BONEKA ADALAH ALAT BANTU KELOMPOK 2 COP SCHOOL BATCH 7

Selama satu jam, mental kami diaduk-aduk. Siswa kelas 2 SD Negeri Kepek, Progo, Yogyakarta menerima materi satwa liar. Apa sih ancaman utama satwa liar dan apa pentingnya satwa liar di habitat aslinya, khususnya orangutan. Inilah kami, kelompok 2 COP School Batch 7.

Perkenalan adalah bagian penting memulai suatu kegiatan. Untuk menarik perhatian siswa yang berusia 7-9 tahun ini, kami menggunakan alat bantu. Boneka-boneka satwa yang lucu berhasil mencuri perhatian mereka. Ada boneka belalang, bunglon, elang, kelelawar, ular kobra, kodok, katak, tupai dan tentu saja orangutan. Jangan salah… para siswa sudah tahu loh tentang satwa-satwa yang diceritakan. Tapi…

Lagi-lagi, boneka menyelamatkan kelompok 2. Mike dan Dinul menggunakan boneka tangan untuk memerankan tokoh Toro dan Tara yang merupakan anak orangutan. Kemudian Felita memerankan tokoh Pongo, orangutan yang merupakan ibu dari Toro dan Tara. Faruq berperan sebagai dokumentator selama kegiatan berlangsung. Sungguh tragis cerita yang disampaikan, saat Tara dan Toro bersama ibunya, Pongo harus kehilangan rumahnya karena penebangan pohon oleh manusia.

Acara diakhiri dengan menyanyikan lagu tentang satwa liar dan ajakan untuk menjaga alam. Permainan interaktif mengenai pemburu dan hutan untuk semakin meningkatkan kesadaran para siswa mengenai pentingnya keberadaan orangutan dan satwa liar lainnya di alam. “Kamu harus punya cerita se-liar anak-anak SD itu. Siapkan mental dengan pertanyaan-pertanyaan mereka yang sungguh menakjubkan.”, ujar Faruq. (Kelompok2_COPSCHOOL7)

KELOMPOK 6 COP SCHOOL SAAT SCHOOL VISIT

Bersama Tedjo, Jevri, Hedi, Marinda, Hanna dan Vanny, kami mengunjungi SD Negeri Kepek yang berada di Jl. Kepek, Pengasih, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tugas kami memberi edukasi kepada siswa-siswi kelas IV yang berjumlah 30 anak.

Edukasi di luar ruangan? Baiklah dimulai dengan berbaris dan bermain…! Lompat… lompat… lompat… ayo konsentrasi. Permainan habitat pun dimulai. Kertas ini ibarat hutan yang merupakan tempat tinggal dan hidupnya orangutan. Kertas yang semula cukup untuk seluruh siswa kelas IV ini semakin lama, semakin sempit karena disobek. Begitu pula hutan yang merupakan habitat orangutan, semakin lama… semakin kecil dan hanya cukup untuk satu orang anak. “Baiklah anak-anak… kita harus menjaga hutan… agar orangutan dapat hidup… agar satwa liar lainnya dapat hidup.”.

Jevri pun bercerita tentang profesinya sebagai animal keeper atau penjaga satwa di pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo. Bayi-bayi orangutan yang terpaksa masuk ke COP Borneo adalah orangutan yang kehilangan induknya. Mereka terpaksa menjadi yatim dan dirawat di COP Borneo. Orangutan pun harus bersekolah, namanya sekolah hutan. Saatnya mereka berlatih memanjat, berayun, memilih daun yang bisa dimakan, menemukan sarang semut bahkan membuat sarang kecil untuk tidur siangnya. Jika waktunya nanti, orangutan-orangutan itu akan dilepasliarkan kembali ke hutan, agar bisa menjalankan fungsinya sebagai penghijau hutan. Ya, orangutan pemakan buah dan biji-bijian hutan. Dengan daya jelajahnya yang luas, dia menyebarkan biji-bijian ini saat makan dan saat buang air besar. Dia juga membantu benih hutan terkena matahari dengan menjelajahi hutan dari satu kanopi ke kanopi yang lain.

