CHARLOTTE, DARI KOLONG RUMAH KE KANOPI HUTAN

Langit masih kelabu saat kami meninggalkan dermaga kecil di Long Lees, sebuah kampung tenang di tepi Sungai Atan, Kecamatan Busang, Kutai Timur. Embun pagi belum benar-benar menguap, sisa hujan semalam membuat udara terasa segar dan dingin. Di salah satu dari empat perahu yang bergerak menyusuri sungai yang bergerak menyusuri sungai yang permukaan airnya sedang naik dan keruh itu, sebuah kandang logam berwarna jingga berisi Charlotte, orangutan betina berusia sekitar 10 tahun, terikat rapi di tengah kayu. Ia tidak berisik, hanya diam memperhatikan dari balik jeruji, seolah tahun ia sedang dibawa menuju sesuatu yang lebih baik dari masa lalu. Bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur, tim Centre for Orangutan Protection (COP) berangkat ke arah hulu, menuju pulau pra-pelepasliaran.

Charlotte menjadi bagian dari memori yang spesial dalam perjalanan karier saya di dunia konservasi orangutan. Dialah individu pertama yang saya temui saat ditugaskan dalam operasi penyelamatan orangutan, momen yang menjadi awal perjalanan saya bersama COP. Saya masih mengingat jelas perjalanan panjang kami pada 2021, menyusuri luasnya labirin kebun sawit yang tiada habisnya, hingga akhirnya tiba di sebuah rumah kayu tempat Charlotte diikat di kolong rumah panggung, lehernya terjerat rantai dengan ruang gerak hanya 1 meter. Dari sana, kami membawanya menuju pisat rehabilitasi Borneo Orangutan Rescue Alliance (BORA) di Berau. Kini, setelah empat tahun berlalu, saya kembali melakukan perjalanan panjang membawa Charlotte, namun dengan misi berbeda, bukan lagi menyelamatkannya daru kekangan rantai, tetapi mengantarkannya menuju kebebasan.

Perjalanan menuju pulau pra-pelepasliaran Dalwood Wylie pagi itu tidak sepenuhnya mudah. Sekitar 15 menit meninggalkan Long Lees, mesin perahu pengangkut kandang Charlotte mendadak mati. DI tengah sungai Atan yang lebar dan dalam, perahu itu harus digandeng ke tepi sungai untuk diperiksa. Karena kendala mesin yang tak kunjung teratasi, tim memutuskan menukar mesinnya dengan mesin perahu lain. Dari empat perahu yang semula berangkat, hanya tiga yang akhirnya melanjutkan perjalanan. Satu perahu menetap di tepi sungai, ranger Ulang dan Billy tetap tinggal untuk memperbaiki mesin tersebut.

Sekitar dua jam kemudian akhirnya kami tiba di pos monitoring APE Guardian yang berlokasi di seberang pulau Dalwood Wylie. Selepas makan siang, kami memindahkan kandang berisi Charlotte ke dalam pulau. Setelah hitungan ketiga, Pak Rudi dari BKSDA Kalimantan Timur membuka pintu kandang. Ketika pintu kandang dibuka, Charlotte tidak ragu. Dalam hitungan detik, ia memanjat pohon pertama yang ia lihat, terus memanjat hingga ke kanopi. Daun-daun bergoyang di atas kepala kami saat ia berpindah antar pohon, mencicipi daun, buah, dan bahkan kulit kayu, tanda awal yang baik bahwa ia siap kembali menjalani hidup sebagai penghuni hutan. Di pulau ini, Charlotte akan menjalani pengamatan lanjutan untuk menguji kemandiriannya, jauh dari jejak manusia, menuju tahap akhir kebebasannya. (RAF)

AMBOI! SEBUAH PENGALAMAN TAK TERLUPAKAN DI COP SCHOOL

Bagi saya, mengikuti COP School adalah pengalaman yang tak terlupakan. Program ini, gagasan dari Centre for Orangutan Protection (COP), membuka jalan dan membawa saya lebih dekat mengenal dunia konservasi satwa liar dengan cara yang menyenangkan dan penuh kejutan. Metode belajarnya dirancang interaktif dan imersif, kelas yang seimbang antara teori dan praktik, camping (jika cuaca memungkinkan), main air, nonton bareng, masak bersama, penelusuran alam, permainan beregu, kunjungan ke sekolah, hingga kejutan-kejutan kecil yang bikin suasana makin hidup. Semua itu membangun ruang belajar yang egaliter, tanpa sekat antara yang sudah berpengalaman dan yang masih awam.

