November 2018

AMBON SCREAMS AT A QUIET NIGHT

There is not much Ambon does in the cage. Space has always limit anyone’s movements. No exceptions for Ambon, an adult male orangutan with a big body. The cage becomes even smaller when used.

Ambon friendly ayes often make us misunderstood. Yes, lately Ambon become more aggressive to animal keepers. Ambon will be angry when being approached or being seen. In the middle of a quiet night, the team who is in charge in COP Borneo often heard Ambon shouts.

The big and heavy Ambon sounds more hideous at night. The team rushed to check on Ambon condition. “Indeed, Ambon often makes noises during the night, usually because there are animals entering the block 1 cage like pigs,” said Wety Rupiana, the coordinator of COP Borneo rehabilitation centre, East Kalimantan. (SAR)

TERIAKAN AMBON DI SUNYINYA MALAM
Tidak banyak yang dilakukan orangutan Ambon di dalam kandang. Ruang memang selalu membatasi gerak siapapun. Tak terkecuali Ambon, orangutan jantan dewasa dengan tubuh besarnya. Kandang pun menjadi lebih sempit saat digunakannya.

Tatapan Ambon yang ramah sering membuat kita salah sangka. Ya… akhir-akhir ini Ambon menjadi lebih agresif pada animal keeper, Ambon akan marah kalau didekati atau dilihat berlama-lama. Di tengah malam yang sepi, tim yang bertugas di COP Borneo pun sering mendengar teriakan Ambon.

Suara Ambon yang besar dan berat terdengar lebih seram saat malam hari. Tim bergegas memeriksa kondisi Ambon. “Memang Ambon sering mengeluarkan suara-suara saat malam hari, biasanya karena ada binatang yang masuk ke kandang blok 1 mencari makan seperti babi.”, ujar Wety Rupiana, kordinator pusat rehabilitasi COP Borneo, Kalimantan Timur.

HAPPY TO BECOME A RANGER IN APE GUARDIAN

APE Guardian is a name of the team with a heavy responsibility: to secure our orangutan release area. Physical and mental strength is obviously the main requirement to be able to join this team. There are some training to support the APE Guardian task, one of them is shooting practice. Who is shot? With what? What for?

APE Guardian needs to ensure the post-rehab orangutans can survive in the forest until they are truly wild. This process certainly has lots of obstacles. The orangutans have a possibility to experience unwanted things such as illness, malnutrition or injury. If it happened, the rescue must be done.

Vet Flora began with the introduction of all the rescue equipment. First, how to prepare anesthesia/dart bullets when the rescue process is going. All team members had the opportunity to practice how to prepare bullets that already contained drugs until they were ready to be shot.

Then, the shooting practice was given with targets that resembled the size of orangutans. Everyone has the chance to have 3 shots. The 2 best shooters who have the highest score will enter the final and will get the chance to shoot 5 times. A small tournament has taken place because it concerns shooters’ pride. Understandably, they were all animal hunters. But now, they are the guardian of the forest and all the animals living in.

The final between Yacang and Steven is inevitable. Both of these rangers really compete to get APE Guardian’s main shooter position. And finally, Steven managed to get more score. This activity really made the ranger fresh after a month full of patrolling the forest. (IND)

SERUNYA JADI RANGER DI APE GUARDIAN
APE Guardian, nama tim yang bertugas mengamankan kawasan pelepasliaran orangutan ini punya tanggung jawab yang berat. Fisik dan mental yang kuat tentu saja jadi syarat utama untuk bisa bergabung di tim ini. Selanjutnya ada pelatihan bersama untuk mendukung tugas APE Guardian ini, salah satunya latihan menembak. Menembak siapa? Dengan apa? Untuk apa?

Tim APE Guardian adalah tim yang bertugas memastikan orangutan pelepasliaran dapat bertahan hidup sampai benar-benar liar. Proses ini tentu bukan tanpa halangan, selama itu mungkin saja orangutan tersebut mengalami hal-hal yang tidak diinginkan seperti sakit, malnutrisi atau terluka. Kalau sudah begitu, usaha penyelamatan mau tidak mau harus dilakukan.

drh. Felisitas Flora mengawalinya dengan pengenalan perlengkapan penyelamatan. Pertama, bagaimana menyiapkan peluru bius/dart ketika proses rescue berjalan. Seluruh anggota tim mendapat kesempatan mempraktekkan bagaimana menyiapkan peluru yang sudah berisi obat bius sampai dengan siap untuk ditembakkan. Kemudian praktek menembak diberikan dengan sasaran yang menyerupai ukuran orangutan dengan nilai-nilai berdasarkan tempat sasaran. Setiap orang memiliki kesempatan 3 kali tembakan. 2 penembak terbaik yang memiliki nilai tertinggi akan masuk final dan akan mendapatkan kesempatan menembak sebanyak 5 kali. Sesaat telah terjadi turnamen kecil, karena ini menyangkut harga diri penembak. Maklum saja, mereka semua dulunya adalah pemburu hewan. Tapi kini, jadi penjaga hutan dan isinya.

