KEHILANGAN JEJAK POPI DI SEKOLAH HUTAN BORA

Hari itu, kami melaksanakan sekolah hutan seperti biasanya. Kali ini, aku bertugas untuk menjaga Popi. Nampaknya Popi tidak bersemangat mengikuti sekolah hutan. Sejak tiba di lokasi sudah malas memanjat, maunya di bawah bersama keeper. Giliran sudah mau memanjat, ternyata hanya tipuan agar bisa mengeluarkan jurus kabur ke kandang. Popi selalu menunjukkan ciri jika ingin kabur, perlahan-lahan berayun dari satu pohon ke pohon lainnya, kemudian berhenti untuk melirik keeper, saat keeper lengah maka Popi akan tancap gas untuk pulang ke kandang.

Sebagai keeper yang hari itu menjaga Popi, harus rela berulang kali membawanya kembali ke lokasi sekolah hutan. Sebuah trik sederhana yang sering dikeluarkan oleh keeper, yaitu memancingnya menggunakan buah agar dia berpindah tempat dan mengurungkan niatnya untuk pulang ke kandang. Sepertinya trik ini berhasil, pada akhirnya Popi memanjat dan mendekati orangutan Bagus. Sedikit membuatku bisa bernafas lega. Menjadi kesempatan untuk menuliskan aktivitas yang Popi lakukan di buku sekolah hutan, sebelumnya tertunda karena harus mencegahnya dari membolos. Baru saja mulai menulis, tiba-tiba kulihat Bagus sudah berjalan di tanah menghampiri kami para keeper.

Kudongakkan kepala untuk mengecek keberadaan Popi, benar saja dia sudah tidak terlihat. Kutanyakan pada keeper lain, mereka juga tidak melihat. Kami kebingungan, jika Popi turun untuk membolos harusnya terlihat. Tidak ada yang menyadari juga apakah dia berayun untuk berpindah tempat karena tidak terdengar suara gesekan daun dan ranting. Mulailah kami berteriak memanggil namanya. 5 menit… 10 menit… 15 menit, masih tidak ada tanda-tanda keberadaan Popi. Aku memutuskan untuk mengecek ke kandang tapi ternyata nihil, lalu kembali lagi ke lokasi sekolah hutan dengan realita Popi masih tidak muncul. Mencoba peruntungan di tempat lain, kali ini aku susuri klinik dan ternyata tetap tidak ada.

Sekali lagi aku kembali ke lokasi sekolah hutan. Melihat keeper lain mulai membawa pulang orangutan karena jadwal sekolah hutan sudah selesai. Sedikit panik, kembali kuteriakkan nama “Popi” sambil mengelilingi lokasi sekolah hutan. Tidak berhenti memanggil namanya entah sudah berapa menit. Dengan penuh harapan dan doa, kali ini ku terabas semak belukar. Agak kurang percaya Popi ke arah ini karena jarang kulihat dia bermain ke area semak.

Ternyata dewi fortuna masih berpihak padaku, sayup-sayup terdengar suara gesekan ranting dan daun. Aku mulai yakin ada Popi di area semak ini, meskipun suaranya terdengar jauh. Semakin dekat, semakin dekat, dan akhirnya kutemukan Popi di atas pohon pisang. Dia sedang menikmati pisang yang masih mentah. Aku keluarkan pancingan berupa wortel dan pisang matang. Popi hanya melirik acuh dari atas sana, sepertinya dia balas dendam karena dari tadi dicegah membolos. Jika bisa bicara mungkin Popi sudah berkata, “Bukankah ini yang kau mau? Agar aku berkelana jauh untuk mencari makan, rasakan sendiri sekarang kau yang kebingungan.” (DEA)

ARTO, SANG PETUALANG KECIL

Arto memang petualang kecil yang pemberani, tapi kadang keberaniannya itu tidak selalu diiringi perhitungan yang matang. Suatu hari, saya membawanya ke sekolah hutan di area pepohonan depan kandang klinik. Kebetulan saat itu sedang banyak pohon jengkol yang berbuah. Saat tiba di lokasi, saya langsung meletakkan Arto di salah satu pohon jengkol. Batang pohon itu kecil, tapi cukup kuat untuk menimpang tubuh mungilnya. Arto melihat sebuah pohon jengkol yang penuh dengan buah di cabang-cabangnya. Tanpa ragu, dia langsung memanjat pohon itu.

