Uncategorized

APAKAH HEWAN BISA MERASA STRES? (1)

Pada tahun 1965 berdasar laporan Brambell mengenai kesejahteraan hewan-hewan yang berada dalam sistem peternakan, pemerintah Inggris menunjuk sebuah Komite untuk mendalami permasalahan kesejahteraan hewan-hewan dalam peternakan. Komite ini kemudian merumuskan konsep lima kebebasan yang harus dimiliki tiap hewan peternakan dan kemudian meluas peruntukkannya dan dipakai untuk mengukur kesejahteraan berbagai spesies satwa di berbagai kondisi.

Pada laporan Brambell, ia mengatakan bahwa setiap hewan harus memiliki kebebasan untuk berdiri, berbaring, berputar, merawat tubuh mereka dan merenggangkan kaki-kaki mereka. Ini diketahui sebagai Lima Kebebasan Brambell dan kemudian berubah menjadi Five Freedom atau Lima Kebebasan yang dideskripsikan sebagai berikut, yaitu terbebas dari rasa lapar dan haus, terbebas dari ketidaknyamanan, terbebas dari rasa sakit, luka atau penyakit, bebas untuk mengekspresikan perilaku normalnya, dan yang terakhir bebas dari rasa takut dan stres.

Rasa takut dan stres disini membuktikan bahwa manusia meyakini bahwa hewan juga bisa merasakan stress dan emosi seperti rasa takut. Lalu apakah benar seperti itu? Selain kemampuan berpikir atau kognisi, kemampuan merasakan emosi seperti rasa takut dan marah yang diproses pada amigdala pada otak manusia ternyata juga ditemukan pada hewan terutama pada mamalia. Meski banyak penelitian masih mengarah pada emosi pada mamalia, saat ini mulai ada juga yang mendalami adanya perubahan emosi pada hewan-hewan kelas lainnya.

Namun tidak seperti manusia yang bisa mengkomunikasikan rasa takut dan stres yang dimilikinya, kita hanya bisa mengindikasikan seekor binatang atau hewan mengalami stres atau takut berdasar pengamatan atas perubahan perilaku dan kondisi tubuhnya. Dimana masing-masing spesies bisa memiliki respon berbeda atas stres atau tekanan yang dialaminya. (LIA)

Sumber :

Thaxton, Y.V., Christensen K., Clark, F.D. (2014). The Five Freedoms for Good Animal 

Welfare. University of Arkansas: Division of Agriculture Research & Extension.

Vargas, J. P., Lopez, J. C., Portavella, M. (2012). Amygdala and Emotional Learning in 

Vertebrates- A Comparative Perspective. University of Sevilla: Intech.

A PROCESS JUST LIKE SCHOOL

We simplified the rehabilitation of orangutans just like school process. Because orangutan rehabilitation centre is not an animal breed. Most of orangutans who entered the rehabilitation centre are the victims of conflicts such as illegally kept as pet and have medical issues (got trapped, etc)

Orangutans that have been long in captivity are not good at climbing. They do not know how to find food, make a nest, even they do not know who their natural enemies are. They’re no longer orangutans, but have became a citizen.

During their time in rehabilitation centre, orangutans will go to school forest i.e. their cage will be open every morning and animal keepers will take them to “school” in the jungle. Animal keepers are not their teachers who teach, but other orangutans in the same class will become their stimulant or examples for others to follow and imitate. In the evening, they return to their cage.

We analogize entering elementary school as learning how to climb, moving from one tree to another, until well practiced. Then, they’ll enter senior high school to learn how to find and recognize their natural food and learn to make nests. We consider they’ve entered the senior high school when they start skipping a lot, which they tend to disappear in the school forest, not willing to go back when it’s late, because they’re already comfortable in their nests. That’s the sign that they’re becoming wild.

Before they are released, orangutans need to enter a higher degree of school, that is an “university” in the form of island. COP Borneo, which located in Berau, East Kalimantan, has that “university” or pre-release island. An island with fig trees, which is orangutan’s favourite, is the training place for orangutans who have passed ‘high school’. They are left outside in the sun or rain, no more cages, only food will be given in the morning and evening. On average, they train independently for 1-2 years. Once their behaviour considerably good, then they will undergo a final defense session that is final medical examination. if they pass, the orangutans will be graduated by releasing them back to their natural habitat.

