OVAG WADAH CURHAT DOKTER HEWAN (KEBAKARAN HUTAN)

Pusat Rehabilitasi Orangutan COP Borneo yang berada di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur selalu bersemangat jika acara OVAG (Orangutan Veterinary Advisory Group) berlangsung. Acara tahunan ini merupakan acara yang ditunggu-tunggu dokter hewan COP Borneo, karena disinilah mereka bisa curhat (berdiskusi) dengan teman seprofesi. Mulai dari kasus individu orangutan hingga perebutan mendapatkan hadiah obat maupun peralatan. 

OVAG yang berlangsung dari 28 Juli hingga 1 Agustus tahun ini membicarakan kebakaran hutan yang selalu terjadi di musim kering/kemarau terutama di Kalimantan. Kasus pernapasan menjadi kasus tertinggi, tak hanya pada orangutan tetapi pada primata lainnya. Seperti gibbon terdampak kebakaran hutan karena teritorinya yang berkurang ditandai dengan semakin berkurangnya gibbon singing (nyanyian gibbon). 

Penyakit pada saluran pernapasan pada orangutan merupakan penyakit yang kompleks. Beberapa jenis penyakit saling berhubungan dan ketika orangutan mengalami infeksi pada Air sac (air sacculitis), kemungkinan orangutan tersebut menderita sinusitis, bronchiolitis atau pneumonia pun semakin besar. 

Pilihan terakhir dalam menghadapi kasus kebakaran adalah evakuasi, baik evakuasi manusia, satwa dan juga alat. Cara terbaik untuk penanganan kebakaran hutan adalah pencegahan dengan pendampingan masyarakat sekitar. Selain itu mempersiapkan sumur bor untuk memastikan ketersediaan air saat usaha pemadaman kebakaran juga dilakukan. (FLO)

 

MEMO MENIKMATI ENRICHMENT BAMBUNYA DI POJOK KANDANG

Ingat Memo? Memo, orangutan betina yang tak seberuntung orangutan betina lainnya? Memo yang terpaksa menghabiskan hidupnya di kandang karantina karena penyakit hepatitis yang dideritanya. Hepatitis yang diperolehnya karena tertular dari manusia yang memeliharanya dulu.

Minggu ini, Memo mendapat enrichment bambu. Ruas bambu diisi dengan potongan buah-buahan dan jelly untuk menambah serat kebutuhan tubuh Memo. Memo segera naik ke atas kandang seusai mendapatkan bambu bagiannya. Membelah bambu tanpa tenaga dan menemukan makanannya di dalamnya. 

“Hepatitis yang dideritanya menyebabkannya menjadi orangutan yang tak mungkin dilepasliarkan kembali ke habitatnya. Kita memang berbagi 97% DNA yang sama dengan orangutan. Penyakit kita bisa menular ke orangutan, begitu pula sebaliknya. Jangan foto bersama orangutan, karena zoonosis menghantui kita. Jangan pelihara orangutan karena itu melanggar hukum. Biarkan orangutan menjalankan perannya di hutan, sebagai agen penghijauan alami yang pernah ada.”, ujar drh. Rizki Widiyanti, dokter hewan pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo yang berada di Kalimantan Timur.

 

MICHELLE’S SECOND MONTH IN THE ORANGUTAN ISLAND

Since mid-May 2019, Michelle has inhabited a pre-release island which is the final stage of a rehabilitation process at COP Borneo. Michelle survives in semi-wild environments such as by making nests, looking for natural food, and others and this will determine whether she can be released back into her habitat or not.

During the first month Michelle was still adapting to her new environment. She never looked down to the ground, she just moved around with the help of a rope mounted on a tree on the island.

