HENTIKAN COVID-19 MULAI DARI PASAR SATWA

COVID-19 sampai saat ini masih dipercaya berasal dari sebuah pasar basah yang menjual beragam jenis satwa liar dan domestik untuk dikonsumsi di Huanan, Wuhan, Cina. Serupa dengan pasar-pasar di Indonesia seperti pasar Tomohon di Sulawesi Utara yang sering terdengar sebagai salah satu pasar yang sejak lama menjual beragam jenis satwa yang sudah mati ataupun hidup untuk dikonsumsi. Contohnya seperti kelelawar, burung, tikus, kucing, anjing, ular, babi hutan bahkan monyet.

Tidak hanya pasar basah seperti ini, di Indonesia masih banyak pasar-pasar satwa yang beroperasi meski diketahui banyak potensi penularan penyakit yang dapat terjadi akibat berinteraksi atau mengkonsumsi daging satwa. Taylor, dkk (2001) dalam penelitiannya menemukan bahwa mayoritas spesies patogen yang menyebabkan penyakit pada manusia adalah zoonosis yaitu sebesar 61% dari jumlah penyakit yang ada. Zoonosis sendiri adalah penyakit atau infeksi baik berupa virus, bakteri, parasit atau jamur yang dapat ditularkan secara alamiah dari hewan ke manuais atau sebaliknya.

Beberapa contohnya penyakit zoonosis yang mematikan yaitu ebola yang sempat merebak di Afrika dan menewaskan lebih dari 13.500 orang, juga dipercaya berasal dari kelelawar. Kemudian juga ada MERS, SARS, Flu burung dan saat ini COVID-19. Zoonosis yang dimungkinkan Karena adanya interaksi dengan satwa liar ini biasanya banyak terjadi di pasar-pasar.

Ketika satwa diperjualbelikan di pasar, baik penjual atau pun pembeli akan melakukan kontak langsung dengan satwa yang ada. Karena adanya kontak ini maka baik virus, bakteri dan jamur sangat mudah untuk berpindah ke manusia. Selain itu, virus-virus seperti flu dan corona ini memiliki kemampuan mutasi dan dapat menjadi virus-virus baru yang lebih mematikan. Hal ini bahkan sudah diprediksi oleb Webster (2004) dalam penelitiannya mengenai pasar satwa sebagai sumber penyakit pernafasan dan flu dengan rekomendasi untuk menutup pasar-pasar basah atau satwa ini karena kemampuan mutasi virus-virus yang ada dapat membuatnya merebak kembali.

Selain itu, manusia yang memiliki sistem imun berbeda dan lebih rentan daripada satwa liar yang biasa hidup di alam. Sehingga sangat mudah untuk menjadi sakit dan sayangnya penyakit inipun sangat mudah untuk ditularkan pada manusia lainnya. Hingga akhirnya berpotensi menjadi sebuah pandemi global. Tak hanya satwa liar, satwa domestik seperti anjing pun memiliki potensi menyebarkan rabies yang dapat mematikan juga bagi manusia.

Maka konsumsi-konsumsi daging terutama satwa liar dan satwa domistik ada baiknya diminimalisir untuk menghindari resiko-resiko yang tidak diinginkan. Selain membahayakan diri, juga dapat membahayakan masyarakat dan lingkungan sekitar atau sedang membawa penyakit karena seringkali dijual dalam keadaan mati. Selain itu, prosesnya sendiri pun terkadang tidak manusiawi dan menyebabkan penderitaan bagi satwa.

Maka perlu adanya perubahan dan kesadaran dari masyarakat baik para penjual atau pun pembeli bahwa ada hal yang lebih penting dari keinginan dan tradisi untuk mengkonsumsi satwa yaitu kesehatan yang tidak bisa dibeli dengan uang. Karena saat ini mengalami sendiri bahwa pandemi global COVID-19 ini tidak hanya mematikan banyak orang dari segi kesehatan, namun juga dari segi keuangan atau ekonomi. Jadi, marilah hal ini kita jadikan sebagai pembelajaran dan agar tidak adanya virus-virus yang bermunculan lagi di masa depan.

Sumber:

https://www.nationalgeographic.com/animals/2020/04/coronavirus-linked-to-chinese-wet-markets/

Taylor, L. H., Latham, S. M., Woolhouse, M. E., (2001). Risk factors for human disease 

emergence. The Royal Society, doi 10.1098/rstb.2001.0888.  

