BERANI DAN ANNIE BERKELAHI DI SEKOLAH HUTAN

Bukan anak-anak kalau tidak pernah berkelahi dengan temannya. Begitu pula dengan siswa sekolah hutan Pusat Rehabilitasi Orangutan COP Borneo, Berau, Kalimantan Timur. Kedua orangutan ini adalah siswa yang tak seharusnya berada di sekolah hutan yang sama. Keduanya adalah jantan yang seumuran. Keduanya juga masih suka berada di lantai hutan. Kemalasan keduanya pun sama, tak akan bertahan lama di atas pohon. Lalu apa jadinya jika keduanya satu kelas?

Pagi ini, Berani dan Annie berangkat ke sekolah hutan. Sejak di keluarkan dari kandang, keduanya sudah saling ingin menyentuh. Bahkan untuk membawa keduanya ke sekolah hutan sudah mulai merepotkan. Tubuhnya yang tak ringan lagi membuat para perawat satwa kehabisan nafas. Lalu…

Keduanya mulai turun dari gendongan perawat satwa. tak ada keinginan untuk langsung memanjat pohon. Baik Annie maupun Berani saling mendekat dan mulai saling dorong, berguling di lantai hutan, mencoba manjat lalu ditarik lagi, begitu terus… 

Para perawat satwa pun mulai melerai. Tak jarang, gigitan akhirnya mendarat di tangan maupun kaki perawat satwa. Hingga akhirnya, keduanya dibiarkan terus bergumul hingga capek. Jeritan Annie lebih sering terdengar. Annie pun lebih sering tersudut. Berani memang lebih berani jika melawan Annie. Tapi ya itu… di lantai hutan. 

 

NIGEL KEMBALI KE PULAU ORANGUTAN

Nigel, orangutan jantan di pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo, Kalimantan Timur ini terpaksa kembali ke kandang karantina pada 19 Juni 2017. Nigel yang seharusnya menjadi kandidat orangutan yang akan dilepasliarkan pada tahun itu harus menjalani terapi karena mengidap penyakit herpes. Tim APE Defender, tim yang merawat orangutan di COP Borneo benar-benar kecewa. Mereka tidak menyangka, Nigel gagal kembali ke habitatnya.

Satu tahun menjalani terapi, Nigel pun dinyatakan bersih dan siap dilepasliarkan secara medis. Tapi sayang, tidak semudah itu untuk bisa melepasliarkan kembali Nigel. Nigel harus menjalani pembiasaan kembali, hidup tanpa jeruji besi. Tidak semudah itu pula untuk bisa kembali ke pulau orangutan, pulau sebagai wahana latihan untuk orangutan yang akan dilepasliarkan, kami menyebutnya pulau pra rilis orangutan, karena pulau telah diperuntukan untuk kandidat orangutan rilis lainnya. Nigel harus bersabar menunggu gilirannya untuk kembali melatih otot dan kemampuannya bertahan di alam.

Akhir November 2019, waktu yang dinanti akhirnya tiba. Pulau siap dihuni Nigel, orangutan yang akan dilepasliarkan tahun depan. Pemeriksaan fisik sebagai tanda perkembangan Nigel pun dilakukan. Nigel kini memiliki cheekpad yang tidak kecil lagi. Cheekpadnya sebagai penanda  sebagai orangutan jantan telah membesar. Berat tubuhnya kini 54 kg. 

Nama Nigel berasal dari nama seorang dokter hewan sekaligus pendiri organisasi OVAID yaitu drh. Nigel Hicks. OVAID adalah organisasi yang banyak membantu pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo di bidang medis. Semoga saja, orangutan Nigel berhasil menunjukkan perkembangan yang baik selama di pulau orangutan dan segera kembali ke habitatnya. Terimakasih The Orangutan Project yang telah membantu perawatan Nigel selama setahun terakhir ini. 

ORANGUTAN KEMBALI MENJADI KORBAN SENAPAN ANGIN

Jakarta – Terjadi kembali orangutan dengan peluru senapan angin di tubuhnya, kali ini terjadi di wilayah Aceh Selatan, tepatnya di desa Gampong Teugoh, kecamatan Trumon Aceh Selatan, provinsi Aceh. Satu individu orangutan dievakuasi oleh tim BKSDA Aceh Selatan dan OIC pada 20 Desember 2019 dengan kondisi yang cukup memprihatinkan. Tim SOCP melakukan pemeriksaan dan hasilnya ditemukan 24 peluru jenis senapan angin.

“Kejahatan senapan angin terjadi kembali dan lagi, orangutan menjadi korbannya. Ini sebuah hal yang pahit ekali dalam upaya konservasi orangutan di Indonesia, dimana ancaman akan senapan angin terus terjadi.”, Hery Susanto, kordinator Anti Wildlife Crime COP.