The second month, Michelle began to look down to the ground, usually during the day. She went down to the ground maybe to find food on the old feeding platform. Not finding food there, she immediately returned to the tree quickly. “It looks more like running,” said Steven, an island monitoring staff during June. (

BULAN KEDUA MICHELLE DI PULAU

Sejak pertengahan bulan Mei 2019, Michelle menghuni pulau pra-pelepasliaran yang merupakan tahapan akhir sebuah proses rehabilitasi di COP Borneo. Perkembangannya Michelle bertahan hidup di lingkungan yang semi liar seperti membuat sarang, mencari pakan alami, dan lain-lain akan menjadi penentu, apakah dia bisa dilepasliarkan kembali ke habitatnya atau tidak. 

Sebulan pertama Michelle dipindahkan ke pulau, dia masih beradaptasi dengan lingkungan barunya. Tidak pernah terlihat Michelle turun ke tanah, dia hanya berpindah-pindah tempat dengan bantuan tali yang dipasang di atas pohon di dalam pulau.

Bulan kedua, Michelle mulai terlihat turun ke tanah, biasanya pada siang hari. Dimungkinkan dia turun ke tanah untuk mencari makan di feeding platform yang lama. Tidak mendapati makanan di situ, dia langsung kembali ke atas pohon dengan cepat. “Lebih terlihat seperti berlari.”, kata Steven, staf monitoring pulau selama bulan Juni. (FLO)

MICHELLE AND RAIN IN ORANGUTAN ISLAND

A cold day sometimes makes us hungry. The rain that fell all day on the pre-release island seemed to affect Michelle’s appetite. It’s been more than a month Michelle has survived on this island alone. Human intervention is only in the morning and evening when feeding twice a day. Not as usual, she appears at the feeding place more than one hour later. After eating, she returned to the center of the island, where she usually rested.

Unlike the previous days which were quite hot, today Michelle was very often seen appearing on feeding places to take food. Every time she heard a sharp sound from the patrol team, she would appear peeking out from behind the tree, then then towards the tower looking for more food.

When it’s cold like this, it’s good to fill your stomach to keep warm. They’re just like us! (EBO)

MICHELLE DAN HUJAN DI PULAU ORANGUTAN

Hari yang dingin kadang membuat kita lapar. Hujan yang turun seharian di pulau pra-pelepasliaran sepertinya mempengaruhi nafsu makan Michelle. Sudah sebulan lebih Michelle bertahan di pulau ini sendirian. Campur tangan manusia hanya saat pagi dan sore hari ketika memberi makan dua kali sehari. Tidak seperti biasanya, dia muncul di tempat feeding lebih lambat satu jam. Setelah makan, dia kembali lagi ke tengah pulau, tempat biasanya dia berisitarahat.

Berbeda dengan hari-hari sebelumnya yang cukup panas, hari ini dia sangat sering terlihat muncul di tempat feeding untuk mengambil makanan. Setiap mendengar suara ketinting dari tim patroli, dia akan muncul mengintip dari balik pohon, lalu kemudian menuju menara mencari makanan lagi. 

Dingin-dingin begini enaknya mengisi perut agar tetap hangat ya. Ternyata seperti kita juga ya! (FLO)

 

FIVE YEARS OF COP BORNEO ORANGUTAN RESCUE CENTER

Orangutan Rescue Center program is a joint work between the East Kalimantan Natural Resources Conservation Center and the Dipterokarpa Forest Ecosystem Research and Development Center. Infrastructure development was carried out in stages establish 1 block of quarantine cages, 1 block of socialization cages, 1 block of adult orangutan pens, 1 clinic, 1 employee mess, 1 kitchen, 2 bathrooms / toilets and 1 fruit warehouse. Throughout 2014 to 2019, Borneo COP has accommodated 24 individual orangutans from state confiscations, handed over by communities and victims of conflict.

Forest schools are part of the orangutan rehabilitation program under the age of 5 years. Currently there are 9 orangutans registered in the forest school program. Furthermore, while locations where orangutans are ready to be released needs further evaluation, the Center for Orangutan Protection is building orangutan monitoring posts and operating pre-release islands.

To date, there have been five individual orangutans released after going through the Borneo COP orangutan rehabilitation program. The existence of the Borneo COP also helps the East Kalimantan BKSDA in handling orangutan conflicts and supports the enforcement of wildlife crime in the East Kalimantan region.

