DIARY VOLUNTEER: SEKOLAH HUTAN

Mungkin masih banyak yang tak tahu klau kemiripan DNA yang dimiliki manusia dan orangutan mendekati sempurna, yaitu hampir 97%! Kesamaan ini meliputi kesamaan struktur fisik dan anatomi, cara bereproduksi, pola pengasuhan anak, tingkat kecerdasan hingga penyakit yang diderita. Itu sebabnya, orangutan disebut-sebut sebagai primata yang menjadi kerabat dekat manusia. Kedekatan inilah dapat dilihat saat penanganan orangutan sakit.

Bayi atau Balita orangutan yang masuk ke pusat rehabilitasi biasanya adalah korban perdagangan maupun akibat konflik manusia dan satwa. Hutan yang merupakan habitat orangutan dialih-fungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit. Induk orangutan tewas terbunuh atau sengaja dibunuh akhibat konflik tadi karena melintas maupun berada di perkebunan yang sebenarnya habitat orangutan. Ada juga orangutan yang berasal dari kepemilikan ilegal bahkan jeleknya manajemen kebun binatang.

Idealnya bayi orangutan berada dalam pengasuhan induknya hingga berumur 6-9 tahun. Waktu itu digunakan untuk belajar langsung dari induknya bagaimana cara bertahan hidup. Tapi karena induk tadi mati, maka peran induk digantikan para pengasuh dari manusia yang disebut baby sitter dan animal keepers. Bayi-bayi ini berkesempatan untuk memanjat pohon, membuat sarang dan mengenali makanan alami di hutan. Insting keliaran orangutan akan tumbuh alamiah. Ini adalah proses penting saat waktunya tiba untuk mereka dilepasliarkan kembali ke habitatnya. Proses pengenalan kembali (reintroduksi) selayaknya orangutan hidup di hutan inilah yang disebut tahapan para bayi orangutan berada di “Sekolah Hutan”.

Proses ini memang menjadi bagian yang sangat penting, betapa orangutan sangat tergantung sekali dengan pohon dengan habitatnya yaitu hutan. Pusat rehabilitasi adalah tempat penampungan sementara untuk menghilangkan trauma dan menjalani proses belajar menimbulkan insting alamiah orangutan. Sebagai relawan, akupun mengikuti proses pembelajaran itu. Lewat pekerjaan-pekerjaan mengasuh dan membimbing bayi-bayi orangutan mengikuti kegiatan sekolah hutan. Aku, Novi cukup bangga mendapatkan kesempatan ini. (Novi_Orangufriends)

KRONOLOGI KEMATIAN ORANGUTAN DENGAN 130 PELURU

4 Februari 2018, Kepala Balai Taman Nasional Kutai (TNK) mendapat informasi melalui Call Center Balai TNK dari masyarakat desa Teluk Pandan, kecamatan Teluk Pandan, kabupaten Kutai Timur terdapat orangutan di kebunnya. Pada tanggal 5 Februari 2018, evakuasi oleh TN Kutai dan Polres Kutai Timur. Saat itu kondis orangutan sangat lemah dan berada di atas batang kayu yang melintang di permukaan danau.

Setelah melewati penanganan medis sekitar 40 menit oleh tim Centre for Orangutan Protection (COP), pada pukul 01.55 WITA (6 Februari 2018) orangutan tidak dapat diselamatkan, karena kondisi yang sangat lemah dengan luka parah.

Rontgen dan Nekropsi di RS Pupuk Kaltim untuk mencari penyebab kematian orangutan dilakukan dokter hewan COP bersama Polres Kutim. Identifikasi luka-luka dan peluru sebanyak 48 butir berhasil diambil dari tubuh orangutan tersebut. Jasad orangutan untuk sementara disimpan di lemari pendingin rumah sakit dan selanjutnya disimpan di lemari pendingin milik Balai KSDA Kalimantan Timur sebagai barang bukti untuk proses hukum lebih lanjut.

Balai TN Kutai bekerjasama dengan Polda Kaltim, Polres Kutim, Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Kalimantan Timur akan melanjutkan penyelidikan dan penyidikan kasus kematian orangutan tersebut.

