GUSI BERUANG MADU FICO INFEKSI KARENA TARING YANG DIPOTONG

Gigi taringnya pernah dipotong. Gigi tersebut sekarang pecah dan gusinya radang. Fico, beruang madu  (Helarctos malayanus) yang dievakuasi dari Waterpark Sumerkar (WPS) Sumenep terlihat selalu menggaruk moncongnya. Dia tampak tak nyaman dengan mulutnya. Infeksi sudah menjalar, semua berawal dari gigi taring yang dipotong. 

Jumat pagi, tim medis Wildlife Rescue Center (WRC) Jogja dan Gembiraloka Zoo melakukan pemeriksaan kesehatan menyeluruh pada satwa yang baru saja dievakuasi dari pulau Madura. Pemeriksaan ini akan menjadi dasar keduanya diterbangkan kembali ke habitatnya yaitu pulau Kalimantan. Pemeriksaan yang memakan waktu 3 jam ini meninggalkan kesedihan yang luar biasa. Penderitaan Fico tergambar dari hasil pemeriksaan fisiknya.

Menurut informasi, Fico sudah di WPS sejak 2017. Ada dua beruang madu saat itu dan ditempakan dalam satu kandang. Keduanya sering berkelahi. Tidak diketahui keberadaan beruang madu yang satunya. Sejak bulan Desember 2021, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memutuskan untuk menarik seluruh satwa dilindungi yang berada di Waterpark Sumerkar ini. Untuk satwa Orangutan dan Beruang Madu akan menjadi tanggung jawab BKSDA Kaltim. Centre for Orangutan Protection sebagai mitra siap membantu dari proses evakuasi hingga rehabilitasi orangutan. Sementara beruang madu rencananya akan masuk ke BOSF. 

Evakuasi, pemeriksaan kesehatan, biaya kargo dan rehabilitasi hingga pelepasliaran adalah tahapan-tahapan yang berbiaya tinggi sebuah konservasi. “COP menghimbau siapapun untuk lebih bijak dalam memutuskan satwa peliharaannya sekalipun itu rencana menjadi Lembaga Konservasi. Agar tidak ada Fico lagi yang harus menderita karena untuk memudahkan pemeliharaan maka dilakukanlah pemotongan gigi taring. Ini sangat memprihatinkan”, tegas Satria Wardhana, kapten APE Warrior COP yang memimpin evakuasi kedua satwa dilindungi Indonesia. Hingga saat ini, tim medis belum memutuskan akan melakukan tindakan apa. Rencananya, gigi taring beruang Fico akan dicabut.

MENJEMPUT ORANGUTAN DI SUMENEP (3)

Setiap satu jam sekali, tim berhenti di rest area. Mengecek kondisi satwa adalah SOP (Standar Operasional Prosedur) Centre for Orangutan Protection saat membawa satwa. Tim pun memanfaatkan waktu tersebut untuk istirahat sejenak atau sekedar ke toilet. “Sepertinya makanan yang ada di dalam kandang angkut telah habis. Panasnya matahari juga dikawatirkan membuat satwa dehidrasi. Tim membeli madu dan memberikan keduanya dengan bantuan ranting. Sepertinya kita harus melewati waktu sarapan kita”, kata Satria Wardhana, kapten APE Warrior. Tatapan orangutan Jodet adalah hiburan satu-satunya. Semangat untuk sampai tujuan.

Gerimis menyambut tim APE Warrior di WRC Jogja. Usai tarik nafas dan mengumpulkan nyawa (istilah bagi yang baru saja bangun tidur), tim bersiap untuk memindahkan orangutan dan beruang madu yang berada di kandang angkut ke kandang karantina. Seminggu ke depan, keduanya akan menjalani masa karantina. Selama masa ini, orangutan maupun beruang akan diamati perilaku dan pola makannya. Selanjutnya pemeriksaan kesehatan umum dan beberapa kebutuhan lainnya sebagai persyaratan penerbangan. 

Untungnya, relawan orangutan (Orangufriends) Yogya sudah siap membantu. Tenaga yang tersisa berganti dengan tenaga relawan yang baru. Kandang angkut kosong saja memiliki berat 25-35 kg. Belum ketambahan beratnya beruang madu Fico sekitar 60 kg. Alhasil setiap 50 meter menuju kandang karantina, Orangufriends dan perawat satwa WRC berhenti untuk mengumpulkan kekuatan. Gerimis semakin membuat licin jalan juga, tapi semuanya terbalas ketika pintu kandang angkut dibuka.