Borneo COP also involves the community in providing orangutan feed, helps tourism conscious villages through village ecotourism programs and conducts free village animal treatment by the COP medical team. The strategic location of Borneo COP covering East Kalimantan and North Kalimantan has become an important part of orangutan conservation in a rehabilitation program. Hopefully the Orangutan Rescue Program in East Kalimantan can continue. (EBO)

LIMA TAHUN PUSAT PENYELAMATAN ORANGUTAN COP BORNEO

Program Pusat Penyelamatan Orangutan ini adalah kerja bersama antara Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur dan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Ekosistem Hutan Dipterokarpa. Pembangunan infrastruktur dilakukan secara bertahap hingga menghasilkan 1 blok kandang karantina, 1 blok kandang sosialisasi, 1 blok kandang orangutan dewasa, 1 klinik, 1 mess karyawan, 1 dapur, 2 kamar mandi/wc dan 1 gudang buah. Sepanjang tahun 2014 hingga 2019, COP Borneo telah menampung 24 individu orangutan yang berasal dari sitaan negara, serahan masyarakat dan korban konflik.

Sekolah hutan adalah bagian dari program rehabilitasi orangutan yang berusia di bawah 5 tahun. Saat ini ada 9 orangutan yang terdaftar dalam program sekolah hutan. Selanjutnya kebutuhan pada lokasi dimana orangutan yang sudah siap untuk dilepasliarkan namun masih diperlukan evaluasi lebih dalam lagi, Centre for Orangutan Protection membangun pos monitoring orangutan dan mengoperasikan pulau pra-pelepasliaran.

Hingga saat ini, ada lima individu orangutan yang telah dilepasliarkan setelah melalui program rehabilitasi orangutan COP Borneo. Keberadaan COP Borneo juga membantu BKSDA Kaltim dalam penanganan konflik orangutan dan mendukung penegakkan hukum kejahatan satwa liar di wilayah Kalimantan Timur. 

COP Borneo juga melibatkan masyarakat dalam pengadaan pakan orangutan, membantu desa sadar wisata melalui progam ekowisata kampung (ecotrip) dan melakukan pengobatan satwa desa gratis oleh tim medis COP. Lokasi COP Borneo yang sangat strategis mencakup Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara telah menjadi bagian penting konservasi orangutan dalam program rehabilitasi. Semoga Program Penyelamatan Orangutan di Kalimantan Timur dapat terus berkelanjutan.

JOJO SPENDING TIME IN PLAYGROUND

Entering the third month of the cessation of forest school classes at the Borneo COP orangutan rehabilitation center. Jojo was quite amused by reactivating the Borneo COP playground. This playground is a park built by Orangutan Angle’s volunteers from Australia. Jojo is an orangutan who is quite active in the forest school classes. He always hopes to undergo forest school classes every day. If not, he will cry as hard as he can.

Termination of forest school classes due to forest clearing around Borneo COP threatens the existence of small orangutans. The orangutans look scared when they hear the sound of a chainsaw followed by the sound of falling trees.

Jojo adjusted his cruising power. “He must be quite satisfied with used tires containing leaves and twigs. It’s sad … hopefully the safety of the Labanan Research Forest can be immediately maintained, so that the orangutans can return to the forest school class. “, Hope Jhonny is the coordinator of Borneo COP animal care. (EBO)

JOJO MENGHABISKAN WAKTU DI TAMAN BERMAIN

Memasuki bulan ketiga berhentinya kelas sekolah hutan di pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo. Jojo cukup terhibur dengan diaktifkannya kembali taman bermain COP Borneo. Taman bermain ini adalah taman yang dibangun para Orangutan Angle’s yang merupakan relawan dari Australia. Jojo adalah orangutan yang cukup aktif di kelas sekolah hutan. Dia selalu berharap untuk menjalani kelas sekolah hutan setiap hari. Kalau tidak, dia akan menangis sekuat-kuatnya.