Salah satu momen paling berharga buat saya adalah saat ikut praktik langsung dalam proses animal rescue. Saya belajar bagaimana menyelamatkan satwa liar, baik dari perdagangan ilegal, situasi darurat, maupun konflik satwa-manusia. Kami dikenalkan pada prosedur penyelamatan, perawatan awal, hingga proses rehabilitasi sebelum satwa bisa kembali ke habitat alaminya. Ini sungguh membuka mata, bahwa manusia punya peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Selain itu kami juga diajak beljar tentang mitigasi bencana pada satwa, edukasi masyarakat, memerangi perdagangan satwa liar ilegal, hingga menghadapi kondisi tak terduga di lapangan. Semua ini bukan hanya memperkaya ilmu, tapi juga menumbuhkan rasa empati dan kepedulian yang mendalam terhadap alam dan makhluk hidup di dalamnya.

Yang luar biasa dari COP School adalah keterlibatan yang tidak berhenti ketika program selesai. Alumni didorong untuk tetap aktif, baik secara individu, membentuk komunitas, atau bekerja sama dengan berbagai organisasi konservasi di Indonesia. Tujuannya jelas, mempertahankan, melindungi, dan memperjuangkan nasib satwa liar yang terancam punah. COP School bukan sekedar program singkat. Ini adalah gerakan panjang yang bisa terus dibawa dalam kehidupan sehari-hari. Saya merasa sangat beruntung bisa menjadi bagian dari keluarga besar COP School.

Buat kamu yang suka alam, suka petualangan, peduli lingkungan, atau ingin punya pengalaman seru sekaligus bermakna, COP School Batch 15 wajib banget kamu ikuti! Siap-siap ketemu teman-teman keren, belajar hal baru, dan terjun langsung jadi bagian dari perjuangan menyelamatkan satwa liar Indonesia. (Zain Nabil, Alumni COP School Batch 9).

SEMANGAT KONSERVASI DI KP3 EXPO UGM: EDUKASI, CERITA, DAN PERSPEKTIF BARU

Tanggal 23 April 2025, tim APE Warrior kembali membawa semangat konservasi ke jantung kampus, KP3 Expo Kehutanan UGM. Centre for Orangutan Protection hadir serta turut membuka stand edukasi, menyapa mahasiswa, dan tentu saja, mengajak mereka ngobrol soal orangutan, hutan, dan aksi-aksi nyata di lapangan. Tak hanya itu, Demetria Alika juga tampil sebagai pembicara dalam talkshow bersama Aksi Konservasi Yogyakarta dan tokoh inspiratif dari Desa Wisata Jatimulyo. Talk Show ini jadi momen hangat, penuh cerita, dan inspirasi dari berbagai lini perjuangan pelestarian alam, mulai dari penyelamatan satwa, edukasi akar rumput, hingga pelibatan masyarakat lokal.

Lalu, ada satu momen unik yang bikin kami snyum-senyum sendiri. Saat Dimi panggilan akrabnya Demetria menjelaskan bahwa aktivitas COP dan Orangufriends nggak cuma soal rescue, rehab, and release orangutan, tapi juga lewat cara seru seperti konser amal (Sounds For Orangutan/SFO) dan pameran seni amal (Art For Orangutan/AFO), salah satu peserta langsung angkat tangan. “Maaf, Kak. Tapi konser dan pameran seni, emang ada hubungannya sama konservasi orangutan?”, tanya seorang mahasiswa yang turut hadir sebagai peserta.

Ruangan sempat hening, semua menanti jawaban. “Kalau mau jujur… ya memang nggak ada korelasinya secara langsung”, kata Dimi sambil tersenyum. “Tapi justru di situlah letak kekuatannya. Ketika kita gabungkan dua hal yang tampaknya nggak nyambung, konservasi dan musik atau seni, kita bisa menjangkau lebih banyak orang. Kita bisa ajak mereka yang mungkin nggak pernah kepikiran soal orangutan, untuk peduli dan terlibat, bahkan dari dunia mereka sendiri.”.