Webster, R. (2004). Wet markets-a continuing source of ssevere acute respiratory syndrome 

and influenza?. The Lancet : vol 363. 

PIDANA PENJARA 4 BULAN UNTUK PEDAGANG 4 KUKANG

Empat Kukang (Nycticebus spp) dan satu Alap-Alap Sapi (Falco moluccensis) akhirnya diselamatkan dari perdagangan online dari rumah terdakwa Uki atau M. Sahalal Marzuki di kabupaten Tulungagung pada tanggal 8 Januari 2020. Di tahun 2019 Uki juga pernah melakukan jual-beli dua ekor Alap Alap Tikus sebesar Rp 200.000,00 hingga Rp 350.000,00 sementara satu Alap Alap Sapi seharga Rp 200.000,00 juga. 

Uki mengunggah foto dan video satwa yang akan dijualnya ke grup whatsapp seperti Group Hewan Apendiks, Seller Apendiks Punya Birahi, Rumah Adopsi Hewan, Jual Beli Hewan T. Agung. Blitar dan Animal Fun Kediri (AFK). 

Pengadilan Negeri Tulungagung menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama empat bulan dan denda sejumlah Rp 1.000.000,00 dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama satu bulan.

“Syukurlah keempat kukang dan satu alap-alap bisa diselamatkan. Sayang satu kangkareng perut putih tidak dapat diselamatkan. Semoga satwa liar yang berhasil selamat dapat kembali ke habitatnya. Vonis masih jauh dari hukuman maksimal, sementara kerugian ekologis akan terus terakumulasi. Terimakasih tim Polda Jatim atas kerja kerasnya.”, ujar Daniek Hendarto, direktur operasional COP.

DUA LUTUNG JAWA MATI DALAM PERDAGANGAN SATWA, TERDAKWA DINOVIS 4 BULAN

Harga satu ekor Elang Brontok Rp 1.500.000,00. Belum lagi harga satu Julang Emas beserta anakannya dan dua Lutung Jawa. Lalu satu ekor Trenggiling yang dihargai Rp 600.000,00. Akhirnya Ahmad Saifudin harus menjadi terdakwa dan terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja menyimpan, memiliki dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.”. Pengadilan Negeri Tulungagung menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama empat bulan dan denda sejumlah Rp 1.000.000,00. “Kecewa sekali dengan putusan ini. Elang merupakan top predator dalam rantai makanan, memiliki peran yang sangat besar dalam ekosistem. Vonis yang diberikan juga tidak sebanding dengan kematian kedua lutung jawa akibat perdagangan online melalui facebook ini. Centre for Orangutan Protection berharap, hukum dapat ditegakkan agar tidak ada lagi Ahmad Saifudin lainnya.” ungkap Daniek Hendarto, direktur operasional COP dengan prihatin. “Lagi-lagi facebook menjadi media kejahatan satwa. Lagi-lagi whatsapp menjadi sarana komunikasi sebuah kejahatan. Perkembangan dunia komunikasi modern kembali disalahgunakan. Dunia kejahatan satwa liar seperti menemukan kenyamanan. Kami memanggil seluruh orangufriends untuk terus menerus menjadi mata, telinga, mulut bahkan kulit untuk satwa liar.”.

DENDA 1 JUTA UNTUK TERDAKWA 2 KANGKARENG PUTIH

Setelah melalui enam persidangan, terdakwa 2 (dua) Kangkareng Perut Putih (Anthracoceros Albirostris) yaitu Dadang Andri Krisbyantoro alias Satrio akhirnya terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja menyimpan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup”, oleh PN Tulungangung. 

Kedua Kangkareng tersebut adalah satwa dagangan online. Ini adalah pengembangan kasus yang dikerjakan anggota Unit III Subdit IV Tipider Ditreskrimsus Polda Jatim. 8 Januari 2020 adalah hari yang luar biasa, empat pedagang satwa liar tertangkap tangan memperjualbelikan satwa liar dilindungi. “Kerja keras dan teliti dari Polda Jatim, patut diancungi jempol!”, ujar Daniek Hendarto, direktur operasional COP. 

Pengadilan Negeri Tulungagung pada 23 April 2020 menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) bulan dan denda sejumlah Rp 1.000.000,00 dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan. “Ini adalah kemenangan kita semua, tim Polda Jatim yang cepat tanggap, semoga tidak ada lagi burung Kangkareng Perut Putih yang berakhir di pedagang bahkan rumah penduduk.”, kata Daniek lagi.