Penghentian kelas sekolah hutan karena perambahan hutan di sekitar COP Borneo mengancam keberadaan orangutan-orangutan kecil. Orangutan-orangutan terlihat takut saat mendengar suara gergaji mesin yang diikuti suara rubuhnya pohon. 

Jojo menyesuaikan daya jelajahnya. “Dia harus cukup puas dengan ban bekas berisi daun-daun dan ranting. Sedih sih… semoga keamanan Hutan Penelitian Labanan ini dapat segera terjaga, agar orangutan bisa kembali ke kelas sekolah hutan.”, harapan Jhonny kordinator perawat satwa COP Borneo. 

SEPTI AND ALOUISE ARE HAVING EACH OTHER

Since being moved into a cage in April, orangutans named Septi and Alouise have a daily life together. In fact, you can say that Alouise is always in Septi’s arms. Both of them have never been seen apart or in different places. Alouise is always with Septi.

In the middle of May, the APE Defender team caught them apart. “Yes this is the first time we see Septi and Alouise apart. Septi is at the top and Alouise is close to feeding box below. “, Said Reza Kurniawan, COP primate expert.

“Unexpectedly, when we held Alouise’s hand, Alouise cried.”, Reza said again. Alouise is a 2-year-old orangutan who is not accustomed to humans presence even though he was once nurtured by humans. “In just seconds, Septi immediately let out an angry voice and quickly dropped closer to Alouise, hugging him and hiding Alouise away from us.”

The relationship between the two seems to have established. In fact, at the beginning, Septi was very ignorant, even unconcerned and uncomfortable with Alouise who always hugged her tightly. Can you imagine what happened to Alouise’s mother forcing the baby to arrive at COP Borneo Orangutan Rehabilitation Center? (EJA)

SEPTI DAN ALOUISE SALING MEMILIKI

Sejak dipindahkan menjadi satu kandang pada bulan April, orangutan bernama Septi dan Alouise menjalani keseharian bersama-sama. Bahkan bisa dibilang orangutan Alouise selalu berada dalam dekapan orangutan Septi. Keduanya tak pernah terlihat terpisah atau berada di tempat yang berbeda. Alouise selalu berada dalam gendongan Septi. 

Pertengahan Mei yang lalu, tim APE Defender memergoki keduanya berjauhan. “Ya ini adalah untuk pertama kalinya kami melihat Septi dan Alouise berjarak. Septi berada di atas dan Alouise berada di bawah dekat dengan box feeding.”, ujar Reza Kurniawan, ahli primata COP.

“Tak disangka, saat kami memegang tangan Alouise, Alouise menangis.”, kata Reza lagi. Alouise adalah orangutan berusia 2 tahun yang sangat tidak biasa dengan kehadiran manusia walaupun dia pernah dipelihara manusia. “Hanya dalam hitungan detik, Septi langsung mengeluarkan suara sedang marah dan dengan cepat turun mendekati Alouise, memeluknya dan menyembunyikan Alouise menjauh dari kami.”. 

Hubungan keduanya sepertinya sudah terbangun. Padahal, di awal, Septi sangat cuek/tidak peduli dan risih dengan Alouise yang selalu memeluknya dengan erat. Apakah kamu bisa membayangkan apa yang terjadi pada induknya Alouise sebelum dia sampai di Pusat Rehabilitasi Orangutan COP Borneo? (EJA)

SPOILED MICHELLE BECOMES INDEPENDENT

When the cage door was lifted, Michelle crawled, stepped out and climbed onto the tower on the pre-release island of the COP Borneo. Fruits are available in the tower. Michelle stayed silent while watching the team lift the transport cage that had just taken her. When the team got on the boat and began to move away, Michelle remained in her tower.

From across the island, the team observed Icel’s movements. Icel, Michelle’s nickname, looks comfortable in the tower. Occasionally she is seen holding a rope that connects the tower to the surrounding trees. But Icel did not leave the tower.

