February 2018

PENARIKAN LECI DAN UNTUNG DARI PULAU ORANGUTAN

Jalan untuk pulang ke rumah di mulai. Leci dan Untung mulai dipindahkan dari pulau orangutan ke kandang karantina. Berpacu dengan waktu, saat bius mulai mempengaruhi kesadaran kedua orangutan yang sudah tak jinak lagi. Tik tok tik tok… angkat dan masukkan ke kandang lalu naikkan ke perahu… menyeberangi sungai Kelay, Berau, Kalimantan Timur.

Tak kalah gesitnya, tim medis di seberang pulau bersiap untuk mengambil sample darah untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan kesehatan. Membawa orangutan di dalam kandang yang cukup berat tentu saja menguras tenaga. “Tapi kami harus bergerak cepat, bius tak bisa bertahan lama. Membawa kedua orangutan ke kandang karantina benar-benar menguras tenaga.”, ujar Danel Jemy.

“Iya taruh di alas itu. Yuk siap mencatat ya… jumlah gigi, lingkar perut, panjang tangan, kaki, tulang belakang dan saatnya mengambil darah.”, demikian instruksi drh. Flora Felistitas. 28 Februari 2018 adalah hari kedua pemindahan orangutan dari pulau ke kandang karantina untuk pemeriksaan kesehatan sebelum dilepasliarkan kembali ke habitatnya.

Bantu COP Borneo untuk mengembalikan orangutan ke habitatnya lewat https://kitabisa.com/orangindo4orangutan Kita orang Indonesia bisa untuk orangutan Indonesia.

DEBBIE PUN AKAN PINDAH KE PULAU

O iya… kebahagiaan kami tak hanya untuk Ambon. Tapi juga untuk si cantik Debbie. Debbie, orangutan yang hampir tiga tahun di kandang karantina karena menunggu pulau orangutan siap dihuni, akan juga pindah ke sana.

Debbie adalah orangutan betina dewasa yang berasal dari Kebun Raya Samarinda. Perkenalan COP dengannya di awal 2010 menjadikan PR (pekerjaan rumah) tersendiri bagi kami. “Prihatin dengan kondisinya. Seperti tak ada semangatnya lagi.”, begitu kata Daniek Hendarto, manajer program Ex-Situ COP.

April 2015, Debbie akhirnya dipindahkan ke COP Borneo. Di dalam kandang karantina, Debbie menghabiskan hari-harinya. Walau ukuran kandangnya lebih kecil dibandingkan kandang sebelumnya di KRUS. “Lega, akhirnya Debbie bisa menikmati kandangnya sendiri, tanpa berbagi dengan Ambon.”, ujar Daniek lagi.

Penantiannya akhirnya berbuah manis. Walaupun dia harus menjadi lebih waspada dengan orangutan Ambon. Tepat di tahun ke-11 Centre for Orangutan Protection mengabdi pada orangutan, Debbie keluar dari kandangnya. “Rumput pertama yang diinjaknya dalam 20 tahun ini adalah masa-masa yang paling mengharukan bagi kami. Setiap kali melihatnya berada di kandang karantina membuat kami sedih karena ruang geraknya menjadi sangat terbatas. Tapi kini… ini adalah masa paling indah bagi kami.”, ujar Wety Rupiana, baby sitter orangutan di COP Borneo.

Bagaimana Debbie menjalani hari-hari nya di pulau orangutan? Bantu kami terus memonitornya ya. Kamu bisa ikut membantu proses ini lewat https://kitabisa.com/orangindo4orangutan
(Foto adalah saat Debbie berada di KRUS 2010)

TOP PREDATOR KEMBALI KE HABITATNYA

Pelepasliaran Elang Brontok (Nisaetus cirrhatus) bernama Wira yang sudah direhabilitasi selama empat tahun oleh Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta (YKAY) di Wildlife Rescue Centre (WRC) telah dilakukan pada hari Minggu, 25 Februari 2018 di Stasiun Flora dan Fauna Taman Hutan Raya (Tahura) Bunder, Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta.

