INTERVAL RUN BERSAMA ORANGUTAN BONTI

Di pagi hari yang cerah, sedikit basah karena embun, tim monitoring bertindak seperti paparazzi alias melakukan Post Release Monitoring (PRM) pada si cantik orangutan bernama Popi. Saat tiba di titik terakhir PRM pada hari sebelumnya, Popi nampak masih “bermuka bantal” alias baru bangun tidur sambil bersandar di batang pohon buah baran (Dracontomelon dao) yang merupakan buah santapan kesukaannya.

Tidak berapa lama setelah tim monitoring tiba, Popi mulai beraktivitas berpindah-pindah pohon dengan bebas. Popi bergerak dengan sangat lincah mulai dari berayun hingga memanjat. Beberapa kali Popi nampak menyantap buah-buahan hingga dedaunan untuk makan paginya. Sesekali Popi juga menggumpal-gumpalkan tanah untuk dimakan. Iya, benaran dimakan, dimana hal tersebut bukan tanpa alasan ya. Tanah memiliki kandungan mineral yang baik untuk menetralisir metabolit sekunder pada dedaunan yang dimakan oleh Popi.

Perpindahan Popi dari satu pohon ke pohon yang lain hingga menyeberangi sungai dengan berayun-ayun pada kanopi hutan yang membentang. Hal ini membuat tim monitoring harus mengikuti ke mana pun Popi pergi sekali pun itu lembah yang dalam atau tebing yang terjal. Beberapa saat setelah Popi menyeberangi sungai, Popi bertemu kembali dengan sobat lamanya di BORA (Borneo Orangutan Rescue Alliance), yaitu Bonti. Secara mengejutkan keduanya malah terlibat kejar-kejaran hingga membuat tim kewalahan mengikutinya.

Sangking jauhnya, Popi bahkan sudah tidak terlihat lagi dari pandangan mata karena kabur dari kejaran Bonti. Hanya Bonti yang berada di sekitar tim monitoring, dimana hal berikutnya semakin penuh gebrakan. Bonti menghadap ke arah kami sembari tersenyum lebar dan mengejar kami. Yap, benar-benar dikejar hingga kami lari tunggang-langgang. Bonti tiba-tiba berhenti sesaat dan kami pikir Bonti mulai kelelahan. Ternyata salah, Bonti kembali mengejar kami yang sesungguhnya yang kelelahan. Meskipun asyik mengejar kami, Bonti selalu berhenti di waktu-waktu tertentu, lalu lanjut mengejar kami kembali. Kami seolah-olah mendapat pelatihan interval run dari Bonti. “Terima kasih ya Bonti, sudah melatih kami untuk menjadi pelari trail run hebat dan kuat dari Surga Hayati Gunung Batu Mesangat.”. (Andika_Orangufriends).

JEJAK ORANGUTAN DAN BERANG-BERANG DI MUARA SUNGAI MENYUK

Pada pertengahan September, tim APE Guardian COP melakukan patroli menuju salah satu ladang masyarakat. Ladang itu dilaporkan mengalami interaksi negatif dengan orangutan. Pemilik ladang menceritakan bahwa dua hari sebelumnya terdengar suara patahan ranting di sekitar lokasi, meskipun orangutan tidak terlihat langsung. Dari penelusuran ditemui ranting yang patah, “Sepertinya benar, ini bekas lintasan orangutan”, ujar Igo, ranger APE Guardian. Dedi menambahkan bahwa di tanah juga terlihat jejak yang kuat mengarah ke ladang. Meskipun orangutan tidak terlihat saat patroli, tapi temuan ini menjadi bukti bahwa satwa tersebut sempat melintas di sekitar area ladang.
Setelah melakukan pemeriksaan, tim melanjutkan kepitan dengan mencari pakis di sekitar hutan untuk dijadikan sayur. Suasana patroli hari itu cukup tenang, memberi kesempatan tim memanfaatkan hasil hutan secara sederhana sambil tetap menjaga kewaspadaan.
Keesokan harinya, tim melanjutkan patroli, kali ini menuju pondok milik Pak Nisa. Minggu sebelumnya, ladangnya sempat kedatangan orangutan, sehingga tim kembali melakukan pengecekan ulang. Perjalan ditempuh dengan menyusuri jalan setapak di hutan. Sesampainya di pondok, tim berbagi lokasi penyisiran. Dari pengamatan hari itu, tidak terlihat tanda baru, tidak ada jejak, tidak ada ranting patah, dan tidak ada tanda aktivitas orangutan. Situasi ladang terpantau aman.
Tim pun melanjutkan ke arah hilir Muara Sungai Menyuk. Di sana Dedi menemukan dua sarang orangutan di pepohonan tinggi. Belum bisa dipastikan individu mana yang membuat sarang itu. Tak jauh dari muara, tim berjumpa dengan segerombolan berang-berang. “Jarang-jarang kita bisa menyaksikan momen seperti ini”, ujar Angka Wijaya. Berang-berang Kalimantan yang biasanya dimasukkan dalam genus Lutra ini pun menambah keanekaragaman hayati Ekosistem Busang. (ENG)