Suasana semakin riuh, saat kostum orangutan bergabung dengan mereka. Keceriaan terpancar dari wajah siswa-siswi, tapi tak sedikit yang terlihat berlari ketakutan ketika dihampiri orangutan. Dan menjadi sedih ketika orangutan berpamitan untuk pulang. (Kelompok6_COPSCHOOL)

HUMAN ANIMAL CONFLICT AT COP SCHOOL BATCH 7

Mungkin, dia adalah satu-satunya perempuan yang pernah seperahu dengan harimau. Tubuhnya tak lebih besar dari si harimau juga. Perahu yang digunakan bukanlah yang besar pula. Walau saat itu, harimau berada dalam pengaruh obat bius. Dia adalah drh. Erni Suyanti Musabine.

“Jika mendapat banyak tantangan dan hambatan bahkan hal yang melemahkan semangat untuk mengerjakan hal-hal yang bermanfaat bagi lingkungan sekitar kita di institusi sendiri, maka tidak perlu berputus asa dan menjadikan itu alasan untuk menyerah dan berdiam diri. Selalu banyak cara dan kesempatan untuk berbuat sesuatu yang berguna di tempat lain untuk upaya konservasi satwa liar. Hidup ini hanya sekali, maka jadikan setiap waktunya bermakna.”, ujar drh. Erni saat mengisi waktu luangnya menjadi narasumber ‘Human-Tiger Conflict’ di COP School Batch 7.

COP School adalah ruang belajar yang diinisiasi Centre for Orangutan Protection. Tahun ini adalah tahun ketujuhnya, dengan rata-rata pertahun diikuti 30 sampai 50 siswa. Latar belakang peserta yang bervariasi, mulai dari mahasiswa kedokteran hewan, ekonomi, sosial politik, MIPA, pertanian, teknik, kehutanan, pekerja swasta dengan berbagai profesi hingga pegawai negeri menjadikan ruang kelas lebih semarak. Dengan mengesampingkan perbedaan agama maupun jenis kelamin, seluruh siswa berbaur untuk satu tujuan, dunia konservasi Indonesia. “Hampir setiap tahun, diikuti Warga Negara Asing dari Inggris, Polandia, Korea Selatan, Perancis, dan Australia. Benar-benar multikultural.” kata Ramadhani, Kepala Sekolah COP School Batch 7.

“Tahun ini ada dokter anastesi yang ikut. COP School memang luar biasa, membuat orang penasaran dari berbagai latar belakang.”, ujar drh. Erni.

Berada di dunia konservasi bukanlah hal yang mudah. Apalagi untuk seorang perempuan Indonesia. Tubuh mungilnya mungkin tak sebesar tekadnya. Semangatnya untuk menyelamatkan satwa liarlah yang mengantarkannya seperti saat ini sejak 2002 berkarir.

PRAKTEK LAPANGAN EDUKASI DI SEKOLAH DASAR

Ini adalah hari ketiga COP School Batch 7 berlangsung. Pagi yang cerah sangat mendukung para siswa untuk berkegiatan di luar. “Kebetulan sekali.”, ujar panitia COP School bersemangat. Ya saatnya praktek. Setelah malam harinya seusai long march, para siswa mendapatkan materi edukasi.

Bagaimana caranya mengajar dengan cara yang berbeda? Ya, lewat COP School tahun ini, para siswa akhirnya berkesempatan untuk langsung ke SDN Kepek, Progo, Yogyakarta. Setelah teori di dapat, saatnya praktek. Siswa COP School Batch 7 dibagi enam kelompok. Tiap kelompok akan kebagian satu kelas yang berisi sekitar 33 siswa SD. Baiklah, ini adalah tantangan.

Materi sudah dipersiapkan malam harinya. Pembagian tugas sudah dilakukan. Siapa yang akan memberikan materi, lalu siapa yang mengasih permainan. Seperti apa sih anak SD menanggapi materi yang akan diberikan. Apakah mereka bisa mengerti? Pertanyaan malam itu menghantui tidur dalam lelah.