PASAR HEWAN, COVID-19 DAN KESEHATAN MENTAL

Dampak pasar hewan yang kembali normal

Belum genap seminggu sejak diangkatnya kebijakan lockdown di Tiongkok, namun pasar-pasar basah yang menjual berbagai jenis daging dan hewan hidup termasuk satwa liar sudah kembali berjalan normal. Meski diyakini bahwa virus corona yang kini makin menyebar ke berbagai penjuru dunia berasal dari pasar hewan di Wuhan, hal ini tidak menyurutkan niatan para penjual untuk tetap memperjualbelikan satwa-satwa liar. Berbagai media pun melaporkan bahwa mereka masih melihat adanya kelelawar-kelelawar yang diperjualbelikan di pasar dan toko obat-obatan.

Tak hanya kelelawar, berbagai satwa domestik seperti anjing dan kucing yang sudah dilarang untuk perdagangkan dagingnya di berbagai negara dan daerah pun masih terlihat di pasar-pasar ini. Dan hal ini tidak hanya menyebabkan perdebatan sengit mengenai kesehatan manusia terkait dengan penyebaran virus tetapi juga kesejahteraan dari satwa-satwa itu sendiri.

Ekonomi memang adalah salah satu faktor yang menjadi penentu, terutama setelah diterapkan peraturan lockdown yang praktis menghentikan perputaran ekonomi di masyarakat. Tentunya ini menjadi pekerjaan rumah bersama baik bagi pemerintah dan masyarakat dari berbagai kalangan untuk menemukan jalan keluar yang menguntungkan satu sama lain. Entah apakah dengan kembali menyadarkan masyarakat untuk menghentikan dan mengubah budaya atau tradisi yang merugikan atau dengan membuat peraturan-peraturan yang lebih ketat. Karena tentunya bila hal ini terus berlanjut maka bukan tidak mungkin pandemik global seperti kasus Covid-19 ini dapat kembali merebak dan merugikan banyak orang tidak hanya secara fisik tetapi juga secara mental.

Covid-19 dan kesehatan mental

Sayangnya pandemik global akibat Covid-19 ini diketahui tidak hanya merengut nyawa orang-orang yang terjangkit, tetapi juga dapat menyebabkan orang-orang yang sebenarnya sehat secara fisik menjadi sakit secara mental.  Besarnya ketakutan dan kecemasan yang tersebar akibat adanya virus ini membuat banyak orang terpengaruh. Terutama dengan adanya kebijakan-kebijakan isolasi dan karantina yang mengharuskan orang-orang memutuskan koneksi dengan dunia luar dan harus menghadapi virus ini sendirian.

Beruntung bagi orang-orang yang memiliki keluarga di rumah sehingga masih dapat melakukan sosialisasi secara minimum. Namun bagi orang-orang yang tinggal sendiri ataupun terpisah dari keluarga dan orang terdekat tentunya hal ini menjadi tantangan tersendiri. Hal ini terbukti dari studi-studi sebelumnya terkait epidemik seperti saat SARS, MERS, Influenza, dan Ebola beberapa tahun lalu. 

Dari beberapa studi, dijabarkan beberapa gangguan yang dialami oleh orang-orang saat sebuah epidemik dan pandemik terjadi. PTSD atau post traumatic stress syndrome, gangguan pola tidur, gangguan pola makan, dan kecemasan serta ketakutan berlebih. Hal ini tidak hanya dialami oleh orang-orang yang terjangkit virus, tetapi juga orang-orang atau masyarakat secara umum. Namun kecemasan dan pengaruh berbeda dapat dialami oleh para petugas-petugas medis dan kesehatan.

Pandemik seperti ini yang menyebar dengan cepat dan menjangkiti ratusan orang dalam sehari dapat membuat para petugas medis kewalahan. Terlebih bila mereka berada dalam kondisi-kondisi yang kurang menguntungkan seperti kurangnya fasilitas dan banyaknya jumlah pasien yang harus mereka tangani. Para petugas medis dalam kondisi ini akan sangat rentan mengalami stress dan depresi. Termasuk dengan adanya kecemasan akan adanya resiko mereka dan keluarga mereka juga dapat terjangkit virus dari pasien-pasien yang mereka tangani. 