Novi’s story, as a male orangutan who were forced to separate with his mother, taken care illegally by locals with chain on his neck (because it’s cheaper and easier to maintain than an iron cage), confiscated, rehabilitated, and finally released in early November 2018.

Novi is known as a smart orangutan and high adaptability, when his friends were still in ‘elementary school’, he was already in ’senior high school’. That’s how we simplify a rehabilitation process. The process takes a long time and costs a lot, so please do not buy and pet wild animals! (SAR)

PROSES SEPERTI KITA SEKOLAH
Kami menyederhanakan orangutan yang masuk rehabilitasi seperti proses sekolah. Karena pusat rehabilitasi orangutan bukanlah penangkaran. Mayoritas orangutan yang masuk rehabilitasi adalah dari konflik seperti pemeliharaan ilegal dan ada faktor medis (seperti terjerat, dll).

Orangutan yang lama dipelihara tidak pandai memanjat, tidak mengerti mencari makan, tidak tau membuat sarang dan tidak tahu musuh alaminya. Bukan lagi orangutan tetapi menjadi orang kota.

Selama di pusat rehabilitasi, orangutan akan sekolah hutan yatu setiap pagi kandan dibuka dan diajak ‘sekolah’ di hutan. Animal keeper bukanlah guru yang mengajar tapi orangutan lain yang satu kelas dengannya yang akan menjadi perangsang atau contoh agar yang lain mengikuti dan mencontoh. Ketika sudah sore, orangutan kembali lagi ke kandang.

Kami mengibaratkan masuk SD yaitu belajar memanjat, berpindah dari pohon ke pohon hingga mahir. Kemudian akan masuk SMP untuk belajar mencari dan mengenali pakan alaminya dan belajar membuat sarang. Kami menganggap masuk SMA ketika mulai banyak bolosnya, yaitu sering menghilang ketika sekolah hutan, tidak mau pulang ketika sore karena sudah nyaman di sarangnya dan itu tandanya dia meliar.

Sebelum dilepasliarkan, orangutan perlu dikuliahkan, berupa masuk ‘universitas’ berbentuk pulau. COP Borneo yang berada di Berau, Kalimantan Timur memiliki ‘universitas’ atau pulau pra-rilis. Pulau alami dengan pepohonan ara yang disukai orangutan inilah para orangutan yang suka membolos itu berlatih. Mereka dibiarkan kena panas, hujan, tak ada lagi kandang hanay dukungan pakan di pagi dan sore hari saja yang masih diberikan. Rata-rata mereka berlatih secara mandiri sekitar 1-2 tahun. Ketika perilaku mereka sudah dianggap layak, maka mereka akan ‘sidang skripsi’ berupa pemeriksaan medis akhir. Jika lulus, maka orangutan diwisuda dengan dilepasliarkan kembali ke habitatnya.

Kisah Novi, orangutan jantan yang dipaksa berpisah dari induknya, dipelihara secara ilegal dengan rantai di lehernya (karena murah dan aman, kalau bikin kandang besi mahal), disita, direhabilitasi dan akhirnya dilepasliarkan pada awal November 2018 lalu.

Mengenal Novi sebagai orangutan cerdas dengan adaptasi yang tinggi, ketika teman-temannya masih di kelas SD, dia sudah di tingkatan SMA. Begitulah kami menyederhanakan sebuah proses rehabilitasi. Proses ini memakan waktu lama dan biaya tinggi, jadi mohon jangan membeli dan memelihara satwa liar! (DAN)

HAPPI IS PEEKING PINGPONG’S CORN

Don’t know how these two orangutans can be close to each other. The introvert Happi approaches Pingpong, his senior who is the laziest to climb trees. Ooo.. apparently it’s the corn that takes Happi attention!

Happi is an orangutan who shocked the animal keepers when he was 3 years old. How come Happi who had never made his own nest, even his friends at forest school had never made a nest themselves, all of a sudden made his own nest up on a tree. It wasn’t a very good shape nest, but day by day his nest is getting better.

Happi often forgot if he was on the top of a tree and ignored the animal keeper who called his name when it’s time to drink milk, even she have never seemed to be friendly to other orangutans. But today is different. Before he climbs, he sees Pingpong is shucking the corn peacefully. Maybe Happi is curious, why Pingpong takes so long to shuck the corn.

“It’s fun to be in a jungle school. There is always an unique story to tell.” says drh. Flora.