“Ikuti terus ya, setiap kelompok akan memberikan laporannya sendiri. Untuk kamu yang yang ingin ikut COP School Batch 8 tahun depan, bisa ngebayangikan. COP School adalah tempat kita berekspresi. Tahun depan, kamu harus ikut ya!”. (YUN)

DUA SISWA COP SCHOOL BATCH 7 BERANGKAT DARI BERAU

Mereka berdua adalah anak muda yang tak pernah lelah untuk belajar. Dalam kesehariannya di pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo, mereka memiliki tanggung jawab pada orangutan dan seluruh tim. Jefri dan Shanti akhirnya berangkat ke COP School Batch 7 dengan dukungan With Compassion and Soul serta teman-teman satu tim lainnya dari Berau ke Yogyakarta. Langkah besar lainnya setelah mereka masuk ke pusat perlindungan orangutan ini setahun lalu.

Ini akan menjadi pengalaman pertama mereka jauh dari kampung halaman. Di COP School Batch 7 nanti, mereka akan bergabung dengan siswa lainnya yang berasal dari Sumatera, Bali, Sulawesi dan Jawa. Jefri dan Santi akan mengenal dunia konservasi yang lebih luas lagi.

Putra-putri daerah yang berhadapan langsung dengan persoalan di lapangan akan berjaringan dengan siswa COP School lainnya. Saling memahami permasalahan di daerah masing-masing dan saling mendukung pekerjaan konservasi adalah inti dari berjaringan. Dunia tanpa batas di dunia maya yang selama ini berlangsung, akan membuat mereka saling terhubung.

Maju dan terus berkaryalah!

DIBALIK KARTINI ORANGUTAN COP, DOKTER HEWAN PEREMPUAN YANG MEMBANGGAKAN

Ada dua dokter hewan perempuan alumni COP School. Mereka adalah drh. Ade (COP School Batch 3) dan drh. Eliz (COP School Batch 6). Ketika masih berstatus mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan UGM mereka berdua sangat aktif membantu kegiatan COP baik edukasi sampai yang berkontak langsung dengan satwa.

“Yang saya ingat sekali di akhir tahun 2013, Ade ikut dalam salah satu program pendampingan kebun binatang di Solo, Jawa Tengah. Saat itu tim medis dari TSTJ Solo dan COP memerlukan data kesehatan Harimau yang ada. Maka diperlukan pembiusan terhadap harimau tersebut dan dilanjutkan pemeriksaan medis serta pengambilan data. Tentunya ini adalah peluang belajar yang sangat susah didapat, apalagi saat itu yang menjadi leader medisnya adalah drh. Erni Suyanti yang terkenal dengan pengalamannya menangani kasus Harimau Sumatera. drh. Erni Suyanti sendiri sudah sejak 2012 menjadi relawan COP, badannya yang kecil tak berarti mengurung semangat dan tekad nya pada perlindungan satwa liar Indonesia.”, kenang Ramadhani, Manajer Komunikasi Centre for Orangutan Protection.

Selain ketiga dokter hewan perempuan itu, COP juga sering dibantu drh. Tiara Debby. drh. Debby begitu biasanya dia disapa. Pada saat gunung Kelud meletus, dia langsung menggabungkan diri pada tim tanggap bencana alam APE Warrior. Memeriksa kondisi hewan ternak maupun peliharaan menjadi tanggung jawabnya. Sekali lagi, menjadi perempuan bukanlah halangan untuk berkarya, apalagi saat bencana terjadi.

COP juga pernah dibantu drh. Yenny diawal berdirinya. Memeriksa orangutan di Kebun Binatang Sintang dan berusaha mengurangi penderitaan orangutan-orangutan tersebut. Tak banyak dokter hewan perempuan yang fokus pada satwa liar, tapi COP bangga perempuan-perempuan hebat itu pernah menjadi bagian dari keluarga besar COP.

Satu lagi dokter hewan perempuan yang melakukan pengecekkan satwa di kebun binatang di seluruh Jawa. Dia adalah drh. Luki Kusuma Wardhani. Di tahun 2009, kebun binatang di Jawa harus mendengarkan kritik pedas nya, karena perlakukan kebun binatang pada satwanya.

Mereka adalah dokter-dokter hewan tangguh yang ahli dibidangnya. Kondisi fisik bukanlah sesuatu yang menghalangi mereka. Mereka adalah Kartini COP.