Oleh karena itu kita harusnya bisa memahami bagaimana pergumulan para petugas medis yang berperang di garis terdepan. Mereka harus memberanikan diri mengambil resiko begitu besar untuk merawat orang-orang yang sakit. Maka satu hal yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat biasa adalah dengan terus memberikan dukungan baik secara materi untuk memperbaiki fasilitas yang ada ataupun secara mental. Secara mental berarti kita bisa terus memberikan dukungan berupa semangat dan keterbukaan untuk menerima keluhan-keluhan mereka. 

Menjaga kesehatan mental di tengah isolasi

WHO mempublikasikan beberapa himbauan untuk masyarakat untuk menjaga mental mereka tetap sehat selama isolasi. Beberapa diantaranya yaitu dengan tetap menjaga hubungan dengan lingkungan atau orang lain dengan memanfaatkan teknologi. Kemudian melakukan aktivitas-aktivitas yang menyehatkan di rumah seperti berolahraga atau aktivitas yang kita sukai dan dapat menenangkan pikiran. Selain itu dengan mengurangi paparan terhadap bacaan atau tontonan berita yang dapat membuat pikiran menjadi cemas dan stress.

Berada dalam isolasi juga sebenarnya memberikan kita kesempatan untuk memperbaiki gaya hidup dan mencoba mempelajari hal-hal baru seperti memasak, berolahraga, mempelajari bahasa lain, menambah wawasan dengan membaca buku atau pengetahuan lainnya dan menyibukkan diri dengan mengadopsi hewan-hewan yang terlantar. Hal ini dapat menyibukkan pikiran kita agar tidak terlalu cemas dan tetap bisa terasah serta membantu lingkungan sekitar kita.

Begitu juga dengan para petugas medis, mereka harus lebih memperhatikan kesehatan diri dengan tetap menjaga kebersihan dan tidak melewatkan waktu tidur serta makan mereka. Karena pola tidur dan makan yang terganggu dapat menurunkan imunitas tubuh dan daya tahan terhadap stress serta kontrol terhadap emosi. Selain itu juga tidak memaksakan diri dan tetap berusaha untuk membagikan perasaannya dengan orang lain atau tidak memendam stress yang dirasakan.

Itulah beberapa pelajaran sederhana yang dapat kita ambil dari kejadian atau pandemik global saat ini. Hal ini membuat kita belajar bahwa manusia sebenarnya adalah makhluk yang begitu rentan baik secara fisik dan mental. Namun di sisi lain bila kita ingin melewati ini semua, kita harus belajar dari kesalahan-kesalahan dan menjadikan ini sebagai titik balik. Titik balik untuk berubah menjadi manusia yang lebih baik dan bijak untuk membawa kebaikan bagi sesama dan lingkungan sekitarnya. (LIA)

MENUNGGU KABAR BAIK BAGI BERUANG

Pada awal April 2020 lalu, sebuah berita menggembirakan muncul di tengah-tengah duka Covid-19. Shenzen menjadi kota pertama di Cina yang melarang konsumsi daging anjing dan kucing. Memang sejak dahulu Cina cukup terkenal dengan kebiasaan mengkonsumsi daging anjing dan kucing yang juga telah dilarang di beberapa negara lain. Bahkan Cina memiliki sebuah kegiatan tahunan yaitu Festival Yulin yang biasanya dirayakan dengan memakan daging anjing pada bulan Juni. 

Meski belum ada kabar pelarangan perayaan Festival Yulin secara umum di Cina, Shenzen setidaknya sudah mengambil langkah pertama untuk mengurangi konsumsi daging anjing dan kucing yang pada dasarnya bukanlah hewan ternak ini. Langkah ini juga merupakan awal perbaikan kebiasaan-kebiasaan memakan daging satwa liar yang dapat menyebabkan penyebaran Covid-19 di Shenzen.

Selain konsumsi daging anjing, kucing, dan satwa-satwa liar lain, Cina dan beberapa negara di Asia lain pun pernah atau masih melakukan praktek yang sangat mengkhawatirkan yaitu seperti menjual dan mengekstrak cairan empedu dari beruang untuk digunakan sebagai obat. Hampir sama dengan satwa-satwa liar lain yang diperjualbelikan di Cina sebagai obat, bedanya hanyalah bahwa cairan empedu diekstrak dari beruang-beruang yang masih hidup dan dilakukan dengan cara-cara yang bisa dikatakan sangat mengganggu dan tidak manusiawi.