110 SISWA SMK 1 KONGBENG RAMAIKAN BULAN ORANGUFRIENDS

APE Guardian adalah nama Tim COP (Centre for Orangutan Protection) yang melindungi kawasan pelepasliaran orangutan di Kutai Timur, Kalimantan Timur. Tak hanya memastikan orangutan yang telah dilepasliarkan di Ekosistem Busang ini dalam kondisi baik, dengan melaksanakan patroli maupun inventarisasi, tapi juga segara menanggapi laporan konflik manusia dengan satwa liar di kawasannya. Tentu saja mencegah akan lebih baik melalui edukasi ke sekolah-sekolah.
Akhirnya, APE Guardian pun menghampiri SMK 1 Kongbeng. Suasana kelas dipenuhi lebih dari 110 siswa yang bersemangat mengikuti sesi edukasi tentang orangutan. Andika, Orangufriends Samarinda mengenalkan apa itu morfologi, perilaku, serta kemiripan genetik orangutan dengan manusia.
Antusiasme semakin terasa ketika siswa berebut menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan tim. Diskusi juga menyentuh kasus orangutan di India yang tengah diperjuangkan kepulangannya ke tanah air melalui petisi internasional. Ajakan untuk ikut menandatangani petisi itu disambut serius, menumbuhkan kesadaran kolektif bawah perlindungan satwa liar adalah tanggung jawab bersama.
Sebagai penutup, seluruh peserta diajak keluar kelas untuk bermain. Gelak tawa dan sorak-sorai mewarnai lapangan, menjadikan kunjungan ini bukan hanya sesi belajar, melainkan juga perayaan semangat muda dalam menyambut Bulan Orangufriends, bulan para relawan orangutan berperan. (YUS)

CATATAN HARIAN SURGA HAYATI “ASING” DI KUTAI TIMUR

Ketika kita melakukan pencarian di mesin pencari, nama Hutan Lindung (HL) Gunung Batu Mesangat memang masih sangat sedikit yang mendeskripsikannya. Bahkan kalangan akademisi seperti dosen di kampus saya belum begitu mengetahuinya. Jika dibandingkan dengan kawasan konservasi yang populer di Kalimantan Timur seperti Hutan Lindung Sungai Wain, HL Gunung Batu Mesangat masih terdengar asing di telinga banyak orang. Keasingan tersebut memicu rasa ingin tahu saya untuk menelusuri lebih lanjut. Hai, saya Andika Widiyanto Ramadhani, selamat menikmati kisah perjalanan praktik kerja lapangan saya menelusuri surga hayati “asing’ di Kalimantan Timur.

Perjalanan dimulai dari rumah “kedua” saya, apalagi kalau bukan kampus tercinta FMIPA Universitas Mulawarman. Setelah berpamitan dengan dosen serta teman-teman, saya membawa barang bawaan saya yang sudah seperti pindah rumah itu ke mobil travel. Layaknya kegiatan outdoor, mobil yang saya tumpangi melewati beragam halang rintangan terutama kontur jalan. Perjalanan darat Samarinda-Busang melewati jalan perkebunan hingga tambang yang “mood-mood-an” mulai dari berlubang, becek, hingga licin. Beberapa kali terlihat pengendara motor yang terjatuh akibat jalan basah diguyur hujan. Setelah melalui 8 jam rintangan dengan aman dan selamat saya menginjakkan kaki di Desa Long Lees, Kecamatan Busang, Kabupaten Kutai Timur.