Elang merupakan satwa pemangsa, persiapan utama saat rehabilitasi adalah bagaimana elang bisa berburu sendiri. Proses habituasi pun dilakukan agar elang dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Tak lupa proses penandaan sayap dengan wingmarker berwarna kuning dan pemasangan satelit tracking untuk pemantauan paska pelepasliaran.

Tauhid dari Fakutas Kedokteran Hewan UGM menyampaikan satelite tracking dapat memberikan data ketinggian jelajah, wilayah jelajah, kecepatan terbang dan suhu lingkungan. Penggunaan baterai tenaga surya pada satelit dapat bertahan dua sampai tiga tahun selama sinar matahari cukup.

Direktur Jenderal (Dirjen) Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), bapak Wiratno secara langsung melepasliarkan Elang Brontok tersebut. Beliau mengatakan bahwa Elang berhak hidup di ekosistemnya. Terimakasih juga atas kerja bersama para LSM, pecinta satwa dengan pemerintah, karena pemerintah tidak mampu bekerja sendirian dan ini adalah tanggung jawab kita bersama.

Ini adalah kali kedua tim gabungan pelepasliaran elang Yogyakarta setelah pelepasliaran Elang Bido dan Alap-Alap Sapi di kawasan Jatimulyo, Kulon Progo pada 25 januari lalu. BKSDA DIY, FKH-UGM, RAIN, PPBJ, COP, YKEI, WRC_YKAY, Yayasan Kutilang dan komunitas konservasi lainnya bahu membahu melakukan pemeriksaan medis elang, survei habitat, pembuatan kandang habituasi hingga pemantauan paska lepasliar.

Elang Brontok adalah salah satu jenis elang yang dilindungi UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Tetapi bukan berarti Elang Brontok ini menjadi aman walau dengan status least concern. Semakin menyempitnya habitat dengan tingkat perburuan dan perdagangan liar yang tinggi, ditambah dengan kemampuan bertelurnya yang hanya satu butir dalam satu musim berbiak, Elang Brontok membutuhkan perhatian kita semua agar tidak terjadi kepunahan. (PETz)

PEMINDAHAN NOVI DAN UNYIL KE KANDANG KARANTINA

Masih ingat orangutan Novi? Orangutan dengan leher terikat rantai yang berada di bawah kolong rumah dan berteman seekor anjing. Tahun ini pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo akan melepasliarkan orangutan-orangutan penghuni pulau orangutannya dan Novi adalah salah satu kandidat terbaiknya. “Sungguh luar biasa perkembangan Novi selama di pulau. Itu sebabnya kami akan mengevaluasi kesehatannya untuk selanjutnya bisa dilepasliarkan kembali ke habitatnya.”, ujar Reza Kurniawan, primatologist COP.

Secara bersamaan, tim APE Defender juga memindahkan orangutan Unyil. Unyil adalah orangutan yang dipelihara di dalam kamar mandi. “Unyil lebih unik lagi. Perkembangan pesat yang berhasil ditunjukkannya memaksa kami harus memindahkannya ke pulau orangutan, padahal saat dia pertama kali datang ke COP Borneo dengan rambutnya yang direbonding, sempat membuat kami pesimis. Apalagi pola makannya yang selama pemeliharaan ilegal itu, sama persis dengan makanan manusia. Untuk makan saja, Unyil didulangi seperti anak kecil sama pemeliharanya. Awalnya saya pikir ini akan jadi PR besar. Seperti saat Unyil memakan telur dengan cangkangnya, dia juga tak bisa mengupas buah-buahan berkulit yang kulitnya tak bisa dimakan.”, kenang Reza Kurniawan tentang Unyil.

Novi dan Unyil pada 27 Februari 2018 dipindahkan dari pulau orangutan ke kandang karantina. Kedua orangutan ini menjalani tes kesehatan dan pengukuran data fisik lengkap. “Ini adalah kerja besar yang selama seminggu ini. Ada dua orangutan lainnya yang akan ditarik dari pulau juga untuk menjalani pemeriksaan akhir sebelum dilepasliarkan ke habitatnya.”, demikian penjelasan Daniek Hendarto, manajer program Eks-Situ COP dengan bersemangat.

Bantu COP Borneo lewat Bahwa orang Indonesia peduli pada satwa liar endemiknya terutama orangutan.