SEKOLAH RIMBA DI MERASA

Tak mesti pakai baju seragam di sekolah ini. Tak mesti duduk di kursi dengan menghadap papan tulis dan berada di dalam ruangan. Tapi bisa disesuaikan dengan tema, kebutuhan dan cuaca tentunya. Ini adalah cara belajar berbeda dari biasanya. Sekolah Rimba namanya. Tentu saja hanya ada di Merasa, Berau, Kalimantan Timur.

Murid kelas 5 dan kelas 6 SD sudah berkumpul di tepi sungai. Boleh pakai celana panjang, boleh juga celana pendek. Perempuan dan laki-laki berkumpul bersama. Yang menarik lagi ada relawan dari Republik Cheko yang membantu. “Anak-anak jadi lebih bersemangat.”, seru Uci.

Kurikulum dan Silabus Sekolah Rimba disusun bersama. Uci, Agus, dan guru-guru saling bahu membahu menjalankan kegiatan ini. Setiap 2-3 hari jadwal tetapnya. Materi hari ini adalah pengenalan dalam bahasa Inggris. Semuanya dikemas dalam bentuk permainan. “Siapapun suka bermain. Apalagi anak-anak. Ini memang dunia mereka. Agar materi yang disampaikan bisa diterima mereka… ya harus dikemas dengan permainan.”, jelas Soesilawati Jalung.

Kamu ingin mengajar juga? Yuk ke desa Merasa. Desa ini adalah desa terdekat dengan pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo. Banyak harapan tentunya untuk masyarakat desa Merasa. Mereka adalah garis depan pelestarian orangutan. Iya, orangutan yang merupakan satwa endemik Indonesia.

AGAIN , ORANGUTAN DIED FULL OF BULLETS

On Tuesday night, February 6th ,2018 an autopsy or necropsy of orangutan that been found at Teluk Pandan village, East Kutai District, East Kalimantan. Autopsy done in Pupuk Kaltim Hospital, Bontang by COP team, Bontang Resort Police, East Kutai Resort Police and KLHK.

From the autopsy that run about 4 hours, the team revealed :

1. Certain it was a male orangutan in the age to 5 – 7 years old.
2. Death occurred on Tuesday, February 6th 2018 at 01:55 WITA
3. The X-Ray found at least 130 bullets from a air riffle:
– Head : 74 bullets
– Right Arm : 9 bullets
– Left Arm : 14 bullets
– Right Leg : 10 bullets
– Left Leg : 6 bullets
– Chest : 17 bullets
But the team was only able to remove 48 bullets.
4. Both right and left eyes are blind from several bullets around the eyes.
5. There is 1 hole diameter 5mm in left cheek.
6. The lower left canine teeth are broken.
7. New open wounds as mush as 19 different points are estimate from sharp object.
8. The Sole of the left foot is gone but it is from old injury.
9. The right testicle there is an incision wound and fester.
10. Bruises in left thigh area, right chest and left hand estimated due to blunt object.
11. Finding Inside the Colon are 3 seeds from palm oil fruits and in the stomach contains Pineapple.

Estimated cause of the mortality is due to an infection from an old or recent injuries.
130 bullets are thelargest number in the history of conflicts between orangutans and humans that have occurred in Indonesia.
Weak case resolution and lack of public awareness so that cases like this continue to recur.

In May 2016 there has also been a motive case similar to the location that is not too far but not revealed until now.
This case should be a shame for all of us in the midst of government efforts to implement national orangutan conservation
strategy and action plan.

“We will coordinate with the Police and KLHK to both cases can be revealed.
The experience of two weeks ago the killing of orangutans in Kalahien, Central Kalimantan could be revealed by Polda Kalteng.
So we believe this is only a matter of seriousness of law enforcement in solving cases,” said Ramadhani.