CATATAN SELEKSI COP SCHOOL BATCH 7

Tidak banyak sekolah atau pelatihan yang dirancang untuk mencetak aktivis satwa liar yang mempunyai pemahaman dasar konservasi dengan etika dan moral terutama di satwa liar orangutan. Kalaupun ada tidaklah bertahan lebih dari 3 kali pelatihan. Mundur perlahan kemudian hilang. Apa yang membuat COP School bisa bertahan hingga tahun ke-6 dan sekarang siap menyambut Batch 7 dengan kekuatan, antusiasme dan semangat juang orang-orang dibalik layarnya.

Kami percaya, “apa yang dikerjakan karena perut akan kembali ke toilet, apa yang dikerjakan dengan hati akan kembali kehati.”. COP School bisa dikatakan sebuah “sekolah” yang setiap tahunnya berganti kurikulum karena mengikuti perkembangan dunia konservasi dengan pertimbangan, evaluasi dan masukan dari siswa, alumni, pemateri dan staff COP. Karena tidak ada sekolah sejenis yang bisa kami jadikan rujukan sebagai influens. Semua diawali meraba-raba hingga bertemu, bergerak dan berjuang bersama-sama siswa.

Hingga saat ini COP School bisa berjalan karena dikerjakan secara kolektif. Persis seperti budaya kita, Gotong Royong. Mungkin teman-teman bertanya kenapa ada kalimat “membayar sebagian Rp. 500.000,00“ diposter COP School. Yups, memang karena sebagian lainya “dibayar” oleh pemateri dan alumni COP School sebelumnya. Teman-teman alumni yang masih mempunyai waktu luang mencurahkan waktunya untuk membantu berjalannya COP School. Yang tidak ada waktu dan sudah mapan menyumbangkan dananya. Para pemateri datang dari kota lain ke Yogyakarta dengan biaya sendiri. Kolektif ini berjalan karena kami percaya selama masih ada anak-anak muda Indonesia yang mau peduli terhadap satwa liar maka dunia konservasi satwa liar masih mempunyai peluang untuk bertahan. Itulah yang kami sebut “MENOLAK PUNAH”.

Teman-teman calon siswa yang telah masuk disini tentu telah mengalami perjalanan, “ngapain loe ikut-ikutan acara nyelamatin monyet ato kera segala, serius loe??”. Berupaya empati untuk satwa di Negara kita memang sesuatu yang bisa dikatakan bukan hal normal. Tapi jika tidak ada orang gila maka tidak ada kelompok orang normal. Kami ingin membuat barisan menolak punah yang benar-benar “gila”. Dari tiga tugas yang dilemparkan kami bisa menilai semangat teman-teman dan juga terpaksa mengeluarkan empat calon siswa dari grup ini karena sama sekali tidak menjalankan tugasnya. Hingga akhirnya nanti tanggal 29 April 2017 benar-benar tersaring siswa Batch 7.

COP School tidak ada kuota kursi yang harus dipenuhi. COP School pernah hanya 18 orang siswa dan pernah juga sampai 40 lebih siswa. Tetap akan berjalan dan mempunyai ceritanya sendiri. Teruslah bertahan menjadi “gila” hingga nanti bertemu bulan depan di Yogyakarta. (DAN)

BERANI BERMIMPI DAN BERUSAHA MEWUJUDKANNYA

Halo, saya Citra Kirana dari Jakarta. Dua tahun yang lalu adalah masa dimana saya memutuskan untuk berani bermimpi dan berani berusaha untuk mewujudkannya. Dan undangan untuk bergabung menjadi siswi COP School Batch 5 merupakan salah satu gerbang bagi saya untuk memulai perjalanan itu. Hanya berbekal niat baik dan cinta saya terhadap satwa, saya memberanikan diri untuk mendaftar. Senang sekali setelah mengikuti serangkaian proses seleksi, pada akhirnya bisa bergabung dan berangkatlah saya ke Yogyakarta.

Mengikuti pelatihan di COP School membuka pengetahuan saya mengenai kondisi satwa liar di Indonesia, khususnya orangutan. Bisa bertemu dengan siswa – siswi dari berbagai latar belakang, dengan berbagai cerita, mendengarkan materi yang disampaikan oleh praktisi sampai mengikuti praktek lapangan yang begitu memperkaya pengetahuan saya mengenai arti perjuangan di garis depan.
COP School mengajak siswa-siswinya untuk beraksi dengan berkreasi tanpa batas. Melawan bukan dengan kekerasan dan keributan, namun dengan aksi nyata dalam meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap kesejahteraan satwa sesuai dengan minat dan kreativitas masing – masing.