THREE RESCUED BINTURONGS

Malang (East Java), three protected wild species with vulnerable status, shaped like a big civet, called Binturong (Arctictis binturong) was rescued for being kept illegally in a co-working space in Kenanga Indah, Malang. Ironically, this co-working space has a green concept, however they kept a protected wildlife within their premise. The Binturong was obtained from illegal trader; it was worth 1 million Rupiah. Based on the owner’s story, the binturongs lived with them for 15 years, and they did not know that binturongs are protected species. However, they stated the have the license to keep them.

Orangufriends Malang promptly reported the issue to Animals Indonesia and Centre for Orangutan Protection, after that the report was then followed up by BKSDA Malang and on February 23rd they recued the three binturongs and evacuated them to Conservation of Natural Resources Chamber of East Java (BKSDA).

Not only binturongs, but two civets (luwak) were also rescued, they were kept to produce luwak coffee. There were also rumors flying about the binturongs were also exploited to produce ‘luwak’ coffee as well, as it was believed that binturong can pick better coffee than luwaks. It was believed that the luwak coffee from binturong has a distinguished taste.

Behind the unique taste for coffee lovers, there are tragic stories for the animals. Animals are supposed to live in the wild to protect the ecosystem, now they have been moved to small cages and fed only coffees every day to produce luwak coffee.

It was found that 75% of communicable disease are zoonosis (can be contagious from human to animal vice versa), and there are a lot of animals acting as natural reservoir of diseases such as anthrax, avian flu, hepatitis, rabies, ebola, toxoplasmosis, and other diseases still unknown since they are rapidly changed like virus.

Viverridae like binturong is potential to carry rabies, HPAI H5N1, SARS, leptospirosis, salmonellosis, leishmaniosis and toxoplasmosis. Not only for health reasons, animals wellbeing and freedom are also need to be a concern. Wild animals are often kept inside small cages. Binturong, for example, have 6.9 km square roaming area. So forcing them to live inside small cages is abuse, no matter how much care they put into them and how expensive the food is.

The other concern is abnormality and lack of wellbeing; inside small cage animal would feel stressful, and the sign of their stress can be seen from walking in circle and biting the cage. This issue still happening around us.

Protected wildlife like binturong, forest cat, lutung, Javan hawk, cockatoo, are still available on online media and animal market. People awareness to not keep or buy protected animal are apparently still low. Prestige and life style turned keeping wildlife into a sign of wealth that needs to be flaunted, despite the fact that wild animals are not easy to take care of and could potentially spread disease.

Moreover, keeping wild animals on a co-working space or café that will increase human contact. It is very dangerous to keep wild animals! We need to raise people awareness and educate them on this issue. Hopefully, those three binturongs can get a second chance on the wild.

We need to stop keeping wild animal as pet! Let them freely roam the nature, and it will be more beautiful to see when they run around in nature. (Zahra_Orangufriends Malang)

TIGA BINTURONG YANG TERSELAMATKAN
Malang, tiga satwa liar yang dilindung Undang-Undang dan berstatus rentan jenis mammalia seperti musang dan bertubuh besar, Binturing (Arctictis binturong) berhasil diselamatkan dari pemeliharaan ilegal di salah satu Co-Working Space di jalan Kenanga Indah, Malang. Ironisnya sebuah tempat yang bernuansa di tengah kebun asri nan hijau dan dengan konsep arsitektur alam terdapat satwa liar yang dilindungi. Anakan Binturong yang diperoleh dari pedagang ilegal ini awalnya didapatkan dengan harga kisaran 1 juta rupiah. Menurut cerita pemilik, binturong sudah dipelihara hampir lima belas tahun lamanya dan tidak mengetahui satwa tersebut dilindungi Undang-Undang, namun mengaku memiliki surat-surat kepemilikan Binturong.

Orangufriends Malang yang mendapatkan informasi kepemilikan ilegal tersebut memberitahukan kepada Animals Indonesia dan Centre for Orangutan Protection, lalu laporan tersebut dilanjutkan ke BKSDA Resort Malang. Pada Jumat, 23 Februari 2018 laporan ditindak lanjuti dengan mengevakuasi tiga Binturong tersebut untuk diamankan di Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur, Surabaya.