Seketika, peserta itu tersenyum lebar dan mengangguk. “Oh… iya ya. Baru kepikiran. Jadi konservasi itu bukan cuman buat orang hutan aja”, celetuknya sambil terkekeh. “Tapi buat semua orang, apapun latar belakangnya.”. Percakapan itu jadi momen reflektif yang menghangatkan hati. Sebuah pengingat bahwa perjuangan konservasi bisa datang dari mana saja, asal ada niat dan kepedulian. Selain membuka obrolan, tim juga menjual merchandise sebagai bentuk kontribusi publik, dan tentu saja mengajak mahasiswa untuk mendaftar ke COP School Batch 15 yang akan digelar Juni nanti. Harapannya, makin banyak jiwa muda yang turun tangan jadi bagian dari gerakan ini. Hari itu kami pulang dengan semangat baru. Bertemu orang-orang yang penasaran, terbuka pikirannya, dan siap melangkah lebih jauh. Karena konservasi bukan tentang siapa kamu hari ini, tapi tentang keberanianmu peduli. (DIT)

AKSI #RAWATAJADULU DI HARI BUMI 2025

Tanggal 22 April diperingati sebagai Hari Bumi Sedunia. Tahun ini, semangat untuk lebih peduli terhadap bumi diwujudkan lewat aksi kampanye bertema #RawatAjaDulu yang digelar oleh APE Warrior bersama Orangufriends Jogja serta kawan-kawan dari Aksi Konservasi Yogyakarta, Javan Wildlife Institute (JAWI), Relung Indonesia, Paguyuban Pengamat Burung Jogja (PPBJ), swaraOwa, dan Teman Berjalan.

Berlokasi di kawasan wisata yang ramai pengunjung, kampanye ini tidak hanya melibatkan para penggiat konservasi, tapi juga masyarakat luas yang kebetulan melintas. Salah satu yang ikut terlibat adalah Jojo, mahasiswa Antropologi UGM dan relawan Orangufriends, yang membagikan kisahnya selama mengikuti kegiatan. “Hari Bumi itu sebelumnya nggak pernah terpikir akan aku rayakan”, kata Jojo sambil tersenyum. “Tapi hari ini beda. Teman saya yang biasanya nggak tertarik soal konservasi tiba-tiba ikut hadir. Saya jadi penasaran… sebenarnya apa yang bikin kegiatan ini menarik?”.

Kampanye #RawatAjaDulu menyoroti hal-hal sederhana yang bisa dilakukan siapa saja, seperti menjaga kebersihan, mengurangi penggunaan plastik, menggunakan listrik seperlunya, semua menjadi pesan yang kami suarakan hari itu. Kami juga membagikan stiker edisi khusus Hari Bumi sebagai bentuk ajakan kecil namun bermakna.

Jojo mengakunya awalnya ragu. Kegiatan edukasi dilakukan di tengah kawasan wisata yang penuh dengan keramaian dan keragaman. Tapi ternyata… mereka penasaran banget! Banyak yang datang tanya-tanya, ikut ngobrol, bahkan cerita pengalaman pribadi soal lingkungan”, ujar Jojo. Hari itu, interaksi demi interaksi mengalir. Masyarakat bukan hanya jadi penonton, tapi ikut menjadi bagian dari percakapan soal pentingnya menjaga bumi. “Senang banget rasanya”, tambah Jojo. “Melihat banyak orang, bahkan di area wisata, masih peduli dan mau mendengarkan. Ini jadi harapan bahwa suara konservasi bisa sampai ke siapa pun”.

Aksi ini hanyalah awal dari rangkaian kampanye Hari Bumi. Selanjutnya, akan ada pemutaran film dan talkshow bertema lingkungan yang akan digelar di Fakultas Biologi UGM pada 9 Mei mendatang. Tentunya, kampanye ini juga menjadi pengingat bahwa Hari Bumi tidak cukup dirayakan setahun sekali. Harapannya, semakin banyak orang yang sadar dan bersuara untuk menjaga bumi dari kerusakan. Karena dengan begitu, kita bisa hidup berdampingan dengan bumi yang lebih sehat dan lestari, lebih lama. (DIM)

COP SCHOOL: BELAJAR KONSERVASI, PRAKTEK LAPANGAN, DAN NGOBROL BARENG PARA PENGGIAT KONSERVASI DI INDONESIA

Pernah dengar tentang COP School? Ini adalah program keren dari Centre for Orangutan Protection (COP), tempat kamu bisa belajar langsung soal dunia konservasi, penyelamatan satwa liar, dan jadi bagian dari gerakan penjaga hutan Indonesia. Tahun ini, COP School Batch 15 akan kembali digelar, dan percayalah, serunya luar biasa!