“How long will Icel stay there? During in the forest school classes, Icel was noted to have most often approached animal care. She rarely roams, and if she spends time in a tree, it is because the animal keepers threaten her with rattan thorns. Taking her to forest school often only becomes a nuisance for other small orangutans. Its bigger body also makes it difficult for animal nurses. That is why, when the orangutan island is empty, Icel has the opportunity to live independently on this island. And … “, said Reza Kurniawan, COP Borneo manager, interrupted when seeing Icel, who was in the middle of a rope that was exploring the tree opposite the tower. “See … Icel started her new life!” Exclaimed Reza. (EBO)

SI MANJA MICHELLE MENJADI MANDIRI

Saat pintu kandang diangkat, Michelle merangkak, melangkah dan naik ke atas menara di pulau pra-pelepasliaran orangutan COP Borneo. Di menara telah tersedia buah-buahan. Michelle berdiam sembari mengamati tim mengangkat kandang angkut yang baru saja membawanya. Saat tim naik ke perahu dan mulai menjauh, Michelle tetap berdiam di menaranya.

Dari seberang pulau, tim mengamati gerak-gerik Icel. Icel yang merupakan panggilan Michelle terlihat nyaman berada di menara. Sesekali terlihat memegang tali yang menghubungkan menara dengan pohon di sekitarnya. Tapi Icel tak beranjak dari menara juga.

“Sampai kapan ya Icel bertahan di situ? Saat di kelas sekolah hutan, Icel tercatat paling sering mendekati perawat satwa. Dia jarang menjelajah, kalaupun dia menghabiskan waktu di atas pohon, itu karena para perawat satwa mengancamnya dengan duri rotan. Membawanya ke sekolah hutan sering hanya menjadi penganggu buat orangutan kecil lainnya. Badannya yang semakin besar juga menyulitkan perawat satwa. Itulah sebabnya, saat pulau orangutan kosong, Icel memiliki kesempatan untuk hidup mandiri di pulau ini. Dan…”, kata Reza Kurniawan, manajer COP Borneo terpotong Icel yang berada di tengah tali yang sedang menjelajah ke pohon yang ada di seberang menara. “Lihat… Icel memulai kehidupan barunya!”, seru Reza. (WET)

SMALL ORANGUTANS STILL HAVE TO BE PATIENT

It’s been a month since the forest school class stopped. Illegal logging is increasingly worrying. “For us, safety first. We don’t know who we are dealing with. Orangutans are forced to spend their days in cages. Forest schools are cancelled until the class is completely safe, “said Reza Kurniawan, manager of the COP Borneo orangutan rehabilitation center.

The team became more alert. While waiting, the team made enrichment for orangutans. This condition must not disturb orangutans emotion. But for how long?

Small orangutans still have to practice climbing. Expectations are focused on the playground for baby orangutans. “This damaged playground has begun to be repaired. Small orangutans are rotated to play in this arena. Not allowed to roam. “, Reza said again carefully.

What happens to otangutans without trees. Orangutans are arboreal animals, which spend most of their activities in the trees. The collapse of the trees in the Labanan Research Forest which is the place for the orangutan rescue center is a threat to orangutan rehabilitation activities. “Sir … Madam … do orangutans have to be extinct?” (EBO)

ORANGUTAN KECIL MASIH HARUS BERSABAR

Sudah satu bulan kelas sekolah hutan berhenti. Pembalakan liar semakin mengkawatirkan. “Bagi kami, keselamatan adalah yang utama. Kami tidak tahu siapa yang kami hadapi. Orangutan-orangutan terpaksa menghabiskan hari-harinya di dalam kandang. Sekolah hutan ditiadakan hingga kelas benar-benar aman.”, ujar Reza Kurniawan, manajer pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo.

Tim pun menjadi lebih waspada. Di sela-sela itu, tim mengusahakan pengayaan (enrichment) untuk orangutan. Kondisi ini tidak boleh menganggu psikis orangutan. Tapi sampai kapan?