Final antara Yacang dan Steven tak bisa dihindari lagi. Kedua ranger ini benar-benar bersaing ketat untuk mendapatkan posisi penembak utama APE Guardian. Dan akhirnya Steven berhasil memperoleh nilai lebih banyak. Kegiatan kali ini benar-benar membuat para ranger segar setelah sebulan penuh patroli kawasan hutan. (REZ)

BONTI AND ANNIE ARE THE MOST DIFFICULT TO HANDLE IN ORANGUTAN POSYANDU

There are 6 small orangutans in the school forest. They are Owi, Bonti, Happi, Popi, Annie and Jojo. Their behaviour development are always being monitored through daily journal, including their physical development. Every month in the 2nd week, COP Borneo orangutan rehabilitation centre holds an “Orangutan Posyandu”. The small orangutans will be weighed and measured in height. Dental and overall health examination will also be carried out.

“It’s different from human children, who has mother and caretaker to answer precisely about their name, date of birth or their medical history. While orangutans, age determination can be made by examining and calculating their number of teeth,”, said drh. Felisitas Flora.

Among the 6 orangutans who attend the forest school, Bonti and Annie are the 4-5 years old orangutans. “The mischievous age”, Wety Rupiana, coordinator of the COP Borneo rehabilitation centre, interrupted. If other small orangutans are easily to be measured and examined, these two are not. Both of them are the most difficult to be taken to the Orangutan Posyandu. Neither did they want to extent their arms and legs to be measured. They also didn’t want to open their mouths at all. and they were always trying to escape.

There’s no other way to deal with the two orangutans, Bonti and Annie, to be examined. The most effective ways to make them open their mouth, that is tickling their armpits and neck, was no longer working for them. “Maybe they’re embarrassed because they are old…”, said Flora with laugh. (SAR)

BONTI DAN ANNIE PALING SULIT DI POSYANDU ORANGUTAN
Ada enam orangutan kecil yang mengikuti kelas sekolah hutan. Mereka adalah Owi, Bonti, Happi, Popi, Annie dan Jojo. Perkembangan perilaku mereka selalu terpantau melalui catatan harian termasuk juga perkembangan fisiknya. Setiap bulan di minggu kedua, pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo menggelar “Posyandu Orangutan”. Para orangutan kecil akan ditimbang dan diukur tinggi badannya. Tak luput juga pemeriksaan gigi serta kesehatan secara menyeluruh.

“Tidak sama seperti anak manusia, ada ibunya atau pengasuhnya yang bisa menjawab dengan pasti, nama maupun tanggal lahirnya bahkan sekilas riwayat kesehatannya. Sementara orangutan, penentuan usia dapat dilihat dari pemeriksaan dan penghitungan jumlah gigi.”, ujar drh. Felisitas Flora.

Dari keenam orangutan yang mengikuti kelas sekolah hutan, Bonti dan Annie adalah orangutan berusia 4-5 tahun. “Usia nakal-nakalnya itu.”, sela Wety Rupiana, kordinator pusat rehabilitasi COP Borneo. Jika anak orangutan yang lain bisa dengan cepat dilakukan pengukuran dan pemeriksaan, berbeda dengan keduanya. Keduanya paling susah diajak ke Posyandu Orangutan. Keduanya pula tidak mau mengulurkan tangan dan kakinya untuk diukur. Untuk membuka mulut pun keduanya tidak mau sama sekali. Dan mereka berdua selalu berusaha kabur.

Tak ada cara lagi untuk mengatasi kedua orangutan, Bonti dan Annie agar mau diperiksa. Cara paling ampuh dengan mengelitik bagian ketiak dan leher pun sudah tak berlaku lagi buat mereka. “Mungkin mereka malu karena sudah tua…”, kata Flora sambil tertawa. (FLO)

NOVI OBSERVED BY APE GUARDIAN

After two weeks of Novi and Leci released, finally we found Novi tracks. Leftover and canopy openings lead the APE Guardian team, whose duty is monitoring the released orangutan, way to meet Novi. The team then recorded Novi’s behaviour every 5 minutes, no more per 10 minutes.

Filling out the form with 10 minutes interval was still lacking in showing the behaviour progress of the released orangutans. Starting on Nov 20, the team agreed to reduce the time interval in recording the orangutans behaviour from 10 minutes interval to 5 minutes interval. The team needs to be more focused on observing the orangutan’s behaviour and write it down.

“Leech attacks often disrupt our concentration, but the note-taking business still has to be done. What is Novi eating, on what kind of tree and what diameter of the tree he’s on and at what height he’s on, should be recorded properly. Our monitoring team’s duty is to ensure Novi can survive in nature after all these years being in the COP Borneo orangutan rehabilitation centre.”. said Reza Setiawan, coordinator of APE Guardian team.

