meter dari jalan aspal. Kawanan Beruk juga dengan mudah terlihat di pinggir jalan. Beruk-beruk ini tidak takut dengan aktivitas manusia. Ketika didekati, mereka tidak lari menjauh. Selain karena sifat alami beruk yang agresif, tentu saja karena mereka sudah terbiasa dengan lingkungan sekitar.

“Kita seharusnya sadar bahwa pentingnya menjaga kelestarian habitat satwa liar. Satwa liar tidak butuh gedung tinggi, uang maupun materi. Investasi bagi mereka adalah habitat yang lestari. Mungkin mereka bisa bertahan hidup di antara lahan-lahan hutan yang semakin hari tergantikan menjadi lahan tambang, perkebunan dan pemukiman. Tapi apakah kehidupan mereka layak? Bumi diciptakan untuk kepentingan semua makhluk, bukan hanya manusia. (FEB)

NASIB ORANGUTAN DI BENGALON (3)

Kondisi habitat orangutan di kawasan tambang batubara ini merupakan hutan sekunder karena tidak ditemukan lagi pohon besar. Macaranga gigantea, Macaranga triloba dan beberapa jenis Macaranga spp lainnya, Puspa (Schima wallichii), Dipterocarpaceae, Fabaceae, serta banyak ditemukan tumbuhan liana dan perdu. “Bisa sih orangutan hidup di hutan sekunder seperti ini, namun paling baik ya hutan primer”, ujar Febrina Mawarti Andarini, tim APE Crusader yang merupakan ahli Biologi COP.

Sepanjang jalan poros Bengalon banyak ditemukan sarang orangutan yang sudah mengering. Temuan ini bisa dibilang wajar karena dengan luasan kawasan yang tidak terlalu besar, orangutan tidak memiliki ruang jelajah yang luas, bahkan terbatas hutan sekunder sepanjang kanan dan kiri jalan karena bagian tengahnya sudah menjadi tambang batubara.

Di antara banyak sarang yang ditemukan terdapat 3 (tiga) sarang yang masih baru dengan tipe sarang A dan B dengan posisi 1 dan 2. Sarang yang masih baru ditandai dengan batang ranting dan daun yang masih hijau segar serta belum mengering. Salah satu sarang tersebut berada di atas pohon Trembesi (Samanea saman). Keberadaan sarang baru menandakan masih adanya aktivitas orangutan di kawasan tersebut.

Centre for Orangutan Protection menghimbau pengguna jalan Poros Bengalon untuk berhati-hati ketika melintas di jalan ini. Karena Orangutan bahkan satwa liar lainnya bisa saja sewaktu-waktu menyeberang. Tim APE Crusader berencana memasang beberapa papan peringatan di beberapa titik. “Jangan beri makan orangutan karena dikawatirkan orangutan akan terbiasa. Orangutan bukan hewan peliharaan. Jangan disakiti karena orangutan bukan hama”. (FEB)

PEMBANGUNAN GAPURA DAN POS JAGA KHDTK LABANAN SELESAI

Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Labanan merupakan hutan penelitian yang berada di Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Di lokasi ini juga ada Pusat Rehabilitasi Orangutan yang berfungsi sebagai tempat menampung dan merawat orangutan sitaan negara meupun serahan masyarakat kepada negara.

Untuk memperkenalkan lokasi keberadaan KHDTK Labanan, Balai Besar Penelitian Pengembangan Ekosistem Hutan Dipterokarpa (B2P2EHD) bekerja sama dengan Pusat Perlindungan Orangutan atau sering disebut COP (Centre for Orangutan Protection membangun sebuah gapura identitas masuk kawasan di KHDTK Labanan. Tak hanya itu, berdekatan dengan gapura juga dibangun pos jaga KHDTK Labanan yang berfungsi sebagai lokasi pendukung patroli pengamanan di KHDTK Labanan.

Gapura dan Pos jaga ini dibangun pada pinggir jalan poros Samarinda Berau pada kilometer 24 yang dapat dilihat masyarakat saat melintas di area tersebut. Gapura dan Pos jaga ini sebagai penanda bahwa pengendara mobil dan motor sudah memasuki area KHDTK Labanan.

Dengan adanya gapura dan pos jaga ini, diharapkan masyarakat dapat memahami dan semakin mengetahui keberadaan kawasan KHDTK Labanan sebagai ikon hutan hujan tropis di kabupaten Berau. KHDTK Labanan merupakan hutan yang dihuni banyak satwa liar seperti owa-owa, babi hutan, kancil, musang, ayam hutan dan juga burung-burung endemik Kalimantan yang keberadaannya wajib kita jaga bersama untuk kelestarian hutan dan isinya di masa depan. (NOY)

MISI PERTAMA DOKTER HEWAN YUDI DI KALTIM

Malam, 24 April saat sedang mempersiapkan nutrisi tambahan untuk orangutan-orangutan di pusat rehabilitasi BORA, telepon camp berbunyi. Daniek Hendarto, direktur Centre for Orangutan Protection menanyakan kesiapan tim APE Defender untuk memindahkan orangutan dari Samarinda ke BORA yang berada di Berau, utaranya Kalimantan Timur. Setelah berdiskusi drh. Ray akhirnya menyuruh drh. Yudi untuk menjalankan tugas ini.

“Rasanya gak karuan, takut, cemas dan bersemangat, campur aduk. Ini adalah perjalanan pertama saya menyelamatkan orangutan”, gumam Yudi Ardianto, dokter hewan lulusan Universitas Brawijaya ini sembari mengecek kembali microchip, alkohol, meteran, obat bius dan peralatan medis lainnya. Tepat pukul 00.30 WITA tim APE Defender berangkat. Sekilas terlihat senyum drh. Ray melihat kepanikan drh. Yudi yang baru bergabung di COP pada akhir bulan Maret yang lalu. Jalan darat ini pun dimulai, mulai jalan aspal mulus seperti kemeja yang baru disetrika hingga jalan berlubang yang sering membuat kami melompat dan terbentur atap mobil.

Menjelang siang, drh. Yudi telah siap untuk memeriksa kesehatan orangutan malang ini. “Orangutan ini sangat agresif, untuk ukuran orangutan kecil, tenaganya lumayan kuat. Pemeriksaan gigi untuk mengetahui perkiraan usia orangutan, dilanjut pemeriksaan apakah ada luka atau tidak dan tiba-tiba saja jari saya sudah berada disela-sela giginya. Ahrgg… rasanya lumayan!”, cerita Yudi lagi.

Tepat pukul 07.00 WITA keesokan harinya, tim APE Defender telah tiba di BORA. “Orangutan betina berusia 1-3 tahun ini akan menjalani masa karantina terlebih dahulu. Saya sendiri masih harus menjalani tes COVID-19 usai perjalanan jauh dan isolasi mandiri”, ujar Yudi. BORA menerapkan prosedur kesehatan yang cukup ketat untuk mencegah penyebaran virus Corona. Mencegah lebih baik daripada Mengobati. (YUD)