Information and Interview Please contact:
CENTER FOR ORANGUTAN PROTECTION (COP)
Ramadhani, COP Habitat Protection Manager
Phone : 081349271904
Email : info@orangutanprotection.com

LAGI, ORANGUTAN MATI PENUH PELURU
Selasa malam tanggal 6 Februari 2018 telah dilakukan otopsi atau nekropsi terhadap mayat orangutan yang ditemukan di desa Teluk Pandan, kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Otopsi dilakukan di RS. Pupuk Kaltim, Bontang oleh tim COP, Polres Bontang, Polres Kutai Timur dan KLHK.

Dari otopsi yang berjalan sekitar 4 jam, tim otopsi mendapatkan :

1. Dipastikan orangutan berjenis kelamin jantan dengan usia 5-7 tahun.
2. Kematian hari Selasa, tanggal 6 Februari 2018 jam 01:55 WITA.
3. Hasil rontgen ditemukan paling tidak 130 peluru senapan angin :
– Kepala : 74 peluru
– Tangan kanan : 9 peluru
– Tangan kiri : 14 peluru
– Kaki kanan : 10 peluru
– Kaki kiri : 6 peluru
– Dada : 17 peluru
Namun tim otopsi hanya mampu mengeluarkan 48 peluru.
4. Kedua mata kanan dan kiri buta dikarenakan adanya beberapa peluru disekitar mata
5. Ada 1 lubang diameter 5mm dipipi kiri.
6. Gigi taring bagian bawah sebelah kiri patah.
7. Luka terbuka yang masih baru sebanyak 19 titik diperkiraan dari benda tajam.
8. Telapak kaki kiri tidak ada namun merupakan luka lama.
9. Testis kanan terdapat luka sayatan dan bernanah.
10. Lebam daerah paha kiri, dada kanan dan tangan kiri diperkirakan akibat benda tumpul.
11. Temuan dalam usus besar ada 3 biji buah kelapa sawit dan lambung berisi buah nanas.

Penyebab kematian sementara diperkirakan karena adanya infeksi akibat luka yang lama ataupun yang baru terjadi. 130 peluru adalah terbanyak dalam sejarah konflik antara orangutan dan manusia yang pernah terjadi di Indonesia. Lemahnya penyelesaikan kasus dan kurangnya kesadaran masyarakat sehingga kasus seperti ini terus terulang.

Pada Mei 2016 juga telah terjadi motif kasus yang sama dengan lokasi yang tidak terlalu jauh namun tidak terungkap hingga sekarang. Semestinya kasus ini menjadi hal yang memalukan bagi kita semua di tengah upaya Pemerintah melakukan strategi dan rencana aksi konservasi orangutan secara nasional.

“Kami akan berkoordinasi dengan Kepolisian dan KLHK untuk sama-sama kasus ini bisa terungkap. Pengalaman dua pekan lalu pembunuhan orangutan di Kalahien, Kalimantan Tengah bisa terungkap oleh Polda Kalteng. Sehingga kami meyakini ini hanya persoalan keseriusan dari pihak penegak hukum dalam menyelesaikan kasus.”, kata Ramadhani.

Informasi dan Wawancara silahkan hubungi:
Centre for Orangutan Protection (COP)
Ramadhani, Manager Perlindungan Habitat COP
HP: 081349271904
Email: info@orangutanprotection.com

WE LOST HIM

Both of his eyes were blinded, open wound and bruises found all over his body. COP Medic team tried their best to help him. Unfortunately, his injury is beyond our help.
Finally the male orangutan passed away.
This case in Bontang, East Kalimantan is the second case of orangutan violence. Back in May 2016, an orangutan was amputated due to and finnally passed away too. The case? It was shoved into the fridge. Should this case be the same? Please share… so this case won’t end up in the back of the fridge too!

Kedua matanya buta, luka-luka di sekujur tubuhnya masih menganga, lebam di tubuhnya tak terhitung lagi.
Tim medis COP berusaha memberikan pertolongan. Sayangnya sakit yang dideritanya sudah terlalu parah.
Akhirnya orangutan jantan ini merengang nyawa.
Bontang, Kalimantan Timur 2018 ini adalah kasus kekejaman terhadap orangutan yang kedua. Mei 2016 yang lalu, orangutan dengan kaki terjerat dan terpaksa diamputasi pun harus mati. Kasusnya? Masuk peti es. Harus kah yang sekarang juga?Please share… agar kasus ini tak masuk peti es juga!