Then, what about Leci? Since day one, after 3 hours of monitoring, Leci has had disappear from our view. “The lively Leci was like blending with the winds, soundless and trackless.”, said Widi, a volunteer of APE Guardian team with amazement. (SAR)

NOVI KEMBALI TERPANTAU APE GUARDIAN
Setelah dua minggu pelepasliaran orangutan Novi dan Leci, akhirnya kami menemukan kembali jejak Novi. Sisa-sisa makanan dan bukaan kanopi mengantarkan tim APE Guardian COP yang bertugas memantau orangutan pelepasliaran berjumpa kembali dengan Novi. Tim pun kembali mencatat perilaku Novi per lima menit tidak lagi per sepuluh menit.

Pengisian form yang awalnya memiliki interval waktu 10 menit ternyata masih kurang untuk menunjukkan progres perilaku para orangutan pelepasliaran. Mulai 20 November, tim sepakat untuk memperkecil interval waktu pengisian form monitoring dari 10 menit menjadi 5 menit. Tim dituntut untuk semakin fokus memperhatikan prilaku orangutan dan mencatatnya.

“Serangan pacet sering mengganggu konsentrasi kami, tapi urusan catat mencatat tetap harus jalan. Novi sedang makan apa, berada di pohon apa dengan diameter berapa, di ketinggian berapa harus tercatat dengan baik. Kami tim monitoring bertugas memastikan, Novi bisa bertahan hidup di alam setelah bertahun-tahun berada di pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo.”, ujar Reza Kurniawan, kordinator APE Guardian.

Lalu bagaimana dengan Leci? Sejak hari pertama, setelah tiga jam dalam pantauan, Leci sudah menghilang dari pandangan kami. “Si lincah Leci seperti menyatu dengan hembusan dedauan, tanpa suara dan jejak.”, ujar Widi, relawan tim APE Guardian dengan takjub. (REZ)

COP HELPS THE 11th ZOO IN INDONESIA

On this day, November 22, 2018, the Center for Orangutan Protection together with the Gajahmungkur Wildlife Park, Central Java signed a Memorandum of Understanding to work together to improve the welfare of orangutan within the ex-situ conservation agency of the Wonogiri Regional Government. There is one male Bornean orangutan (Pongo pygmaeus) who will be included in the program. In the program, both parties agreed to work together to enrich cages and nutrition so it will improve the orangutan’s welfare.

This Gajahmungkur Wildlife Park is the eleventh ex-situ conservation institution assisted by the COP. Previously, COP had assisted in Bali Zoo, Taru Jurug Solo, Mangkang Semarang, Seruling Mas Banjarnegara, Ragunan Jakarta, Rimbo Jambi Park, Kinantan Bukit Tinggi, Sawah Lunto Zoo, Medan Zoo and Unmul Samarinda Botanical Garden (KRUS). The COP’s vision is to create a good life for orangutans including orangutans in conservation captivities.

Previously, in January 2018, there was news about an orangutan in Gajah Mungkur attacked one of their animal keepers. “COP hopes that incident will not happen again. Gajah Mungkur parties should improve themselves and must be followed by improving the behavior of visitors. All of us must obey the signs or rules, so that kind of unwanted incidents does not occur”, said Daniek Hendarto, the COP conservation manager.

COP BANTU KEBUN BINATANG KE-11 DI INDONESIA
Pada hari ini, 22 November 2018, Centre for Orangutan Protection bersama dengan Taman Satwa Gajahmungkur, Jawa Tengah menandatangani Nota Kesepahaman untuk bekerjasama meningkatkan kesejahteraan orangutan yang berada dalam lembaga konservasi eks-situ milik Pemda Wonogiri tersebut. Ada 1 (satu) individu orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) berjenis kelamin jantan yang akan masuk dalam program tersebut. Dalam program tersebut, kedua belah pihak sepakat untuk bekerjasama memperkaya kandang dan nutrisi agar orangutan dapat meningkatkan kesejahteraannya.

Taman Satwa Gajahmungkur ini merupakan lembaga konservasi eks-situ yang kesebelas yang dibantu COP. Sebelumnya, COP pernah membantu di Bali zoo, Taru Jurug Solo, Mangkang Semarang, Seruling Mas Banjarnegara, Ragunan Jakarta, Taman Rimbo Jambi, Kinantan Bukit Tinggi, Taman Marga Satwa Sawah Lunto, Medan Zoo dan Kebun Raya Unmul Samarinda (KRUS). Visi COP atau Pusat Perlindungan Orangutan yang berbentuk perkumpulan ini adalah kehidupan yang baik bagi orangutan termasuk orangutan yang berada dalam lembaga konservasi.

Sebelumnya pada Januari 2018 muncul pemberitaan dimana orangutan yang menjadi koleksi obyek wisata Waduk Gajah Mungkur menyerang salah satu animal keepernya. “COP berharap, kejadian seperti ini tidak terulang kembali. Pihak WGM memperbaiki diri dan itu pun harus diikuti dengan perbaikan prilaku para pengunjung obyek wisata dimana ada satwanya. Patuhi rambu atau tata tertib yang berlaku, agar kejadian yang tidak diinginkan tidak terjadi.”, ujar Daniek Hendarto, manajer konservasi eksitu COP.