Tidak hanya Binturong, tapi ada juga dua ekor musang atau luwak yang dimanfaatkan untuk menghasilkan biji kopi yang dimakannya. Dengan adanya tiga Binturong beredar isu bahwa Binturong dimanfaatkan juga untuk jadi pemakan kopi seperti kopi luwak karena Binturong dipercaya dapat memilih biji kopi yang sangat berkualitas untuk menjadi makanannya dibandingkan musang luwak.

Biasanya seduhan kopi yang diambil dari sisa kotoran musang luwak, dengan hasil kotoran yang didapatkan dari Binturong diyakini memiliki cita rasa yang berbeda setelah dimakan melewati saluran pencernaannya menjadi biji kopi. Di balik rasanya yang nikmat dan memiliki kemasyuran bagi pecinta kopi ada kisah tragis yang dirasakan oleh satwa-satwa tersebut. Satwa yang semestinya berada di alam liar dan membantu menjaga ekosistem, kini kian hilang dan berpindah pada kandang-kandang sempit dan kecil yang hanya diberi makan biji kopi setiap harinya untuk diambil kotorannya.

Diketahui 75% penyakit menular pada manusia bersifat zoonosis (dapat ditelurkan dari hewan ke manusia dan manusia ke hewan), sehingga banyak juga satwa liar menjadi reservoir (pembawa penyakit) dari alam yang dapat juga ditularkan ke manusia seperti anthraks, flu burung, hepatitis, rabies, wabah virus ebola yang ditelurkan ke manusia, toxoplasmosis dan juga penyakit-penyakit baru yang belum diketahui karena mudahnya penyakit berubah seperti virus.

Famili viverridae seperti Binturong, potensial membawa penyakit seperti virus rabies, HPAI H5N1, virus SARS, leptospirosis, salmonellosis, leishmaniasis dan toxoplasmosis. Selain masalah penyakit, kebebasan satwa juga harus diperhatikan. Satwa liar yang dipelihara terpaksa tinggal di andang sempit. Seperti Binturong saja memiliki daerah jelajah hingga 6,9 km2. Jadi mengekang dalam kandang sempit juga bentuk penyiksaan terhadap satwa mau sebagus apapun perawatan dan pemberian pakannya.

Tak hanya itu, berperilaku tidak normal dan hilangnya kesejahteraan hewan terhadap lingkungannya pun menjadi permasalahan utamanya. Berada pada kandang kecil hanya dapat membuatnya stes dengan bergerak mondar-mandir, berputar-putar dan menggigit kerangkeng kandang.

Kejadian seperti ini sangat masif dan masih banyak terjadi di sekitar kita. Satwa liar yang dilindungi Undang-Undang seperti Binturong, kucing hutan, lutung jawa, elang hingga burung kakak tua masih dapat diperoleh dari penjualan di media online dan pasar burung atau hewan. Kesadaran masyarakat untuk tidak memelihara satwa liar rupanya masih jauh. Gengsi dan gaya hidup menjadikan satwa liar sebagai materi yang harus dimiliki dan dipameri.

Padahal satwa liar bukanlah peliharaan yang mudah diurus dan merugikan sendiri jika tertular penyakit dari satwa tersebut. Apalagi dengan membuat co-working space atau cafe yang memperbanyak kontak manusia untuk tertular. Maka jelaslah bahaya kesehatan untuk memelihara satwa liar! Masyarakat harus paham akan hal ini. Semoga ketiga binturong yang sudah dewasa ini dapat memperoleh kesempatan kedua untuk menikati alam liarnya.

Stop pelihara satwa liar! Biarkan bebas di alam dan lebih indah menyayangi dengan melihat mereka berlari bebas di hutan. (Nathanya_Orangufriends Malang)

MARI BATALKAN LOMBA BERBURU HAMA

Baru juga panitia Lomba Berburu Hama Burung Emprit mendapatkan pembinaan dari Balai KSDAE Jawa Tengah dan memutuskan untuk membatalkan lomba tersebut, muncul lagi poster baru untuk Lomba Berburu Hama atau HUNBAR alias Hunting Bareng. Kali ini Rang_Rang Community yang mengadakannya. Dengan iming-iming hadiah satu unit senapan angin.

