DARI SI CENGENG JADI SI PEMBERANI

Arto adalah salah satu bayi orangutan yang berhasil diselamatkan dari masyarakat. Sekarang, si lucu Arto sudah berusia 1,7 tahun, usia yang cukup untuk memulai sekolah hutan. Dengan berat 5 kg, Arto sudah mampu bersaing merebut makanan di atas pohon bersama orangutan lainnya. Kemampuannya berkembang pesat, dari yang dulu suka menangis, kini Arto tumbuh menjadi pemberani. Dia sangat cepat memanjat, bahkan bisa mencapai ketinggian lebih dari 10 meter. Arto juga sangat menikmati berayun-ayun sambil bergulat dengan orangutan yang lebih besar darinya.

Arto termasuk bayi yang mandiri. Ukurannya yang masih mungil tidak menghalanginya untuk terus belajar hal-hal baru, baik di kandang maupun saat di sekolah hutan. Baru-baru ini, Arto terlihat berusaha mencari buah di atas pohon. Pernah suatu hari, saat keeper memberikan sarang rayap, dengan percaya diri dan kelucuannya, Arto mulai mengacak-acak sarang tersebut, mencoba menemukan rayap. Dia bahkan mencoba menghisap sarang itu hingga akhirnya berhasil menemukan rayap yang dicari. Meski awalnya sedikit takut melihat banyaknya rayap yang keluar, rasa takutnya perlahan berubah menjadi penasaran. Walaupun Arto tidak memakan rayap tersebut, keberaniannya patut diapresiasi.

Tingkah lucu lainnya adalah saat keeper harus berpura-pura lemah dihadapannya karena Arto, si bayi pemberani ini, mencoba menunjukkan sisi dominannya. Sepatu boot keeper menjadi sasaran empuk untuk digigit-gigit. Setelah puas dengan sepatu, Arto mulai menarik-narik wearpack keeper, seakan ingin menunjukkan bahwa dia sekarang sudah kuat dan berani. Tingkah laku ini membuat kepercayaan dirinya meningkat, seolah-olah dia ingin menjadi jantan dominan saat itu juga. Arto tidak hanya bersikap demikian kepada keeper, tetapi juga kepada sahabat sejatinya, Harapi. Saat Arto mencoba mengajak Harapi bergulat, Harapi hanya merespon dengan diam dan meletakkan kedua tangannya di depan, sementara Arto tetap gigih menarik-nariknya.

Kemampuan belajar adaptasi Arto terbilang sangat cepat. Harapan terbaik untuk Arto, yaitu agar semua yang dipelajari selama di BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance) dapat menjadi bekal berharga ketika suatu hari nanti dia sudah cukup besar untuk dilepasliarkan kembali ke habitat aslinya. Rasa gemas dan tawa tentu sudah menjadi hal biasa bagi para keeper yang berinteraksi langsung dengannya. Perubahan yang dialami Arto selama hampir setahun di BORA sangat jelas, dari yang dulunya tukang nangis, kini dia telah menjadi Arto si pemberani yang selalu bersemangat pergi ke sekolah hutan. (MUN)

CINTA KEEPER PADA ORANGUTAN DI BORA

Rasa cinta kepada orangutan benar-benar dialami kita, seorang animal keeper. Saya, Fhajrul Karim yang telah menjadi animal keeper selama 11 bulan di BORA, sehari pun tak pernah luput melihat tingkah oranguta yang lucu dan menggemaskan. Respon malu dan pamer terhadap keeper yang disenangi terlihat jelas bagi orangutan yang sudah masuk usia remaja, itulah yang ada pada diri Bonti, Jojo, dan Mary. Lirikan mata dan ekspresi mereka setiap berjumpa tak bisa terlupakan.

Bonti yang di saat senang selalu memamerkan kemampuan memanjat dan bergulatnya, baik itu ketika di kandang maupun di saat sekolah hutan. Lalu ada Mary yang senang sekali menunjukkan kemampuan menumpuk-numpuk daun untuk membuat sarang terbaiknya kepada keeper. Sedangkan Jojo lebih cenderung memamerkan kemampuannya melilit akar dengan simpul, sering ditunjukkannya. Terkadang Jojo juga memperlihatkan kemampuannya menggunakan alat untuk mendapatkan perhatian keeper. Tentu saja interaksi ketiga orangutan ini berhasil membuat para keeper merasa sayang terhadap mereka bertiga.