Beruang madu butuh waktu sesaat untuk keluar dari kandang angkut. Tetesan hujan deras membuatnya langsung aktif. Beruang mulai mengeksplor kandang barunya. Menjulurkan lidahnya seolah-olah mengapai tetesan air hujan. Tak jauh berbeda dengan orangutan Jodet. Jodet langsung keluar dari kandang dan… langsung memanjat jeruji kandang. Bergelantungan di hammock, berkeliling dan memandang orang-orang yang berada di sekitarnya. Jodet juga mencoba ban mobil bekas yang menjadi enrichment kandang. Dengan mulut terbuka, dia memainkan, mengangkat ban dan menggulingkan ban tersebut. 

Rehabilitasi Jodet bukanlah hal yang mudah. Tapi Centre for Orangutan Protection tetap optimis. Kesempatan kedua untuk bisa liar dan kembali ke habitatnya adalah yang terbaik untuk satwa liar yang tak beruntung. Jalan itu masih panjang, minggu depan masih harus MCU (Medical Check Up) dan menunggu hasilnya sekitar dua minggu setelahnya. Jika bagus, Orangutan Jodet akan melalui perjalanan udara yang panjang lagi. Yogyakarta ke Jakarta dan lanjut ke Tarakan. Dari Tarakan akan melalui jalur laut dan dilanjut jalur darat sekitar 2 jam. Masuk kandang karantina di Bornean Orangutan Rescue Alliance yang baru. Jika lolos tahapan itu, tiga bulan kemudian baru Jodet bisa mengikuti sekolah hutan. 

MENJEMPUT ORANGUTAN DI SUMENEP (2)

Sejak tahun 2013, orangutan jantan ini telah dipelihara di WPS Sumenep. Sementara beruang madu yang ikut dievakuasi tim APE Warrior terlah menghuni waterpark yang ada di Sumenep, pulau Madura ini sejak tahun 2017. Keduanya rencananya akan diterbangkan kembali ke tempat asalnya, yaitu Kalimantan Timur. Orangutan akan masuk ke pusat rehabilitasi BORA sementara beruang madu akan ke BOSF.

Berat badan beruang madu yang luar biasa berat sempat membuat tim kewalahan. Belum lagi saat dimasukkan ke dalam kandang transport. Proses yang akan dijalani beruang madu tersebut pastinya sulit. Nyaris 90% pelepasliaran beruang jantan yang dipelihara manusia akan berakhir pada kematian. Sekali lagi, jangan pelihara beruang madu! Apapun itu alasannya. Lucu saat kecil, semakin besar hanya ada teror. 

Selanjutnya tim APE Warrior COP dan BKSDA Kaltim SKW 1 Berau menuju Wildlife Rescue Center (WRC) Jogja. Sebuah Pusat Penyelamatan Satwa yang dikelola orang-orang berdedikasi tinggi untuk satwa liar. Perawat satwa di sini sudah belasan tahun mengabdi. Sayang, Oktober 2022 nanti akan berakhir. Kembali tim mengendarai mobil pick up berisi dua kandang dan didamping tiga mobil lainnya bersama para relawan orangutan yang tergabung di Orangufriends. Menerjang gelapnya malam dan sunyinya jalanan pulau Madura dari sisi utara. Tim beristirahat sejenak di Bangkalan. Relawan lainnya menjamu tim dengan makanan dan minuman hangat. Perjalanan masih panjang.

Orangutan dan beruang sudah dalam kondisi yang lebih tenang. Tidak seperti baru dimasukkan ke dalam kandang. Keduanya sepertinya tidak sedang ingin tidur. Tim mencoba memberikan sebotol air, mungkin bisa melepas sedikit dahaga. Kantuk mulai menyerang, pergantian pengemudi tak terhindari lagi. Tim melalui jembatan Suramadu, indahnya konstruksi menghibur yang terjaga, untuk yang lelah tentu saja sudah nyenyak dalam tidurnya. Tim mampir ke BBKSDA JawaTimur. Mohon ijin dan melanjutkan perjalanan lewat tol ke Yogyakarta. 