HAPPI MENGINTIP JAGUNG PINGPONG
Entah bagaimana ceritanya kedua orangutan ini bisa saling berdekatan. Happi yang sangat penyendiri mendekati Pinpong, seniornya yang paling malas untuk memanjat pohon. Owh… ternyata jagung menjadi daya tarik tersendiri untuk Happi.

Happi adalah orangutan yang saat usianya menginjak 3 tahun mengejutkan para animal keeper. bagaimana tidak, Happi yang tak pernah membuat sarang bahkan teman-temannya di kelas sekolah hutan pun tak ada yang pernah membuat sarang, tiba-tiba saja Happi melakukannya di atas pohon. Belum rapi tapi hari demi hari, sarang buatannya semakin kokoh.

Happi yang sering lupa kalau sudah berada di atas pohon dan sering mengabaikan animal keeper yang memanggilnya untuk saatnya minum susu pun tak pernah terlihat dekat dengan orangutan lainnya. Tapi berbeda dengan hari ini. Sebelum dia memanjat pohon, dia melihat Pingpong sedang asik membuka jagung. Mungkin Happi merasa heran, kenapa Pingpong terlihat lama sekali membuka kulit jagung.

“Inilah asiknya berada di sekolah hutan. Ada saja cerita tak biasa.”, ujar drh. Flora.

SAVE THE BATANGTORU ORANGUTAN TWINS

Nine months since the Orangutan Tapanuli or Pongo tapanuliensis species announced as the 3rd species of orangutan after Pongo pygmaeus (Bornean orangutan) and Pongo abelii (Sumatran orangutan), another unexpected discovery appeared in May 2018, that is a mother of orangutan found with her two look alike children. Twins?

This is a very rare occurrance. “According our knowledge, Leuser and Gober orangutan who are blind gave birth to twins in January 2011. But they aren’t wild, the delivery was done in orangutan rehabilitation center in Batu Mbelin quarantine, Sibolangit, North Sumatera.”, says Rian Winardi, COP vet specialist. In January 2015, The mother (Gober) and the children (Ganteng and Ginting) were released in Jantho forest, Aceh, but unfortunately Ganteng couldn’t followed his mother and his twin. “Generally in the birth of twins, one has bigger body than another, so does the ability. That’s why the discovery of the wild twin Tapanuli orangutan in nature is amazing.”, adds Rian again.

Right now, Tapanuli orangutans are facing their main threat, that is losing its habitat. The construction of a hydro power plant is expected to threaten the Tapanuli orangutan population that is no more than 800 individuals remaining.There are 25 (twenty five) of the world’s leading scientist who are members of ALERT (Alliance of Leading Environmental and Thinkers) sent a letter of objection to the construction of Batang Toru hydroelectric project to the President of Indonesia, Joko Widodo.

Tapanuli orangutan is the fewest speciest with small habitat who will be increasingly endangered. “Illegal forest clearance, logging, and poaching are quite a threat for Tapanuli orangutan. The emergence of an industry in the habitat of Tapanuli orangutan can certainly accelerate its extinction.”, Ramadhani, COP Manager of Orangutan and Habitat Protection sadly said. 

SELAMATKAN ORANGUTAN KEMBAR BATANGTORU
Sembilan bulan sejak diumumkannya spesies Orangutan Tapanuli atau Pongo tapanuliensis sebagai spesies orangutan ketiga setelah Pongo pygmaeus (orangutan Kalimantan) dan Pongo abelii (orangutan Sumatera), muncul lagi penemuan tak terduga lainnya pada Mei 2018 yaitu ditemukan induk beserta dua anaknya yang terlihat sama, kembar?

Ini adalah kasus yang sangat langka. “Sepengetahuan kami, orangutan Leuser dan Gober yang keduanya buta pada Januari 2011 melahirkan bayi kembar. Tapi bukan liar, kelahirannya di pusat rehabilitasi orangutan di Karantina Batu Mbelin, Sibolangit Sumatera Utara.”, ujar Rian Winardi, dokter hewan COP. Pada Januari 2015, Induk (Gober) dan anak kembarnya (Ganteng dan Ginting) dilepasliarkan di hutan Jantho, Aceh namun sayang Ganteng tak mampu mengikuti induk dan saudara kembarnya. “Biasanya kelahiran kembar, ada yang lebih besar dan ada yang lebih kecil berikut kemampuannya. Itu sebabnya penemuan orangutan Tapanuli kembar yang liar di alam sangat menakjubkan.”, tambah Rian lagi.

