PERJUMPAAN TIGA HARI DENGAN ORANGUTAN NIGEL

Patroli di kawasan rilis orangutan secara berkala dilakukan tim APE Guardian di Kalimantan Timur. Tidak jauh dari Pos Monitoring Busang Hagar, tepatnya 10 menit arah ke hulu, ranger Ilik melihat orangutan Nigel yang awal bulan Juli lalu dilepasliarkan. Nigel terlihat berjalan menuju hilir dan berhenti di sekitar pondok warga yang sudah tidak terpakai. 

Tim berhenti dan mengamati Nigel lebih lama lagi. Monitoring Nigel menjadi agenda utama hari ini. “Setelah 72 hari usai dilepasliarkan dan perjumpaan terakhir yang sempat terpaksa dievakuasi dengan perahu, ini adalah perjumpaan kami dengan Nigel kembali. Kami tidak mengira akan pernah bertemu lagi. Sekarang kami tahu, Nigel baik-baik saja”, ujar Galih Norma Ramadhan, kapten APE Guardian haru. Tim pun meninggalkan Nigel, sesaat setelah Nigel selesai membuat sarang untuk tidur malamnya.

Keesokan harinya, tim lebih siap lagi dengan membagi dua tim. Satu tim patroli kawasan rilis dan satu lagi mengamati orangutan Nigel kembali. Ada 2 sarang Nigel yang baru. Nigel terlihat sedang makan kulit kayu/bark. Tim terus mengamatinya dari kejauhan. Nigel mulai bergerak lagi, berayun dari satu pohon ke pohon yang lain melalui akar pohon gantung. Lagi-lagi Nigel berhenti dan bersantai di atas pohon. Menjelang matahari terbenam, Nigel kembali ke sarang sebelumnya.

Hari ketiga setelah perjumpaan, sarang orangutan telah kosong. Tim mulai menyisir lokasi perjumpaan. Sekitar siang hari, tim baru bertemu dengan Nigel di pinggir sungai. Tak lama kemudian, Nigel kembali masuk ke arah hutan, itu adalah momen terakhir APE Guardian melihat Nigel. “Mungkin Nigel mampir untuk memberi kabar bahwa dirinya baik-baik saja. He’ll find a way to survive, he’ll manage somehow. Nigel… kamu pasti bisa!”, kata Galih menutup malam penuh bintang di Busang, Kalimantan Timur. (GAL)

BKSDA KALTIM SKW I BERSAMA APE CRUSADER PATROLI DI HLSL

APE Crusader memulai patroli di Hutan Lindung Sungai Lesan, Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Bersama BKSDA Kaltim SKW 1 (Pak Ketuk, Pak Frans dan Lee) ditemani ranger lokal dari Kampung Lesan Dayak, tim mengambil data di lapangan berupa jenis sarang, posisi sarang, pohon sarang meliputi jenis, tinggi dan keliling pohon yang dijadikan sarang orangutan. Tim menggunakan metode transek yang hasilnya perjumpaan 46 sarang orangutan dengan beragam kelas dari A sampi E. “Sayangnya belum rejeki kami berjumpa langsung dengan orangutannya”, ujar Hilman Fauzi, anggota APE Crusader.

Sepanjang patroli, tim juga bersyukur tak menemukan jerat. Dalam patroli kali ini, tim berniat untuk sapu jerat yang sangat merugikan satwa liar. “Kadang maksudnya pemasangan jerat itu untuk menangkap babi hutan, tapi satwa apa saja yang lewat di jerat tersebut pasti harus meregang nyawa yang entah kapan ditemukan. Centre for Orangutan Protection mengampanyekan #jeratjahat sebagai salah satu fokus para ranger saat patroli”, jelas Hilman lagi.