Bukan tanpa alasan desa ini dikatakan sebagai jantung dari Kecamatan Busang, karena seluruh pusat pemerintahan memang terletak di Desa Long Lees. Meski didominasi suku lokal seperti Dayak, kehidupan di sini rukun dengan masyarakat pendatang dari beragam suku, ras, dan agama yang menetap hingga pencari rupiah. Setiap pagi, terdengar doa-doa serta renungan pagi dari gereja yang terletak di dekat mess Centre for Orangutan Protection (COP). Belajar secuil bahasa lokal pun tak terhindari, “uman ading”, ya ini adalah yang paling saya ingat yang berarti ‘ayo makan”. Saya pun terkejut dengan perjalanan menyusuri sungai menggunakan perahu ketinting yang menghabiskan waktu lebih dari 2 jam menuju Pos Monitoring APE Guardian, bahkan merasakan cuaca cerah hingga hujan deras menjadi pelengkapnya. Meskipun di tengah rimbanya hutan belantara, pos APE Guardian sudah dilengkapi beragam teknologi pendukung seperti listrik, panel surya, genset, hingga jaringan internet yang akan menyala pada waktu tertentu saja.

Keesokan harinya, penelusuran surga hayati asing pun dimulai, kembali lagi saya menaiki ketinting, mengarungi deras dan dangkalnya sungai di hulu. Namun pesona jernihnya air benar-benar membuat perjalanan terasa menyegarkan. Pemasangan camera trap sebagai mata-mata untuk mengamati penduduk satwa hutan lindung pun menjadi tugas pertama. Selanjutnya, saya mengamati para ranger yang bertugas memberi makanan tambahan untuk orangutan yang berada di dalam pulau Dalwood Wylie dari ketinting. Beruntung sekali bisa melihat langsung orangutan yang merupakan calon penjaga hutan dengan jelas, tidak terlalu jauh dari posisi saya, sebelumnya saya hanya pernah melihatnya di dunia maya.

Merupakan suatu kebagian tersendiri buat saya ketika terlibat dalam pelepasliaran orangutan bernama Popi. Popi yang telah diselamatkan dan menjalani rehabilitasi di BORA (Borneo Orangutan Rescue Alliance) memiliki kemampuan adaptasi yang luar biasa. Tim Post Release Monitoring (PRM) kocar-kacir mengikuti pergerakannya. Daun demi daun, buah demi buah disantap dengan lahap oleh Popi. Beruntungnya lagi, saya menyaksikan reuni orangutan yang awal tahun lalu dilepasliarkan terlebih dahulu, yaitu Bonti dengan Popi.

Tugas tim APE Guardian COP ternyata tidak hanya itu saja, laporan adanya orangutan memakan hasil kebun milik warga desa Long Lees pun harus segera ditanggapi. Kami pun segera ke kebun Tamen Nisa, melihat kehadiran kami, orangutan tersebut bergegas pergi menjauh. Tim pun melakukan patroli untuk memastikan keberadaannya. Kami pun menemukan sarang yang dibangun orangutan tersebut. Syukurlah, dia semakin masuk ke lebatnya hutan.

Selain patroli, saya pun menikmati beragamnya makhluk indah bersayap melalui kegiatan birdwatching dan pesona hewan amfibi dan melata melalui kegiatan herping. Dari kedua kegiatan tersebut, herping menjadi salah satu kegiatan unik. Di saat yang lain istirahat, pada malam hari kami harus berangkat masuk ke HL Gunung Batu Mesangat. Satu makhluk yang menjadi perhatian saya adalah katak bertanduk. Mata menyalanya yang berwarna merah membuatnya semakin sangar dengan badan yang berukuran sebesar kepalan tangan saya. Semoga ke depannya, surga hayati ini semakin dikenal dengan keindahan dan pesona penduduk di dalamnya. (Andika_volunteer)

PESAN LESTARI SMP 1 KONGBENG

Giliran SMP 1 Kongbeng yang menjadi tujuan School Visit Tim APE Guardian COP (Centre for Orangutan Protection). Sebanyak 50 siswa mengikuti sesi interaktif yang mengupas banyak hal, mulai dari jenis-jenis orangutan di Indonesia, fungsi hutan sebagai habitat penting, hingga ajakan mendukung kampanye perlindungan satwa liar.