Kini, orangutan Tapanuli menghadapi ancaman utamanya yaitu kehilangan habitat. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air diduga akan mengancam populasi orangutan Tapanuli yang tak lebih dari 800 individu ini. Ada 25 (dua puluh lima) ilmuwan terkemuka dunia yang tergabung dalam ALERT (Allliance of Leading Environmental Researchers and Thinkers) mengirimkan surat keberatan pembangunan proyek PLTA Batang Toru ini kepada Presiden RI, Joko Widodo.

Orangutan Tapanuli adalah spesies yang paling sedikit dengan habitat yang kecil akan semakin terancam punah. “Pembukaan hutan ilegal, penebangan dan perburuan sudah cukup menjadi ancaman bagi orangutan Tapanuli. Munculnya industri di habitat orangutan Tapanuli dapat dipastikan mempercepat kepunahannya.”, kata Ramadhani, manajer perlindungan orangutan dan habitat COP dengan miris.

REKOR! 130 PELURU DI TUBUH ORANGUTAN

Kondisi luka terbuka baru membuat kami merinding menahan perih. Tak tanggung-tanggung, ada belasan lokasi akibat benda tajam. Lubang-lubang gelap kecil sebesar peluru senapan angin terlihat di beberapa tempat. Orangutan jantan ini meregang nyawa. Otopsi adalah salah satu cara mengetahui penyebab kematiannya. Sebelumnya… mari di rontgen dulu mayat orangutan ini.

“Rontgen. Harus… daerah mata buta karena beberapa titik seperti peluru. Di bagian pipi juga, tangan, kaki bahkan tubuhnya.”, begitu kata drh. Flora Felisitas. Dan setelah hasil rontgen keluar… Kami bergantian menghitung butir peluru yang tertangkap lembaran film satu per satu.

Lembar dada terdapat 17 peluru. Kaki kiri ada 6 peluru. Kaki kanan dengan 10 peluru. Kami pun menghela nafas… dan mulai menghitung lagi dengan lembaran film tangan kiri dengan 14 peluru, lalu tangan kanan terdapat 9 peluru. Saat melihat bagian kepala, peluru-peluru mulai saling menumpuk. Berulang kali kami menghitung, tak yakin dengan hasil hitungan, kami pun menghitung kembali hingga akhirnya mempercayai apa yang telah kami hitung yaitu 74 butir peluru di bagian kepala orangutan jantan yang malang ini.

Tak semudah menghitung butiran peluru di film hasil rontgen. Mengeluarkan butiran demi butiran ternyata jauh lebih sulit. Tim hanya mampu mengeluarkan 48 butir peluru senapan angin. Separuhnya pun belum berhasil kami keluarkan. 130 peluru adalah jumlah terbanyak yang kami temui di tubuh orangutan. Siapakah penembaknya?

BARU, APLIKASI PELAPORAN KEJAHATAN SATWA LIAR

Kejahatan satwa liar adalah permasalahan serius di Indonesia. Jual beli satwa telah merambah dunia jual beli online dalam kurun waktu 6 tahun terakhir. Pedagang semakin canggih dan sulit dibendung dalam melancarkan kejahatan ini. Bareskrim Mabes Polri sebagai institusi penegak hukum di Indonesia melihat kejahatan satwa liar adalah hal yang mengkhawatirkan.

Selama tiga tahun terakhir, Centre for Orangutan Protection membantu Bareskrim Mabes Polri melakukan serangkaian operasi perdagangan satwa liar yang dilindungi di beberapa kota di Indonesia. Barang bukti yang berhasil diselamatkan adalah 95 individu satwa liar hidup terdiri dari 30 jenis jenis satwa termasuk orangutan, beruang madu, kakatua, siamang, elang, kus kus, kukang dan lainnya. Dari beberapa kasus yang ditangani setidaknya 10 pedagang menjalani hukuman penjara atas perbuatannya ini.

Di bulan November 2017 ini, Bareskrim Mabes Polri resmi merilis aplikasi pelaporan kejahatan satwa liar dilindungi guna menekan kejahatan ini terus berkembang. “Ini adalah langkah cepat menghadapi perdagangan satwa liar dilindungi. Kamu melihat, mendengar dengan disertai bukti segera laporkan.”, ujar Hery Susanto, koordinator Anti Wildlife Crime COP.