Masyarakat Kelay patut berbangga pada hutan terdekatnya yaitu HLSL dengan masih memiliki pohon-pohon besar seperti Meranti (Shorea spp), Keruing (Dipterocarpus spp), Ulin (Eusideroxylon zwageri), Kapur (Dryobalanops) yang kebetulan terdata sebagai pohon yang digunakan orangutan bersarang. Semoga pohon-pohon besar ini tak hanya tinggal cerita saja nantinya. (HIL)

APE GUARDIAN LEBIH DARI SEKEDAR PENJAGA ORANGUTAN DI HUTAN KALIMANTAN

APE Guardian salah satu tim dari COP sudah lebih dari setengah tahun mengurus pelepasliaran orangutan yang berada di Busang, Kalimantan Timur. Sebuah pondok kayu yang berdiri di tengah hutan berfungsi sebagai pos monitoring menjadi tempat berteduh para ranger dan keeper. Para keeper senantiasa mengawasi perilaku harian orangutan di pulau pra-pelepasliaran. Sementara para ranger siap sedia melakukan monitoring paska pelepasliaran dengan cara keluar masuk hutan dan menyisir sungai.

Bukan hanya melakukan rutinitas harian, di sela-sela kegiatannya juga melakukan kegiatan tambahan demi menjaga kawasan pelepasliaran. Ranger tidak pernah lelah bersosialisasi dan bertanya pada warga lokal yang ditemui selama melakukan kegiatan di sungai. Hal ini dilakukan sebagai bentuk mitigasi potensi konflik antara orangutan dan warga lokal. Warga lokal memang sangat bergantung pada sungai untuk mencari ikan menggunakan perahu bermesin dan tak jarang warga melakukan aktivitas mencari ikan di sekitar kawasan pelepasliaran. “Kekhawatiran utama kami jika, suara mesin perahu dan suara aktivitas warga tersebut dapat menarik perhatian orangutan untuk mendekat”, ujar Noh, ranger APE Guardian. Harapannya kegiatan sosialisasi dan penyadartahuan kepada warga dapat mencegah konflik yang mungkin terjadi dengan orangutan yang kami lepasliarkan.

Beda halnya yang dilakukan oleh dua orang COP Academy yang sedang magang di tim APE Guardian seperti Randi dan Eko. Di sela-sela monitoring keduanya secara rutin melakukan pencatatan biodiversitas fauna di hutan dan sungai dalam kawasan pelepasliaran. Walaupun hutan di kawasan pelepasliaran masih dalam tahapan suksesi paska kebakaran hutan, namun fauna yang dilindungi dan masuk daftar jenis hewan dalam Permenhut No. 106 tahun 2018. Sejauh ini fauna mamalia dilindungi yang berhasil ditemui jejak keberadaannya dalam kawasan pelepasliaran meliputi berang-berang, kijang, pelanduk napu dan beruang madu. Untuk fauna burung, tim berhasil mengidentifikasi keberadaan elang brontok, elang bondol, elang ikan, enggang badak dan kangkareng perut putih. Jenis-jenis yang ditemui kemungkinan besar akan semakin bertambah seiring dengan rutinitas monitoring dan patroli yang dilakukan APE Guardian. Tentunya dengan temuan-temuan ini harapannya kawasan pelepasliaran ini dapat menjadi kawasan retorasi demi menjaga kelestarian berbagai spesies.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan ini bukan hanya memiliki andil dalam peletarian orangutan, namun juga meningkatkan nillai konservasi kawasan dan menambah pengetahuan serta penyadartahuan masyarakat banyak terhadap konservasi orangutan. Selama kawasan pelepasliaran ini masih ada APE Guardian, maka akan senantiasa menjaga orangutan, hutan dan keanekaragaman di dalamnya. (EKO_COPAcademy)

PAGI, SIANG, SORE DI PULAU PRA PELEPASLIARAN HAGAR

Tak terasa hampir mendekati empat bulan sudah, apa kabar dengan orangutan yang dilepasliarkan di Kecamatan Busang, tepatnya di pulau kecil Sungai Menyuk, ya orangutan Ucokwati dan Mungil merupakan ibu dan anaknya yang telah dilepasliarkan oleh tim APE Guardian dibantu oleh tim APE Defender yang bekerjasama dengan BKSDA Kaltim di pulau pra pelepasliaran Hagar pada tanggal 18 April 2022. Kegiatan pra pelepasliaran ini bertujuan untuk melatih orangutan untuk survive di alam agar dapat hidup liar di habitat aslinya. Tahapan ini merupakan tahap terakhir bagi orangutan untuk mengembalikan sifat liar dan istingnya untuk bertahan hidup di alam liar. 