MENJEMPUT ORANGUTAN DI SUMENEP (1)

Jadwal telah disusun. Seminggu sebelumnya informasi mengejutkan datang dari keberadaan orangutan ilegal di pulau Madura, Jawa Timur. Orangutan remaja ini berada di dalam sebuah gua buatan. Nyaris tak tersentuh cahaya matahari, berlantai tanah tanpa ornamen dan tanpa tempat bergelantungan untuknya. Bahkan setetes airpun tak terlihat. Rambutnya penuh dengan tanah kering.

Jodet… begitulah perawat satwa memanggilnya. Jodet terlihat jinak. Kata perawatnya, Jodet dipelihara sejak kecil sekali, usianya mungkin baru satu tahun. Minumnya di botol susu. Persis kayak bayi itu. 

Tim APE Warrior bersama BKSDA Kaltim SKW 1 Berau  pada tanggal 1 Maret dini hari menjemput orangutan tersebut. Tak disangka, banjir sebelum Sampang membuat perjalanan tim terhambat. Yogyakarta-Sumenep ditempuh dalam waktu 15 jam. “Perjalanan yang melelahkan”, ujar Zain, relawan COP yang ikut membantu evakuasi. 

Di tengah gelapnya malam dan matinya listrik di Waterpark Sumerkat (WSP) Sumenep, tim mempersiapkan evakuasi. Tim medis yang dipimpin dokter hewan Tom dari WRC Jogja dibantu Tetri mahasiswa kedokteran hewan UNAIR yang sedang koas mempersiapkan bius untuk orangutan. Proses bius berjalan dengan cepat, pemeriksaan kesehatan dasar pun dilakukan. Orangutan jantan remaja ini terlalu kurus untuk usianya. 

DUNIA MAYA YANG SEMAKIN NYATA DARI APE WARRIOR 2021

Media Sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram dan Youtube memiliki peran besar dalam membangun pasar perdagangan satwa liar ilegal. Pemeliharaan satwa liar dilindungi yang sebelumnya hanya dilakukan oleh kalangan tertentu saja, kini sudah merambah ke masyarakat biasa terutama anak-anak muda.

Mereka berkomunikasi dan membangun kelompok maya, menjadikan pemeliharaan sebagai simbol status sosial dan kekuasaan. Di dalam kelompok inilah para pedagang masuk sebagai anggota dan menawarkan dagangannya. Kelompok-kelompok seperti ini semakin tumbuh subur dan kuat dengan membentuk organisasi nyata dan melakukan pertemuan-pertemuan. Sementara itu, para pedagangnya tetap bersembunyi dengan akun-akun. 

Media Sosial juga berperan menggalang kesadaran publik. Unggahan dibalas dengan kritik bahkan pelaporan yang tak lagi dianggap angin lalu oleh pihak terkait. Call center KLHK bekerja hampir 24 jam menerima laporan kepemilikan ilegal sampai ke perdagangan satwa liar dilindungi tersebut. Usaha penyadartahuan juga semakin gencar dan melibatkan public figure baik itu secara pribadi hingga komersil.

Begitulah pandemi COVID-19 mempertipis perbedaan dunia maya dan nyata. Kedewasaan bersosial media dan melihat persoalan menjadi keputusan setiap pribadi. Tergelincir saat berkata-kata dapat berakhir di balik jeruji dengan pasal pencemaran nama baik. “Centre for Orangutan Protection semakin berhati-hati mengingat beberapa kegiatannya pernah disusupi prinsip yang tidak sejalan. Seiring waktu, penyusup mundur. Inilah COP yang lahir mewakili suara satwa yang sulit dimengerti, bahwa satwa adalah makhluk hidup yang memiliki hak yang sama dengan manusia. Hidup.”, tegas Daniek Hendarto, direktur COP. (SAT)

PEDAGANG RAPTOR DIVONIS 6 BULAN

Sidang kasus perdagangan satwa liar di Lampung sampai pada putusan yang menyatakan terdakwa Muhammad Effendi telah terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana dengan sengaja menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa dilindungi dalam keadaan hidup. 

Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Karang, Lampung pada hari Kamis, 23 Desember 2021 menjatuhkan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Vonis yang masih cukup jauh dari hukuman maksimal. Dimana berdasarkan Pasal 21 ayat (2) dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ancaman hukuman bagi pedagang satwa liar dilindungi adalah 5 tahun penjara dan denda Rp 100.000.000,00.