Sebagai alumni COP School Batch 14 sekaligus bagian dari Orangufriends Surabaya, akuingin berbagi sepotong pengalaman seru saat mengikuti kegiatan tahun lalu. Di sesi awal, kami dikenalkan pada dasar-dasar konservasi, mulai dari pengertian, urgensi, hingga dampak eksploitasi alam dan satwa. Tapi tenang, ini bukan kuliah yang bikin ngantuk. Materinya dikemas interaktif, penuh diskusi, dan sangat relevan dengan kondisi di lapangan.

Yang bikin semangat? Sharing dari para aktivis COP yang sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia penyelamatan satwa. Mereka bukan cuman berbagi cerita, tapi juga menantang kami berpikir, “Apa langkah kita selanjutnya?”.

Setelah teori, waktunya praktik! Kami diajak memahami langsung proses penyelamatan satwa yang dilakukan COP, mulai dari identifikasi kasus, teknik rescue, hingga proses rehabilitasi. Kami juga belajar tentang etika penanganan satwa liar, karena nggak semua bisa sembarangan disentuh. Tak kalah menarik, ada sesi ngobrol bareng para penggiat konservasi dari berbagai penjuru Indonesia, aktivis hutan Kalimantan dan Sumatera, relawan pusat rehabilitasi satwa, hingga jurnalis lingkungan. Cerita-cerita mereka bukan cuman inspiratif, tapi juga membumi, penuh perjuangan dan harapan.

Pulang dari COP School, aku merasa membawa “seember penuh” ilmu, pengalaman, dan semangat perubahan. Banyak alumni yang kemudian aktif di komunitas lingkungan, membuat kampanye penyelamatan satwa, bahkan mendirikan gerakan konservasi di daerahnya masing-masing. Karena di COP School, kamu bukan sekedar peserta. Kamu adalah bagian dari keluarga besar penjaga alam Indonesia. Jadi, tunggu apa lagi? Daftar COP School Batch 15 sekarang juga! (Jihan, Almuni COP School Batch 14).

JEJAK-JEJAK BERUANG DI HUTAN KERANGAS

Berbeda dari hutan Dipterokarpa yang biasa kami jelajahi di Kalimantan, kali ini kami berkesempatan menjelajahi tipe ekosistem hutan kerangan (heath forest) di Tabang, Kutai Kartanegara. Warga lokal setempat menyebut tipe ekosistem hutan ini sebagai hutan Peringit. Setiap langkah kami saat melintasi hutan ini terasa seperti menapaki permadani alam yang lembut, dimana akar-akar merah menjalin permukaan tanah menjadi hamparan yang memukau. Vegetasi penyusun hutan ini cenderung homogen dengan didominasi satu jenis pohon, karena tanahnya yang miskin hara dan tertutupi akar-akar berwarna merah. Hampir semua pohon di sini diselimuti oleh lumut yang tebal dan lembab, menciptakan suasana misterius, seolah-olah kami melangkah ke dalam hutan Mirkwood dalam kisah The Hobbit. Rasa kagum dan penasaran menyelimuti kami saat menyadari betapa unik dan misteriusnya hutan ini dibandingkan dengan tipe hutan-hutan lain yang biasa kami jelajahi.

Di tengah perjalanan kami menyusuri hutan Kerangas, meski tak ada tanda-tanda primata yang tampak, jejak-jejak beruang madu justru menjadi penanda yang mencolok. Selama dua hari kami menjelajahi tipe ekosistem ini, jejak-jejak beruang madu tersebar seperti teka-teki yang menunggu untuk dipecahkan. Lubang galian yang dalam menghiasi tanah, sementara cakaran tajam menggores batang pohon, dan tapak kuku yang tertinggal di beberapa batang pohon seolah-olah berbisik tentang kehadiran makhluk bercakar ini. Setiap kali kami menemukan jejak baru, rasa penasaran dan kekaguman kami semakin dalam, seolah-olah beruang madu ini mengundang kami untuk mengikuti jejaknya. Keberadaan mereka tidak hanya menambah misteri hutan Kerangas, tetapi juga menunjukkan peran penting mereka dalam menjaga keseimbangan ekosistem yang rapuh ini. Menurut Tamen Enjau, pemandu lokal yang berusia sekitar 70 tahun,”Yang paling kami takuti di hutan ini beruang, kalau musim kawin bisa sampai ada puluhan”.