ART FOR ORANGUTAN: A GOOD LIFE FOR ORANGUTAN

Developments often forget the natural ecosystem. Forest inhabitants are intentionally eliminated for either this reason or from illegal hunting. So, is the life of an animal less valuable than human’s desire to develop? Is a decent life for animals not worth fighting?

For the third time, an art exhibition called Art For Orangutan will be back with topic “A Good Life for Orangutan”. Looking at the problems of a type of the closest species to human that is orangutan, artists are put their knowledge of orangutan problems into two, three, or even four dimensional arts.

Our hope, through the #artfororangutan3 exhibition, is that we will not be stuck in conflicting situations. Instead, we want to rethink the image of orangutans and how they will survive in the future from a different perspective: that orangutans are not only primates but also part of our lives.

Initiated by the Centre for Orangutan Protection (COP) in collaboration with the Gigi Nyala community, the first Art for Orangutan (AFO) was held in February 2015 at the Jogja National Museum, entitled “Life for Umbrella Species”. For a second time, AFO was held in November 2016 at the same place, entitled “Refusing Extinction”. AFO itself is a charity exhibition held to campaign for the protection, rehabilitation and the end of violence against wildlife, especially orangutans. This time, we also want this event to resound through the #artfororangutan3 so we can be reminded that there are other creatures besides humans that have the right to a decent life and that can continue to exist.

GUIDELINES
#artfororangutan3 will be held on February 14-17 2019 at the Jogja National Museum (JNM), Yogyakarta. With the following conditions:
1. The artist or exhibitor should be interested in caring for wildlife and that they should be free to live in the wild.
2. The submitted work has a strong concept that is suitable to the theme. 3. Must follow on Instagram @orangutan_COP and @giginyala.
4. Participants must fill out the form and register online no later than Tuesday, January 15, 2019. (The registration link will not be accessible past that date).
5. A maximum of 3 (three) artworks can be submitted.
6. The registration fee per artwork is Rp. 50.003,- (lima puluh ribu tiga rupiah) for Indonesian artists and $10 USD (ten USD) for foreign artists. Payment must be received by February 5, 2019 and can be made to: BNI Bank account 1377888997 Centre for Orangutan Protection or by PayPal to hardi@orangutan.id / Centre for Orangutan Protection.
7. After making the transfer, please send proof of transfer to email: artfororangutan.tiga@gmail.com with the email subject: Artist Name_Title of Works.
8. The work should then be sent to the following address:

An. Daniek Hendarto (#artfororangutan3)
Camp APE Warrior – Centre for Orangutan Protection (COP)
Jl. Gito Gati, Gondanglegi RT/RW: 01/13, Tegal Weru, Sari Harjo, Ngaglik. Kec. Sleman, Kab. Sleman, Yogyakarta, Indonesia. 55581
Mobile Number: +62-813-2883-7434

9. The artist will get an exhibition certificate #artfororangutan3 in soft file / digital format which will be sent 5 days after the exhibition #artfororangutan3 and get an exhibition catalog which will be sent along with the return of the work.
10. The work submitted can be personal or collective / group work with any media. 11. The cost of shipping and returning artwork will be fully covered by the artist.
12. Packing work must be adjusted to the needs and security of the work. Delivery of works must be through a clear and legal shipping service.
13. Submitted work must be from the last 2 (two) years and never have been included in previous Art For Orangutan exhibitions.
14. The maximum size of 2D (two dimensional) work is 200 cm x 200 cm. The maximum size of 3D (three dimensional) work is H: 200 cm, W: 150 cm and L: 150
15. Copyright for works, oral and written statements given and made by artists is entirely the responsibility of the artist.
16. The committee has the right not to exhibit works received for reasons of politeness and propriety, especially those relating to pornography and racial intolerance. If this happens, #artfororangutan3 committee will notify the artist. The #artfororangutan3 exhibit will be visited by the general public with a variety of ages from children to adults.
17. The international deadline for sending artwork is Monday, January 14, 2019 (postmark). If sent past this date, the #artfororangutan3 committee has the right not to display the work.
18. The #artfororangutan3 committee is responsible for the ongoing process of the exhibition such as unpacking work upon arrival, installing, displaying and packing again.
19. The #artfororangutan3 committee will sell the work provided that the work is indeed allowed by the artist to be sold. 60% of the price will be given to the artist and 40% will be donated to the Center for Orangutan Protection.
20. Consignment of sales of work will continue for 2 weeks after the exhibition takes place. 21. The #artfororangutan3 committee will package and send the artist’s work to the
address that corresponds to the form sent at the cost provided by the artist.
22. Within 40 days after the exhibition is complete, if there is no confirmation from the artist to take or receive their packaged work, the Center for Orangutan Protection will have full rights to the work.
23. If anything else happens to the work and exhibition (force majeure) it will be resolved by deliberation and consensus.
24. More information email : artfororangutan.tiga@gmail.com or Ramadhani (COP) +62 813 4927 1904 / Ervance (Giginyala) +62 857 1580 3439.
Timeline Art For Orangutans # 3 :
- International deadline for delivery (postmark) : Monday, January 14, 2019
– End of registration (online data entered) : Tuesday, January 15 , 2019
– Exhibition of Art for Orangutans # 3 : February 14 -17, 2019
- Return / retrieval of works : Until – 5 April 2019
Registration Form : https://s.id/ArtForOrangutan3

Pembangunan sering sekali melupakan ekosistem alam. Penghuni hutan tersingkir secara sengaja dengan kehilangan rumahnya ataupun karena perburuan liar. Apakah nyawa seekor hewan tidak lebih berharga dibandingkan pembangunan tersebut? Apakah kehidupan tersebut tidak layak diperjuangkan?

