APE GUARDIAN LEBIH DARI SEKEDAR PENJAGA ORANGUTAN DI HUTAN KALIMANTAN

APE Guardian salah satu tim dari COP sudah lebih dari setengah tahun mengurus pelepasliaran orangutan yang berada di Busang, Kalimantan Timur. Sebuah pondok kayu yang berdiri di tengah hutan berfungsi sebagai pos monitoring menjadi tempat berteduh para ranger dan keeper. Para keeper senantiasa mengawasi perilaku harian orangutan di pulau pra-pelepasliaran. Sementara para ranger siap sedia melakukan monitoring paska pelepasliaran dengan cara keluar masuk hutan dan menyisir sungai.

Bukan hanya melakukan rutinitas harian, di sela-sela kegiatannya juga melakukan kegiatan tambahan demi menjaga kawasan pelepasliaran. Ranger tidak pernah lelah bersosialisasi dan bertanya pada warga lokal yang ditemui selama melakukan kegiatan di sungai. Hal ini dilakukan sebagai bentuk mitigasi potensi konflik antara orangutan dan warga lokal. Warga lokal memang sangat bergantung pada sungai untuk mencari ikan menggunakan perahu bermesin dan tak jarang warga melakukan aktivitas mencari ikan di sekitar kawasan pelepasliaran. “Kekhawatiran utama kami jika, suara mesin perahu dan suara aktivitas warga tersebut dapat menarik perhatian orangutan untuk mendekat”, ujar Noh, ranger APE Guardian. Harapannya kegiatan sosialisasi dan penyadartahuan kepada warga dapat mencegah konflik yang mungkin terjadi dengan orangutan yang kami lepasliarkan.

Beda halnya yang dilakukan oleh dua orang COP Academy yang sedang magang di tim APE Guardian seperti Randi dan Eko. Di sela-sela monitoring keduanya secara rutin melakukan pencatatan biodiversitas fauna di hutan dan sungai dalam kawasan pelepasliaran. Walaupun hutan di kawasan pelepasliaran masih dalam tahapan suksesi paska kebakaran hutan, namun fauna yang dilindungi dan masuk daftar jenis hewan dalam Permenhut No. 106 tahun 2018. Sejauh ini fauna mamalia dilindungi yang berhasil ditemui jejak keberadaannya dalam kawasan pelepasliaran meliputi berang-berang, kijang, pelanduk napu dan beruang madu. Untuk fauna burung, tim berhasil mengidentifikasi keberadaan elang brontok, elang bondol, elang ikan, enggang badak dan kangkareng perut putih. Jenis-jenis yang ditemui kemungkinan besar akan semakin bertambah seiring dengan rutinitas monitoring dan patroli yang dilakukan APE Guardian. Tentunya dengan temuan-temuan ini harapannya kawasan pelepasliaran ini dapat menjadi kawasan retorasi demi menjaga kelestarian berbagai spesies.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan ini bukan hanya memiliki andil dalam peletarian orangutan, namun juga meningkatkan nillai konservasi kawasan dan menambah pengetahuan serta penyadartahuan masyarakat banyak terhadap konservasi orangutan. Selama kawasan pelepasliaran ini masih ada APE Guardian, maka akan senantiasa menjaga orangutan, hutan dan keanekaragaman di dalamnya. (EKO_COPAcademy)

MY UNFORGETTABLE JOURNEY IN BORA

Keberangkatanku ke Berau, Kalimantan Timur untuk menjadi volunteer sekaligus melaksanakan kerja Praktek di Bornean Orangutan Rescue Alliance (BORA) bulan Juni lalu merupakan salah satu turning point kehidupanku yang tidak akan pernah aku lupakan. Selama dua tahun terakhir, aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah karena seluruh kegiatan perkuliahan terpaksa dilakukan secara daring akibat pandemi. Kurangnya kemampuan hands on yang aku dapatkan selama kuliah online membuatku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatanku untuk memperoleh pengalaman bekerja di lapangan melalui Kerja Praktek. Oleh karena itulah aku bertekad untuk mencari pengalaman yang sesuai dengan keilmuan yang ingin aku tekuni, yaitu konservasi satwa liar.