Di ekosistem hutan kerangas ini, vegetasi didominasi oleh pohon-pohon dari genus Syztgium (kelompok jambu-jambuan). Selain itu, kami juga menemukan spesies lain yang lebih jarang, seperti Caralia borneensis, Litsea sp., Artocarpus sp., dan Shorea sp., yang menambah keragaman flora di sini. Daris egi fauna, selain jejak-jejak beruang yang kami temui, kami juga menemukan jalur perlintasan landak yang membentuk jalan setapak yang unik. Kicauan merdu murai batu dan suara kepakan sayap enggang yang melintas di atas kanopi hutan menambah keindahan pengalaman kami. Setiap penemuan baru seolah mengundang kami untuk lebih mendalami keajaiban alam yang tersembunyi di balik pepohonan ini, menunjukkan bahwa hutan Kerangas, meskipun tampak sederhana, menyimpan banyak rahasia yang menunggu untuk diungkap.

Sebagai penutup petualangan kami di hutan Kerangas, kami menyadari bahwa keindahan dan kompleksitas ekosistem ini jauh melampaui apa yang terlihat di permukaan. Setiap bekas cakaran beruang, setiap suara burung, dan setiap tanaman yang kami temui mengisahkan cerita tentang kehidupan yang saling terhubung dalam harmoni yang rapuh. Hutan ini bukan hanya sekedar kumpulan pohon dan hewan; ia adalah rumah bagi keanekaragaman hayati yang unik dan sumber daya alam yang tak ternilai. Dalam pengalaman kami menjelajahi tipe ekosistem lain, kami belum pernah menemukan jejak-jejak beruang sebanyak dan serapat di sini, yang menunjukkan betapa vitalnya hutan kerangas sebagai habitat bagi spesies ini. (RAF)

HUSEIN DAN PERJALANANNYA: BELAJAR PERCAYA DI DUNIA YANG GELAP

Sejak pertama kali tiba di Pusat Rehabilitasi BORA (Borneo Orangutan Rescue Alliance), Husein sudah berbeda dari orangutan lain. Kedua matanya buta. Dunia yang dikenalnya hanyalah kegelapan. Di alam liar, kondisi ini membuatnya mustahil untuk bertahan hidup sendiri. Karena itulah, Husein diberi tempat di pusat rehabilitasi, bukan untuk dilepasliarkan kembali, tetapi untuk mendapatkan perawatan dan kehidupan yang lebih aman. Namun, hidup di pusat rehabilitasi juga punya tantangan tersendiri. Salah satunya adalah bagaimana Husein bisa dipindahkan dengan aman jika suatu hari ia harus dipindahkan ke tempat lain. Inilah alasan training dimulai.

Pada 6 Maret 2025, pelatihan pertama Husein dimulai. Di depan kandangnya, trainer dan rekan-rekan keeper meletakkan sebuah kandang angkut, kandang besi dengan pintu geser yang digunakan untuk memindahkan orangutan. Husein tidak bisa melihatnya, tapi ia bisa merasakannya. Husein ragu-ragu di awal, namun entah bagaimana, ia berhasil melangkah masuk ke dalam kandang angkut secara penuh. Semua orang terkejut sekaligus senang. Sebuah awal yang baik!

Namun perjalanan ini tidak selalu semudah itu. Di hari-hari berikutnya, Husein mulai menunjukkan kehati-hatian yang lebih besar. Setiap kali mencoba masuk ke kandang angkut, tangannya tetap erat menggenggam besi, seakan takut sesuatu akan terjadi jika ia benar-benar melepaskan diri. Trainer mencoba berbagai cara untuk membantunya. Karena Husein tidak bisa melihat, mereka menggunakan air, menyemprotkan sedikit ke wajahnya untuk mengarahkan gerakannya. Husein mengikuti semprotan itu, melangkah perlahan ke dalam kandang angkut.