Aku membiarkannya, berpikir ini adalah bagian dari pembelajarannya untuk mengenal hutan. Awalnya, dia tampak menikmati petualangannya, memanjat semakin tinggi, bahkan dengan percaya dirinya mulai berpindah ke pohon jengkol lain di sebelahnya. Cabang-cabang pohon atas yang rapat memudahkan Arto untuk berpindah. Namun, masalah muncul ketika Arto sadar bahwa pohon kedua ini jauh lebih besar dengan batang yang lebar dan sangat tinggi serta cabang yang tidak mudah dijangkau untuk turun.

Saya mulai merasa waswas. Firasatku bilang, dia akan kesulitan turun, dan benar saja. Dari bawah, saya bisa melihat dia berhenti bergerak dan memandangi saya, seolah meminta bantuan. Lalu, suara tangis kecilnya mulai terdengar, suara rengekan khas bayi orangutan. Arto, si pemberani, akhirnya sadar bahwa dia terjebak di atas pohon yang terlalu tinggi untuknya. Saya hanya bisa berdiri di bawah, mencoba menenangkannya dengan suara dan gerakan tangan, meski saya tahu, dia tidak benar-benar mengerti apa yang saya katakan. Saya menunjuk-nunjuk cabang yang lebih kecil yang lebih mudah dilewati, berharap Arto akan memahami arahanku.

Perlahan-lahan, dia mulai bergerak. Saya terus mengarahkannya. Beberapa kali dia berhenti ragu-ragu, terlihat seperti ingin menyerah, tapi akhirnya, Arto berhasil turun melalui cabang-cabang yang lebih kecil. Begitu dia sampai di tanah, tanpa pikir panjang, dia langsung mendekat dan memelukku erat-erat. Setelah itu, Arto tidak mau jauh-jauh dari saya. Sepanjang perjalanan kembali, dia terus menempel tidak mau lepas. (JAN)

AMBON THE ORANGUTAN HAS AN EYE INFECTION

A few days ago at BORA (Borneo Orangutan Rescue Alliance), Ambon was frequently seen rubbing his left eye. Eye discharge was visible on the edge of his eyelid, which may have caused him discomfort. Two days later, his eye turned red, and his eyelid became swollen. Based on these symptoms, Ambon was suspected of having conjunctivitis.

The BORA Medical Team tried to treat Ambon, but he avoided the eye ointment tube as soon as he saw it. The team then switched to a syringe to spray the medication into his eye, but this attempt also failed. The moment the syringe came out of the medical staff’s pocket, Ambon immediately stepped back. Trainers were called for assistance, but this, too, did not succeed.

Help was then requested from Lio, an animal keeper whom Ambon likes. Without any bait, Lio managed to get Ambon down from his “hammock and perch”. Although difficult, Lio was able to spray the medication into Ambon’s eye. The treatment is attempted three times a day, though not always successful. “Older individuals are difficult to treat; they don’t trust anything unfamiliar,” Lio remarked. Rightfully so Ambon’s age exceeds that of most of the staff here. Fortunately, Ambon was willing to take oral medication, which has gradually reduced the inflammation. The medical teams, trainers, and keepers are continuing their efforts to treat Ambon. Let’s wish the best for Ambon and the other orangutans at BORA to remain healthy and happy, even if they must spend Christmas 2024 in enclosures. (LIS)

ORANGUTAN AMBON SAKIT MATA

Beberapa hari lalu di BORA (Borneo Orangutan Rescue Alliance), Ambon terlihat sering mengucek mata kirinya. Terlihat ada kotoran mata yang menempel di ujung kelopak matanya. Hal ini mungkin membuatnya merasa tidak nyaman. Dua hari berselang, matanya kemerahan dan kelopak matanya bengkak. Dari gejalanya, Ambon diduga mengalami konjunctivititis.