Banyak kemudian muncul peternakan beruang demi membuat ekstrak empedu yang memang terkenal khasiatnya dan dicari banyak orang. Khasiatnya dipercaya mampu menyembuhkan demam, sebagai detoks, anti peradangan, pembengkakan dan mengurangi rasa sakit. Berbagai spesies beruang digunakan, seperti beruang coklat dari Tibet, beruang hitam Asia, beruang madu, dan beruang cokelat Himalaya. Beruang-beruang yang jumlahnya di alam saat ini terus menurun.

Meski dulu cairan ini diambil dengan cara memburu beruang dan diambil dari beruang yang sudah mati, saat ini cairan didapatkan dari beruang-beruang yang hidup di kandang-kandang besi kecil yang bahkan bisa lebih kecil dari tubuh mereka. Cairan diekstrak dari perut beruang hidup dengan cara yang menyakitkan dan akibatnya banyak beruang yang akhirnya mati karena sakit dan infeksi serta terkena kanker hati. Dan tak terhitung berapa banyak yang mengalami trauma dan stress akibat bertahun-tahun tinggal di kandang kecil seperti itu hanya untuk diambil cairan empedunya.

Praktik ini sudah dilarang di beberapa negara, namun sayangnya masih belum dilarang di Cina. Bahkan sempat muncul promosi penggunaannya sebagai obat untuk melawan Covid-19. Hal ini tentunya sangat disayangkan karena praktiknya yang sangat tidak manusiawi dan hanya membuat beruang-beruang ini sebagai obyek penghasil obat. Ditambah lagi biasanya beruang-beruang dari peternakan ini akan sulit untuk dilepasliarkan karena kemampuan mereka untuk bertahan hidup di alam sudah sangat berkurang dan mengalami banyak sakit penyakit. 

Beberapa lembaga konservasi yang bergerak dalam penyelamatan beruang pun berusaha melakukan langkah-langkah untuk menutup peternakan beruang ini. Berbagai cara seperti kampanye dengan menawarkan pengobatan dengan cara herbal dilakukan. Sayangnya tidak mudah memang  untuk mengubah tradisi, kebiasaan, dan keyakinan yang sudah menahun. Namun adanya berita pelarangan konsumsi daging anjing dan kucing di Shenzen membawa sedikit harapan bagi para beruang untuk menyudahi penderitaan mereka. Semoga segera kita bisa mendengar kabar baik bagi para beruang. (LIA)

Sumber :

https://www.freedomofresearch.org/bear-bile-bad-for-bears-bad-for-humans-by-angela-leary/

Feng, Y., Tong, Y., Wang, N. (2009). Bear bile: dilemma of traditional medicinal use and

animal protection. Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine 2009, 5:2: Biomed Central.

Foley, K. E., Stengel, C. J., Shepherd, C. R., 2011. Pills, Powders, Vials and Flakes: The Bear 

Bile Trade in Asia, A Traffic Southeast Asia Report. Traffic Southeast Asia: Malaysia.

DEPRESI PADA SATWA LIAR YANG TERKEKANG (3)

Sebelumnya kita mengetahui bahwa sama seperti manusia, satwa atau binatang pun sangat memungkinkan untuk bisa merasa stres dan depresi. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh satwa domestik, tetapi juga satwa liar yang tidak berada di habitat aslinya. Contohnya yaitu satwa-satwa liar yang ditangkap untuk diperjual-belikan ataupun satwa liar yang ada di kebun binatang, sirkus atau pertunjukkan satwa lainnya.

Di habitat aslinya, satwa-satwa liar menghabiskan waktunya sehari-hari untuk mencari makan, membuat sarang, bersosialisasi dengan satwa lainnya, menghindari predator dan mempertahankan wilayah. Namun alam situasi lain, baik di kebun binatang ataupun kadang dalam proses perdagangan satwa, satwa-satwa ini menjadi jauh lebih pasif. Makanan dan minuman diberikan oleh manusia, begitu juga area gerak dan lingkungan sangat dibatasi. Kemudian juga terlalu sedikit atau terlalu banyak individu di satu tempat atau kandang yang sama dapat mempengaruhi tingkat stres satwa.

Memang saat ini masih belum banyak peneliti yang mempelajari mengenai stres dan depresi pada hewan secara mendalam. Namun sudah ada penelitian-penelitian yang menggunakan primata sebagai subjeknya. Selain karena memiliki kekerabatan erat dengan manusia, primata juga memiliki ekspresi dan mimik wajah yang lebih mudah dikenali dibandingkan mamalia lainnya.