Sinar matahari pagi yang memancar di pepohonan selalu membangunkan orangutan Ucokwati dan Mungil dari tidur panjangnya. Memulai pagi dengan travelling dari satu pohon lain merupakan rutinitas yang selalu dilakukan oleh orangutan ini, sebelum datang waktu feeding pagi biasanya Ucok dan Mungil travelling sambil mencari makan, bisanya sarapan pagi diawali dengan memakan tunas muda dari beberapa tumbuhan diantaranya tunas bambu dan tunas daun dari pohon bayur atau disebut juga pohon kidau di daerah setempat, sesekali bagian kulit dari pohon kidau menjadi alternatif pakan yang menjadi santapan oleh Ucokwati dan Mungil. 

Siang merupakan waktu istirahat sejenak yang kadang dilakukan untuk melepas kepenatan oleh Ucokwati dan Mungil setelah melakukan kegiatan travelling dan feeding pagi. Siang menjelang sore merupakan waktu yang dimanfaatkan untuk bermain, tak jarang Ucokwati dan Mungil juga bermain bersama di pinggiran sungai hilir hingga hulu pulau pra-pelepasliaran. Mendekati sore hari Ucokwati dan Mungil biasanya travelling sambil mencari makan untuk mengisi perut sebelum datangnya waktu malam yang panjang.

Sore menjelang malam sekitar jam 17.30 merupakan waktu yang paling sibuk bagi Mungil membuat sarang untuk persiapan beristirahat dan tidur pada malam hari karena Mungil hampir lebih sering membuat sarang baru dan mempunyai banyak sarang ketimbang Ucokwati yang setia dengan sarangnya yang merupakan renovasi sarang dari bekas tumbuhan epifit yang menempel di pohon kidau pada ketinggian sekitar 30 meter. (RAN)

LAGI-LAGI BONTI TAK MAU TURUN

Suatu pagi yang diselimuti cuaca mendung dan teduh, saya bersama para perawat satwa di BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance) berangkat menuju lokasi hutan yang kami sebut area Sekolah Hutan 2, salah satu dari tiga lokasi Sekolah Hutan yang biasa digunakan di BORA untuk melangsungkan kegiatan sekolah hutan bagi orangutan.

Pagi itu merupakan giliran orangutan Bonti, Jojo, Mary, Jainul dan Aman untuk menjadi peserta sekolah hutan. Munculnya Bonti dalam daftar peserta hari itu membuat beberapa perawat satwa was-was.

“Siap-siap aja, Bonti gak mau turun”, kata perawat satwa Jevri saat briefing pagi. Sebabnya, selain sudah memiliki kemampuan beradaptasi di hutan yang baik, Bonti seringkali tidak mau dipanggil untuk pulang setelah jadwal sekolah hutan selesai. Hal unik lainnya, biasanya Bonti hanya mau turun ketika dibujuk turun oleh perempuan.

Sejak pukul 09.00 WITA, setibanya di lokasi sekolah hutan 2, Bonti langsung memanjat pohon dan eksplorasi di antara tajuk-tajuk pohon. Hingga siang hari, Bonti terus aktif berpindah-pindah pohon tanpa pernah sekalipun turun ke tanah. Ia juga aktif mencari pakan alami tanpa meminta makanan ke perawat satwa. Sesekali Bonti melakukan aktivitas sosial dengan orangutan lainnya seperti bermain dan mencari makan bersama.

Waktu terus berjalan dan waktunya sekolah hutan berakhir. Keempat orangutan lainnya telah berhasil dipanggil turun dan dibawa kembali ke kandang oleh perawat satwa, kecuali Bonti. Lio, perawat satwa yang bertugas mengamati Bonti hari itu, mencoba memanggil Bonti untuk turun dari pohon. Namun dalam beberapa kali percobaan, Bonti cenderung menghindar dan naik lebih tinggi ketika Lio mendekat. Memang seringkali Bonti cenderung menghindar ketika ada laki-laki di dekatnya saat sekolah hutan.