Satu kehormatan bagi saya yang memang mempunyai ketertarikan di isu pangan ramah lingkungan diberi kesempatan untuk bisa mengkoordinasikan salah satu event tahunan Orangufriends (sebutan bagi relawan COP), yaitu Cooking For Orangutan (CFO) #2 bersama dengan orangufriends Jakarta – Jawa Barat.
Bertempat di rumah makan vegetarian Burgreens, acara demo mengolah makanan bebas minyak sawit oleh chef spesialis makanan sehat, Chef Sophie Navita & Chef Max Mandias berlangsung dengan lancar. Di acara tersebut kami berkesempatan untuk menyampaikan kepada peserta mengenai dampak buruk penggunaan minyak sawit terhadap kelestarian orangutan dan habitatnya.
Di beberapa kegiatan COP selanjutnya, saya juga diberikan kesempatan untuk berkontribusi dalam menangani bagian konsumsi. Begitu terasa rekan – rekan di COP memberikan ruang bagi relawan untuk saling mendukung dalam memaksimalkan potensinya.

Saya sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari COP School. Tidak hanya mendapatkan pelajaran dan pengalaman yang begitu berharga, di sini saya juga dipertemukan oleh keluarga baru, sahabat – sahabat terbaik yang hangat dan selalu penuh semangat dalam memperjuangkan kebebasan satwa liar di Indonesia.

Citra Kirana (COP School Batch 5)

SOUND FOR ORANGUTAN

Semenjak saya menjadi sukarelawan di COP tahun 2012, sebesar apapun hal yang sudah lakukan saya selalu merasa kurang, dipikiran saya selalu terpenuhi dengan “Saya harus menolong satwa ini, saya mau penderitaan mereka berhenti”.
 
Saya memulai perjalanan saya dalam menolong orangutan menjadi interpreter dimana pekerjaan kami cukup sederhana, memberitahu orang-orang yang datang ke kebun binatang apa itu orangutan dan jangan menyakiti mereka, sebuah pesan yang terkesan sederhana namun bisa dibilang 45% orang yang berkunjung ke kebun binatang belum bisa membedakan mana monyet dan kera, dan dari mana itu orangutan, tidak banyak pula yang tahu kalau orangutan itu terancam keberadaannya, na’asnya generasi muda saat ini tidak begitu peduli dengan lingkungannya bahkan dengan keberadaan satwa langka di negaranya sendiri.
 
Kebetulan COP mengadakan COP School dimana para siswanya dilatih untuk mengenal lebih dalam tentang satwa liar yang ada di Indonesia, tidak hanya terbatas pada orangutan saja, tetapi juga satwa langka lainnya, seperti gajah dan harimau, bahkan penyu. Sangat menarik dan positif.
 
Dari sekitar 20 siswa COP School ini tidak sedikit yang semangat membawa perubahan, tidak hanya untuk sekitarnya tetapi masyarakat luas. Saya pun ditugaskan untuk membawa misi positif ini ke daerah dimana saya tinggal, Jakarta.
 
Saya memulai dari edukasi kecil di kampus, sekolah dan pusat perbelanjaan. Namun rasanya saya belum memenuhi target saya, dan disitulah saya dan beberapa siswa COP lainnya dari Jakarta berencana membuat sebuah acara, dimana edukasi dibuat menjadi menarik dan orang yang datang tidak hanya monoton edukasi tetapi juga terhibur sambil berdonasi untuk kelangsungan orangutan.
 
Sound for Orangutan, suara untuk orangutan. Ide sederhana ini muncul ketika saya berpikir generasi muda saat ini akan menghabiskan uang ratusan rupiah untuk konser, dan bagaimana caranya anak muda ini menikmati musisi kesukaan mereka sambil berdonasi dan mendapatkan informasi yang interaktif juga positif dari kami.
 
Sound for Orangutan pertama di tahun 2013 cukup sukses, ratusan orang datang berbondong-bondong membawa misi yang sama dari generasi muda, hingga keluarga juga para artis, mendukung gerakan positif ini. Satu suara untuk Orangutan.
 