Tim Medis BORA mencoba mengobati Ambon, namun Ambon segera menghindar ketika melihat tube salep mata. Proses pengobatan diganti dengan spuit dimana obatnya dimasukkan lalu akan dicoba spray ke matanya. Namun percobaan ini juga gagal. Baru saja spuit dikeluarkan dari kantong baju medis, Ambon segera mundur. Medis pun meminta bantuan trainer, namun hal ini juga tidak berhasil.

Bantuan pun diminta ke animal keeper Lio, salah satu keeper yang disukai Ambon. Yang tanpa membawa pancingan apapun dapat membuat Ambon turun dari singgasananya “hammock dan tenggeran”. Walaupun sulit, Lio sempat berhasil menyemprotkan obat ke matanya. Dalam sehari diusahakan 3x pengobatan namun tidak selalu berhasil. Kata Lio, “Orangtua memang sulit diobati, tak mudah percaya dengan sesuatu yang asing”. Ya, bagaimana tidak disebut orangtua, umurnya saja melebihi kami staf yang ada di sini.

Untunglah ada obat oral yang mau dimakannya, sehingga walaupun perlahan, radangnya mulai membaik. Hingga saat ini medis dibantu trainer dan keeper masih mengupayakan pengobatan Ambon. Doakan yang terbaik untuk Ambon dan orangutan yang lainnya di BORA, tetap sehat dan bahagia walau di kandang untuk Natal 2024 ini. (LIS)

COP KIRIM DOKTER HEWANNYA KE GIBBON CONFERENCE

4th Gibbon Husbandry, Health and Conservation Conference adalah kegiatan yang berfokus membahas mengenai rehabilitasi satwa Gibbon termasuk membahas IUCN guidelines untuk rehabilitasi dan translokasi Gibbon. Kegiatan ini mengumpulkan perwakilan NGO yang menjadi Pusat Rehabilitasi satwa primata kecil Gibbon. Dimulai tanggal 1 hingga 5 Oktober 2024, kegiatan ini diselenggarakan di Pahang, Malaysia.

Selain Pusat Rehabilitasi Gibbon yang ada di wilayah Asia, Perwakilan Kebun Binatang yang ada di United States maupun Australia juga mengikuti kegiatan ini. Centre for Orangutan Protection (COP) belajar dan berdiskusi mengenai perawatan satwa primata, bertemu dengan para kolega yang bekerja di dunia primata juga menjadi kesempatan luar biasa agar dapat diterapkan dan disesuaikan pada perawatan kera besar seperti orangutan.

Stereotype dan abnormal behavior, kebutuhan nutrisi pada primata, training pada gibbon menjadi materi yang dipelajari. Presentase mengenai project dari setiap Pusat Rehabilitasi Gibbon yang ada di Asia maupun penelitian pada satwa Gibbon yang berada di Zoo, termasuk kasus infeksius yang pernah terjadi di satwa Gibbon juga menjadi diskusi yang sangat menarik.