Sebuah penelitian di sebuah kebun binatang di Malaysia menemukan bahwa beberapa satwa mengalami ciri atau gejala stres dan depresi. Kera menunjukkan depresi dengan duduk di sudut kandang atau tidur dalam waktu yang lama. Kemudian orangutan, simpanse dan unta menunjukkan sensitivitas pada hujan dengan menjadi pasif atau terganggu dan mudah sakit saat terkena hujan. Harimau dan singa menunjukkan sikap gelisah dengan berjalan mondar-mandir di kandang dan menggeram. Orangutan yang stres mengalami kesulitan dalam merawat anak yang dilahirkannya sehingga beberapa kali kelahiran, anaknya selalu mati.

Hal ini biasanya disebabkan oleh banyak hal, seperti yang disebutkan di paragraf sebelumnya. Dan memang sulit untuk memenuhi kebutuhan satwa yang seharusnya tinggal bebas di alam. Terutama bila satwa-satwa liar ini dimiliki oleh individu-individu dan dipelihara begitu saja di rumah mereka. Tentu kondisi dan tingkat stres bisa menjadi lebih tinggi karena kurangnya fasilitas-fasilitas yang memadai.

Oleh karena itu, butuh kesadaran dari masyarakat untuk berhenti memelihara dan memperjualbelikan satwa liar. Apalagi dengan menjadikan satwa liar sebagai konsumsi, karena kita tahu selalu ada kemungkinan penyebaran penyakit baik dari satwa ke manusia ataupun sebaliknya. Selain itu juga setiap satwa masing-masing memiliki tugas dan peranan untuk menjaga keseimbangan di alam. Maka bila kita benar-benar pada satwa dan manusia, seharusnya kita berusaha untuk mempertahankan dan memperbaiki habitat mereka di alam. Karena sama seperti halnya manusia, hewan pun memiliki batasan baik secara fisik atau mental untuk hidup dalam kekangan. (LIA)

Sumber:

Haque, A. Depression in Caged Animals: A Study at the National Zoo, Kuala Lumpur, Malaysia. Department of Psychology: UAE University.

STRES PADA HEWAN TERNAK DAN HEWAN PELIHARAAN (2)

Amigdala yang merupakan sebuah bagian pada otak yang mengatur emosi termasuk rasa takut, stres dan kecemasan serta amarah ditemukan pada mamalia. Sedangkan pada hewan kelas lainnya juga bisa ditemukan namun dalam bentuk berbeda. Begitu juga ciri dan respon terhadap stres dan emosi ini bisa berbeda-beda bagi masing-masing spesies.

Penelitian-penelitian yang dilakukan pada hewan-hewan ternak seperti domba dan sapi menemukan bahwa stres dan rasa takut dapat berpengaruh buruk pada kesehatan fisik dari hewan itu sendiri. Manuja, dkk (2015), dalam penelitiannya mengenai stres dan dampaknya pada sapi ternak menemukan bahwa stres berpengaruh pada pertumbuhan tubuh dan produk yang dihasilkan. Saat sapi-sapi dikirim untuk diekspor atau dipindahkan, jantung mereka menjadi cepat sehingga menurunkan jumlah energi yang mereka miliki. Energi untuk bertumbuh dan memproduksi susu pun berkurang.

Begitu juga hal yang dialami oleh hewan-hewan dalam perdagangan di pasar-pasar dan hewan-hewan yang dipakai sebagai subjek penelitian atau percobaan. Seringkali kita melihat hewan-hewan yang diperdagangkan di pasar dikurung dalam kandang-kandang sempit dan berdesak-desakan. Terutama pada hewan-hewan yang akan diambil dagingnya untuk dikonsumsi. Perlakuanburuk, kekurangan makan, minum, ruang untuk bergerak dan udara segar akan membuat mereka stres dan menderita sehingga mengurangi juga kemampuan mereka untuk bertahan hidup. Maka seringkali kita menemukan adanya hewan-hewan yang akhirnya mati saat perjalanan atau pengiriman dan bahkan saat diperdagangkan.