Sekali lagi kami sampaikan, “Berdasarkan Peraturan KAPOLRI No. 8 Tahun 2012, Senapan Angin hanya untuk latihan menembak sasaran di arena. Dengan demikian penggunaanya untuk berburu jelas salah!”, tegas Hery Susanto, kordinator Anti Wildlife Crime COP. “Menurut Peraturan Kepala Kepolisian RI, kepemilikan senapan angin harus mendapatkan izin dari Kepolisian. Jadi saat lomba siap-siap ditangkap ya!”, tambah Hery lagi.

Keprihatinan lomba berburu “hama” semakin bertambah saat anak-anak SD mulai membicarakan tentang rantai makanan yang mereka pelajari pada mata pelajaran IPA. Para orangtua semakin kesulitan menjawab bagaimana predator tingkat tinggi akan mendapatkan makanannya. Lalu konflik antara manusia dengan predator tingkat tinggi akan semakin sering terjadi.

Centre for Orangutan Protection memanggil seluruh Orangufriends dimana pun kamu berada. Suarakan kepedulianmu dengan menghubungi Laras Sport 082313914759 , Abilawa 082134997798 dan Falls Djarot 085781555146, mereka adalah panitia lomba tersebut. Dan jangan lupa SMS ke Call Center Balai Konservasi Sumber Daya Alam 082299351705. Bersama kita bisa lakukan yang terbaik untuk alam ini.

KITA DI COP SCHOOL BATCH 7

Awalnya kita tak saling kenal. Tahapan seleksi yang membuat kita jadi mulai mengenal satu sama lain. Walaupun sebagian dari kita selalu berkomunikasi di dunia maya… namun saat berkumpul di Yogyakarta tetap saja terasa asing. Latar belakang, suku, agama, pendidikan, jenis kelamin bahkan usia kita tak ada yang sama. Semua perbedaan itu justri melebur menjadi satu keluarga besar dan semakin besar.

Seolah tak ingin sekalipun melewatkan setiap kegiatan menjadi siswa COP School Batch 7 yang ‘bersejarah’ itu, maka tiap detik kebersamaan dan kebahagiaan kita jalani saat di Camp APE Warrior selalu diabadikan dengan ber ‘selfie’ ria, istilah zaman NOW nya. Meski tiap hari kita dicekoki dengan materi-materi seputar dunia konservasi yang bikin ekspresi kita dalam hitungan detik bisa berubah-ubah. Dari awalnya pengen nangis, tiba-tiba berubah jadi bengong, tak lama setelah itu berubah menjadi terpana. Kadang muncul juga ekspresi bengis bercampur kebencian. Pokoknya campur aduklah, seperti es tebak yang ketika sedang “Long March” paling kita idam-idamkan kehadirannya. Atau seperti ketoprak, yang suka hadir berseliweran di khayalan kita bila malam makin larut dan perut lapar, tapi kita masih saja bandel ngerumpi di camp tetangga. Kita sungguh menikmati itu semua dan sungguh bahagia!

Pada akhirnya, kita memang kembali ke ruitnitas masing-masing setelah 1 minggu bersama. Meski awalnya sulit untuk mengendalikan kerinduan yang tentu saja menguap paska kebersamaan itu. Tugas usai COP School di Yogya dilanjutkan dengan berkarya sesuai kemampuan masing-masing. Dan kesempatan untuk saling bertemu kembali di Jambore Orangufriends sekaligus wisuda bagi siswa COP School. Semangat COP pun kembali bersama Orangufriends. (Novi_Orangufriends)

BERBURU EMPRIT DIBATALKAN!

Terimakasih Orangufriends!!! Kalian memang hebat. SMS yang dilayangkan teman-teman ke nomor JOKO 085725953390 , DEWA 085743376650 , DARUS 085643101076 membuat gerah penyelenggara yaitu Joko Paryanto. Rencana kegiatan Baksos dan Lomba Berburu Hama burung Emprit di desa Karangmojo, kecamatan Weru, kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah dibatalkan.