Kepedulian masyarakat memutus rantai perdagangan satwa liar di Indonesia sangat menentukan kelesatarian satwa liar Indonesia. “Mari dukung Bareskrim Mabes Polri dengan menjadi pelapor yang bijak untuk menegakkan hukum pada satwa liar di Indonesia.”, ajak Daniek Hendarto, manajer aksi COP. Aplikasi dapat diunduh melalui tautan https://play.google.com/store/apps/details?id=com.kodena.bareskrim.e_pelaporansatwadilindungi (NIK)

PAINTING ORANGUTAN ON NOVEMBER

Siapapun kamu baik perorangan, grup, organisasi, perusahaan, lembaga bisa berperan aktif untuk perlindungan orangutan. Latar belakang mu pastinya akan mempengaruhi bagaimana kamu bisa aktif. Tak terkecuali bidang seni. Sudah dua kali acara Art For Orangutan digelar di Yogya. Peserta yang terlibat meningkat dua kali lipat dengan keunikan ide yang tertuang dalam karya seni sangat bervariasi. Setiap orang menginterpretasikan dengan gayanya sendiri.

Bartega Studio dalam kesempatan kali ini mengadakan acara menggambar dan minum wine bertema orangutan. Acara ini bertujuan menggalang dana untuk pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo. Kelas ini akan berlangsung sekitar 2-3 jam dan kamu akan membawa hasil karyamu pulang. Untuk kamu yang tidak pernah memegang kuas lagi sejak tamat sekolah, di Bartega Studio lah saatnya memulai lagi. Tidak usah bingung dengan peralatan, semuanya telah disediakan.

Berapa yang harus saya keluarkan untuk mengikuti kelas “Man of The Forest”? Untuk menggambar cukup dengan Rp 350.000,00. Kalau mau ditambah dengan minum wine/anggur tinggal tambah Rp 100.000,00 Kelas akan digelar di Segoan Restaurant, pada 4 November 2017 mulai pukul 14.00 hingga 17.00 WIB. Kapan lagi melakukan sesuatu dengan tujuan penyelamatan orangutan.

Segera hubungi Benson di nomor whatsapp 08119941964. Seni pun bisa mengantarkanmu jadi penyelamat orangutan. Tetap berkarya dan bersemangat.

TOLONG ANJING KUCING DI GUNUNG AGUNG

Ketika terjadi bencana alam seperti gunung meletus, apa yang terjadi dengan satwa peliharaan? Sebagian dari mereka akan tewas saat itu juga dan yang bertahan hidup akan mati kelaparan dan kehausan karena ditinggal pemiliknya yang mengungsi.

Seperti kata penyumbang di https://kitabisa.com/anjingkucingbali ,”Anjing dan kucing adalah anggota keluarga kita, namun sering sekali tertinggal ketika kita menyelamatkan diri dari bencana alam.”.

Sejak tahun 2010, COP dengan tim APE Warriornya bekerja menyelamatkan binatang apapun, baik yang liar maupun domestik di berbagai bencana alam seperti lutusan gunung Merapi di Yogyakarta, gunung Sinabung di Sumatera Utara maupun gunung Kelud di Kediri. Kini tim sedang bekerja di gunung Agung, Bali.

Kami memberikan pengobatan, makan, minum dan memelihara dalam shelter darurat serta menguburkan yang sudah mati dengan layak. COP memanggil Orangufriends untuk terlibat langsung menangani satwa bencana gunung Agung, Bali. Bantu kami lewat https://kitabisa.com/anjingkucingbali

OKI, SI JANTAN PENYENDIRI

Setiap individu orangutan adalah pribadi yang unik. Mengamati mereka tak cukup sehari atau dua hari lalu mengenalnya. Mengidentifikasi satu orangutan dengan orangutan lainnya bisa dilakukan dengan besar tubuh, lebat tidaknya rambut, warna rambut, wajah, hidung, mata, telinga, mulut atau bagian lainnya yang hanya dimiliki orangutan tersebut.
Lalu, siapakah yang sedang berada di kanopi pohon di pulau orangutan COP Borneo?
OKI. Orangutan Oki adalah orangutan yang suka menyendiri. Memanjat pohon yang tinggi dan mengamati sekelilingnya. Makan pun dilakukannya sendiri. Sehingga saat waktunya meletakkan makanan orangutan, teknisi (orang yang mengurus kebutuhan orangutan di pulau) harus menyisakan makanan untuk Oki. Tak jarang, teknisi juga harus patroli pulau untuk mencari keberadaan Oki.
Oki-kah kandidat orangutan yang akan dilepasliarkan dalam waktu dekat ini? Bagaimana menurutmu?