Untuk ketiga kalinya, pameran seni rupa Art For Orangutan akan kembali hadir dengan tajuk “A Good Life For Orangutan”. Melihat permasalahan satu jenis individu yang sangat dekat sekali dengan manusia, yaitu orangutan. Bagaimana para pelaku seni memahami permasalahan orangutan dan mencoba menuangkannya dalam bentuk dua dimensi, tiga bahkan empat dimensi.

Tentu saja harapannya, Art For Orangutan tidak hanya terjebak pada situasi konfliktual, melainkan memikirkan kembali, imaji-imaji akan orangutan dan bagaimana keberlangsungannya di kemudian hari melalui perspektif lain. Bahwa orangutan bukan hanya primata, namun bagian dari kehidupan kita dengan ide-ide segar dan di luar kebiasaan.

Digagas oleh Centre for Orangutan (COP) yang bekerjasama dengan komunitas Gigi Nyala, AFO pertama kali pada Pebruari 2015 berjudul “Life for Umbrella Species” di Jogja Nasional Museum. Kali kedua dengan tajuk “Menolak Punah” diselenggarakan pada November 2016 di tempat yang sama. AFO merupakan pameran amal untuk kampanye perlindungan, rehabilitasi dan menghentikan kekerasan terhadap satwa liar, terutama orangutan. Kali ini, dengan tanda pagar, menggemakan #artfororangutan3 agar kita semua tidak lupa bahwa makhluk hidup lain berhak mendapatkan kehidupan layak dengan dijaganya keberlangsungan hidupnya.

PANDUAN
#ArtForOrangutan3 akan dilakukan pada tanggal 14-17 Februari 2019 di Jogja National Museum (JNM), Yogyakarta. Dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Seniman atau peserta pameran memiliki semangat kepedulian terhadap satwa liar, bahwa satwa liar lebih layak dan indah hidup dialam.
2. Karya yang dikirimkan memiliki konsep yang kuat dengan kesesuaian tema.
3. Wajib follow Instagram @orangutan_COP dan @giginyala.
4. Peserta berkewajiban mengisi formulir dan batas akhir pendaftaran secara online paling lambat Senin, 21 Januari 2019. (Melebihi tanggal tersebut secara otomatis link pendaftaran tidak akan bisa diakses/dibuka).
5. Mengirimkan maksimal 3 (tiga) judul karya.
6. Peserta dalam Negeri membayar Rp. 50.003,- (lima puluh ribu tiga rupiah) dan seniman manca Negara membayar USD 10 (sepuluh dollar) untuk satu judul karya. Pembayaran ditransfer ke rekening BNI 1377888997 an. Centre for Orangutan Protection sebelum tanggal 5 Februari 2019.
7. Setelah melakukan transfer harap mengirimkan bukti transfer ke email: artfororangutan.tiga@gmail.com dengan judul email : Nama Peserta_Judul Karya.
8. Karya kemudian dikirimkan ke alamat sebagai berikut :

An. Daniek Hendarto (AFO #3)
Camp APE Warrior – Centre for Orangutan Protection (COP)
Jl. Gito Gati, Dusun Gondanglegi 01/13, Tegal Weru, Sari Harjo, Ngaglik.
Kec. Sleman, Kab. Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55581
No Hp : 0813-2883-7434