Melihat orangutan berhasil meningkatkan kemampuan serta pengetahuan alaminya merupakan suatu kebanggan besar bagi keeper. Sama halnya seperti orangtua melihat anaknya tumbuh besar menjadi sosok yang mandiri di kehidupannya. Kebanggan yang dirasakan orangtua tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan keeper setiap melihat orangutan tersayangnya.

Topik bercerita membanggakan adanya peningkatan kemampuan orangutan di kandang dan di sekolah hutan sering dilontarkan ketika selesai bekerja. Tidak hanya itu saja, rasa ingin mengetahui kabar orangutan di saat libur kerja pun menjadi hal yang ditunggu-tunggu oleh keeper untuk didengar. Rasa cinta inilah yang menjadi penyemangat keeper tetap terus menjalankan rutinitas di pusat rehabilitasi BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance). Harapan keeper ingin melihat Bonti, Jojo, dan Mary merasakan kembali atmosfer hutan yaitu tempat habitat yang tepat ketika rilis nanti. (JUN)

BABY HOUSE BORA NAIK ATAP

Setelah tertunda dua bulan, akhirnya atap baby house orangutan di BORA naik. Kini pembangunan sudah mencapai 70% dan ditargetkan akhir bulan September 2024 sudah selesai. “Pembangunan ini cukup lambat karena cuaca yang tidak bersahabat. Pagi hari hujan dan di siang hari terik, namun para pekerja bangunan sudah tidak masuk dari pagi untuk menghindari nganggur dan menunggu hujan berhenti yang tidak tahu kapan berhentinya”, jelas Arif Hadiwijaya, manajer pengembangan COP.

Ruangan besar untuk bayi-bayi orangutan nantinya akan dilengkapi berbagai perlengkapan arena bermain orangutan. Ruangan dirancang agar cukup sinar matahari dan memudahkan ruangan dibersihkan. Nantinya ruangan akan akan digunakan beberapa orangutan untuk beraktivitas dan tidur. Cuaca hujan tidak menjadai halangan bayi-bayi ini untuk bermain. Tidak seperti saat ini, ketika hujan turun, bayi orangutan akan berada di dalam kandang saja.

Selain ruangan bersama itu akan ada dua buah kandang di luar. Yang satu akan digunakan saat ruangan besar dibersihkan, dan orangutan bisa bermain di kandang luar. Sementara kandang luar satunya bisa dibuka pintu penghubungnya agar bayi orangutan bisa memiliki ruang gerak yang lebih luas lagi. Dapur untuk bayi, ruangan cuci, ruangan ganti pakaian baby sitter, dan kamar mandi adalah ruangan yang menempel dengan ruangan bersama tadi. Semoga bayi-bayi orangutan di BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance) mendapatkan kesempatan terbaik untuk melewati masa kecil yang lebih baik. (RIF)

PELATIHAN CPR UNTUK ORANGUTAN HENTI JANTUNG DAN NAFAS

Langkah pertama atau pertolongan pertama gawat darurat yang dapat diterapkan pada orangutan yang mengalami henti jantung dan nafas mendadak sama persis pada manusia adalah CPR (Cardio Pulmonary Resuscitation) atau Resusitasi Jantung Paru. Kedatangan Dr. Lily Pakinson, DVM, Dipl. ACZM, Cert Aq V, Dip. ACVECC yang merupakan dokter hewan dari Brookfield Zoo Chicago berbagi pengetahuan di bidang Emergency and Clinical Care dengan tim medis BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance).

Prosedur, resiko, dan cara melakukan Resusitasi Jantung Paru menjadi hal yang paling menarik buat Miftachul Hanifah, paramedis BORA. “Demonstrasi CPR yang kami lakukan dapat memberi gambaran secara nyata apabila terdapat orangutan yang henti jantung. Situasi dan tekanan saat demonstrasi CPR sangat terasa”, ujar Miftachul.