Mempersiapkan dan memberikan feeding, enrichment, susu dan vitamin, membersihkan kandang, membantu saat posyandu dan medical check up orangutan adalah bagian dari rutinitasku di BORA. Selain itu, kegiatan utama yang aku lakukan adalah mencatat dan menganalisis perilaku orangutan saat Sekolah Hutan. Meskipun beberapa orangutan kerap kali jahil dan rewel, aku tetap menikmati keseharianku dalam membantu keeper dan dokter hewan. Bahkan, pertemuan pertamaku dengan orangutan Jainul dapat dibilangi cukup unik karena saat aku membawanya ke lokasi sekolah hutan, ia langsung BAB di pangkuanku sambil menangis karena tidak ingin lepas dariku. Walaupun bagitu, Jainul adalah salah satu orangutan yang paling aku sukai karena wajah dan tingkahnya yang sangat lucu. Awal mula aku bertemu dengan para orangutan di BORA, aku sedikit kebingungan membedakan mereka karena wajahnya terlihat mirip semua. Namun, hanya butuh waktu 1 minggu untukku menghafalkan nama, ciri khas fisik dan sifat mereka agar dapat membedakannya satu sama lain. Tanpa kusangka, kondisi lokasi yang tanpa sinyal dan minim listrik juga tidak membuatku merasa kebosanan selama aku menetap di sini.

Sebelumnya, aku tidak pernah memiliki ketertarikan khusus terhadap orangutan. Aku hanya  mengetahui bahwa orangutan merupakan satwa endemik Indonesia yang status konservasinya critically endangered akibat perdagangan hewan secara ilegal dan penyusutan habitat alaminya. Namun, setelah membaca lebih banyak referensi dan menjadi relawan di BORA, aku mulai menyadari bahwa masalah yang dihadapi oleh para pengiat konservasi orangutan jauh lebih kompleks dari itu. Reintroduksi orangutan ke habitat alaminya tidak dapat semata-mata dilakukan begitu saja tanpa adanya proses rehabilitasi, terutama bagi orangutan yang sebelumnya lebih banyak menghabiskan hidupnya di kandang peliharaan ataupun kebun binatang. Rehabilitasi ditujukan untuk membekali dan meningkatkan kemampuan orangutan agar bisa bertahan hidup di alam. Selain itu, minimnya  edukasi ke masyarakattentang larangan memelihara dan memperjualbelikan satwa liar juga masih menjadi masalah yang serius di Indonesia. Oleh karena itulah, saya sangat tergerak untuk membantu meningkatkan awareness mengenaik is konservasi orangutan melalui media sosial. Saya juga ingin mengusulkan adanya sharing session di himpunan jurusan dan/atau unit konservasi GARDA yang saya ikuti rehabilitasi orangutan dengan harapan bahwa nantinya akan ada lebih banyak mahasiswa (terutama mahasiswa biologi) yang tertarik untuk berdonasi kepada lembaga-lembaga konservasi, menjadi volunteer atau bahkan berkarir di bidang konservasi satwa liar khususnya orangutan. (Dinda_Orangufriends)

ABELII FEST UNTUK ORANGUTAN SUMATRA

Ada Abelii Fest hasil kolaborasi dengan Degil House dan Orangufriends Medan sebagai respon kondisi terkini orangutan yang kondisinya tidak sedang baik-baik saja pada 23-25 Juli. Melalui media seni dan musik yang dinilai lebih menarik dan mudah dimengerti oleh masyarakat luas, sehingga isu-isu konservasi yang biasanya sangat bertolak belakang bisa sejalan dan saling mendukung. 