Masalh lain pun muncul. Husein mulai merasa curiga terhadap botol spray yang digunakan. Sampai akhirnya, Husein menolak masuk ke dalam kandang angkut. Trainer tidak menyerah. Mereka mencari cara lain agar Husein mau mengikuti arahan tanpa merasa terpaksa. Kali ini mereka mengganti botol spray dengan botol kecap. Bentuk dan suara semprotan yang berbeda tampaknya membuat Husein tidak terlalu curiga. Selain itu, ada satu hal yang selalu disukai Husein, yaitu pisang. Setiap kali ia mengikuti arahan dan masuk ke kandang angkut, ia mendapatkan pisang sebagai hadiah. Perlahan-lahan, kepercayaannya mulai tumbuh kembali.

Kini, setelah beberapa minggu pelatihan, Husein telah membuat kemajuan besar. Ia sudah bisa bertahan diam di dalam kandang angkut selama satu menit penuh. (JAN)

RUBY… WAKTUNYA PULANG SEKOLAH!

“Ruby turun yuk…”
“Sudah selesai nih sekolahnya…”
Begitulah teriakan para keeper ketika memanggil Ruby untuk turun ketika waktu sekolah hutan selesai. Seperti biasa, kami tak datang dengan tangan kosong, buah-buan dan susu sudah siap sebagai pancingan.

Aku bersama 4 orang rekan keeper lainnya masih bertahan di sekitar kandang, menunggu dan mencoba berbagai cara agar Ruby turun. Tapi tak semudah itu. Hari semakin sore, sudah pukul 16.30 WITA dan Ruby tetap tidak menunjukkan tanda-tanda mau turun. Dari bawah, kami bisa melihatnya duduk santai di antara dahan, sesekali mengunyah daun atau mengelupas kulit kayu dengan tenang. Tak sedikit pun ia tertarik pada buah-buahan yang kami tawarkan, apalagi susu. Sesekali ia hanya melirik ke arah kami, lalu kembali sibuk dengan aktivitasnya sendiri.

Tapi kami tidak menyerah, kami terus mengikuti Ruby dan terus menyodorkan buah pancingan serta susu berharap Ruby akhirnya tertarik. Segala jenis pancingan dikeluarkan, kelapa, durian, pisang, bahkan susu yang biasanya jadi jurus pamungkas. Biasanya, anak-anak orangutan di BORA (Borneo Orangutan Rescue Alliance) langsung mau turun begitu melihat botol susu, tapi kali ini Ruby tetap bertahan di atas.

“Ruby… Ruby!”

Panggul kami sekali lagi, dan lagi-lagi Ruby hanya menengok sebentar dan kembali asik dengan aktivitasnya di atas pohon. Seperti sedang menguji kesabaran kami.

Jam sudah menunjukkan pukul 17.00 WITA, waktunya aku sebagai babysitter bertugas memberikan susu sore untuk anak-anak orangutan, termasuk Ruby. Dede, salah satu keeper yang ikut pun mendapat ide, “bikinin aja susunya sekalian, siapa tahu kali ini dia mau”, katanya. Aku segera bergegas ke baby house, membuat susu, lalu kembali ke lokasi Ruby.

Tapi Ruby sudah berpindah lagi, kali ini ke belakang kandang karantina. Aku mengikutinya sendiri, sementara rekan-rekan keeper lainnya menunggu di kejauhan agar Ruby tak curiga.

Jujur, aku mulai pesimis. Ruby terlihat masih santai di atas, menikmati waktunya sendiri. Tapi tepat saat aku mulai berpikir bahwa ia benar-benar tak akan turun, terdengar suara gemerisik dari atas. Aku mendongak dan di sanalh Ruby, meluncur turun dengan lincah.