Masih ingatkah, operasi bersama Tipidter Polda Lampung, COP dan JAAN pada Jumat 3 September pukul 22.04 WIB dimana telah diamankan empat (4) satwa liar dilindungi yaitu satu Elang Bondol (Haliastur indus) dan tiga Elang Brontok (Nisaetus Cirrhatus). Keempat elang langsung dipindahkan ke fasilitas karantina BKSDA yang berada di Kalianda, lampung Selatan setelah dilakukan berita acara penyerahan oleh Polda ke BKSDA Seksi III Lampung.

Berkaca pada vonis ini, terlihat jelas keuntungan pelaku lebih besar daripada resiko yang diterimanya. Tak sedikit pula para pelaku yang mengetahui bahwa tindakan mereka melanggar hukum. Meski telah dilakukan penegakkan hukum, para pelaku tetap menjalankan bisnis ilegal ini. Faktor keserakahan dan permintaan pasar yang besar juga membuat perburuan marak dilakukan, karena semakin langka nilai satwa semakin banyak juga uang yang didapatkan.

Upaya hukum untuk memberantas  perdagangan satwa liar harus dilakukan melalui preventif dan represif. Artinya, faktor pencegahan dengan melindungi satwa di kawasan prioritas harus benar-benar dilakukan. Sedangkan di sisi penegakan hukumnya harus tegas sebagaimana memberantas peredaran narkoba atau senjata api. Perdagangan satwa ini sangat sistematis, terorganisir dan skala bisa nasional bahkan internasional. Untuk peringkatannya juga terbesar setelah narkoba. Oleh karena itu, sudah seharusnya dilakukan upaya yang besar untuk mengangani kasus perdagangan satwa liar dilindungi. (SAT)

ORANGUTAN FEST JOGJA 2021

Sabtu sore menjelang malam, di halaman depan pintu masuk para tamu undangan tampak berswafoto di sebuah bilik yang bergambar orangutan. Memasuki pintu masuk galeri, bisa dijumpai lukisan-lukisan dan pada dinding ruang tengah terdapat ragam foto berjejer menggambarkan kondisi bencana alam yang terjadi di Indonesia. Karya-karya tersebut merupakan rangkaian acara Orangutan Fest dengan tema “Penyelamatan Satwa Pasca Bencana”.

Orangutan Fest adalah acara yang dikoordinir Orangufriends Jogja bersama dengan Royal House Art Space pada tanggal 20 November kemarin. Orangufriends merupakan kelompok relawan Centre for Orangutan Protection, sedangkan Royal House adalah sebuah wadah seni atau galeri seni rupa yang berada di Jalan Gito Gati, Ngaglik, Sleman. “Sayangnya, acara ini tertutup dan terbatas pada undangan perwakilan komunitas yang ada di Yogyakarta”, ujar Satria Wardhana, kapten APE Warrior COP.

Kegiatan ini untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penanganan satwa pada saat kondisi bencana. Owi yang sebagai ketua panitia acara menyampaikan bahwa ada makhluk hidup selain manusia yang juga butuh pertolongan saat bencana alam terjadi. Selain satwa ternak yang menjadi nilai ekonomi masyarakat, satwa peliharaan seperti anjing dan kucing juga banyak yang tidak tertangani karena ditinggalkan pemiliknya mengungsi. Hal inilah yang mendasari tim relawan satwa untuk tergerak melakukan kegiatan di saat bencana terjadi.

Selain pameran foto, acara ini juga diisi pementasan Tari Burung Enggang, diskusi buku “Animal Disaster Relief” dan ditutup dengan pementasan Wayang Orangutan. Panitia juga melakukan live acara melalui akun jejaring sisial instagram COP dan favebook Royal House. Menurut Owi, acara ini menjadi media yang paling tepat saat ini, karena pembatasan keramaian masih diberlakukan di Yogyakarta. Lewat media online acara ini juga diharapkan bisa tersebar secara luas dan dapat menjangkau lebih banyak orang. (SAT)

PERDAGANGAN SATWA LIAR PICU PANDEMI LAINNYA

Pada Februari 2020 silam, pemerintah Cina secara resmi melarang impor satwa liar sekaligus mengeluarkan peraturan yang melarang warganya mengkonsumsi satwa liar. Awalnya, diyakini secara luas bahwa COVID-19 kemungkinan besar berasal dari pasar hewan di Wuhan, hal ini didukung dengan survei bahwa mayoritas orang di Cina rela menyerahkan satwa liar sebagai makanan. Walaupun aturan ini sifatnya sementara, beberapa ahli menganjurkan agar pelarangan itu bersifat permanen. Ini memang sesuatu yang dilematis, ketika mengkonsumsi satwa liar sudah menjadi budaya. Karena negara gingseng ini, memperdagangkan satwa liar dan mengkonsumsinya dapat menjadi gengsi.