Materi disampaikan dengan cara sederhana, sehingga mudah dipahami siswa. Antusiasme mereka terlihat dari rasa penasaran yang muncul sepanjang diskusi. Saat penutup, tim mengajak siswa ke lapangan untuk bermain “orangutan, pemburu, dan penebang pohon”, yang membuat suasana semakin meriah.

Di akhir kegiatan, seorang siswi bernama Aida menyampaikan kesannya, “Dengan adanya kegiatan semacam ini, kami jadi tahu jenis-jenis orangutan di Indonesia dan bahwa mereka dilindungi oleh Undang-Undang. Ke depannya saya berharap orangutan tetap lestari dan dapat dilindungi dengan baik di alam.”. Ucapan Aida menjadi pengingat bahwa semangat menjaga alam bisa lahir dari suara sederhana seorang pelajar. (YUS)

RUMAH BIBIT, RUMAH HARAPAN ORANGUTAN

Beberapa bulan terakhir, patroli tim APE Guardian COP di sekitar kawasan pelepasliaran orangutan menemukan pemandangan berbeda. Di jalur yang dulunya hutan lebat, kini banyak ladang warga yang ditanami sayur buah, hingga sawit. Tak heran kalau orangutan yang sedang menjelajah kadang ikut mampir. Seperti hari itu, dari seberang sungai, tim melihat satu individu orangutan asik memetik pepaya matang dan lahap memakannya, mirip anak kecil yang ketahuan jajan di kebun tetangga! Sayangnya, pemilik ladang yang curiga segera mengusirnya, membuat pertemuan singkat itu harus berakhir lebih cepat.

Melihat kenyataan tersebut, APE Guardian berdiskusi dan merancang pembangunan rumah bibit pohon buah hutan. Tujuannya adalah memastikan orangutan memiliki sumber pakan yang cukup serta menjaga kelestarian habitat di tengah ancaman pembukaan lahan, pembalakan liar, dan perburuan. Pembangunan persemaian ini dilakukan bersama UPT Pertanian Kecamatan Busang serta melibatkan masyarakat setempat dalam penyediaan bibit pohon buah hutan dan perawatannya.

Dengan semangat yang tidak pernah padam, di bawah terik matahari Desa Long Lees, Tim mulai menyiapkan kayu ulin, paranet, paku, chainsaw, parang, dan alat lainnya. Lahan seluas 32 m² dibersihkan dari gulma, kemudian ditandai dan dilubangi untuk tiang penopang paranet. Menjelang sore, awan hitam bergulung dan hujan turun. Di tengah gemercik hujan tim menyelesaikan pekerjaan terakhir, memasang plang rumah bibit.

Pada tanggal 9 September 2025, rumah bibit untuk orangutan akhirnya berdiri. APE Guardian bersama warga sekitar bergotong-royong membangunnya dan dalam waktu satu hari saja bangunan selesai. “Yeayy, sudah selesai!”. Basah oleh hujan, tim berdiri di depan bangunan sederhana bertiang ulin dan beratap paranet. Merenung bahwa rumah bibit ini bukan hanya tempat melindungi bibit pohon, tetapi juga sebuah harapan baru, menjadi pusat edukasi bagi masyarakat tentang pentingnya menjaga hutan dan satwa liar, khususnya orangutan. (LUT)

SCHOOL VISIT DI SMA 1 MUARA WAHAU, OBESITAS PADA ORANGUTAN

Tim APE Guardian bersama Orangufriends (relawan orangutan) mengunjungi SMA 1 Muara Wahau dalam rangkaian Bulan Orangufriends. Sejak awal masuk kelas, siswa-siswi sudah tampak antusias berdialog dengan Tim Centre for Orangutan Protection (COP) itu. Materi dimulai dengan pengenalan konservasi orangutan disambung dengan kisah Andika tentang pentingnya menjaga hutan sebagai rumah terakhir orangutan.

Suasana semakin seru ketika Shaila, salah satu siswi mengajukan pertanyaan unik, “Apakah orangutan bisa mengalami obesitas?’. Dokter hewan COP pun menjawab dengan singkat namun jelas, bahwa obesitas memang bisa dialami orangutan, terutama yang dipelihara manusia dengan pola makan berlebih, tetapi hampir tidak pernah terjadi di alam liar. Jawaban ini membuka wawasan baru bagi para siswa bahwa orangutan pun rentan pada permasalahan kesehatan, sama seperti manusia.