CPR membutuhkan banyak orang untuk melakukannya dan tingkat keberhasilannya 6-10% apabila dilakukan di luar ruang operasi dan dapat mencapai 40% apabila dilakukan di ruang operasi dengan alat yang terpasang antara lain pasien monitor, endotracheal tube, dan iv chateter. Melakukan CPR dapat menyelamatkan nyawa individu orangutan meskipun tingkat keberhasilannya kurang dari 50% dan resiko terjadinya patah tulang rusuk yang tinggi.

Ketepatan melakukan CPR sangat menentukan keberhasilan penyelamatan nyawa pada kasus henti jantung dan nafas. Wajib melakukan yang terbaik dan dibutuhkan latihan secara berkala untuk menjaga keterampilan ini. Disiplin saja tidak cukup, ketenangan dalam menganalisis dan memutuskan akan menjadikan hasil yang terbaik. Tetap semangat tim medis COP, terus belajar dan berkembang! (TAT)

ORANGUTAN RUBY, SI PEMBUAT SARANG YANG HANDAL

Orangutan Ruby harus mendapatkan tindakan medis pada matanya pada bulan Mei 2024 yang lalu. Lokasi sekolah hutan di BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance) pun menjadi tempat baru baginya untuk mengasah insting alaminya, walau tidak sebaik sekolah hutan sebelumnya di KHDTK Labanan.

Tim APE Defender pun memulai sekolah hutan pertama Ruby dengan hati-hati, menganalisa perilaku dan responnya terhadap manusia. Di luar dugaan, Ruby sudah memanjat pohon hingga ketinggian 20 meter. Langkahnya yang besar dan gegabah menjadikan hari pertamanya sekolah hutan bersejarah, bagaimana tidak, ia jatuh dari ketinggian hampir 18 meter. “Kami sudah siap membawanya ke klinik untuk mengecek kondisinya, namun Ruby lanjut memanjat lagi seolah-olah tidak pernah ada yang terjadi. Sejak saat itu, Ruby selalu kami awasi lebih cermat karena sampai tulisan ini dibuat, gerakannya masih kasar dan gegabah”, ujar Nurazizah, animal keeper BORA.

Jika animal keeper ditanya, siapakah orangutan yang mengikuti sekolah hutan dengan penanganan tingkat kesulitan tinggi di BORA, maka semuanya seragam menjawab orangutan Ruby. Dua bulan di BORA, cukup buat animal keeper selalu ketar-ketir ketika bertugas membawanya sekolah hutan. Sarang-sarang yang dibuatnya terbilang besar dan kuat. Di atas pohon sejenis ficus, pada ketinggian 20 meter, Ruby membangun sarang pertamanya. Sarang itu juga ia pamerkan pada orangutan lain yang lebih muda darinya ketika mendapatkan jadwal yang sama di sekolah hutan. Eboni dan Mabel pun menjadi pengikutnya, mencoba-coba menumpuk dedaunan dan cabang-cabang pohon kecil. “Luar biasa proses sekolah hutan orangutan di BORA. Ruby pun akan menjadi siswa sekolah hutan yang paling terlambat kembali ke kandang saat sekolah hutan usai. Tak tanggung-tanggung, terlambat 40 menit”, tambah Nurazizah lagi.

Ruby masih butuh banyak pembiasaan agar bisa dilepasliarkan kembali ke habitatnya. Sembari terus melatih otot-otonya, para animal keeper juga bersyukur karena Ruby, orangutan kecil lainnya ikut belajar hal baru. Harapan dan doa semoga proses itu berjalan dengan lancar. (RAR)

TAK ADA LAGI KALUNG RANTAI DI LEHER ORANGUTAN RUBY

Berat tubuhnya tak lebih dari 12,5 kg. Untuk orangutan seusianya, itu hanyalah separuh dari angka seharusnya. Ruby, orangutan betina berusia lebih 8 tahun ini hanya diberikan pakan ketika ingat saja. Luka yang menghiasi lingkar lehernya adalah akibat ikatan rantai besi yang telah bertahun-tahun membelenggu nya. Gerakan terbatas dan pakan ‘seingatnya’ saja membuat tubuhnya kecil kurus dalam kondisi malnutrisi.