Jika melihat daftar satwa yang dikonsumsi tersebut, sebagian merupakan binatang langka yang statusnya dilindungi. Makanya perdagangan satwa belakangan ini mengakitbatkan satwa tertentu masuk List Merah IUCN. Beberapa di antaranya akibat masif diperdagangkan sehingga berstatus kritis, di ambang punah di alam aslinya. Berdasarkan hasil pantauan terakhir IUCN, populasi satwa ini menurun hingga 80 persen dalam 21 tahun terakhir.

Di Indonesia, masih banyak masyarakat yang gemar memelihara satwa liar dengan dalih hobi. Satwa-satwa liar itu diburu dan diperdagangkan baik secara individu maupun kelompok. Maraknya perdagangan dan penyeludupan satwa secara ilegal ditimbulkan oleh permintaan pasar yang dipicu oleh pola konsumsi, gaya hidup dan sikap hedonistik manusia yang selalu ingin mencari hal baru.

Pasar burung merupakan salah satu contoh aktivitas perdagangan satwa secara terbuka yang ada di Indonesia. Di tempat ini spesies satwa dan tumbuhan diperjualbelikan secara langsung kepada para pembeli. Pasar ini dapat ditemukan di kota-kota besar hingga menyebar ke daerah-daerah pelosok. Pasar ini dapat ditemukan di kota-kota besar hingga menyebar ke daerah -daerah pelosok. Hampir sebagian para penghobi satwa pergi ke pasar burung untuk mendapatkan satwa yang diinginkan. Di Jakarta terdapat salah satu pasar burung yang berdiri sejak tahun 1975. Di pasar ini dapat ditemukan burung lokal seperti Perkutut Jawa, Cucakrawa, Prenjak, Kepondang kuning, Nuri Irian, Dara, Merpati, Beo dan Kenari.

Jika masuk lebih ke dalam pasar, kita akan dikejutkan karena pasar burung ini ternyata tidak semata menjual burung, akan tetapi juga menjual berbagai jenis satwa liar lainnya termasuk primata. Tak hanya itu, kondisi kandang satwa yang diperjualbelikan sangat jauh dari kata layak. Beberapa satwa hanya ditaruh pada kandang kecil dan ditumpuk bersusun dengan kandang-kandang yang lain. Berbagai macam satwa berjajar tan jarak dan tak sedikit yang berbagi kotoran dengan satwa lainnya. Dengan kondisi yang sangat memprihatinkan ini, tak heran jika satu per satu satwa akan mati dengan sendirinya. Karena tidak semua satwa mampu bertahan dan jika merupakan satwa hasil tangkapan liar, akan lebih beresiko kematian. Hal ini patut dijadikan perhatian khusus, dimana tempat jual beli satwa tersebut bisa jadi potensi penyebaran virus yang berbahaya. Beberapa studi yang dilakukan para peneliti diyakini, bahwa satwa buruan yang diperjualbelikan dapat membawa berbagai macam virus pathogen. Perdagangan satwa liar dan pasar hewan hidup merupakan kecelakaan pandemi yang menunggu untuk terjadi.

Satu tahun lebih pandemik berjalan, semakin ke sini orang-orang makin melupakan kemungkinan kaitan COVID-19 dengan satwa liar dan hampir tidak ada lagi yang membicarakannya. Ketakutan tertular virus karena satwa liar pada tahun lalu tidak ada lagi. Di sisi lain pasar perdagangan satwa liar malah makin marak di masa pandemi. Orang tampak tidak kawatir lagi memelihara bahkan mengkonsumsi satwa liar.

