Pada Februari 2020 silam, pemerintah Cina secara resmi melarang impor satwa liar sekaligus mengeluarkan peraturan yang melarang warganya mengkonsumsi satwa liar. Awalnya, diyakini secara luas bahwa COVID-19 kemungkinan besar berasal dari pasar hewan di Wuhan, hal ini didukung dengan survei bahwa mayoritas orang di Cina rela menyerahkan satwa liar sebagai makanan. Walaupun aturan ini sifatnya sementara, beberapa ahli menganjurkan agar pelarangan itu bersifat permanen. Ini memang sesuatu yang dilematis, ketika mengkonsumsi satwa liar sudah menjadi budaya. Karena negara gingseng ini, memperdagangkan satwa liar dan mengkonsumsinya dapat menjadi gengsi.
Jika melihat daftar satwa yang dikonsumsi tersebut, sebagian merupakan binatang langka yang statusnya dilindungi. Makanya perdagangan satwa belakangan ini mengakitbatkan satwa tertentu masuk List Merah IUCN. Beberapa di antaranya akibat masif diperdagangkan sehingga berstatus kritis, di ambang punah di alam aslinya. Berdasarkan hasil pantauan terakhir IUCN, populasi satwa ini menurun hingga 80 persen dalam 21 tahun terakhir.
Di Indonesia, masih banyak masyarakat yang gemar memelihara satwa liar dengan dalih hobi. Satwa-satwa liar itu diburu dan diperdagangkan baik secara individu maupun kelompok. Maraknya perdagangan dan penyeludupan satwa secara ilegal ditimbulkan oleh permintaan pasar yang dipicu oleh pola konsumsi, gaya hidup dan sikap hedonistik manusia yang selalu ingin mencari hal baru.
Pasar burung merupakan salah satu contoh aktivitas perdagangan satwa secara terbuka yang ada di Indonesia. Di tempat ini spesies satwa dan tumbuhan diperjualbelikan secara langsung kepada para pembeli. Pasar ini dapat ditemukan di kota-kota besar hingga menyebar ke daerah-daerah pelosok. Pasar ini dapat ditemukan di kota-kota besar hingga menyebar ke daerah -daerah pelosok. Hampir sebagian para penghobi satwa pergi ke pasar burung untuk mendapatkan satwa yang diinginkan. Di Jakarta terdapat salah satu pasar burung yang berdiri sejak tahun 1975. Di pasar ini dapat ditemukan burung lokal seperti Perkutut Jawa, Cucakrawa, Prenjak, Kepondang kuning, Nuri Irian, Dara, Merpati, Beo dan Kenari.
Jika masuk lebih ke dalam pasar, kita akan dikejutkan karena pasar burung ini ternyata tidak semata menjual burung, akan tetapi juga menjual berbagai jenis satwa liar lainnya termasuk primata. Tak hanya itu, kondisi kandang satwa yang diperjualbelikan sangat jauh dari kata layak. Beberapa satwa hanya ditaruh pada kandang kecil dan ditumpuk bersusun dengan kandang-kandang yang lain. Berbagai macam satwa berjajar tan jarak dan tak sedikit yang berbagi kotoran dengan satwa lainnya. Dengan kondisi yang sangat memprihatinkan ini, tak heran jika satu per satu satwa akan mati dengan sendirinya. Karena tidak semua satwa mampu bertahan dan jika merupakan satwa hasil tangkapan liar, akan lebih beresiko kematian. Hal ini patut dijadikan perhatian khusus, dimana tempat jual beli satwa tersebut bisa jadi potensi penyebaran virus yang berbahaya. Beberapa studi yang dilakukan para peneliti diyakini, bahwa satwa buruan yang diperjualbelikan dapat membawa berbagai macam virus pathogen. Perdagangan satwa liar dan pasar hewan hidup merupakan kecelakaan pandemi yang menunggu untuk terjadi.
Satu tahun lebih pandemik berjalan, semakin ke sini orang-orang makin melupakan kemungkinan kaitan COVID-19 dengan satwa liar dan hampir tidak ada lagi yang membicarakannya. Ketakutan tertular virus karena satwa liar pada tahun lalu tidak ada lagi. Di sisi lain pasar perdagangan satwa liar malah makin marak di masa pandemi. Orang tampak tidak kawatir lagi memelihara bahkan mengkonsumsi satwa liar.
Indonesia merupakan salah satu pemasok satwa liar yang diperdagangkan. Pada 2017, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat pendapatan dari perdagangan itu mencapai Rp 8,7 M. Sebagian dari perdagangan itu sudah berasal dari penangkaran. namun permintaan pasar yang masif dan tidak mudahnya menangkar satwa liar mengakibatkan perburuan liar yang tidak mudah dikendalikan. Banyak satwa tersebut diburu dan diperdagangkan secara ilegal. (SAT)