Pameran foto yang berfokus pada isu perlindungan terhadap satwa liar khususnya orangutan menjadikan tiga hari akhir pekan tak hanya libur. Ada pemutaran film dukumenter “Lara Pongo” oleh Gladys dengan pengambilan gambar di BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance), Berau, Kalimantan Timur. Workshop Menyusun Foto Cerita yang difasilitatori oleh Kaleb Sitompul dan dilanjutkan dengan acara live music oleh band-band asal Medan sebagai puncak acara seperti Filsafatian, Yoko City Ghost dan Ariffatur.

“Menariknya, Workshop mendapatkan banyak perhatian dan respon dari para peserta. Awalnya kami merasa 5-10 orang peserta saja cukup untuk memulai workshop. Ternyata peserta melebihi target, bahkan mencapai 35 peserta. Sungguh membakar semangat”, ujar Netu Domayni, COP Academy yang magang di COP Sumatra, Medan.

Malam tak juga menyurutkan pengunjung, diakhiri lagu “Orangutan” karya Oppie Andaresta yang dibawakan Filsafatian membuat Pongo Abelii maupun Tapanuliensis membawa warna dan cerita baru di rumahnya, yaitu pulau Sumatra. “Serunya Sabtu ini membawa semangat luar biasa. Para relawan orangutan yang tergabung di Orangufriends Medan saling bertemu dan merencanakan kegiatan selanjutnya. Siapa bilang Anak Medan tidak peduli. Ayo jadi Orangufriends Medan!”, ajak Netu dengan lugas. (Netu_COPAcademy)

PAGI, SIANG, SORE DI PULAU PRA PELEPASLIARAN HAGAR

Tak terasa hampir mendekati empat bulan sudah, apa kabar dengan orangutan yang dilepasliarkan di Kecamatan Busang, tepatnya di pulau kecil Sungai Menyuk, ya orangutan Ucokwati dan Mungil merupakan ibu dan anaknya yang telah dilepasliarkan oleh tim APE Guardian dibantu oleh tim APE Defender yang bekerjasama dengan BKSDA Kaltim di pulau pra pelepasliaran Hagar pada tanggal 18 April 2022. Kegiatan pra pelepasliaran ini bertujuan untuk melatih orangutan untuk survive di alam agar dapat hidup liar di habitat aslinya. Tahapan ini merupakan tahap terakhir bagi orangutan untuk mengembalikan sifat liar dan istingnya untuk bertahan hidup di alam liar. 

Sinar matahari pagi yang memancar di pepohonan selalu membangunkan orangutan Ucokwati dan Mungil dari tidur panjangnya. Memulai pagi dengan travelling dari satu pohon lain merupakan rutinitas yang selalu dilakukan oleh orangutan ini, sebelum datang waktu feeding pagi biasanya Ucok dan Mungil travelling sambil mencari makan, bisanya sarapan pagi diawali dengan memakan tunas muda dari beberapa tumbuhan diantaranya tunas bambu dan tunas daun dari pohon bayur atau disebut juga pohon kidau di daerah setempat, sesekali bagian kulit dari pohon kidau menjadi alternatif pakan yang menjadi santapan oleh Ucokwati dan Mungil. 

Siang merupakan waktu istirahat sejenak yang kadang dilakukan untuk melepas kepenatan oleh Ucokwati dan Mungil setelah melakukan kegiatan travelling dan feeding pagi. Siang menjelang sore merupakan waktu yang dimanfaatkan untuk bermain, tak jarang Ucokwati dan Mungil juga bermain bersama di pinggiran sungai hilir hingga hulu pulau pra-pelepasliaran. Mendekati sore hari Ucokwati dan Mungil biasanya travelling sambil mencari makan untuk mengisi perut sebelum datangnya waktu malam yang panjang.