Maka, ditugaskanlah Dinda, mahasiswa ITB yang sedang magang di BORA untuk membujuk Bonti turun dari pohon. Dinda mencoba membujuk Bonti turun dengan pakan buah dan madu yang ada di tangannya. Bonti akhirnya mau untuk turun lebih rendah, namun masih terlihat ragu-ragu untuk menjulurkan tangannya. Beberapa menit kemudian datanglah drh. Theresia yang membawa sebotol susu untuk membujuk Bonti turun. Berkat sebotol susu, akhirnya Bonti mau turun dan dibawa pulang ke kandang oleh Dinda dan drh. There. (RAF)

KEMATIAN BURUNG KERAK KERBAU DI JALANAN

Minggu kedua Juli, tim APE Crusader bertugas di daerah Bengalon, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Tak sengaja, dalam perjalanan tersebut tim menjumpai burung Kerak Kerbau atau Acridotheres javanicus tergeletak di jalan poros Perdau-Sangkulirang. Kerak kerbau ini merupakan satwa yang dengan habitat alami di Jawa dan Bali tetapi saat ini sudah diintroduksi berbagai daerah seperti Kalimantan, Sumatra dan Sulawesi sehingga mengakibatkan burung ini menjadi invasif di lokasi introduksinya. Padahal di habitat alaminya yaitu pulau Jawa dan Bali sudah sulit dijumpai melainkan sudah banyak pindah ke sangkar-sangkar ‘pehobi’ burung peliharaan.

Sialnya, sudah dibawa keluar dari habitat alaminya ditambah bernasib naas. Walaupun umur burung ini bisa mencapai 3,9 tahun tetapi nasib burung ini bisa lebih cepat lagi untuk mati. Seperti yang kami jumpai pada 8 Juli yang lalu, dia mati karena tertabrak kendaraan. 

“Seberapa seringkah kematian satwa liar di jalan raya? Bagaimanakah status hukum penyebab hilangnya nyawa satwa liar? Benarkah ini karena kesalahan satwa liar tersebut yang katanya kehilangan insting atau dalam kondisi sakit sebelumnya? Ataukah ini adalah tanggung jawab kita bersama? Pengguna jalan bahkan pembuat hingga perencana jalan yang melintasi habitat satwa liar atau hutan? Apakah Indonesia akan mulai memperhatikan nyawa satwa liar yang mati sia-sia ini dalam waktu dekat?”, Hilman, anggota termuda APE Crusader pun mulai mencoba membuat mind map kasus ini. “Semoga…”. (HIL)

BERANI MENDADAK JADI ‘AYAH’

Jumat pagi di bulan Juni, enam individu orangutan dibawa keluar kandang oleh perawat satwa untuk mengikuti sekolah hutan di lokasi ketiga. Keenam individu tersebut adalah Berani, Jainul, Aman, Happi dan Mary.

Setiba kami di lokasi sekolah hutan 3, Berani langsung menikmati sebatang jagung dengan damai sendirian di bawah pohon. Tidak lama kemudian, Jainul yang baru saja tiba di lokasi langsung berlari dan memeluk orangutan Berani, seperti seorang anak yang memeluk induknya. Ekspresi heran dan bingung terpancar dari wajah Berani. Seolah tidak tahu harus berbuat apa, Berani mencoba menyingkirkan Jainul, namun Jainul tidak mau melepaskan pelukannya dari Berani.

Selain memeluk dan tidak mau lepas dari Berani, Jainul pun berusaha merebut jagung dari tangan Berani. Padahal, orangutan jantan lainnya seperti Annie dan Happi (yang jauh lebih besar dari Jainul) tidak berani untuk mencoba merebut makanan dari Berani atau mereka akan dihajar oleh Berani. Tidak seagresif biasanya, Berani seakan kebingungan saat Jainul mencoba merebut jagung dari tangannya. Ia pun hanya pasrah dengan ekspresi heran. 