Berbagi cerita, belajar, dan berdiskusi mengenai perawatan satwa primata memang tiada habisnya. Hingga menjelang akhir kegiatan, kami bersama-sama melihat dan mendengar kesulitan yang dialami dalam perawatan satwa. Habitat asli yang hilang dan satwa yang terjebak karena ilegal logging, perkebunan kelapa sawit, perburuan liar masih menjadi ancaman yang harus segera ditangani untuk mencegah kepunahan satwa. (LIS)

SENO, RUMAH, ORANGUTAN, DAN KEBEBASAN

Seno namanya, seorang animal keeper yang suka membuat ilustrasi dan punya latar belakang pendidikan Biologi ini punya pribadi yang sangat ramah. Berinteraksi secara langsung dengan satwa langka dan endemik di Indonesia yaitu orangutan menjadi kebanggaan baginya. Di BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance) inilah petualangannya di mulai. Orangutan datang dengan cerita masing-masing. Terpisah dari induknya, pemeliharaan warga atau orangutan yang terkena dampak dari aktivitas manusia yang menghancurkan rumah mereka, menjadi cerita menyedihkan untuk kera besar satu-satunya yang ada di Indonesia ini.

Seno punya tugas membantu orangutan belajar kembali menjadi orangutan liar. Hal yang dilakukan pertama kali sebelum berinteraksi dengan orangutan yaitu mempersiapkan buah pakan. Pakan orangutan diberikan di pagi, siang, dan sore hari. Aktivitas selanjutnya yaitu Sekolah Hutan yang dilakukan pagi hari dan siang hari dalam rentan waktu 2 jam. Membawa orangutan ke lokasi sekolah hutan dimana orangutan beraktivitas mencari makan, bermain, berinteraksi dengan sesama orangutan, memanjat, menjelajah, bahkan tertidur di sekolah hutan adalah aktivitas yang cukup menguras energi. Ya, kita harus punya fisik yang kuat dan sehat. Aktivitas orangutan tersebut pun tercatat di buku dan terlapor dalam grafik dalam laporan bulanan.

Tidak jarang, Seno pun harus menghadapi tantangan sulit seperti cuaca yang tiba-tiba mendung atau pun orangutan yang telah keluar dari zona sekolah hutan yang ditetapkan, bahkan hal yang paling sulit lainnya adalah jika orangutan yang diamati mendadak susah untuk kembali dibawa turun kembali ke kandang. Namun di balik kesulitan itu, terdapat rekan kerja lainnya yang selalu siaga membantu.

Hari demi hari berlalu, Seno pun menyadari beberapa orangutan memiliki perkembangan tersendiri. Mereka mulai berani menjelajah hutan, menemukan makanan sendiri, dan belajar hidup tanpa bergantung pada manusia. Ketika saatnya tiba untuk melepaskan mereka kembali ke alam liar, perasaan itu sangat campur aduk. Ada kebahagian, kebanggaan, dan sedikit rasa sedih. Tapi itulah tujuan kita, mengembalikan mereka ke rumah sejatinya.

Bekerja di tempat konservasi orangutan adalah pengalaman yang mengubah hidup. Seno belajar bahwa bukan hanya kita yang merawat orangutan, tapi mereka juga mengajari kita tentang kesabaran, kepercayaan, dan pentingnya menjaga alam. Di sini, Seno menemukan makna sejati dari kata “rumah” dan “kebebasan”. (SEN)

DARI SI CENGENG JADI SI PEMBERANI

Arto adalah salah satu bayi orangutan yang berhasil diselamatkan dari masyarakat. Sekarang, si lucu Arto sudah berusia 1,7 tahun, usia yang cukup untuk memulai sekolah hutan. Dengan berat 5 kg, Arto sudah mampu bersaing merebut makanan di atas pohon bersama orangutan lainnya. Kemampuannya berkembang pesat, dari yang dulu suka menangis, kini Arto tumbuh menjadi pemberani. Dia sangat cepat memanjat, bahkan bisa mencapai ketinggian lebih dari 10 meter. Arto juga sangat menikmati berayun-ayun sambil bergulat dengan orangutan yang lebih besar darinya.