ORANGUFRIENDS JAKARTA DI RUMAH PINTAR WARAKAS

Dini, alumni COP School Batch 7 bersama sahabatnya Cici dan Robby mengunjungi Rumah Pintar Warakas yang berada di Jl. Warakas 1 gg. 1 No. 1 RT 01/RW 01, Tj. Priok, Jakarta Utara. Sejak pukul 09.00 WIB Orangufriends Jakarta ini sudah berada di tengah-tengah keduapuluh empat anak yang berusia antara 5 sampai 14 tahun.

“Kami mengawalinya dengan perkenalan, sekitar 3 menitan lah. Kemudian dilanjutkan dengan materi utama tentang pengenalan jenis-jenis satwa dan kesejahteraannya.”, kata Dini. Untuk mempermudah penjelasan, mereka memutarkan video. Trik bagus… anak-anak langsung fokus. “Ternyata banyak anak-anak yang baru mengetahui jenis-jenis satwa liar.”, tambahnya. Disinilah kesempatan kami untuk menyampaikan peranan satwa-satwa liar itu untuk keberlangsungan alam, terutama orangutan. “Asik loh mengajak anak-anak untuk peduli pada orangutan dan satwa liar lainnya yang terancam punah di Indonesia.”, ujar Robby yang merupakan pengurus Rumah Pintar Warakas juga.

Melalui gambar dan berdogeng tentang bayi orangutan yang kehilangan ibunya akibat pemburu dan penebangan hutan liar sempat membuat suasana menjadi muram. Salah satu anak ada yang menangis dan berkata, “kasihan… mamanya ngga ada…”. Tenyata anak-anak serius menyimak materi yang disampaikan Dini, sampai-sampai pertanyaan penuh penasaran mereka lontarkan dengan tak sabar.

Permainan ringan juga semakin membuat anak-anak bersemangat ditambah dengan lagu yang liriknya menyebutkan nama-nama satwa diiringi dengan gerakan yang semakin menghibur anak-anak. “Kami berharap dapat mensosialisasikan perlindungan satwa liar ke sekolah-sekolah lain. Jika sejak dini ditanamkan rasa peduli, insyaAllah kelak mereka tumbuh dewasa dengan mengetahui apa yang akan mereka lakukan untuk alam ini.”

“Gajah dan Harimau, Elang dan Kakak tua. Badak dan si Rusa dan Orangutan. Itulah nama-nama satwa di Indonesia. Mulai dari sekarang jagalah alam…”. (Dini_Orangufriends)

JOGJA, CINTA DAN ORANGUTAN

Kalian tahu arti kata ‘calling’? Iya sih, panggilan, tapi bukan itu maksudnya. Kalau panggilan doang, missed call jadinya ‘panggilan rindu’ dong… Hehehehe.

Salah satu definisi dari kata Calling /ˈkôliNG/ menurut Oxford Dictionaries adalah :a strong urge toward a particular way of life or career; a vocation. Intinya, sebuah dorongan atau cara hidup tertentu. Atau bagaimanapun caramu menerjemahkannya.

Kemudian suatu hari Jogja memanggilku, dan aku menjawabnya. COP School nama panggilannya. Adalah cinta yang ditawarkannya. Dan orangutan jadi alasannya. Lantas aku jawab panggilan itu, kini Jogja bukan hanya jadi kota kelahiran lahiriyahku, kini Jogja jadi kota kelahiran batinku. Mungkin kamu gak akan baca ini kalau gak mencaritahu tentang COP School, dan mungkin kamu gak akan cari tahu kalau kamu ga terpanggil. Ini Indonesia lho yang memanggil! Karena orangutannya, satwa liarnya, sedang sekarat, terancam, terkekang dan tersingkirkan. Akibat ulah anak anaknya yang tidak tahu diuntung. Aku sih yakin kamu bukan orang seperti itu. Sekarang pertanyaannya, ini panggilan mau kamu jawab, atau akan dibiarkan lalu jadi “panggilan rindu” dari ibu pertiwi?