9. Peserta akan mendapatkan sertifikat keikutsertaan pameran #artfororangutan3 dalam bentuk softfile/digital yang akan dikirimkan 5 hari pasca pameran #artfororangutan3 dan mendapatkan katalog pameran yang akan diberikan bersamaan dengan pengembalian karya.
10. Karya yang dikirimkan bisa berupa karya personal atau kolektif/kelompok dengan media apapun.
11. Biaya pengiriman dan pengembalian karya sepenuhnya ditanggung oleh peserta.
12. Packing karya disesuaikan dengan kebutuhan dan keamanan karya. Pengiriman karya harus melalui jasa pengirim yang jelas dan legal.
13. Karya yang dikirimkan adalah karya terbaru dalam 2 (dua) tahun terakhir dan belum pernah diikutkan dalam pameran art for orangutan sebelumnya.
14. Ukuran maksimal karya 2D (dua dimensi) dengan ukuran maksimal 200 cm x 200 cm. 3D (tiga dimensi) dengan ukuran maksimal T: 200 cm, L: 150 cm dan P: 150 cm
15. Hak cipta atas karya, pernyataan lisan maupun tertulis yang diberikan dan dibuat oleh seniman adalah sepenuhnya tanggungjawab seniman.
16. Panitia berhak untuk tidak memamerkan karya yang diterima dengan alasan kesopanan dan kepatutan, terutama yang berhubungan dengan pornografi dan SARA. Jika ini terjadi, Panitia #artfororangutan3 akan melakukan konfirmasi kepada peserta. Pameran #artfororangutan3 akan dikunjungi oleh kalangan umum dengan variasi umur dari anak-anak hingga orang dewasa.
17. Batas akhir pengiriman karya adalah pada tanggal Jumat, 25 Januari 2019 (Cap Pos). Jika melebihi tanggal tersebut maka Panitia #artfororangutan3 berhak untuk tidak memamerkan karya tersebut.
18. Panitia #artfororangutan3 bertanggung jawab dalam proses berlangsungnya pameran seperti pembongkaran karya ketika datang, pemasangan, memamerkan dan packing kembali.
19. Panitia #artfororangutan3 akan melakukan penjualan karya dengan ketentuan bahwa karya tersebut memang oleh peserta diperkenankan untuk dijual. Dengan prosentase penjualan karya sebesar 60% dari harga karya yang terjual
menjadi hak seniman dan 40% didonasikan untuk Centre for Orangutan Protection.
20. Melakukan konsinyasi penjualan karya selama 2 minggu setelah pameran berlangsung.
21. Melakukan teknis pengembalian karya peserta ke alamat yang sesuai dengan formulir yang dikirim dengan biaya ditanggung oleh seniman.
22. Jika dalam waktu 40 hari setelah pameran selesai dan tidak ada konfirmasi dari peserta untuk mengambil atau siap menerima paketan karyanya kembali maka karya akan menjadi hak Centre for Orangutan Protection.
23. Jika ada hal lain yang terjadi terhadap karya dan acara pameran (force majeure) maka akan diselesaikan secara musyawarah dan mufakat.
24. Informasi lebih lanjut melalui email : artfororangutan.tiga@gmail.com atau Ramadhani (COP) +62 813 4927 1904 / Ervance (Giginyala) +62 857 1580 3439.
Timeline Art For Orangutan #3
- Batas akhir pendaftaran (data online masuk) : Senin, 21 Januari 2019
– Batas akhir pengiriman karya (cap pos)
– Pameran Art for Orangutan #3
– Pengembalian/pengambilan karya:
Jumat, 25 Januari 2019 : 14 – 17 Februari 2019 : Hingga – 5 April 2019
Formulir Pendaftran : https://s.id/ArtForOrangutan3

UNTUNG TURNS TO GO BACK HOME

He is Untung, a lucky orangutan with imperfect fingers who can compete in the COP Borneo pre-release island. In 2011, when Centre for Orangutan Protection took him to the school forest for the first time, he looked scared, his body trembled while hugging the branch of tree. His confidence was lacking. COP staffs patiently accompanied him, talked to him with deep voice, and gently fondled him. On the next forest school, Untung had to grab fruits between branches for his meal. His hunger guided him to reach the banana. From that day onward, we believe that Untung will be back to its habitat one day.

Almost 8 years has passed. Going back and forth inside and outside the cage to teach him that he’d better avoid humans whenever they approaches him with a long pipe. He would then made voices to scare people. And whenever our eyes met, he would looked at us with dislike. Untung is getting wilder.

The pre-release island is surrounded by river and is dominated by the orangutan release candidates. the animal keeper will only stop by to put some foods in the morning and evening, to complement the natural food that is available on the island. Untung’s grumpy attitude was always on to drive away the on-duty animal keepers without exception.

Thankfully, Untung succeeded this stage. Release preparations have also begun.”, explained Jhony, the coordinator of COP Borneo animal keepers in Berau, East Kalimantan. Untung will be one of the second orangutan who had entered a zoo and went to COP Borneo rehabilitation centre to be released. COP Bornea has succeeded with Oki orangutans, the one from Mulawarman University Botanical Garden, Samarinda. Now it is Untung turn! (SAR)

GILIRAN UNTUNG UNTUK KEMBALI KE RUMAH
Dia adalah Untung, orangutan yang beruntung walau dengan jari yang tidak sempurna mampu bersaing di kelas pulau pra rilis orangutan COP Borneo. Untung di tahun 2011 saat Centre for Orangutan Protection mengajaknya pertama kali ke sekolah hutan, Untung terlihat ketakutan, tubuhnya bergetar memeluk dahan. Terlihat rasa percaya dirinya yang sangat porak poranda. Dengan telaten, staf COP menemaninya, berbicara dengan suara rendah dan membelai punggungnya dengan lembut. Saat sekolah hutan berikutnya, Untung harus meraih buah-buahan sebagai makanannya di antara dahan. Rasa laparnya menuntunnya meraih pisang. Saat itulah, kami yakin, kelak Untung akan kembali ke habitatnya.