Bersama Ochre, anak orangutan berumur 3-4 tahun yang beratnya sama seperti Ruby akan menjalani masa karantina di BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance) Berau, Kalimantan Timur. Ruby mendapatkan pengobatan, perbaikan nutrisi dan cinta kasih. Sewaktu datang Ruby memiliki beberapa luka pustula pada folikel rambut area punggung tangan dan punggung kaki. Pengobatan dilakukan dengan membersihkan luka setiap hari kemudian diberikan salep luka yang mengandung antibakteri, antifungal, dan antiradang. Sebulan lebih pengobatannya, tapi belum banyak menghasilkan perubahan, pastula dan folikel rambut masih sering muncul dan area alopesia terkadang masih tampak merah. Tim medis mengevaluasi dan melakukan perubahan obat. Hasilnya setelah sepuluh hari Ruby sembuh, ditandai tumbuhnya rambut yang sehat di area alopesia. Dua bulan pengobatan luka Ruby jauh lebih baik baik secara fisik maupun mental dibandingkan awal masuk BORA.

Ruby, bersinar dan terus berkembang. Nafsu makannya sangat bagus, bahkan hampir tak pernah menyisakan makanan yang diberikan, semua makanan yang diberikan animal keeper akan habis tanpa sisa. Sistem pencernaannya pun bagus tanpa ada gejala diare. Ruby membawa semangat menuju kebaikan yang luar biasa untuk tim medis maupun animal keeper. Semoga suatu saat nanti, Ruby mendapatkan kesempatan untuk kembali ke habitatnya. (OKY)

TALIYAN, ORANGUTAN TAHUN BARU

Tepat tanggal 1 Januari 2024, tim BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance) dikejutkan dengan kasus orangutan dengan luka parah dan merupakan kasus luka terparah pertama yang ditangani tim medis BORA. Orangutan Taliyan merupakan orangutan liar jantan dewasa dengan berat badan 65 kg yang diselamatkan di daerah Bangalon. Luka robek pada bibir atas yang cukup serius dan luka pada cheekpad kiri (bantalan pipi) orangutan ini cukup dalam dan lebar.

Taliyan pun menjalani dua kali operasi penanganan luka. 4 Januari, dua hari setibanya di Klinik dan Kandang Karantina BORA dan pada 9 Januari. Bibir Taliyan yang telah dijahit rapi dengan harapan otot-otot bibir akan sembuh dan saling terambung satu sama lain, dilepas sempurna secara paksa olehnya setelah sadar dari keadaan terbius. Kondisi ini tidak membuat putus ada tim medis BORA. Tim akhirnya secara berkala mengobati luka dan memastikan kebersihan luka serta memastikan kondisi luka pada 19 Januari sekaligus mengambil sampel darah dan dahak untuk pemeriksaan lanjutan.

Kondisi luka membaik dengan cepat seiring pakan yang diberikan tim BORA. Luka mengering dan menutup dengan baik. Luka-luka di tubuhnya yang lain pun sembuh. Hasil pemeriksaan kesehatannya pun sudah keluar dan dinyatakan tidak mengidap penyakit serius maupun menular. Taliyan menantikan kesempatan dilepasliarkan kembali ke habitatnya. “Mengobati orangutan liar dan agresif sangat tidak mudah”, ujar drh Theresia Tineti dengan prihatin. (TER)

POPI BIKIN KESAL ANIMAL KEEPER

Lincahnya dia ketika di sekolah hutan adalah perkembangan yang sangat mencolok dari orangutan Popi. Popi yang dulunya sangat manja dan selalu ingin dekat dengan manusia khususnya animal keeper nya sering membuat animal keeper kesal. Bahkan untuk memaksanya naik ke atas pohon, animal keeper yang bertugas menjaganya harus menakutinya dengan duri rotan. Kalau sekarang?

Popi akan menjelajah sekolah hutan. Dia sudah hafal daerah mana yang penuh makanan. Dia akan terus berada di atas pohon hingga makanan yang dia temukan habis. Berpindah untuk menikmati makanan yang lain. Sesekali berhenti makan dan mengamati orangutan yang lain, mungkin saja orangutan lain menemukan makanan lain. Apa saja makanan yang ditemukannya?

“Popi biasanya di atas pohon yang tinggi itu untuk menikmati bunga dan buah yang ada di situ. Kalau di atas itu, bisa seharian”, jelas Freniyus, animal keeper yang bertanggung jawab menjaga Popi. Fren sangat menyukai Popi, Popi yang manja tapi juga sangat aktif kalau di sekolah hutan. “Manja-nya itu ketika kita membawa Popi keluar dari kandang, Popi pasti memelukku dengan erat. Mana dia sudah besar, dan cengkramannya itu kuat dan badannya juga sudah berat tidak kayak dulu”, tambahnya.