Arto termasuk bayi yang mandiri. Ukurannya yang masih mungil tidak menghalanginya untuk terus belajar hal-hal baru, baik di kandang maupun saat di sekolah hutan. Baru-baru ini, Arto terlihat berusaha mencari buah di atas pohon. Pernah suatu hari, saat keeper memberikan sarang rayap, dengan percaya diri dan kelucuannya, Arto mulai mengacak-acak sarang tersebut, mencoba menemukan rayap. Dia bahkan mencoba menghisap sarang itu hingga akhirnya berhasil menemukan rayap yang dicari. Meski awalnya sedikit takut melihat banyaknya rayap yang keluar, rasa takutnya perlahan berubah menjadi penasaran. Walaupun Arto tidak memakan rayap tersebut, keberaniannya patut diapresiasi.

Tingkah lucu lainnya adalah saat keeper harus berpura-pura lemah dihadapannya karena Arto, si bayi pemberani ini, mencoba menunjukkan sisi dominannya. Sepatu boot keeper menjadi sasaran empuk untuk digigit-gigit. Setelah puas dengan sepatu, Arto mulai menarik-narik wearpack keeper, seakan ingin menunjukkan bahwa dia sekarang sudah kuat dan berani. Tingkah laku ini membuat kepercayaan dirinya meningkat, seolah-olah dia ingin menjadi jantan dominan saat itu juga. Arto tidak hanya bersikap demikian kepada keeper, tetapi juga kepada sahabat sejatinya, Harapi. Saat Arto mencoba mengajak Harapi bergulat, Harapi hanya merespon dengan diam dan meletakkan kedua tangannya di depan, sementara Arto tetap gigih menarik-nariknya.

Kemampuan belajar adaptasi Arto terbilang sangat cepat. Harapan terbaik untuk Arto, yaitu agar semua yang dipelajari selama di BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance) dapat menjadi bekal berharga ketika suatu hari nanti dia sudah cukup besar untuk dilepasliarkan kembali ke habitat aslinya. Rasa gemas dan tawa tentu sudah menjadi hal biasa bagi para keeper yang berinteraksi langsung dengannya. Perubahan yang dialami Arto selama hampir setahun di BORA sangat jelas, dari yang dulunya tukang nangis, kini dia telah menjadi Arto si pemberani yang selalu bersemangat pergi ke sekolah hutan. (MUN)

CINTA KEEPER PADA ORANGUTAN DI BORA

Rasa cinta kepada orangutan benar-benar dialami kita, seorang animal keeper. Saya, Fhajrul Karim yang telah menjadi animal keeper selama 11 bulan di BORA, sehari pun tak pernah luput melihat tingkah oranguta yang lucu dan menggemaskan. Respon malu dan pamer terhadap keeper yang disenangi terlihat jelas bagi orangutan yang sudah masuk usia remaja, itulah yang ada pada diri Bonti, Jojo, dan Mary. Lirikan mata dan ekspresi mereka setiap berjumpa tak bisa terlupakan.

Bonti yang di saat senang selalu memamerkan kemampuan memanjat dan bergulatnya, baik itu ketika di kandang maupun di saat sekolah hutan. Lalu ada Mary yang senang sekali menunjukkan kemampuan menumpuk-numpuk daun untuk membuat sarang terbaiknya kepada keeper. Sedangkan Jojo lebih cenderung memamerkan kemampuannya melilit akar dengan simpul, sering ditunjukkannya. Terkadang Jojo juga memperlihatkan kemampuannya menggunakan alat untuk mendapatkan perhatian keeper. Tentu saja interaksi ketiga orangutan ini berhasil membuat para keeper merasa sayang terhadap mereka bertiga.

Melihat orangutan berhasil meningkatkan kemampuan serta pengetahuan alaminya merupakan suatu kebanggan besar bagi keeper. Sama halnya seperti orangtua melihat anaknya tumbuh besar menjadi sosok yang mandiri di kehidupannya. Kebanggan yang dirasakan orangtua tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan keeper setiap melihat orangutan tersayangnya.