Sore menjelang malam sekitar jam 17.30 merupakan waktu yang paling sibuk bagi Mungil membuat sarang untuk persiapan beristirahat dan tidur pada malam hari karena Mungil hampir lebih sering membuat sarang baru dan mempunyai banyak sarang ketimbang Ucokwati yang setia dengan sarangnya yang merupakan renovasi sarang dari bekas tumbuhan epifit yang menempel di pohon kidau pada ketinggian sekitar 30 meter. (RAN)

PENCURI NUTRISI DI USUS ORANGUTAN

Tahukah kamu ada parasit yang memanfaatkan usus sebagai rumahnya? Salah satu parasit itu adalah Hymenolepsis sp. yang merupakan cacing kelas cestoda yaitu cacing parasit dengan bentuk badan pipih dan bersegmen-segmen. Parasit ini akan menjadikan usus halus sebagai tempat tinggal untuk menjadi dewasa dan bereproduksi secara seksual. Sering kali parasit ini berada di rodensia seperti tikus dan hamster, ditemukan juga di non human primata seperti orangutan dan juga menjadi salah satu infeksi cacing pita yang biasa terjadi pada manusia di seluruh penjuru dunia. Infeksi Hymenolepsis sp akan menyebabkan penyakit Hymenolepsiasis.

Cacing Hymenolepsis sp. yang dijumpai di orangutan akan menimbulkan gejala yang bersifat subklinis pada orangutan dewasa, sedangkan pada orangutan muda dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan hingga kematian. Sama halnya pada manusia, tidak ada gejala tertentu pada manusia dewasa,namun jika infeksi terjadi secara berkepanjangan pada anak kecil, parasit ini dapat menyebabkan diare yang dapat disertai dengan darah, gatal pada area dubur, kenaikan maupun penurunan nafsu makan, sakit kepala, sakit perut, muntah-muntah bahkan penurunan berat badan.

Penularan Hymenolepiasis pada orangutan terjadi ketika orangutan memakan tanah yang terkontaminasi telur cacing Hymenolepsis sp. “Betul, dia bersifat zoonosis, hewan yang terinfeksi bisa menularkan ke manusia begitu pun sebaliknya. Manusia yang terinfeksi bisa menularkan ke hewan. Sedangkan penularan pada manusia, terjadi ketika manusia memakan makanan dan minuman yang terkontaminasi”, jelas Miftachul Hanifah, paramedis orangutan di BORA.

Feses rodensia dan primata yang terinfeksi dapat membuat makanan, air dan tanah terkontaminasi. Penularan Hymenolepiasis bisa terjadi secara autoinfeksi dengan tertelannya telur cacing yang menempel pada jari, makanan air maupun tanah. Bisa juga dengan tidak sengaja menelan serangga seperti kutu beras atau kumbang yang telan menelan telur cacing sehingga di dalam serangga tersebut terdapat larva cacing yang hidup. Telur cacing yang tertelan oleh rodensia, primata dan manusia akan menetas di dalam usus halus lalu akan tumbuh menjadi larva lalu menjadi cacing dewasa sedangkan larva pada serangga yang tertelan akan berkembang dalam usus halus menjadi cacing dewasa. Cacing Hymenolepsis sp di usus halus tidak hanya tinggal saja namun cacing ini akan menganggu penyerapan nutrisi yang dibuthkan tubuh dengan cara memakan nutrisi yang ada dalam usus halus. Cacing ini memerlukan nutrisi untuk tumbuh dan bereproduksi di dalam usu halus.

Jadi, bagaimana cara mencegah agar kita bisa terhindar dari cacing Hymenolepsis sp ini, serasa tidak mungkin ya? Karena telur cacingnya bersifat mikroskopis dan kita tidak akan bisa melihat dengan kasat mata apabila makanan dan minuman yang kita konsumsi itu terkontaminasi, kita juga tidak bisa mengontrol penyebaran feses hewan yang bisa membuat makanan, air dan tanah terkontaminasi. Apabila di jari tangan menempel telur cacing ini pun pasti kita tidak sadar. 