Popi juga terlihat memakan kulit kayu, kulit akar gantung, dan daun muda yang ada di sekolah hutan. “Hingga saat ini kami masih mencoba mengidentifikasi pakan alami tersebut”, jelas Raffi Akbar, biologist COP. Popi juga cukup membuat kesal Fren dan animal keeper lainnya. Tingkahnya lucu seperti ketika Popi dipanggil untuk kembali ke kandang sebagai penanda waktu sekolah hutan sudah berakhir, Popi mengulurkan tangannya seolah-olah minta digandeng bahkan minta digendong, tapi setelah kita akan memegang tangannya, dia pun mengangkat tangannya ke atas dan menjauh dari kita. Selanjutnya dia menganggu orangutan lainnya dan mengajak orangutan lain menjauh dari kami”, cerita Fren lagi.

Popi akan terus tumbuh dan berkembang. Popi memasuki tahun ketujuhnya di BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance), si manja yang akan meraih kesempatannya untuk kembali ke habitatnya. Ya, waktu itu akan terus semakin dekat. (YAU)

BORA BUTUH RELAWAN SEBAGAI ANIMAL KEEPER

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Bornean Orangutan Rescue Alliance (BORA) yang berada di Berau, Kalimantan Timur membutuhkan Orangufriends khususnya alumni COP School untuk menjadi relawan. Beberapa animal keeper yang biasanya bertugas akan menggunakan hak cuti nya untuk merayakan hari Natal. Tertarik? Kirim cv dan surat lamaran paling lambat tanggal 10 Desember 2023 ini, ke email info@orangutanprotection.com

Kesempatan ini sangat terbatas! Pastinya kamu harus lulus tes kesehatan seperti bebas Hepatitis, Herpes, Tb, HIV/AIDS, dan lainnya yang akan dijelaskan saat wawancara. Sekilas tentang BORA, harus siap hidup tanpa sinyal internet maupun telepon, keterbatasan listrik dan kondisi air yang tidak jernih. Selamat mencoba.

BONTI KEMBALI HADIR DI SEKOLAH HUTAN

Ada tiga orangutan betina yang terkenal sebagai orangutan yang jahil di Bornean Orangutan Rescue Alliance (BORA). Ketiganya berada dalam satu kandang. Mereka adalah Jojo, Mary, dan Bonti. Sebuah cerita yang berbeda dari orangutan yang bernama Bonti. Waktu itu, ketika Bonti tidak lagi menjadi siswa sekolah hutan karena sering membuat para keeper menginap akibat Bonti keasyikan bermain di hutan.

Perubahan sikap dari orangutan Bonti yang awalnya takut untuk bermain bersama, hanya mau mendekat saat dikasih makanan, berubah menjadi manja. Bonti menunjukkan perilaku ingin dipeluk sambil menyuarakan suara manja. Tapi perilaku Bonti yang ingin dipeluk, ternyata hanya sebagai alasan untuk Bonti mendapatkan buah yang mungkin dibawa keeper di kantong wearpack. Dan jika diperiksa ternyata tidak ada buah, Bonti tetap ingin dipeluk sambil bersuara merengek minta diberikan buah. Sejak saat itu, setiap harinya, sebelum dan sesudah feeding menjadi terbiasa minta dipeluk.

Kini, Bonti kembali menjadi siswa sekolah hutan. Bonti menjadi orangutan yang liar ketika berada di sekolah hutan. Bonti asyik bermain di pohon tinggi dan berpindah-pindah dengan cepat dan semakin jauh dari titik awal sekolah hutan. Dipanggil pun tak lagi dihiraukannya. “Syukurlah… lama di kandang tak mengurung keliarannya. Ini adalah hal baik untuk perkembangan perilaku Bonti. Semoga Bonti dapat belajar banyak hal di sekolah hutan dan dapat segera menjadi kandidat pelepasliaran orangutan”, ujar Jevri, animal keeper terlama di BORA penuh harap. Menjadi animal keeper Bonti memang sangat menantang dan harus siap jika dia ingin bermalam di hutan. (JEV)