Kunjungan ditutup dengan permainan edukatif “orangutan, pemburu, dan penebang pohon” yang diikuti 50 siswa dengan penuh tawa. Dari sini, SMA 1 Muara Wahau belajar tentang konservasi bukan hanya teori, tetapi juga bagian dari kehidupan nyata yang menyenangkan untuk dipelajari. (YUS)

DRACONTOMELON DAO, BUAH FAVORIT ORANGUTAN DI HUTAN LINDUNG GUNUNG BATU MESANGAT

Beberapa waktu terakhir, tim APE Guardian semakin sering menjumpai kembali orangutan yang telah dilepasliarkan. Munchan, orangutan janta translokasi, serta Mary dan Bonti, orangutan reintroduksi mulai aktif menampakkan diri di sekitar pos monitoring Busang. Dari perjumpaan yang terjadi, sebagian besar orangutan teramati sedang memakan buah dari salah satu jenis pohon yang umum dijumpai di Hutan Lindung Gunung Batu Mesangat. Buah Baran, begitu sebutan masyarakat lokal Busang bagi tumbuhan dengan nama latin Dracontomelon Dao.

Menurut literatur, daerah penyebaran ini meliputi India Timur, Kepulauan Andaman, China Selatan, Myanmar, Indo Cina, Thailand, Semenanjung Malaya, New Guinea, kepulauan Solomon, dan Indonesia. Di Indonesia ditemukan di beberapa tempat yaitu Sumatra, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Pada beberapa daerah, Dacontomelon dao dimanfaatkan sebagai obat-obatan tradisional. Pemanfaatan lokal di Papua Nugini, daun dan bunga dimasak kemudian dimakan sebagai sayur. Sedangkan di Maluku dipergunakan sebagai penyedap makanan. Kulit batang dapat digunakan sebagai obat tradisional untuk menyembuhkan disentri.

Baran merupakan pohon dengan kanopi besar yang selalu hijau, tinggi pohon dapat mencapai 36-55 m. Batangnya lurus dan silindris, tidak bercabang hingga ketinggian 15 m, dengan penampang akar di dasarnya. Kulit batang luar berwarna coklat keabu-abuan, kulit batang bagian dalam berwarna merah muda. Kulit kayu yang terluka memancarkan resin tidak berwarna yang sedikit lengket yang berubah menjadi emas pucat saat terkena udara. Memiliki daun majemuk yang menyirip, tersusun spiral disekitar cabang. Selebaran berurat menonjol, berselang-seling dan anak daun berjumlah 4-9 pasang. Pohon ini memiliki bunga majemuk malai berwarna putih kekuningan atau merah muda, kecil berukuran sekitar 9 mm, 5 lobus, harum, diproduksi dalam malai besar yang berjumbai hingga panjang 0,6 m. Buah tumbuhan Dracontomelon dao memiliki ciri-ciri morfologi berupa buah sejati tunggal, tipe buah batu, kulit buah berwarna hijau ketika masih muda dan kuning ketika sudah matang.

Orangutan biasa memakan bagian buah yang sudah matang dari Dracontomelon dao. Buahnya memiliki rasa sedikit manis ketika sudah matang. Selain untuk sumber pakan, pohon baran juga sering teramati dijadikan tempat membuat sarang bagi orangutan. Pohonnya yang tinggi serta batangnya yang besar memungkinkan untuk orangutan merasa nyaman dan aman berada di pohon tersebut. Status konservasi Dracontomelon dao dalam IUCN Red list termasuk dalam kategori Least Concern (LC). Namun populasinya sedang menurun akibat deforestrasi dan degradasi habitat. Upaya konservasi yang berkelanjutan sangat penting untuk melindungi habitat yang tersesi dan mencegah penurunan populasi. Menjaga pohon baran atau yang di daerah lain juga dikenal dengan nama sengkuang, sama dengan menjaga keberlangsungan hidup orangutan di habitat alaminya. (YUS)

BERTEMU TARA SETELAH SATU TAHUN BERLALU

Selalu menyenangkan berjumpa kembali dengan orangutan yang sudah lama tidak teramati di hutan. Hal ini terutama kami rasakan karena kemunculan mereka membuktikan bahwa orangutan yang kami lepas-liarkan di Hutan Lindung Gunung Batu Mesangat dapat bertahan hidup. Siapakah orangutan yang kali ini kami temui?