Topik bercerita membanggakan adanya peningkatan kemampuan orangutan di kandang dan di sekolah hutan sering dilontarkan ketika selesai bekerja. Tidak hanya itu saja, rasa ingin mengetahui kabar orangutan di saat libur kerja pun menjadi hal yang ditunggu-tunggu oleh keeper untuk didengar. Rasa cinta inilah yang menjadi penyemangat keeper tetap terus menjalankan rutinitas di pusat rehabilitasi BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance). Harapan keeper ingin melihat Bonti, Jojo, dan Mary merasakan kembali atmosfer hutan yaitu tempat habitat yang tepat ketika rilis nanti. (JUN)

APE CRUSADER SELALU SIAP UNTUK ORANGUTAN DI KALTIM

Sore hari sembari menikmati udara hangat dan lembayung senja, tim APE Crusader berencana melakukan perjalanan ke Berau untuk melakukan pembersihan plang amaran sepanjang jalan. Di tengah perjalanan, ada panggilan mendesak untuk menyelamatkan orangutan di kecamatan Rantau Pulung. Kendaraan pun harus putar balik dan anggota tim terpaksa berpisah untuk melanjutkan perjalanan ke Berau dengan kendaraan umum.

Pukul 02.00 WITA, APE Crusader tiba di Wahau langsung bergegas mengangkut kandang, mempersiapkan diri jika harus memanjat pohon, membawa peralatan rescue sambil berkoordinasi dengan BKSDA SKW 2 Kaltim. Tepat saat matahari mulai terbit, tim tiba di lokasi yang sudah dikerumuni warga yang penasaran dan bertanya-tanya mengapa bisa ada orangutan di situ. Beberapa warga juga menutup hidung karena tidak tahan dengan bau orangutan liar.

Orangutan terpantau sudah bangun dari sarangnya. ‘Kiss squeak’ atau warning call yang terdengar adalah usahanya tidak ingin didekati. Penyelamatan orangutan liar tentu saja sulit sekali. Maksud kita orangutan terpojok, si orangutan malah kembali ke sarang yang dibangunya karena sarang adalah tempat nyaman dan aman yang telah dibangunnya. Itulah yang terjadi ketika bius berhasil ditembakkan. Alhasil, orangutan tertidur di sarangnya. Untunglah tim ada yang sudah siap memanjat dan menghampirinya, mendorongnya dari sarangnya. Sementara yang lain sudah siap dengan jaring terbentang menyambut orangutan yang harus tergusur dari rumahnya.

Pemeriksaan singkat dilakukan tim medis APE Defender. “Orangutan liar tanpa microchip, secara fisiologis teramati denyut jantung, suhu, dan respirasi dalam keadaan normal. Terdapat luka pada orangutan jantan ini, tepatnya pada bagian mata kanan rusak”, catat drh. Theresia Tineti dengan detil. Orangutan diberi nama Ilham sesuai nama pelapor dan filosfi yang agak lucu karena seperti mendapat panggilan atau ilham di tengah malam. (AGU)

ORANGUTAN RUBY, SI PEMBUAT SARANG YANG HANDAL

Orangutan Ruby harus mendapatkan tindakan medis pada matanya pada bulan Mei 2024 yang lalu. Lokasi sekolah hutan di BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance) pun menjadi tempat baru baginya untuk mengasah insting alaminya, walau tidak sebaik sekolah hutan sebelumnya di KHDTK Labanan.

Tim APE Defender pun memulai sekolah hutan pertama Ruby dengan hati-hati, menganalisa perilaku dan responnya terhadap manusia. Di luar dugaan, Ruby sudah memanjat pohon hingga ketinggian 20 meter. Langkahnya yang besar dan gegabah menjadikan hari pertamanya sekolah hutan bersejarah, bagaimana tidak, ia jatuh dari ketinggian hampir 18 meter. “Kami sudah siap membawanya ke klinik untuk mengecek kondisinya, namun Ruby lanjut memanjat lagi seolah-olah tidak pernah ada yang terjadi. Sejak saat itu, Ruby selalu kami awasi lebih cermat karena sampai tulisan ini dibuat, gerakannya masih kasar dan gegabah”, ujar Nurazizah, animal keeper BORA.