Ikut COP School dan menjadi bagian darinya, well it’s quite an adventure. Aku tidak bisa menjanjikanmu bahwa ini akan menjadi seperti petualangan mencari horcrux, atau menyelamatkan Misty Mountain, atau seperti membuat pertunjukan yang megah. Tapi Harry Potter, Bilbo Baggins, PT Barnum atau siapapun yang bertualang sehebat itu, berawal dari menjawab sebuah panggilan. Seberapa besar ketegangan petualangan ini dilihat dari bagaimana caramu melihatnya, dari seberapa dalam kamu ingin terlibat.

Dan terlepas dari petualangannya, yang bisa kujanjikan adalah selalu ada cinta di COP School. Dan kamu akan merasakannya. COP School is a place where you can came in a stranger, and came home a brother/sister. (Kemal_copschool7)

PONDASI KANDANG KARANTINA UNTUK KEBEBASAN 4 ORANGUTAN

Ada empat orangutan yang akan ditarik dari pulau orangutan untuk menjalani pemeriksaan kesehatan. Keempat orangutan ini akan di karantina sebelum dilepasliarkan ke habitatnya. Novi si orangutan berteman anjing yang tinggal di bawah kolong rumah dengan rantai yang melingkar di lehernya dari kecamatan Kongbeng, Kalimantan Timur, lalu Unyil yang bertahun-tahun tinggal di toilet dan akhirnya pada 13 April 2015 masuk pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo, Untung yang jari tangannya tak lengkap dan Leci si kecil yang lincah adalah empat orangutan yang akan menjalani proses ini.

Pusat Rehabilitasi Orangutan COP Borneo memerlukan kandang karantina untuk keempat orangutan tersebut. Kandang bekas Owa yang berada dekat klinik akan dibongkar dan pembangunan kandang karantina untuk keempat orangutan ini akan segera dimulai.

29 Januari 2018, tim mulai menggali lubang untuk pondasi kandang. Bahan-bahan bangunan juga mulai dimasukkan ke lokasi. Tim kecil pembangunan ini dibantu oleh para relawan COP. Terimakasih orangufriends yang telah menyumbangkan tenaga dan waktunya dalam pembangunan kandang untuk keempat orangutan yang segera dilepasliarkan dalam tahun 2018 ini. Mari orangufriends yang ingin membantu dari kejauhan bisa lewat Bersama, kita pasti bisa.

AMBON DI AWAL 2010

Januari 2010, itulah perjumpaan COP pertama kali dengan Ambon, orangutan dengan cheekpad besar di Kebun Raya Samarinda (KRS), Kalimantan Timur. Kandang terlihat kotor dengan pemberian makanan dari pengunjung dengan lantai yang sudah pecah. Ada tulisan dengan dasar warna merah bertuliskan, “Awas HP/ Kamera. Jangan terlalu dekat dengan kandang saat mengambil gambar. Karena bisa diambil orangutan.”. Saat itu tak banyak yang bisa diperbuat, hanya dengan memberikan masukkan kepada para pekerja yang kebetulan terlihat sedang dekat kandang Ambon, untuk sering-sering memberikan dedaunan.

Juni 2010, setelah melalui serangkaian usaha, Centre for Orangutan mulai membantu KRS. Pelatihan pada para animal keeper untuk berhadapan dengan satwa, perbaikan menu makanan hingga ikut terjun langsung merawat satwa yang ada. Perbaikan-perbaikan kandang pun dilakukan hingga pembuatan enclosure/kandang terbuka untuk orangutan dibangun. Peningkatan kapasitas animal keeper juga dibangun, mulai materi baca tulis, bahasa Inggris hingga animal welfare. Cerita kerjasama tim membangun mimpi untuk orangutan agar mendapatkan yang ada terbaik, akhirnya mengantarkan COP memperoleh penghargaan the Andrew Award for Outstanding Contribution by Young Activists. Semua dikerjakan bersama untuk membangun kerjasama tim. Orangutan Appeal UK saat itu membantu pendanaan COP bekerja di KRS.