Hari yang cerah di pos monitoring Busang, cuaca yang ideal untuk tim APE Guardian memulai kegiatan lebih pagi. Pada jadwal hari ini, waktunya kami berpatroli menyusuri Sungai Menyuq. Saat mentari mulai menampakkan sinarnya, teman-teman ranger sudah sedia dengan mesin perahu. Suara mesin memecah nyanyian alam, perahu melaju perlahan, 5 orang anggota tim APE Guardian pun menengok kanan dan kiri tepi sungai, barangkali terdapat tanda-tanda keberadaan orangutan.

Semakin lama waktu berjalan, kami semakin menjauh dari pos, belum satupun tanda-tanda teramati. Tim memutuskan untuk istirahat sebentar di muara Sungai Payau, memakan bekal yang dibawa sembari bercanda penuh harap perjumpaan dengan siapa pun orangutan yang menghuni ekosistem Busang ini. Tak jauh dari muara, kami menjumpai sarang orangutan kelas 2, artinya sarang tersebut masih belum lama dibuat. Kami menghentikan perahu dan mengamati sekitar, tak jauh dari lokasi sarang, salah satu tim kami melihat ranting-ranting jatuh seperti dilempar. “Kayaknya ada yang gerak-gerak di pohon seberang”, ujar Dedi, ranger tim APE Guardian COP. Kami pun mendekat ke pohon tersebut dan benar saja, terdapat satu orangutan jantan yang sedang makan buah Baran (Dracontomelon dao).

“Khas sekali, kiss squeak pun terdengar, tanda orangutan mengusir. Ditambah suara ranting dipatahkan berlanjut dengan lemparan ranting-ranting tersebut. Perilaku orangutan liar”, gumam tim sembari semakin mengamati orangutan tersebut. Cheekpad yang berlekuk pada sisi kanan wajahnya menjadi ciri khas orangutan jantan Tara, yang diselamatkan tim Wildlife Rescue Unit (WRU) Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur bersama APE Crusader COP dari interaksi negatif dengan manusia di Kecamatan Bengalon. Sebelumnya Tara terlihat oleh masyarakat di pemukiman Desa Sepaso. Perangainya yang besar membuat masyarakat takut untuk berkebun. Akhirnya 28 April 2024, orangutan Tara ditranslokasi menuju rumah barunya, dan setelah setahun kami pun berjumpa kembali. Sekilas kondisinya terlihat sehat dan aktif mencari makan. Hari yang sangat beruntung dengan perjumpaan ini, rasa syukur ‘rumah’ ini baik untuk orangutan. (YUS)

JEJAK PAKAN, JEJAK HARAPAN

Hujan turun deras semalam, mengetuk permukaan sungai tanpa henti. Pagi itu, permukaan sungai meluap hingga menutup tepian pulau, arusnya lebih deras, warna sungai yang sebelumnya jernih berubah menjadi kecoklatan. Kami hanya bisa menunggu hingga sore, menanti air kembali surut, sebelum menyeberang ke pulau pra-pelepasliaran Dalwood Wylie atau Hagar. Di sanalah agenda hari ini menanti, mendata pohon-pohon pakan, sumber kehidupan bagi orangutan kandidat lepas liar.
Di bawah langit yang masih mendung, Tim APE Guardian bersama Hidayatul Latifah atau yang biasanya dipanggil Atul, staf KPHP Kelinjau sekaligus alumni COP School Batch 15 memulai pendataan. Pulau Hagar menyambut dengan deretan pohon bayur (Pterospermum bornease) yang menjulang dan ara (Ficus racemosa) yang buahnya menjadi santapan favorit satwa liar. Satu per satu pohon yang merupakan potensi sumber pakan diamati, ditandai menggunakan pita, dan dicatat jenisnya. Aktivitas ini mungkin tampak sederhana, namun di balik setiap data yang terkumpul tersimpan arti besar. Vegetasi bukan hanya pelengkap bagi kehidupan orangutan, melainkan fondasi yang menopang kelangsungan hidupnya. Keberadaan pohon pakan menjadi penentu utama apakah suatu hutan benar-benar bisa menjadi rumah bagi orangutan. Pepohonan boleh tumbuh rapat, namun tanpa sumber pakan yang cukup, orangutan takkan mampu hidup dan berkembang dengan baik di sana.
Pterospermum bornease) yang menjulang dan ara (Ficus racemosa) yang buahnya menjadi santapan favorit satwa liar. Satu per satu pohon yang merupakan potensi sumber pakan diamati, ditandai menggunakan pita, dan dicatat jenisnya. Aktivitas ini mungkin tampak sederhana, namun di balik setiap data yang terkumpul tersimpan arti besar. Vegetasi bukan hanya pelengkap bagi kehidupan orangutan, melainkan fondasi yang menopang kelangsungan hidupnya. Keberadaan pohon pakan menjadi penentu utama apakah suatu hutan benar-benar bisa menjadi rumah bagi orangutan. Pepohonan boleh tumbuh rapat, namun tanpa sumber pakan yang cukup, orangutan takkan mampu hidup dan berkembang dengan baik di sana. 