Tenang… masih ada cara kok untuk terhindar dari infeksi Hymenolepsis sp ini. Terapkan hal-hal berikut ini ya. Pertama cuci bersih buah dan sayuran, Cuci tangan dengan sabun setelah menggunakan toilet, cuci tangan dengan sabun sebelum menyiapkan makanan dan sebelum makan. Stop kebiasaan menyentuh-nyentuh hidung dan mulut serta hentikan kebiasaan memasukkan jari ke mulut ataupun menggigit-gigit kuku jari. (TAT)

Sumber:

– Parasite in Humans Find the Nastiest Parasite in Human (https://www.parasitesinhumans.org/hymenolepis-nana-dwarf-tapeworm.html)

– Diagnostic Parasitology for Veterinary Technicians 4th  edition (Charles M. Hendrix Ed Robinson Tahun 2012

– Veterinary Clinical Parasitology (Anne M. Zajac etc tahun 2021)

SCHOOL VISIT DI PAUD SEKOLAH ALAM YAYASAN SEMANGAT BANGSA

Pagi yang cerah di hari Selasa, tepat pukul 08.30 WIB tim APE Sentinel bersama Orangufriends Medan menuju Sekolah Alam Yayasan Semangat Bangsa. Afin, Mahdiyyah, Maryam, Iqbal dan Lulu akan berbagi cerita di PAUD yang mana sehari sebelumnya Orangufriends Medan telah melaksanakannya di jenjang SD.

Tepat pukul 09.00 WIB, tim telah sampai di sekolah, nampaknya anak-anak yang kurang lebih berjumlah 20 anak sudah menunggu kedatangan kami. Para guru mempersilahkan kami untuk masuk ke ruangan, kemudian dilanjutkan perkenalan dan penyampaian materi.

Melalui dongeng, materi orangutan dan habitatnya menjadi lebih ringan dan komunikatif. Sesekali anak-anak menimpali dialog yang disampaikan. Setelah mendongeng selesai, permainan bermain tepuk-tepuk serta bernyanyi untuk mengembalikan semangat anak-anak. 

Pada akhir kegiatan, tim melakukan fun experience dengan mengajak anak-anak untuk “tos” dengan boneka Orangutan jika menganggap orangutan itu lucu dan “peluk” boneka Orangutan jika menganggap Orangutan perlu untuk dilindungi. Hasilnya? “Banyak anak-anak yang mememilih untuk tos, tapi banyak pula yang memeluk. Bahkan terdapat pula yang melakukan keduanya”, kata Dita, COP Academy yang sedang magang di tim APE Sentinel, Medan. (Dita_COPAcademy)

HARI ANAK NASIONAL 2022: ANAK TERLINDUNGI, HEWAN TIDAK TERSAKITI

Momen esensial bagi anak-anak di seluruh Indonesia tahun 2022 ini mengusung tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”. Namun naas, perayaan hari anak yang jatuh setiap tanggal 23 Juli ini tidak berlaku dan bertolak belakang dengan anak berusia 11 tahun di Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya yang menjadi korban bullying dimana ia sebagai korban dipaksa untuk memperkosa seekor kucing hingga kucingnya mati. Videonya pun tersebar ke jagat maya hingga akhirnya korban meninggal dunia.

“Prilaku abnormal pelaku bullying atau perundungan yang menyebabkan kematian pada kedua korban ini sangat memprihatinkan. Kami yakin, bullying dapat dihentikan dengan mengajarkan anak untuk menerapkan prinsip animal welfare. Edukasi tentang kesejahteraan satwa sejak dini dapat menumbuhkan rasa empati anak untuk sayang terhadap binatang dan makhluk hidup”, ucap Satria Wardhana, kapten APE Warrior COP.

