Media Sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram dan Youtube memiliki peran besar dalam membangun pasar perdagangan satwa liar ilegal. Pemeliharaan satwa liar dilindungi yang sebelumnya hanya dilakukan oleh kalangan tertentu saja, kini sudah merambah ke masyarakat biasa terutama anak-anak muda.
Mereka berkomunikasi dan membangun kelompok maya, menjadikan pemeliharaan sebagai simbol status sosial dan kekuasaan. Di dalam kelompok inilah para pedagang masuk sebagai anggota dan menawarkan dagangannya. Kelompok-kelompok seperti ini semakin tumbuh subur dan kuat dengan membentuk organisasi nyata dan melakukan pertemuan-pertemuan. Sementara itu, para pedagangnya tetap bersembunyi dengan akun-akun.
Media Sosial juga berperan menggalang kesadaran publik. Unggahan dibalas dengan kritik bahkan pelaporan yang tak lagi dianggap angin lalu oleh pihak terkait. Call center KLHK bekerja hampir 24 jam menerima laporan kepemilikan ilegal sampai ke perdagangan satwa liar dilindungi tersebut. Usaha penyadartahuan juga semakin gencar dan melibatkan public figure baik itu secara pribadi hingga komersil.
Begitulah pandemi COVID-19 mempertipis perbedaan dunia maya dan nyata. Kedewasaan bersosial media dan melihat persoalan menjadi keputusan setiap pribadi. Tergelincir saat berkata-kata dapat berakhir di balik jeruji dengan pasal pencemaran nama baik. “Centre for Orangutan Protection semakin berhati-hati mengingat beberapa kegiatannya pernah disusupi prinsip yang tidak sejalan. Seiring waktu, penyusup mundur. Inilah COP yang lahir mewakili suara satwa yang sulit dimengerti, bahwa satwa adalah makhluk hidup yang memiliki hak yang sama dengan manusia. Hidup.”, tegas Daniek Hendarto, direktur COP. (SAT)