MENGEMBALIKAN ADRENALIN YANG SURUT

Tujuh hari bersama di COP School Batch 7 telah usai dan meninggalkan banyak rasa. Baik oleh staff, panitia dan tentu saja siswa. Ada cukup banyak perubahan konsep pada setiap angkatan mengikuti perkembangan waktu. Kami selalu mencoba mencari formula mana yang terbaik agar para siswa bisa benar-benar menjadi agen perubahan di lingkungan asalnya sesuai dengan bakat dan kemampuan individunya.

Proses belajar menjadi 30 persen secara online, 50 persen tatap muka dan 20 persen praktek. Belajar online sekitar 50 hari dalam proses seleksi tentunya menjadi awal pembuka pemikiran dan wacana tentang konservasi untuk mempermudah tatap muka di Yogyakarta. Tantangan tersendiri buat siswa ialah menjalankan program mandiri baik secara kolektif dengan sesama teman satu kota atau menjalankannya sendiri. Waktu yang akan membuktikan apakah akan menghilang atau bertahan menjadi barisan “menolak punah”.

Setiap COP School dilakukan, teori-teori ekonomi tidak bisa digunakan. Seperti dalam konsep ekonomi investasi Time Value of Money di “Capital Recovery Factor” jika prediksi ke depan keuntungan bernilai nol maka proses investasi tidak boleh dilanjutkan. Namun COP School bukannya sebuah kegiatan investasi ekonomi tapi sebuah regenerasi yang akan berbuah jauh ke depan dalam menyelamatan satwa liar Indonesia.

Kami percaya masih ada anak-anak muda yang peduli dengan satwa liar Indonesia namun hanya tidak tau bagaimana bergerak. Seperti kata Jane Goodall, seorang perempuan peneliti ahli primata simpanse yang salah satu temannya mati terbunuh karena menyelamatkan gorila di Afrika, “Only if we understand, will we care. Only if we care, will we help. Only if we help shall all be saved. The least I can do is speak out for those who cannot speak for themselves. The greatest danger to our future is apathy.”. Semangat menjadi agen perubahan untuk bisa membuat banyak orang menjadi tahu dan peduli adalah tantangan buat kita yang berada di negara berkembang.

Di sisi lain untuk kami yang sudah cukup lama menghadapi persoalan langsung dengan kasus orangutan hampir setiap hari yang didapatkan adalah persoalan konflik yang sangat melelahkan. Kemenangan dalam bentuk bisa menyelamatkan orangutan secara luas dan lebih banyak adalah tujuan dasarnya, namun kadang kekalahan dan persoalan tentu tidak semua bisa diselesaikan dengan tuntas. Semangat itu tentu akan berkurang dan pelan-pelan akan menghilang. Ketika kita kehilangan semangat perlawanan itu maka tidak akan ada masa depan untuk kemenangan dalam penyelamatan orangutan. Sisi lain ialah, “Ketika kita terus menerus melihat keburukan maka akan menjadi terlihat biasa.” (Andy Warhol). Itulah yang harus dihindari dari teman-teman yang berada di garis depan bahwa kita harus melihat situasi dengan benar dan tidak boleh menyerah dengan kondisi.

Di saat seperti itulah terkadang “kami” berpikir kami berjalan sendiri. Tanpa ada dukungan sama sekali. Namun COP School dan Orangufriends selalu membuat teman-teman yang berada di lapangan kembali bersemangat dan menemukan semangat baru yang luar biasa. Adrenalin itu kembali naik dan mengaliri seluruh pembuluh darah. Melihat masih banyaknya semangat anak-anak muda peduli dengan satwa liar, tentu membuat kami kembali bersemangat dan merasa tidak sendiri.

Terimakasih telah menjadi keluarga besar COP dan membuat semangat kami kembali. Terimakasih teman-teman panitia yang membantu dari awal hingga akhir dan bela-belain datang ke Yogya dengan banyak pengorbanannya. Terimakasih siswa COP School untuk semua semangatnya. (DAN)