Lima prinsip animal welfare yakni bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari rasa tidak nyaman, bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit, bebas mengekspresikan perilaku normal, bebas dari rasa stres dan tertekan. Jika lima prinsip ini ditumbuhkan dengan baik kepada anak, maka anak akan terbiasa untuk memenuhi prinsip kebebasan kepada siapa pun tanpa terkecuali. Prinsip kebebasan yang diajarkan dalam animal welfare ini dapat menghindarkan anak dari dampak negatif yang timbul di sekitarnya sekecil mungkin. Selain rasa empati anak yang akan semakin tinggi, kepekaan anak akan tumbuh dengan natural sehingga sang anak akan menjadi sosok penyelamat bagi makhluk hidup yang mungkin mendapatkan intimidasi dari pelaku yang tidak bertanggung jawab. “Kejadian di Tasikmalaya ini harusnya menjadi pelajaran bagi orangtua untuk lebih peka terhadap situasi dan kondisi anaknya. Pelaku bullying harus diproses hukum untuk menegakkan keadilan dengan instrumen hukum yang berlaku di Indonesia. Say NO to bullying! Anak Terlindungi, Hewan Tidak Tersakiti”, tegas Satria lagi. (SAT)

SUARA DI TENGAH MALAM

Saat itu, waktu menunjukkan pukul 00.20 WITA, tengah malam. Suara berisik dari arah gudang pakan BORA memecah keheningan malam itu. Suara itu terdengar seperti seseorang sedang berusaha memasuki gudang pakan yang saat itu semua pintunya tertutup. Dengan membawa ponsel sebagai lampu senter, saya bangkit dari tempat tidur dan pergi keluar camp untuk memeriksa asal suara tersebut. 

Berkat sorot lampu senter ponsel, terlihatlah siapa pembuat suara-suara tersebut. Ia adalah seekor musang yang berada di atas langit-langit gudang pakan BORA. Musang dari jenis Paradoxurus philippinensis ini tampak sedang berusaha memasuki gudang pakan yang banyak berisi buah pakan orangutan. Aroma buah-buahan matang tampaknya menarik musang tersebut untuk mendatangi gudang pakan. Tidak lama setelah terlihat, musang ini pergi dan menghilang ke arah pepohonan.

Sejak setahun ke belakang, setidaknya telah ditemukan sebanyak dua jenis musang berdasarkan perjumpaan langsung maupun melalui foto kamera jebak di dalam kawasan BORA yang berada di KHDTK Labanan. Kedua jenis musang tersebut antara lain musang tenggalung (Viverra tangalunga) dan Paradoxurus philippinensis. P. philippinensis merupakan subspesies dari musang luwak asia (P. hermaphoditus) yang persebarannya meliputi Kalimantan dan Filipina. Selain melalui perjumpaan langsung melalui temuan feses musang juga sering ditemukan di sekitar kawasan BORA. Tidak menutup kemungkinan potensi masih adanya beberapa jenis musang Kalimantan lainnya di kawasan BORA maupun di KHDTK Labanan secara umum. (RAF)

LAGI-LAGI BONTI TAK MAU TURUN

Suatu pagi yang diselimuti cuaca mendung dan teduh, saya bersama para perawat satwa di BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance) berangkat menuju lokasi hutan yang kami sebut area Sekolah Hutan 2, salah satu dari tiga lokasi Sekolah Hutan yang biasa digunakan di BORA untuk melangsungkan kegiatan sekolah hutan bagi orangutan.

Pagi itu merupakan giliran orangutan Bonti, Jojo, Mary, Jainul dan Aman untuk menjadi peserta sekolah hutan. Munculnya Bonti dalam daftar peserta hari itu membuat beberapa perawat satwa was-was.