Beberapa hewan peliharaan juga merasakan stres dan rasa takut atau cemas dalam bentuk perilaku yang berbeda. Beberapa jenis burung yang mengalami stres akan memperlihatkan perilaku agresif yang berlebihan seperti mematuk dan perubahan vokalisasi, kemudian kehilangan nafsu makan, mencabut bulu-bulu atau memutilasi bagian tubuhnya sendiri. Stres pada kucing dan anjing bisa dicirikan dengan rontoknya bulu, agresi berlebihan, nafas tersengal-segal, otot yang kaku, tubuh gemetaran, kehilangan nafsu makan, bahkan hingga diare dan muntah.

Stres dan rasa takut atau cemas ini bisa disebabkan oleh adanya perubahan lingkungan, kelaparan, kondisi yang menyebabkan trauma dan ketakutan, perubahan cuaca ekstrim, kebosanan, hingga masalah kesehatan. Perubahan lingkungan ekstrim dan ketakutan tentunya juga sangat dirasakan oleh hewan atau satwa-satwa yang ditangkap dari alam liar atau habitatnya dan kemudian diperjualbelikan baik secara online atau offline. (LIA)

Sumber :

Lloyd, J. K. F., (2017). Minimising Stress for Patients in the Veterinary Hospital: Why It Is 

Important and What Can Be Done About It. Vet. Sci. 2017, 4, 22.

Manuja, B. K., Aich, P., Manuja A., (2015). Stress and Its Impact on Farm Animals. Frontier in 

Bioscience E4, 1759-1767, January 1, 2012.

 

APAKAH HEWAN BISA MERASA STRES? (1)

Pada tahun 1965 berdasar laporan Brambell mengenai kesejahteraan hewan-hewan yang berada dalam sistem peternakan, pemerintah Inggris menunjuk sebuah Komite untuk mendalami permasalahan kesejahteraan hewan-hewan dalam peternakan. Komite ini kemudian merumuskan konsep lima kebebasan yang harus dimiliki tiap hewan peternakan dan kemudian meluas peruntukkannya dan dipakai untuk mengukur kesejahteraan berbagai spesies satwa di berbagai kondisi.

Pada laporan Brambell, ia mengatakan bahwa setiap hewan harus memiliki kebebasan untuk berdiri, berbaring, berputar, merawat tubuh mereka dan merenggangkan kaki-kaki mereka. Ini diketahui sebagai Lima Kebebasan Brambell dan kemudian berubah menjadi Five Freedom atau Lima Kebebasan yang dideskripsikan sebagai berikut, yaitu terbebas dari rasa lapar dan haus, terbebas dari ketidaknyamanan, terbebas dari rasa sakit, luka atau penyakit, bebas untuk mengekspresikan perilaku normalnya, dan yang terakhir bebas dari rasa takut dan stres.

Rasa takut dan stres disini membuktikan bahwa manusia meyakini bahwa hewan juga bisa merasakan stress dan emosi seperti rasa takut. Lalu apakah benar seperti itu? Selain kemampuan berpikir atau kognisi, kemampuan merasakan emosi seperti rasa takut dan marah yang diproses pada amigdala pada otak manusia ternyata juga ditemukan pada hewan terutama pada mamalia. Meski banyak penelitian masih mengarah pada emosi pada mamalia, saat ini mulai ada juga yang mendalami adanya perubahan emosi pada hewan-hewan kelas lainnya.

Namun tidak seperti manusia yang bisa mengkomunikasikan rasa takut dan stres yang dimilikinya, kita hanya bisa mengindikasikan seekor binatang atau hewan mengalami stres atau takut berdasar pengamatan atas perubahan perilaku dan kondisi tubuhnya. Dimana masing-masing spesies bisa memiliki respon berbeda atas stres atau tekanan yang dialaminya. (LIA)

Sumber :

Thaxton, Y.V., Christensen K., Clark, F.D. (2014). The Five Freedoms for Good Animal 

Welfare. University of Arkansas: Division of Agriculture Research & Extension.

Vargas, J. P., Lopez, J. C., Portavella, M. (2012). Amygdala and Emotional Learning in 

Vertebrates- A Comparative Perspective. University of Sevilla: Intech.

TRENGGILING: SI MANIS YANG TERANCAM

Serial Satwa Dilindungi

Pangolin atau trenggiling dalam Bahasa Indonesia, adalah mamalia yang paling sering diperjualbelikan dan diselundupkan dalam bisnis satwa liar ilegal. Diperkirakan setiap lima menit seekor trenggiling diambil dari habitatnya untuk dijual. Meski statusnya terus menurun dan telah dilarang untuk diperjualbelikan, hal ini tidak menyurutkan permintaan akan daging dan sisiknya yang sudah lama terkenal di dunia pengobatan tradisional.