Ternyata susu tetaplah godaan yang tak bisa ditolak. Aku membiarkannya minum dulu sebelum akhirnya membawanya kembali ke kandang, dimana teman-teman keeper sudah menunggu. Semua terlihat kaget sekaligus lega karena akhirnya Ruby mau turun. (JAN)

DARI LEMAH KEMBALI KUAT: PERJUANGAN FELIX SI BAYI ORANGUTAN

Bayi orangutan itu namanya Felix, dia datang ke Pusat Rehabilitasi BORA (Borneo Orangutan Rescue Alliance) pada awal Januari lalu. Saat itu kondisi Felix tidak baik, banyak luka i jari dan kepalanya. Tubuhnya kecil dan lemas, ia hanya bisa tertidur dan banyak minum di gendongan babysitter. Bahkan ketika pengambilandarah untuk Medical Check-Up, Felix hanya diam tidak bereaksi saat jarum suntik untuk mengambil darah dimasukan ke lengannya. Setiap hari, dokter hewan dan paramedis mengunjunginya untuk membersihkan luka dan memberi obat. Banyak miligram obat yang ia telan, hingga babysitter dan tim medis perlu bergantian menjaganya sepanjang malam hingga esok pagi.

Sekarang Felix sudah semakin kuat. Suara tangisan yang kencang, minat makan yang akhirnya datang bahkan sekarang hampir semua pakan yang diberikan dimakan habis oleh Felix. Keinginannya untuk bermain dan eksplorasi juga semakin tinggi, beberapa kali Felix terlihat berusaha meraih gagang pintu atau benda-benda yang ada di sekitarnya. Genggaman kuatnya terlepas dari babysitter dan merangkak menjauh sekedar membayar rasa penasaran atau mengambil makanan.

Meski kini lebih kuat, Felix tetaplah bayi yang mencari kehangatan, yang masih lebih suka menempel pada babysitter dan ketika sudah menempel Felix akan sulit sekali dilepas meskipun sudah dipancing menggunakan makanan favoritnya, seperti pisang agar mau naik ke pohon. Ketika akhirnya harus melepaskan genggamannya, ia akan merengek dengan suara khasnya, seolah mengatakan bawa pelukan babysitter masih menjadi tempat ternyamannya. (JAN)

EDUKASI ORANGUTAN DI SEKOLAH BERSAMA APE CRUSADER

Para siswa memasang wajah penasaran atas kedatangan empat orang dengan atribut Centre for Orangutan Protection (COP) di pagi yang cerah. Semakin penasaran lagi ketika guru-guru memanggil mereka untuk berkumpul di lapangan SDN 010 Muara Wahau yang kemudian diarahkan untuk masuk kelas. Saat masuk, siswa mendapati tim APE Crusader sedang sibuk menyalakan proyektor, laptop, serta sound system. Mereka keheranan, lalu hal tersebut dipatahkan dengan sambutan hangat, “Halo semuanya, apa kabar?”. “Baik Kak”, sahut para siswa dengan nada antusias. “Di sini kakak mau cerita nih tentang hewan yang istimewa, kira-kira ada yang tahu gak, hewan apa yang bakal diceritain”, ucap Fedriansyah, kapten APE Crusader, salah satu tim di COP yang punya tanggung jawab menyelamatkan habitat orangutan.

Kunjungan edukasi di SDN 010 Muara Wahau, Kalimantan Timur ini dikemas dengan menarik. Tim sudah memperhitungkan betul, ketika cerita tentang orangutan beralih ke materi serius, para siswa mulai murung dan kurang fokus. Saat inilah, permainan tepuk orangutan diselipkan. “Memang tidak terbayangkan untuk menjadi seorang guru SD. Saya kira bekerja di konservasi ya berhadapan dengan alam saja, nyatanya edukasi apa yang kita kerjakan adalah usaha kita menyelamatkan orangutan dan habitatnya juga”, jelas Fedri.

Memasuki jam pelajaran kedua, biasanya 1 jam pelajaran itu 40 sampai 45 menit, para siswa memasang muka terkejut. Tidak disangka, ternyata ada orangutan yang mengetuk pintu kelas. Dengan riang gembira serta gelak tawa, para siswa menyambut kedatangan Otan yang membawa hadiah di tangannya. Para siswa diajak berbicara dengan Otan dan berfoto bersama di penghujung kegiatan. “Kakak-kakak kapan kembali? Aku ingin melihat si Otan lagi”, tanya salah satu siswa dengan wajah cemberut. “Ayo toss dulu sama kak. Sampai jumpa lagi ya!”, sembari melambaikan tangan ke siswa-siswa dengan perasaan bahagia. (AGU)