Hampir delapan tahun berlalu. Bolak balik ke luar kandang mengajarkannya, saat seseorang dengan pipa panjang mendekatinya, sebaiknya dia menghindar. Dia pun akan segera mengeluarkan suara untuk mengusir. Dan saat kita bertatapan, dia pun melihat kita dengan kebencian. Untung semakin meliar.

Pulau pra rilis orangutan adalah sebuah pulau yang dibatasi oleh sungai. Pulau mutlak dikuasai oleh orangutan-orangutan kandidat pelepasliaran. Hanya pada saat pagi dan sore hari, para animal keeper akan berlabuh sesaat di dermaganya untuk meletakkan makan pagi dan sore sebagai tambahan dari makanan yang sudah tersedia secara alami di pulau. Sikap galak Untung pun tanpa terkecuali, dengan galak dia berekspresi, mengusir para animal keeper yang bertugas.

“Syukurlah, Untung berhasil pada tahapan ini. Persiapan untuk pelepasliarannya pun sudah dimulai.”, jelas Jhony, koordinator animal keeper di pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo, Berau, Kalimantan Timur. Untung akan menjadi orangutan kedua yang pernah di kebun binatang dan masuk pusat rehabilitasi COP Borneo untuk dilepasliarkan. COP Borneo telah berhasil dengan orangutan Oki, orangutan dari Kebun Raya Unviversitas Mulawarman, Samarinda. Kini giliran Untung!

DOZENS OF ORANGUTANS LOST THEIR HABITAT IN CENTRAL KALIMANTAN

The APE Crusader team found another threatened orangutan habitat in Lamandau, Central Kalimantan. Our finding is strengthened by the discovery of orangutan nests in the middle of an area that has clearing permission for oil palm plantations. From the survey of orangutan organizations in 2015, it was estimated that there were 0.23 individuals/km2 along 8,500 meters in the plantation area.

Among the pile of logs and a road that cut through the forested area, the team also found 4 nests that were only 200-500 meters away from the road. “This area is an orangutan habitat! The brutal process of clearing forests into oil palm plantations must be stopped,” said Paulinus Kristanto, Habitat Campaigner of COP.

The Act of Indonesia Republic No. 5 of 1990 concerning Conservation of Natural Resources and Ecosystems in article 21 paragraph 2e reads, “taking, damaging, destroying, trading, storing or possessing eggs and/or nests of protected animals” will be punished with a maximum jail sentence of 5 years and a maximum fine of IDR 100 million. (IND)

PULUHAN ORANGUTAN TERANCAM KEHILANGAN HABITAT DI KALTENG
Tim APE Crusader menemukan satu lagi habitat orangutan yang terancam di kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Habitat orangutan diperkuat dengan penemuan sarang yang berada di tengah ijin perencanaan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit. Dari hasil survei organisasi orangutan tahun 2015 diperkirakan terdapat 0,23 individu/km2 sepanjang 8.500 meter di areal perkebunan tersebut.

Di antara tumpukan kayu tebangan dan jalan yang membelah kawasan berhutan, tim juga menemukan 4 sarang yang berjarak hanya 200-500 meter. “Kawasan ini merupakan habitat orangutan! Proses pembukaan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit harus dihentikan.”, ujar Paulinus Kristanto, juru kampanye Habitat COP.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dalam pasal 21 ayat (2) e berbunyi, “mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.”, dengan sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dengan paling banyak Rp 100.000.0000,00. (NUS)

TIDY UP THE TREES AROUND THE ORANGUTAN CAGES

The lush trees at the orangutan rehabilitation centre of COP Borneo, Berau, East Kalimantan, make it hard for sunlight to break into orangutan cages. Though sunlight is very necessary in managing air humidity, especially in the enclosure of COP Borneo. Finally, the team scheduled to trim the branches that block the sunlight from reaching the cage.

Jevri and Amir, two animal keepers who are masters in climbing 15 meters high trees at the school forest, were tasked with trimming the branches. With agility, both of them reached the end of the tree and effortlessly cut the sticky branches. After taking care of the twigs of one tree, they headed to another tree. Instead of going down and climb another, they were crossing over through branches as the bridge. Very similar to orangutans, just not swinging. “So that’s why all the forest school students are so good at climbing and moving from one tree to another.”, said drh. Felisitas Flora. Indeed, one of the added values for animal keeper at COP Borneo is being good at climbing.

COP Borneo orangutan rehabilitation center is the one and only rehabilitation centre founded and run by Indonesian young generation. Even most of people who run the rehab centre of COP Borneo are the local people who live in Merasa village, Berau, the nearest village to the centre. You can support the orangutan protection through kitabisa.com/orangindo4orangutan (FLO)

MERAPIKAN POHON DI SEKITAR KANDANG ORANGUTAN
Rimbunnya pepohonan di pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo, Berau, Kalimantan Timur membuat cahaya matahari sulit menerobos kandang orangutan. Padahal sinar matahari sangat diperlukan agar udara tidak terlalu lembab terutama di kandang orangutan pusat rehabilitasi COP Borneo. Akhirnya, tim mengagendakan untuk memangkas ranting-ranting yang menghalangi sinar matahari sampai ke kandang.