Perilaku Jainul dan Berani pagi itu membuat para perawat satwa tertawa dan sedikit was-was. “Khawatir Berani bersikap agresif hingga Jainul terluka. Tapi ternyata malah sebaliknya. Tentu saja ini tidak lazim. Dan baru kali ini kami menemui kondisi seperti ini. Prihatin sekali dengan nasib orangutan Jainul yang sangat bergantung pada orangutan lain, pada perawat satwa juga. Bayi seusianya memang paling nyaman bersama induknya”, ujar Raffi, asisten manajer BORA. (RAF)

SEMINGGU MEMUPUK SEMANGAT SELAMATKAN ORANGUTAN SUMBING

Tim APE Crusader berangkat tengah malam dengan harapan sampai tujuan di pagi harinya. Mereka membawa sebuah misi besar yaitu penyelamatan satwa liar, orangutan. Tim menempuh perjalanan darat sekitar 7 jam, melewati daerah berkabut dan jalur bukit yang curam. Ini pula yang menghambat laju kendaraan tim. 

Sesampainya di lokasi, tim rehat sejenak sambil mengisi perut agar tidak kalah dengan teriknya matahari siang nanti. Semua tim bergabung, dari 3 tim yang berbeda menjadi satu kesatuan di lapangan. Kordinasi adalah kunci keberhasilan peleburan ini. Tim harus menemukan 1 individu orangutan yang belakangan ini viral di media sosial karena lebih dari satu kali menambahkan diri di depan warga bahkan di pinggir jalan. Jika bertemu, rencananya orangutan ini akan dipindahkan ke hutan yang jauh dari pemukiman atau keramaian aktivitas manusia.

Tujuh hari bukan waktu yang sangat lama, jika kita berlibur. Namun 7 hari di jalanan dan keluar masuk hutan untuk mencari orangutan yang terus bergerak bukanlah hal yang mudah bagi kami. Cuaca yang tiba-tiba hujan di tengah panasnya siang menjadi 33% kendala yang menghambat gerak langkah kami. “You know lah, cuaca di Indonesia”, ujar Ibnu Ashary, anggota tim APE Crusader COP.

Istirahat di jalanan sambil bercerita, bergosip dan berkopi beralaskan matrs sudah menjadi makanan sehari-hari di lapangan. Hari berganti hari dan kami tetap bersemangat menjalaninya. Jangan sampai pulang dengan hasil nol dan kandang angkut masih bersih tanpa kotoran/feses orangutan, kita sudah terlanjur komitmen untuk menemukan dan memindahkan orangutan tersebut. “Selesaikan apa yang sudah dimulai bersama”.

“Jika memang sudah lebih dari 7 hari, kita siap menambah hingga 14 hari berada di lapangan”. Namun di hari ke-7 ada kabar yang membangkitkan kembali semangat dengan munculnya orangutan yang kami cari. Tim bergegas, dengan kerjasama yang begitu solid akhirnya orangutan berhasil kami dapatkan kemudian dipindahkan keesokan harinya di area hutan lindung.

Dalam perjalanan ke hutan lindung masih ada beberapa rintangan yang perlu dilewati yaitu putusnya jembatan penyebrangan yang berbahan papan dan kayu ulin. Tanggung jawab besar diuji saat menyeberangi jembatan yang tidak layak dilewati dengan membawa kandang berisi orangutan yang beratnya semakin bertambah. Namun Tuhan bersama kami siang itu dan semua bisa dilewati.

Sampai akhirnya, tim memutuskan berpindah kendaraan karena masih ada 1 jembatan lagi yang sudah benar-benar tidak dapat dilewati oleh kendaran roda empat. Tim memindahkan kandang secara manual dan gotong-royong menyeberangi anak sungai kecil menuju kendaraan roda empat lainnya yang sudah menunggu di seberang sungai. Bersama kendaraan inilah tim dapat mengakses jalur terjal menuju titik translokasi hingga orangutan yang diberi nama sumbing pun berhasil dilepasliarkan kembali di rumah barunya. Hari ini merupakan kado spesial bagi salah satu anggota termuda Crusader kami, Hilman yang sedang berulang tahun. (NOY)

HAPPI MENGAMATI ANNIE DAN MENIRUNYA

Hari Jumat terakhir di bulan Februari, orangutan Owi, Annie, Happi dan Aman menjalani sekolah hutan di BORA (Bornean Rescue Alliance). Setiap orangutan yang sekolah hutan hari itu bebas beraktivitas, mengeksplorasi dan belajar di hutan selama sekolah hutan berlangsung. Tidak lama setelah dilepaskan di hutan oleh perawat satwa, setiap individu orangutan langsung berpencar dengan aktivitasnya masing-masing. 