Khusus untuk kandang Ambon yang saat itu dihuni tiga orangutan yaitu Ambon, Debbie dan Jane dilakukan perbaikan lantai, pemberian enrichment, kayu di pojok kandang agar orangutan tidak di lantai terus, pembersihan kandang setiap hari, pemasangan jaring pembatas antara kandang dengan pengunjung dan pemindahan Jane ke kandang yang lain. Para orangufriends Samarinda pun terlibat aktif dalam upaya kehidupan orangutan di KRUS. Mereka bergantian menjadi intepreter sebagai bentuk edukasi dan penyadartahuan ke pengunjung. COP bangga pada para orangufriends Samarinda ini.

Hingga pertengahan 2014, COP memutuskan untuk membangun pusat rehabilitasi orangutan sendiri. Ini menjadi pusat rehabilitasi orangutan pertama yang didirikan putra putri Indonesia.

BERTEMU ORANG ‘GILA’ DI COP SCHOOL

Jika ada yang bertanya kegiatan ‘gila’ yang pernah saya ikuti, maka salah satu jawabannya adalah COP School!!! Hey, kenalkan, nama saya Desti Ariani asal Aceh. Saya adalah salah satu yang beruntung karena berhasil menjadi siswa COP School Batch 7 di tahun lalu yang diselenggarakan di camp APE Warrior Yogyakarta. Bukan hanya itu, mendapatkan saudara dan keluarga baru dari berbagai suku, latar belakang dari hampir seluruh daerah di Indonesia adalah bagian dari keberuntungan saya mendaftar COP School.

10-16 Mei 2017, hampir setahun kegiatan COP School Batch 7 berlalu. Artinya hampir setahun juga saya menjadi alumni COP School. Masih teringat jelas pengalaman dan keseruan yang luar biasa saya dapatkan mulai dari tahap seleksi untuk menjadi siswa, perjuangan untuk bisa berangkat ke Yogya, kegiatan selama masa COP School berlangsung bahkan sampai sekarang setelah menjadi alumni masih banyak hal seru lainnya yang saya dapatkan dalam melaksanakan tugas mandiri.

Semua di atas ekspektasi saya, mata dan pikiran saya terbuka lebar setelah mendapat pengetahuan tentang kondisi dan permasalahan satwa liar di Indonesia. Mengetahui dunia konservasi lewat materi yang disampaikan orang-orang ‘gila’ yang jadi idola. Berbagai pengalaman, diskusi, presentasi hingga praktek langsung ke lapangan menjadi rutinitas kami para siswa. Bosan? Tentu saja tidak. Karena kami belajar bukan dengan cara konvensional seperti di kampus pada umumnya. Permainan seru yang membuat kami semakin dekat, cemilan dan minuman anti ngantuk selalu ’nyempil’ disela kegiatan kami.

Sudah menjadi ritual bagi siswa COP School, berlomba-lomba bangun lebih pagi, mengambil bahan makanan untuk dimasak dan dimakan bersama. Saling pinjam peralatan masak, menyicip masakan dari kelompok lain dengan segala keriuhannya menjadi salah satu hal yang sangat dirindukan. Hal lain yang terbaik menurut saya, tidak ada perbedaan gender di sini, semua kegiatan bisa dikerjakan oleh siapapun dengan porsi yang sama, setara.

Tujuh hari berlalu, ditandakan dengan maraknya api unggun, memberikan cahaya ke wajah-wajah siswa COP School yang mulai sendu. Samar-samar suara gitar yang dimainkan oleh Faruq (siswa COP School Batch 7 lainnya) mengantarkan kami pada salam perpisahan serta ucapan rasa syukur dan terimakasih atas semua yang telah kami lewati bersama. COP School Batch 7 telah berakhir. Tapi itu adalah awal bagi kami untuk menjadi anak muda yang peduli dan mau berbuat untuk menjaga dan melindungi satwa dan menyebarkan nilai konservasi seluas-luasnya.

Sampai jumpa di COP School Batch 8, kalian wajib daftar!!! (Desti, copschool7)