Biasanya, Jevri dan Amir, dua animal keeper yang menjadi andalan dalam memanjat pohon yang tingginya sekitar 15 meter pada saat sekolah hutan berlangsung kali ini bertugas merapikan ranting-ranting. Dengan lincah, keduannya sampai ke ujung pohon dan tanpa kesulitan memotong ranting-ranting yang menjulur. Selesai mengurus ranting di satu pohon, mereka pun menuju ke pohon yang lain. Tidak turun ke tanah malainkan melalui dahan yang menjadi jembatannya. Sangat mirip dengan orangutan, hanya saja tidak berayun. “Wjar saja, siswa sekolah hutan yang diasuh selama ini sangat pandai memanjat dan berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon yang lain.”, ujar drh. Felisitas Flora. Memang, salah satu nilai tambah untuk animal keeper di COP Borneo adalah pandai memanjat.

Pusat Rehabilitasi Orangutan COP Borneo adalah satu-satunya pusat rehabilitasi yang didirikan dan dijalankan oleh putra-putri Indonesia. Sebagian besar yang menjalankan pusat rehabilitasi bahkan orang lokal yang bertempat tinggal di desa terdekat yaitu desa Merasa, Berau. Kamu pun bisa mendukung perlindungan orangutan melalui kitabisa.com/orangindo4orangutan (FLO)

EVEN STONES ARE ENTERTAINMENTS FOR THE RANGER

Playground does not only belong to children. These well-built but soft-hearted forest guards also love to play. Every forest guard, that usually called as ranger, must obey the agreed rules that one of which is to not bring any smartphones. The rules made in order to focus their attention only on the forest activities. Smartphone can distract the team attention from surroundings through games or music player. “It’s impossible to connect to social media, even telephone network is not available there. “ said Ipeh, a volunteer of APE Guardian team. Then, what will they do on break time?

Creek is rangers’s favorite place to hang, refill water, lunch, coffee break, or even play. Really? Stones around the river are their entertainment. How come? One of them pick 3 stones up then threw it up and catch it in one after another. They were also stacked stones or rock balancing or also known as gravity glue. When break time is up, they will race to throw stones to the pile of rocks at a certain distance. After that, laughter started their afternoon patrol. it’s simple, isnt it?

The rangers are the forest guards who stand on the front line. Because of them, the forest is secured and maintained. Why the forest have to be protected? Today, it’s not only houses or offices that require security but also forests. Guarding a forest is even more difficult, no fences as a border, no signals to communicate if something happens. Rangers keep all the natural wealth in the forest safe. And rangers also need entertainment, like playing stones. Have you ever played stones? If yes, give your comments! (SAR)

BATU PUN MENJADI HIBURAN BAGI RANGER
Dunia bermain tak hanya milik anak-anak. Tak terkecuali para penjaga hutan berbadan tegap namun berhati lembut ini. Setiap penjaga hutan atau ranger harus mematuhi peraturan yang telah disepakati, salah satunya adalah tidak boleh membawa smartphone. Tujuannya adalah agar kita fokus untuk kegiatan di hutan, sebab jika ada smartphone dapat dipastikan akan ada yang bermain game atau mendengarkan musik sehingga mengabaikan keadaan sekitar. “Kalau untuk ber-media sosial itu sih tidak mungkin, signal telepon saja tidak ada.”, ujar Ipeh, relawan tim APE Guardian. Lalu apa yang dilakukan para penjaga hutan saat istirahat?

Anak sungai adalah tempat favorit para ranger untuk beristirahat, mengisi ulang kebutuhan air, tempat makan atau coffee break bahkan bermain. Serius? Batu-batu yang tersebar di sungai adalah hiburan tersendiri buat para ranger. Bagaimana mungkin? Salah satu ranger memungut 3 batu lalu melemparkannya ke atas lalu akan ditangkap dengan bergantian. Ada pula yang mengambil lalu menyusunnya, bahasa kerennya rock balance ada juga yang menyebutnya garvity glue. Setelah waktu istirahat berakhir… mereka akan berebutan mengenai batu yang telah disusun dengan batu dalam jarak tertentu. Selanjutnya gelak tawa pun mengawali patroli siang mereka. Sederhana ya…!

Para ranger adalah para penjaga hutan yang berada di garis depan. Berkat merekalah keamanan hutan terjaga. Kenapa sih hutan harus dijaga? Zaman sekarang, tak hanya perumahan atau perkantoran saja yang memerlukan penjagaan, tapi hutan pun. Bahkan menjaga hutan jauh lebih sulit, tak ada pagar yang mengelilingi, tak ada jaringan telepon yang bisa menembus komunikasi jika terjadi sesuatu, ya pada para ranger lah, kekayaan hutan bisa terjaga. Dan para ranger juga butuh hiburan, yang dengan bermain batu tadi. Kamu pernah bermain batukah? Kalau ya… berikan komentarmu! (IPEH_Orangufriends)