Centre for Orangutan Protection mencatat kasus orangutan dengan peluru senapan angin ada 52 kasus sejak tahun 2006 hingga 2019. Data ini dikumpulkan dari 5 lembaga konservasi orangutan di Indonesia. Adapun lembaga tersebut adalah OIC, BOSF, SOCP, YIARI dan COP. Terbanyak dari kasus senapan angin yang terjadi pada tanggal 3 Februari 2018 di Teluk Pandan, Kutai Timur, Kalimantan Timur dengan kasus 130 peluru.

“Dari banyaknya catatan kasus ini pastinya menjadi fenomena yang cukup mengkhawatirkan dimana senapan angin tetap menjadi ancaman satwa liar, khususnya orangutan. Terkadang tim harus mengevakuasi orangutan dalam kondisi luka parah, cacat hingga mati akibat luka dari senapan angin ini.”, ujar Hery Susanto lagi.

Pengawasan yang ketat dan penegakkan hukum menjadi kunci penting agar kejahatan ini tidak terulang kembali. Kita berharap aparat penegak hukum tidak perlu menunggu data orangutan dengan peluru bertambah lagi untuk bertindak tegas. Karena dengan data yang saat ini menjadi bahan dorongan yang kuat agar aturan tentang penggunaan senapan angin perlu diawasi.

“Senapan angin sudah menjadi teror bagi satwa liar. Aturan serta pengawasan penggunaannya perlu diawasi dengan ketat jika tidak ingin muncul korban orangutan lainnya.”, Hery Susanto, Anti Wildlife Crime COP.

Informasi dan wawancara:

Hery Susanto, 

Anti Wildlifecrime Centre for Orangutan Protection

Mobile Phone : 081284834363

email : info@orangutanprotection.com

COP SCHOOL BATCH 10: SEPULUH HARI DI KOTA YOGYA

Ini adalah perjalanan pertama saya naik kereta api. Perjalanan ini juga untuk pertama kalinya saya melakukannya sendirian. Kereta Malioboro Express pagi akan membawa saya ke Yogyakarta yang untuk pertama kalinya saya datangi. 

Beruntung sekali setibanya di stasiun kota gudeg sudah ada dua peserta COP School Batch 10 juga yang selama dua minggu terakhir ini saya kenal lewat whatsapp dan facebook. Dan kebetulan lagi, salah satu pendiri Centre for Orangutan Protection sedang dijemput tim APE Warrior, sehingga kami bertiga bisa ikut menumpang ke camp APE Warrior. Sembilan perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya malam itu, saya tertidur dengan cepat.

30 Oktober 2019, peserta COP School Batch 10 semakin banyak yang datang. Ini menjadi hari berkenalan dan hari mengumpulkan tugas yang telah diberikan oleh masing-masing penyelia. Saat perkenalan secara resmi berjalan, saya baru menyadari… ternyata saya adalah yang paling muda di antara teman-teman dengan pengalamanan mereka di berbagai sektor baik di kegiatan alam bebas, perlindungan satwa maupun pendidikan. Malam itu, tenda menjadi rumah kami.

Keesokan paginya, membereskan tenda berikut perlengkapan harus kami lakukan, hari ini kami akan meninggalkan camp APE Warrior. Usai sarapan bersama yang cukup unik, secara pribadi, saya belum pernah menjalani sarapan seperti ini. “Katanya sih, sarapan ala COP School.”. Truk pun menanti kami, barang-barang sudah disusun, dan kami pun naik truk yang lain. Serius???

Lagi-lagi… ini menjadi pengalaman pertama saya. Long march… 5 km??? Sampai lupa berapa kali saya harus berhenti menarik nafas. Capek… ya iyalah. Dan masih harus mendirikan tenda… tentang Centre for Orangutan Protection, saya dapatkan malam ini, bersama kantuk yang mulai menghampiri.

Tiba-tiba tenda seperti diguyur air. Ada apalagi dengan malam ini? Apakah ini seperti masa orientasi sekolah? Tak lama kemudian, air mulai menggenang… hujan deras ternyata. Di luar terdengar suara panitia, untuk segera memindahkan barang dan pindah tidur. 

Paginya… semakin seru… masak… sarapan… materi… pemateri yang luar biasa… permainan yang melepaskan pikiran saat menerima materi yang lumayan berat buat saya, dan pertemanan dengan lintas usia, budaya dan pendidikan. Hingga tibalah hari terakhir… hari dimana kami harus kembali ke aktivitas masing-masing. Sepuluh hari? Ah… itu seperti dua hari. (Ravenna_COPSchool10)

KOLA, ORANGUTAN THAILAND SEGERA PULANG KE TANAH AIR

Kola adalah bayi orangutan yang terpaksa dipisahkan dari induknya. Khai Kem, induknya yang telah melahirkannya saat proses hukum berjalan. Saat kasus hukum Khai Kem selesai, induknya diperbolehkan untuk kembali ke Indonesia pada 12 November 2015 yang lalu. Orangutan yang merupakan satwa endemik Indonesia ini tentunya melalui jalan yang panjang hingga bisa sampai di Thailand. Bahkan menjadi penghibur seperti orangutan boxing.