Indonesia merupakan salah satu pemasok satwa liar yang diperdagangkan. Pada 2017, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat pendapatan dari perdagangan itu mencapai Rp 8,7 M. Sebagian dari perdagangan itu sudah berasal dari penangkaran. namun permintaan pasar yang masif dan tidak mudahnya menangkar satwa liar mengakibatkan perburuan liar yang tidak mudah dikendalikan. Banyak satwa tersebut diburu dan diperdagangkan secara ilegal. (SAT)

MONYET ADALAH SATWA LIAR

Terimakasih Orangufriends, kamu menyelamatkan dua monyet ini dan memberikan kesempatan kedua untuknya hidup lebih baik lagi. Seminggu yang lalu di belakang sebuah restoran tengah sawah di Yogyakarta, kedua monyet ini dikurung dalam kandang kecil beratapkan seng dan terpal bekas banner. Laporan mahasiswi ini ditindak-lanjuti WRC (Wildlife Rescue Center) Jogja dan tim APE Warrior COP.

Selasa pagi, bersama lima Orangufriends (relawan orangutan), tim telah tiba di lokasi. “Namanya juga satwa liar, pasti galak lah. Ya gitu masih aja dipelihara. Kecil sih lucu, tambah besar…”, ujar Satria Wardhana, kapten APE Warrior tanpa meneruskan kalimatnya. Dokter hewan WRC terpaksa melakukan pembiusan untuk mempercepat proses evakuasi. Tepat pukul 13.00 WIB, kedua monyet ekor panjang ini sudah masuk kandang angkut dan siap dibawa ke WRC Jogja.

Kedua monyet itu telah dipelihara selama 3 tahun. Menurut si pemilik, ia mendapatkan satwa ini saat masih bayi dan dibeli dari pedagang satwa yang ada di Yogyakarta. Setelah sekian lama dipelihara, monyetnya semakin besar dan galak. Pemilik sudah kewalahan dan akhirnya kebingungan dan melemparkan persoalan ini ke siapa saja termasuk pecinta satwa. “Hal ini merupakan alasan klasik para pecinta primata sebagai kedok membuang satwa peliharaannya”, kata Satria lagi.

Menjadikan monyet ekor panjang sebagai hewan peliharaan adalah salah satu hal yang salah. Walau dengan lengkapnya perawatan, tersedianya makanan yang cukup bahkan tempat yang nyaman, tidak bisa dijadikan dasar untuk memelihara satwa primata. Primata termasuk satwa liar, sudah sewajarnya mereka hidup bebas dan harapannya kita bisa ikut andil untuk melestarikan nya di alam liar. (SAT)

APE WARRIOR LEPAS-LIARKAN KEMBALI DUA ULAR KE HABITATNYA

Seorang warga menemukan ular dengan panjang 2,8 meter di bawah mobil di daerah jalan Monjali, Sleman, DI. Yogyakarta pada Jumat, 29 Oktober yang lalu. Tim APE Warrior bersama Orangufriends akhirnya membawa ular tersebut ke WRC Jogja untuk diperiksa kesehatannya. Setelah pemeriksaan, ular tersebut diberi vitamin A, D, E dan B dan ditranslokasi di area yang jauh dari pemukiman warga.

Bersama ular ini, tim juga membawa satu ular sanca batik yang sebelumnya juga sempat dititipkan di WRC Jogja untuk mendapat perawatan pada bulan Juli lalu. Ular yang dinamai Jaja ini, sebelumnya merupakan hasil serahan warga di sekitar dusun Gondanglegi, Ngaglik, Sleman. Jaja ditemukan dengan keadaan mulut yang terbuka hingga akhirnya harus menjalani perawatan intensif dan siap untuk dilepasliarkan kembali ke alam.

“Satwa liar muncul di dekat manusia biasanya mengalami sesuatu hal yang tidak biasa. Kalau saat ini musim penghujan, satwa liar seperti ular sering masuk ke pemukiman atau perumahan. Usahakan untuk tidak membunuh! Karena kematian satwa liar yang tidak lazim biasanya akan membuat ketimpangan atau membuat keseimbangan alam terganggu. Segera hubungi tim penyelamat satwa terdekat. Karena penangganan satwa liar tertentu yang mungkin butuh penanganan khusus. Untuk daerah Yogyakarta, tim APE Warrior siap membantu”, ujar Satria Wardhana, kapten APE Warrior COP. (LIA)