Jika animal keeper ditanya, siapakah orangutan yang mengikuti sekolah hutan dengan penanganan tingkat kesulitan tinggi di BORA, maka semuanya seragam menjawab orangutan Ruby. Dua bulan di BORA, cukup buat animal keeper selalu ketar-ketir ketika bertugas membawanya sekolah hutan. Sarang-sarang yang dibuatnya terbilang besar dan kuat. Di atas pohon sejenis ficus, pada ketinggian 20 meter, Ruby membangun sarang pertamanya. Sarang itu juga ia pamerkan pada orangutan lain yang lebih muda darinya ketika mendapatkan jadwal yang sama di sekolah hutan. Eboni dan Mabel pun menjadi pengikutnya, mencoba-coba menumpuk dedaunan dan cabang-cabang pohon kecil. “Luar biasa proses sekolah hutan orangutan di BORA. Ruby pun akan menjadi siswa sekolah hutan yang paling terlambat kembali ke kandang saat sekolah hutan usai. Tak tanggung-tanggung, terlambat 40 menit”, tambah Nurazizah lagi.

Ruby masih butuh banyak pembiasaan agar bisa dilepasliarkan kembali ke habitatnya. Sembari terus melatih otot-otonya, para animal keeper juga bersyukur karena Ruby, orangutan kecil lainnya ikut belajar hal baru. Harapan dan doa semoga proses itu berjalan dengan lancar. (RAR)

TAK ADA LAGI KALUNG RANTAI DI LEHER ORANGUTAN RUBY

Berat tubuhnya tak lebih dari 12,5 kg. Untuk orangutan seusianya, itu hanyalah separuh dari angka seharusnya. Ruby, orangutan betina berusia lebih 8 tahun ini hanya diberikan pakan ketika ingat saja. Luka yang menghiasi lingkar lehernya adalah akibat ikatan rantai besi yang telah bertahun-tahun membelenggu nya. Gerakan terbatas dan pakan ‘seingatnya’ saja membuat tubuhnya kecil kurus dalam kondisi malnutrisi.

Bersama Ochre, anak orangutan berumur 3-4 tahun yang beratnya sama seperti Ruby akan menjalani masa karantina di BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance) Berau, Kalimantan Timur. Ruby mendapatkan pengobatan, perbaikan nutrisi dan cinta kasih. Sewaktu datang Ruby memiliki beberapa luka pustula pada folikel rambut area punggung tangan dan punggung kaki. Pengobatan dilakukan dengan membersihkan luka setiap hari kemudian diberikan salep luka yang mengandung antibakteri, antifungal, dan antiradang. Sebulan lebih pengobatannya, tapi belum banyak menghasilkan perubahan, pastula dan folikel rambut masih sering muncul dan area alopesia terkadang masih tampak merah. Tim medis mengevaluasi dan melakukan perubahan obat. Hasilnya setelah sepuluh hari Ruby sembuh, ditandai tumbuhnya rambut yang sehat di area alopesia. Dua bulan pengobatan luka Ruby jauh lebih baik baik secara fisik maupun mental dibandingkan awal masuk BORA.

Ruby, bersinar dan terus berkembang. Nafsu makannya sangat bagus, bahkan hampir tak pernah menyisakan makanan yang diberikan, semua makanan yang diberikan animal keeper akan habis tanpa sisa. Sistem pencernaannya pun bagus tanpa ada gejala diare. Ruby membawa semangat menuju kebaikan yang luar biasa untuk tim medis maupun animal keeper. Semoga suatu saat nanti, Ruby mendapatkan kesempatan untuk kembali ke habitatnya. (OKY)