“Di Hagar, kami juga melihat langsung bagaimana Charlotte, salah satu orangutan di sini, memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan untuk bertahan hidup,” tutur Ferryandi Saepurohman, kapten tim APE Guardian. “Mulai dari bayur (Pterospermum bornease), ara (Ficus racemosa), baran (Dracontomelon dao), bambu (Bambusa sp.), hingga kenanga (Cananga odorata). Bagian yang dimakan pun beragam, buah, bunga, daun, sampai kulit kayunya. Itu menunjukkan betapa pentingnya kekayaan vegetasi bagi orangutan.” 

Hari berikutnya, perjalanan membawa kami ke arah hilir, menuju pulau pra-pelepasliaran Lambeng. Perahu melaju tenang di permukaan sungai yang teduh, hingga akhirnya hamparan vegetasi pulau itu muncul di hadapan kami. Berbeda dengan di pulau Hagar, di pulau Lambeng pohon ara kembali mendominasi, berpadu dengan baran (Dracontomelon dao) yang batangnya kokoh dan buahnya lebat. Kombinasi ini menciptakan variasi pakan musiman yang berharga, memastikan orangutan memiliki pilihan makanan sepanjang tahun. 

Perbedaan dominasi pohon di kedua pulau ini menunjukkan betapa tiap habitat memiliki karakter uniknya sendiri. Di Hagar, keberadaan bayur yang menjulang memberi ruang berteduh sekaligus struktur hutan yang kokoh, sementara ara menyediakan buah sepanjang musim. Sedangkan di Lambeng, baran hadir sebagai tambahan penting yang memperkaya variasi sumber pakan. Perbedaan komposisi vegetasi ini menjadi penentu bagaimana orangutan beradaptasi terhadap masing-masing habitat, serta respon mereka terhadap pilihan sumber pakan yang tersedia.

Siang hari, dalam perjalanan pulang dari Lambeng menuju pos monitoring, kami mendapati sosok orangutan dewasa bertubuh besar sedang bersarang di pohon tepian sungai. Individu orangutan jantan, yang teridentifikasi bernama Munchan, muncul di sela dedaunan. Ia adalah individu hasil translokasi pada Januari 2024, kini tampak sehat dan lincah menjelajah wilayah barunya. Pertemuan itu menghadirkan rasa takjub, Munchan kini hidup dengan tenang, bersarang di tepian sungai yang asri dan jauh dari ancaman manusia, berbeda dengan lokasi asalnya yang rentan terhadap konflik antara orangutan dan manusia. 

Setiap pohon pakan yang kami catat adalah jejak harapan. Di hutan, pohon dan satwa tidak berdiri sendiri; mereka adalah simpul-simpul yang saling terkait dalam jaringan ekologi. Dan di tengah lembabnya udara sehabis hujan, naiknya permukaan sungai, serta kerja kecil yang dilakukan manusia, terbentang sebuah cerita besar tentang masa depan: bahwa menjaga satu pohon berarti menjaga banyak kehidupan bahwa melindungi satu orangutan berarti menjaga keseimbangan hutan. (RAF)