“Siap-siap aja, Bonti gak mau turun”, kata perawat satwa Jevri saat briefing pagi. Sebabnya, selain sudah memiliki kemampuan beradaptasi di hutan yang baik, Bonti seringkali tidak mau dipanggil untuk pulang setelah jadwal sekolah hutan selesai. Hal unik lainnya, biasanya Bonti hanya mau turun ketika dibujuk turun oleh perempuan.

Sejak pukul 09.00 WITA, setibanya di lokasi sekolah hutan 2, Bonti langsung memanjat pohon dan eksplorasi di antara tajuk-tajuk pohon. Hingga siang hari, Bonti terus aktif berpindah-pindah pohon tanpa pernah sekalipun turun ke tanah. Ia juga aktif mencari pakan alami tanpa meminta makanan ke perawat satwa. Sesekali Bonti melakukan aktivitas sosial dengan orangutan lainnya seperti bermain dan mencari makan bersama.

Waktu terus berjalan dan waktunya sekolah hutan berakhir. Keempat orangutan lainnya telah berhasil dipanggil turun dan dibawa kembali ke kandang oleh perawat satwa, kecuali Bonti. Lio, perawat satwa yang bertugas mengamati Bonti hari itu, mencoba memanggil Bonti untuk turun dari pohon. Namun dalam beberapa kali percobaan, Bonti cenderung menghindar dan naik lebih tinggi ketika Lio mendekat. Memang seringkali Bonti cenderung menghindar ketika ada laki-laki di dekatnya saat sekolah hutan.

Maka, ditugaskanlah Dinda, mahasiswa ITB yang sedang magang di BORA untuk membujuk Bonti turun dari pohon. Dinda mencoba membujuk Bonti turun dengan pakan buah dan madu yang ada di tangannya. Bonti akhirnya mau untuk turun lebih rendah, namun masih terlihat ragu-ragu untuk menjulurkan tangannya. Beberapa menit kemudian datanglah drh. Theresia yang membawa sebotol susu untuk membujuk Bonti turun. Berkat sebotol susu, akhirnya Bonti mau turun dan dibawa pulang ke kandang oleh Dinda dan drh. There. (RAF)

KEMATIAN BURUNG KERAK KERBAU DI JALANAN

Minggu kedua Juli, tim APE Crusader bertugas di daerah Bengalon, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Tak sengaja, dalam perjalanan tersebut tim menjumpai burung Kerak Kerbau atau Acridotheres javanicus tergeletak di jalan poros Perdau-Sangkulirang. Kerak kerbau ini merupakan satwa yang dengan habitat alami di Jawa dan Bali tetapi saat ini sudah diintroduksi berbagai daerah seperti Kalimantan, Sumatra dan Sulawesi sehingga mengakibatkan burung ini menjadi invasif di lokasi introduksinya. Padahal di habitat alaminya yaitu pulau Jawa dan Bali sudah sulit dijumpai melainkan sudah banyak pindah ke sangkar-sangkar ‘pehobi’ burung peliharaan.

Sialnya, sudah dibawa keluar dari habitat alaminya ditambah bernasib naas. Walaupun umur burung ini bisa mencapai 3,9 tahun tetapi nasib burung ini bisa lebih cepat lagi untuk mati. Seperti yang kami jumpai pada 8 Juli yang lalu, dia mati karena tertabrak kendaraan. 

“Seberapa seringkah kematian satwa liar di jalan raya? Bagaimanakah status hukum penyebab hilangnya nyawa satwa liar? Benarkah ini karena kesalahan satwa liar tersebut yang katanya kehilangan insting atau dalam kondisi sakit sebelumnya? Ataukah ini adalah tanggung jawab kita bersama? Pengguna jalan bahkan pembuat hingga perencana jalan yang melintasi habitat satwa liar atau hutan? Apakah Indonesia akan mulai memperhatikan nyawa satwa liar yang mati sia-sia ini dalam waktu dekat?”, Hilman, anggota termuda APE Crusader pun mulai mencoba membuat mind map kasus ini. “Semoga…”. (HIL)