Orangutan-orangutan kecil tetap harus berlatih memanjat. Harapan pun tertumpu pada arena bermain untuk bayi orangutan. “Playground yang telah rusak ini mulai diperbaiki. Orangutan-orangutan kecil digilir agar bisa bermain di arena ini. Tidak dibiarkan menjelajah.”, kata Reza lagi dengan hati-hati.

Apa jadinya orangutan tanpa pohon. Orangutan adalah satwa aboreal, yang menghabiskan sebagian besar aktivitasnya di atas pohon. Robohnya pohon-pohon di Hutan Penelitian Labanan yang merupakan tempat pusat penyelamatan orangutan merupakan ancaman aktivitas rehabilitasi orangutan. “Pak… Bu… apakah orangutan harus punah?”

HOW IF AN ORANGUTAN IS SICK?

Can orangutans be sick? Of course. Then what is done when the orangutan is sick? Yes, it is like when humans get sick, take medicine, get injections, take intravenous therapy and so on. Easy as that? Of course it’s different. Especially with the injection, it causes trauma because many people are afraid of syringes, orangutans are like that. When an orangutan saw other orangutans being injected, he would become more vigilant and even avoid being approached. “Often, they immediately bite.”, Said vet. Satria Dewantara. Chases and coercion will only bring ongoing trauma.

Then, how do you deliver drugs to orangutans? Just put it in the food. If it were that easy … but orangutans are a smart species. When eating fruit they separate the skin and seeds, when exposed to bitter medicine, will immediately vomit.

Of course the medical team has its own challenges. Without reducing the dosage of the drug that must enter smoothly into the orangutan’s body, they modify the taste. And “bolus” is created. Bolus is a drug that has been crushed and then mixed in such a way with baby porridge and honey so the flavor of the drug can be disguised, and the orangutan will only feel that it is ordinary food. The sweet taste of honey makes orangutans want to eat medicine again.

Bonti, who has to undergo treatment for several days, even looks enjoying to chew bolus medicine. “It’s not a problem anymore, giving anti-worm medicine regularly …”, said vet Satria happilly. (SAT)

BAGAIMANA JIKA ORANGUTAN SAKIT?

Orangutan bisa sakit? Tentu saja. Lalu apa yang dilakukan saat orangutan sakit? Ya seperti saat manusia sakit, minum obat, disuntik, diinfus menjalani terapi dan seterusnya. Semudah itu? Tentu berbedalah. Apalagi kalau sampai disuntik, menyebabkan trauma karena manusia saja banyak yang takut pada jarum suntik, orangutan pun seperti itu. Apalagi saat dia melihat orangutan yang lain disuntik, yang akan menjadi lebih waspada bahkan menghindar saat didekati. “Tak jarang pula, mereka langsung menggigit.”, ujar drh. Satria Dewantara. Kejar-kejaran dan pemaksaan hanya akan membawa trauma berkelanjutan. 

Lalu, bagaimana caranya memberikan obat ke orangutan? Masukkan saja ke makanannya. Andai semudah itu… namun orangutan adalah spesies yang pintar. Memakan buah saja dia akan memisahkan mana kulit dan biji, apalagi jika terkena obat yang pahit, seketika akan dimuntahkan. 

Tentu saja tim medis punya tantangan tersendiri. Tanpa mengurangi dosis obat yang harus masuk dengan mulus ke tubuh orangutan, mereka memodifikasi rasa. Dan terciptalah ‘bolus’. Bolus adalah obat yang telah digerus kemudian dicampurkan sedemikian rupa dengan adonan bubur bayi dan madu agar rasa obat dapat tersamarkan, dan orangutan hanya akan merasa bahwa itu adalah makanan biasa. Rasa madu yang manis justru membuat orangutan ingin lagi untuk makan obat. 

Bonti yang harus menjalani perawatan selama beberapa hari bahkan terlihat dengan asiknya mengunyah bolus obat. “Tak bingung lagi ngasih obat cacing secara berkala…”, ujar drh. Satria dengan senang. (SAT)