Call Centre KSDAE Jateng bekerja cepat dengan mengumpulkan informasi dan berkoordinasi dengan kepala desa Karangmojo, yaitu bapak Suseno bahwa memang terdapat burung emprit namun belum merupakan hama dalam skala besar.

Joko Paryanto menyampaikan bahwa kegiatan tersebut tanpa sepengetahuan kepala desa dan hanya untuk merespon keluhan petani yang kebetulan padinya diserang koloni burung emprit saat menjelang panen.

Balai KSDA Jateng akhirnya melakukan pembinaan kepada Joko Paryanto selaku panitia lomba buru hama tentang larangan perburuan. “Yuk kita buka lagi pelajaran rantai makanan kita sewaktu sekolah!”, ujar Orangufriends Yogya bersemangat.

TAHAP AKHIR PEMBANGUNAN KANDANG KARANTINA II COP BORNEO

Akhirnya… pembangunan kandang karantina untuk empat orangutan yang akan dilepasliarkan tahun 2018 ini sampai pada tahap akhir yaitu pengecatan dan pelapisan lantai kandang dengan semen. Pengecatan kandang agar besi-besi cukup terlindungi dari karat yang bisa saja membuat orangutan terinfeksi jika terluka. Sementara pelapisan lantai kandang dengan semen untuk memudahkan tim membersihkan kandang dari kotoran.

Sistem air minum dengan menggunakan niple sumbangan dari relawan COP di Australia juga sudah terpasang. Keempat kandang karantina juga sudah dilengkapi dengan hammock yang terbuat dari selang bekas pemadam kebakaran sumbangan Damkar Berau untuk tempat tidur gantung orangutan.

“Nanti tanggal 25 Februari akan dilakukan disinfektan kandang untuk sterilisasi. Setelah itu selama satu hari kandang diistirahatkan. Dua hari kemudian akan dilanjutkan dengan pemindahan orangutan dari pulau ke kandang karantina ini.”, jelas Daniek Hendarto, manajer program Eks-Situ COP.

Berikan dukungan kamu untuk perlindungan orangutan lewat https://kitabisa.com/orangindo4orangutan COP Borneo adalah satu-satunya pusat rehabilitasi yang didirikan oleh putra-putri Indonesia. (NIK)

TIGA BINTURUNG DISELAMATKAN DARI COFFEE SHOP

Jiwa muda yang tak mengenal kata lelah. Mereka yang terus menelisik keberadaan kepemilikan ilegal satwa liar. Saat bercanda dan menghabiskan waktu dengan menikmati secangkir kopi di Gartenhaus, Malang. Tak mudah mencarinya, tak ada nomor rumah apalagi plang nama. Dengan desain interior yang apik dirimbunnya pepohonan, membawa kita berada pada suasana yang sangat berbeda. Lebih berbeda lagi dengan kehadiran lima kandang besi berisi satwa yang tak bersuara sama sekali.

Owh… ternyata ada musang luwak. Dari kopi yang telah dimakan musang inilah yang akhirnya membawa cita rasa kopi luwak menjadi begitu terkenalnya. Tak hanya musang, di kandang sebelah terlihat mahkluk yang lebih besar, yang ternyata adalah Binturung (Arctictis binturong), satwa liar yang dilindungi oleh Undang-Undang. “Tak tangung-tanggung, ada 3 binturung yang harus bekerja menghasilkan kopi luwak ini.”, ujar Hery Susanto, kordinator Anti Wildlife Crime COP.

Sebelum sholat Jumat, KSDAE Malang beserta Gakkum KLHK Jawa Timur melakukan penyitaan dibantu Centre for Orangutan Protection, Orangufriends Malang dan Animals Indonesia.

Undang – Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya bahkan sudah tertalu tua. Hukuman bagi para pelanggarnya adalah ancaman maksimum penjara 5 tahun dan denda 100 juta rupiah sudah tidak relavan lagi. “Binturung diperjual-belikan di pasar ilegal sebesar Rp 5.000.000,00 hingga Rp 7.000.000,00. Belum lagi kerusakan ekosistem dengan menghilangnya Binturong di habitatnya. Apakah itu sebanding?”, ujar Hery Susanto.