Kola merupakan orangutan Kalimantan, berjenis kelamin perempuan. Kebiasaannya yang berdiri tegak dan berjalan seperti manusia, tentu akan menjadi pekerja rumah tersendiri bagi pusat rehabilitasi orangutan yang akan dituju. Ya, rencananya, Kola akan masuk pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo di Berau, Kalimantan Timur. 

Centre for Orangutan Protection mendukung penuh usaha pemerintah Indonesia untuk pemulangan kedua orangutan dari Thailand ini dan mengapresiasi kerjasama pemerintah Thailand. Kola dan Giant (orangutan Sumatera) tak lama lagi akan kembali ke tanah air. Semoga keduanya bertahan dan berhasil melalui proses rehabilitasi selanjutnya.

 

GIANT, ORANGUTAN THAILAND AKAN KEMBALI KE SUMATERA

Usianya masih enam tahun. Hidup di negeri Thailand tanpa induk membuat mimpi buruk anak orangutan jantan ini semakin buruk. Statusnya yang menjadi barang bukti harus bersabar hingga kasus hukumnya selesai.

Giant namanya. Kepolisian Phetchaburi, Thailand menyitanya pada 28 November 2014 yang lalu. Giant adalah orangutan Sumatera. Walau terkenal nakal, Giant suka mendekati orang. Pada 11 Agustus, beruang mengigit tangan orangutan kecil ini. Kecelakaan ini menyebabkan Giant kehilangan kedua tangannya. 

Giant merupakan salah satu orangutan yang akan kembali ke Indonesia. Beruntung sekali pemerintah Indonesia dan Thailand berhasil mencapai kesepakatan ini. Semoga proses pemulangannya berjalan dengan lancar. Centre for Orangutan Protection dengan tim APE Defendernya akan membantu proses ini. Untuk kamu yang ingin membantu tim ini, jangan ragu untuk email kami di info@orangutanprotection.com

 

MICHELLE KEMBALI KE KANDANG KARANTINA

Ada perasaan lega dari seluruh tim yang bertugas mengawasi pulau pra-rilis orangutan COP Borneo di Berau, Kalimantan Timur. Perasaan ini juga bercampur dengan kesal karena harus mengangkat kandang yang tak ringan kembali ke kandang karantina. Michelle, orangutan yang memiliki kesempatan kembali ke habitatnya harus kembali ke kandang karantina. “Iya, dia harus turun kelas, bukan tinggal kelas lagi.”.

Seminggu ini, Michelle bahkan tak pernah beranjak dari terminal tempat pemberian pakan orangutan di pulau orangutan. Air sungai bisa saja sewaktu-waktu naik. Pengalaman buruk pada orangutan Debbie seperti menghantui tim. Tim tidak ingin, Michelle bernasib sama, hanyut saat banjir tiba-tiba menghampiri.

“Biasanya, kami dengan bahagia mengangkat kandang berisi orangutan yang mencapai 100 kg ini. Tapi kali ini kesal. Michelle punya kesempatan besar, tapi dia terlihat tidak berkembang. Masuk ke dalam pulau dan menjelajah pulau pun tidak dilakukannya. Pohon tinggi-tinggi pun tak pernah dipanjatnya.”, ujar Simson, perawat satwa.

 

SIMSON MENYUKAI ORANGUTAN HAPPI

Happi adalah orangutan jantan yang selalu menghabiskan waktunya di atas pohon. Setibanya di sekolah hutan COP Borneo yang berada di KHDTK Labanan, Berau, Kalimantan Timur, Happi akan langsung memanjat pohon. Happi tak akan menyia-nyiakan kesempatan menjelajahi kelas sekolah hutan ini. 

Apa saja yang dilakukannya? Berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain. Lalu… berdiam di satu pohon saat siang dan terlihat lelah berpindah-pindah. Sesekali, Happi terlihat seperti membuat sarang dan mencoba dedaunan yang dapat dijangkaunya. 

Simson menyukai orangutan Happi karena tidak membuatnya repot. Simson bisa dengan santai menunggu di hammock sembari mengamatinya dari bawah dan tentu saja mencatat aktivitas Happi di buku catatan sekolah hutan. 

Ketika sekolah hutan usai, Simson tinggal memanggil Happi untuk turun. “Hippi… susu…!”, atau “Hippi… turun.”, sembari membawa pisang di tangannya. Apakah kalian menyukai Happi juga? 