Sound for Orangutan kini sudah diadakan di beberapa kota besar di Kalimantan & Yogyakarta dengan misi dan tema tersendiri. Perjalanan saya dalam membantu Orangutan tidak akan berhenti sampai sini, dan terus akan berlanjut dikemudian hari. Salam orangutan. One sound, one ape.

Yosha Melinda (COP School Batch 2)

MENGANTAR BUDAK MELAYU KE TANAH YOGYA

A true conservationist is a man who knows that the world is not given by this fathers but borrowed from his children – John James Audubon.
“Woi, Sarah ndak bisa dikau cepat?”
“Iya kejap we, aku masih dikampus nunggu Endang nak kasih tas dio. Tunggu ajo disana aku bentar lagi kesana”
“Iya cepatlah, telat nanti ke bandara tu belum lagi macetnya. Kau ni udah tau nak pergi jam segini, ngapa ndak kau bereskan sejak pagi tadi”
Tut… tut… tut… Telpon yang di loadspeaker itu terputus dengan menggenaskan.

Satu jam lima puluh lima menit setelah meninggalkan Bandara Sultan Syarif Qasim II pesawat yang kami tumpangi mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Kami meneruskan perjalanan menggunakan Damri menuju Stasiun Gambir dengan modal keberanian seadanya. Ya, kala itu kami sengaja mempersulit diri sendiri hanya karna ingin menikmati sensasi menggunakan kereta keluar kota. Karena di Riau kami tidak pernah menemukan kereta. Orang Riau biasanya keluar kota menggunakan agen travel resmi atau melalui jalur udara.

“Budak Melayu squad” sebutan yang sepertinya cocok untuk kami. Kami anak-anak Riau yang sengaja datang ke COP Camp di Yogya untuk mengikuti sekolah konservasi. Berbekal rasa tidak terima akan ketidakadilan yang bertubi-tubi terjadi terhadap satwa liar di Riau. Kami berniat untuk membekali diri agar nantinya mampu berkontribusi dalam usaha penyelamatan satwa liar baik dari segi pendidikan maupun transfer ideologi ke masyarakat sekitar khususnya di Riau.

Masuk dalam dunia konservasi sebagai volunteer sudah tidak asing lagi bagi kami. Didukung dengan background pendidikan kami yang berasal dari jurusan Biologi FMIPA Universitas Riau dengan konsentrasi ekologi konservasi, bekal yang kami punya tidak hanya semangat sebagai volunteer saja tapi pemahaman akan dunia konservasi itu sendiri. Ketertarikan kami yang besar terhadap dunia konservasi dan rasa tidak puas akan sedikit ilmu yang kami miliki, mengantarkan kami “Budak Melayu (anak Melayu-red)” ke Daerah Istimewa Yogyakarta.

Tidak hanya paparan materi lengkap yang berhasil dikemas oleh tim COP School, tapi konsep keberlanjutan dengan adanya program kerja yang dibawa ke daerah masing-masing membuatnya semakin kompleks. Menjadi bagian dari COP School Batch 6 merupakan kebanggaan tersendiri bagi kami. Pembelajaran tentang satwa liar khususnya Orangutan serta hal-hal lain terkait satwa liar seperti ekosistem lahan basah, teknik investigasi, teknik rehabilitasi orangutan, dan pertemuan langsung dengan Mbak Yanti, dokter hewan yang viral di media sosial dengan usahanya menyelamatkan Harimau Sumatera menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi kami.

Berbekal ilmu, pengalaman, semangat dan teman-teman baru saat kembali ke Pekanbaru seperti membawa bongkahan emas yang nilainya tak akan habis direnggut masa. Keterlibatan kami “Budak Melayu Squad” dalam kampanye serentak se-Indonesia terkait penggunaan senapan angin sebagai teror untuk satwa liar berhasil diliput oleh 19 media di Riau. Tidak sampai disitu, kami juga melakukan edukasi ke sekolah, plesiran dengan tujuan khusus ke pasar burung dan kebun binatang. Keterbatasan dan jarak yang begitu jauh dari pusat untuk berkoordinasi langsung tidak menjadi alasan kami, empat perempuan tangguh (Ana Neferia Zuhri, Iska Lestari, Nabella, dan Ravita Safitri) untuk menyerah dan melibatkan diri dalam usaha konservasi satwa liar khususnya di Riau. (Ana Neferia Zuhri_#copschool6).