“Di pohon itu… lagi makanin daun”, ujar Lio, perawat satwa yang baru saja bergabung di Bornean Orangutan Rescue Alliance (BORA) pada tahun lalu. Annie dan Happi terlihat sedang beraktivitas bersama di atas pohon dengan bermain, berkelahi dan mencari makan bersama. Lio menunjukkan lokasi keberadaan Annie yang sempat tidak terlihat karena terhalang oleh tajuk-tajuk pohon. Pada siang itu, Annie aktif berpindah-pindah pohon sambil memilih dan memakan dedaunan yang ada. 

Setelah beberapa lama Annie makan sendiri, Happi yang sebelumnya ada di pohon lain terlihat menyeberangi beberapa pohon untuk mendekati dan mengikuti Annie. Ketika sudah berada di dekat Annie, Happi terus memperhatikan setiap daun yang Annie makan. Ketika Annie berpindah pohon, Happi mengikuti sambil terus mengamati setiap daun yang dimakan Annie, lalu sesekali ikut mencoba memakan daun yang Annie makan.

Perilaku belajar yang dilakukan Happi dengan mengamati dan meniru Annie menunjukkan bahwa sekolah hutan dapat menjadi sarana transfer ilmu yang baik antar orangutan. Transfer ilmu dari orangutan yang memiliki kemampuan lebih kepada orangutan yang belum memiliki kemampuan tersebut. (RAF)

TEMUAN ORANGUTAN DI TITIK RENCANA JEMBATAN ORANGUTAN

Mitigasi konflik orangutan dengan manusia di sekitar Jalan Poros Kelay menghantarkan tim APE Crusader memetakan area konektivitas. Hutan-hutan yang terfragmentasi diharapkan bisa dihubungkan dengan jembatan terutama yang terputus karena jalan raya. Viralnya orangutan menyeberang jalan ataupun penampakan orangutan di pinggir jalan membuat prihatin para pemerhati satwa. Tidak dapat dipungkirin bahwa pembangunan akan berdampak namun bagaimana membuatnya berkelanjutan tanpa mengesampingkan ekosistem. 

Pada 24 Februari 2022 sekitar pukul 13.00 WITA, tim berjumpa dengan orangutan remaja yang tengah makan daun muda di salah satu pohon pinggir jalan. Keberadaan orangutan memperkuat area tersebut merupakan habitat bagi orangutan. Beberapa bekas sarang orangutan baik itu sarang lama maupun sarang baru di sisi kiri dan kanan jalan mempertegas habitat orangutan yang semakin tersudut. 

Dalam kurun waktu 21-25 Februari 2022, cuaca di wilayah Kecamatan Kelay cukup cerah. “Tim memetakan ada 7 titik/area dengan potensi pembangunan konektivitas/jembatan penyeberangan bagi orangutan. Ketujuh area ini memiliki tutupan pohon yang cukup baik serta didasari juga oleh temuan bekas aktivitas orangutan”, kata Arief Hadiwijaya, kapten APE Crusader COP.

Centre for Orangutan Protection berencana akan membangun jembatan orangutan pada tahun 2022 ini. “Namun kami perlu memastikan titik yang dimaksud agar dapat berfungsi dengan semestinya. Seperti yang kita ketahui bersama, jembatan penyeberangan manusia saja sering diabaikan. Tapi kami optimis, keberadaan jembatan orangutan nantinya dapat meminimalisir  kecelakaan yang terjadi dan semakin membuat leluasa satwa liar bergerak karena tersambungnya hutan yang merupakan habitat mereka”, tambah Arief lagi. (RIF)