Saat ini tersisa delapan spesies trenggiling di dunia, diantaranya yaitu empat spesies di Afrika dan empat spesies tersebar di Asia.  Berdasar data IUCN Redlist dua spesies dalam status rentan (VU), tiga dalam status terancam punah (ER), dan tiga kritis (CR). Dan salah satu ancaman terbesarnya adalah perdagangan ilegal. 

Banyak golongan masyarakat tertentu di Afrika dan Asia yang percaya sejak dahulu bahwa trenggiling berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit dan hampir seluruh bagian tubuhnya memiliki manfaat. Salah satu yang dianggap memiliki manfaat terbesar adalah sisiknya yang unik. Sisik ini dipercayai oleh masyarakat memiliki beberapa khasiat. 

Beberapa diantara khasiat itu adalah sebagai obat penyakit jantung, penyakit mental, sebagai antibiotik tradisional, penawar racun, penyakit pada perut, sakit kepala, menyembuhkan luka dan banyak penyakit lainnya hingga juga dipercaya menjadi semacam jimat untuk menolak penyakit-penyakit spiritual. Meski berlangsung bertahun-tahun sayangnya kepercayaan ini tidak pernah didukung oleh penelitian ilmiah untuk membuktikannya.

Diketahui bahwa sisik trenggiling terdiri dari kandungan keratin. Kandungan yang sama dengan kuku dan rambut kita manusia serta cula atau tanduk pada hewan lainnya. Sisik ini adalah baju pelindung bagi trenggiling yang memiliki makanan utama semut dan rayap. Sisik yang tebal melindungi mereka dari gigitan semut dan predator lainnya. Namun sayangnya sisik ini tidak dapat melindungi mereka dari manusia. 

Ketika menemui predator, mereka akan menggulung tubuhnya dan tidak bergerak sehingga predator akan kebingungan dan akhirnya meninggalkan mereka. Namun mekanisme pertahanan diri ini menjadi keuntungan bagi manusia yang dengan mudahnya dapat menangkap dan mengambil mereka begitu saja dari atas tanah tanpa perlawanan yang berarti. Maka dengan permintaan dan harga jual yang besar semakin banyak oknum-oknum yang memburu dan menjual mereka untuk mendapat keuntungan.

Di Indonesia sendiri trenggiling bisa ditemukan di pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Namun karena maraknya diperjualbelikan, saat ini trenggiling sangat sulit untuk ditemui di alam atau habitatnya. Padahal trenggiling memiliki peranan yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Selain menjadi kontrol bagi populasi serangga, kebiasaan mereka untuk membuat liang-liang di tanah juga membawa manfaat dalam pencampuran bahan-bahan organik di dalam tanah. Selain itu mereka juga menjadi mangsa bagi harimau, macan dan spesies lainnya. Bila jumlah mereka terus berkurang tentunya akan berpengaruh besar bagi spesies-spesies lain dan ekosistem di alam.

Trenggiling juga beberapa bulan belakangan ramai disebut sebagai salah satu hewan selain kelelawar yang menjadi pembawa virus corona, yaitu Covid-19. Beberapa pengamat dan peneliti memperkirakan adanya kemungkinan trenggiling yang tidak sengaja memakan kotoran-kotoran kelelawar dari tanah. Lalu ketika trenggiling ini ditangkap manusia maka virus yang berasal dari kotoran kelelawar ini dapat menyebar pada manusia. Meski hal ini belum terbukti secara pasti, tentu kemungkinan-kemungkinan seperti ini sangatlah bisa terjadi karena sudah ditemukan adanya beberapa jenis virus corona dari tubuh trenggiling yang diteliti.

Maka dari itu perlu adanya penanganan serius dari pemerintah untuk dengan tegas melarang penjualan satwa-satwa liar terutama satwa yang dilindungi. Selain untuk menjaga keberlangsungan spesies-spesies yang ada, juga untuk menghindarkan manusia dari penularan-penularan virus yang fatal dan mematikan. Biarkan satwa-satwa liar hidup dengan bebas di habitatnya dan menjadi penjaga keseimbangan ekosistem di alam, karena kita manusia pun hidup sangat bergantung pada alam. (LIA)