 

EVALUASI TIGA BULAN MICHELLE DI PULAU ORANGUTAN

Hi Michelle… apakabar mu? Michelle adalah orangutan yang sangat manja. Michelle dinilai sangat tergantung dengan manusia saat dia berada di sekolah hutan. Kedekatannya dengan manusia tidak terlepas dari perilaku perawat satwa yang merawatnya saat di kebun binatang dulu. Perlakuan perawatnya yang menganggapnya seperti anaknya sendiri benar-benar membuat tim APE Defender yang merawat Michelle di Pusat Rehabilitasi Orangutan COP Borneo kewalahan. Michelle terkenal sangat manja.

Juli 2019 yang lalu, Michelle menjadi penghuni pulau pra-rilis COP Borneo. Michelle menjadi satu-satunya orangutan betina kandidat pelepasliaran pusat rehabilitasi yang berada di Berau, Kalimantan Timur ini. Karena selama dua tahun terakhir ini, COP Borneo hanya melepasliarkan kembali orangutan jantan. Namun sayang, hasil evaluasi Michelle tidak begitu baik.

Patroli tengah malam yang dilakukan tim pos pantau COP Borneo beberapa kali memergoki Michelle tidur di gresik pulau, bukan di atas pohon selayaknya orangutan liar yang selalu membuat sarang di sore hari untuk tidurnya. Usaha tim APE Defender dengan membuatkan sarang di pohon dan mengusirnya dari gresik untuk masuk ke dalam pulau yang penuh dengan pohon juga tidak begitu berhasil. 

Hingga datanglah musim hujan. Evaluasi tiga bulanan untuk Michelle pun keluar. Selama tiga bulan Michelle tak juga membuat sarang. Kebiasaan tidur di gresik membahayakannya, karena sungai bisa sewaktu-waktu naik dan menyapu gresik. Michelle pun ditarik kembali ke kandang karantina. 

ALOUISE KEMBALI KEPANGKUAN IBUNYA (2)

Satu minggu bersama Septi, mengembalikan rasa percaya diri Alouise. Alouise sesekali terlihat melepaskan pelukannya dari Septi untuk mengambil makanan hutan. Mulai dari menggigiti kambium kayu bahkan merasakan dedaunan yang ada. Septi, orangutan betina yang sudah terlalu lama dipelihara manusia. Sifat liarnya, nyaris tak pernah muncul. Namun saat Alouise didekati orangutan kecil lainnya, Septi langsung muncul dan melindunginya. Sesekali, perawat satwa pun melakukan itu, mencoba menarik Alouise, Septi dengan cepat memeluk Alouise. 

Ketergantungan Septi dan Alouise, membuat lega para perawat satwa di COP Borneo. Lebih-lebih, saat Alouise menjadi contoh untuk orangutan-orangutan kecil lainnya yang berada di kelas sekolah hutan. Memanjat, berpindah pohon, bahkan mencoba membuat sarang sementara. Mungkin ingatan kehidupan dengan induknya masih sangat melekat dan menjadi kebiasaannya. Entah apa yang terjadi hingga Alouise harus berpisah dengan induknya. Dan kenangan buruk apa yang tertinggal padanya, hingga Alouise sangat takut pada manusia. Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, adalah daerah yang telah dibuka untuk perkebunan kelapa sawit besar-besaran. Bahkan, kematian induk orangutan pada 23 Juli 2011 yang melibatkan pegawai PT Sabantara Rawi Sentosa (Lewis dan Tadeus) telah dijatuhi pidana penjara 8 bulan dan denda Rp 25.000.000,00 subsider pidana kurungan 2 bulan (9 Mei 2012) oleh Pengadilan Negeri Sangatta. Saat itu induk orangutan tewas dan anaknya masih bisa diselamatkan, di tempat yang sama terdapat satu anak orangutan juga yang telah ditempatkan dalam kandang kayu.

Alouise menjadi harapan di Pusat Rehabilitasi Orangutan COP Borneo. “Jika tubuhnya sudah semakin kuat, dia pasti akan menjadi kandidat terbaik untuk pelepasliaran orangutan.”, ujar Reza Kurniawan, pengamat antropologi primata Centre for Orangutan Protection. 

Tapi harapan itu pupus sudah. 13 Oktober 2019 yang lalu, Alouise ditemukan dalam keadaan telentang mati di kandang. Ada titik bekas sengatan di bagian penisnya. Pada sekitaran titik sengatan, terdapat reaksi lokal yang menyebabkan pembengkakan disekitar perut bagian bawah hingga anusnya. 

Selamat kembali ke pangkuan ibumu, Alouise. Memanjatlah yang tinggi tanpa menghiraukan kami lagi. Abaikan panggilan kami untuk kembali ke kandang saat sore menjelang. Peluklah ibumu dan bermainlah di pohon pilihanmu.