FENESIA AND THE REALITY OF OIL

It is difficult to prove that palm plantation farmers are killing orang-utans during their land clearing and planting activities. It is even harder to prove this for the ‘pest control’ (the term that companies often use when referring to the task of hunting). Of course, their employment contract does not state that they officially work to kill wildlife that eat or damage oil palms. Consequently, investigations into orang-utan killings tend to take a long time.

This is all common knowledge for palm oil workers. Most of them often see or become perpetrators. To maintain the security and the continuity of their employment, workers tend to stay away from questions about orang-utans. Fenesia is a witness to how orang-utans and other wildlife can fall victim to companies’ land clearing processes when they have land use permits in the forest. Fenesia once worked for a palm oil company in Muara Wahau. In the same district, the COP was confiscating more than 10 baby orang-utans from the hands of the public and campaigning against three companies that had clearly damaged orang-utan habitats.

Fenesia is just one of many people who ultimately decided to tell this story to the public. Namely, that palm oil companies are the largest contributors to the extinction of orang-utans in Borneo. “Many orang-utans are there and they (the companies) do not care. They only care about their land clearing targets, and the orang-utans are secondary.” Fenesia talks while carrying a baby orang-utan to forest school. Fenesia has now has decided to work with the COP to care for orang-utans. His concern grew from seeing what happened to orang-utans while he was working for the oil company.

Fenesia became the first keeper at the COP Orang-utan Rehabilitation Centre. He saw so much sorrow in orang-utans’ lives. He decided to help them. Do you also choose to help orang-utans? Save or delete, you decide!

 

FENESIA, KENYATAAN DI SAWIT

Sulit untuk membuktikan bahwa pembunuhan orangutan oleh pihak perkebunan sawit dalam kegiataan landclearing maupun tanam baru mereka. Terlebih lagi para pembasmi hama (bahasa yang sering digunakan perusahaan untuk pekerjaan berburu). Memang tidak terikat kontrak kerja yang menyatakan ia secara resmi bekerja untuk membunuh satwa yang memakan atau merusak tanaman sawit tersebut. Karenabeberapa kejadian yang terungkap biasanya memerlukan waktu yang panjang dalam investigasi.

Sebenarnya ini merupakan rahasia umum dalam dunia pekerja kelapa sawit. Kebanyakan dari mereka sering melihat atau menjadi pelaku itu sendiri. Tentu saja untuk menjaga keamanan serta kelangsungan pekerjaanya di perusahaan tersebut, para pekerja cenderung menjauh dari pertanyaan seputar orangutan. Fenesia, merupakan saksi bagaimana proses landclearing oleh perusahaan sawit sering mengorbankan orangutan dan satwa lainnya di hutan tempat perusahaan tersebut mendapatkan Hak Guna Usaha. Fenesia dahulunya merupakan pekerja di sebuah perusahaan kelapa sawit di kecamatan Muara Wahau. Merupakan kecamatan yang sama, saat COP melakukan penyitaan lebih dari 10 bayi orangutan dari tangan masyarakat serta mengkampanyekan 3 perusahaan yang terbukti secara jelas merusak habitat orangutan.

Fenesia hanya satu dari sekian banyak orang yang pada akhinya memutuskan untuk menceritakan hal ini kepada khalayak ramai. Bahwa perusahan sawit memberikan sumbangan terbesar dalam punahnya orangutan di Kalimantan. “Di sana sangat banyak orangutan dan mereka (perusahaan), tidak peduli. Mereka punya target landclearing hanya itu yang mereka perdulikan, orangutan itu urusan belakangan.”, Fenesia bercerita sambil menggendong bayi orangutan berangkat sekolah hutan. Kini Fenesia telah memutuskan untuk berkerja di COP untuk merawat orangutan. Kepeduliannya tersebut beranjak dari rasa iba melihat nasib orangutan sewaktu ia masih berkerja di perusahaan sawit.

Fenesia menjadi keeper pertama di Pusat Rehabilitasi Orangutan COP. Dia melihat begitu banyak duka di dalam kehidupan orangutan. Dia memutuskan untuk membantu orangutan. Apakah anda juga memilih untuk membantu orangutan? Save or delete, you decide!

 

PRAYER LEADER RECRUITED AS ORANGUTAN KEEPER

Kanisius Jahenam was born in the village of Golo Ketak, in the sub-district of Terang, Manggarai. This man, known simply as Kanis, settled in East Kalimantan in 2001. He moved to Kalimantan with the purpose of working for a timber company, since Timber Utilisation Permits were still widely available at the time. More than 100 of these permits were still in operation by the end of 2005.

Kanisius now lives in the village of Merasa, only 16 kilometres from COP’s Center for Orangutan Rehabilitation. Previously, Kasinius worked as a prayer leader in various small Catholic worship stations throughout a number of regional villages in Kalimantan. These experiences led to his being appointed as prayer leader in Merasa’s Santo Petrus church. Every Sunday, he can be found leading worship in the small church just downstream from the village center. His perseverance as a leader has led to various developments in the church, which is now never empty of people coming to pray.

Aside from his devotion to prayer, Kasinius is also known for his love of animals. As a result, in April 2015, he was called to assist COP in their mission to save orangutans. His desire to interact directly with the animals led to his appointment as an orangutan keeper.

“Mankind and animals have the same opportunities in life, and God loves animals with the same strength that He loves humans.”

Such is the philosophy that Kasinius implements in his everyday life. When working with orangutans, Kasinius is famous for being loving and caring. At times, he has even been known to climb trees while holding baby orangutans, to teach them a love for climbing, when their parents have been injured or captured and are unable to do so.

As he says, “If we show love for animals, in turn they will love us as they do their own family.”.

Baby orangutan Michelle is further evidence of this idea. Kasinius has an especially close relationship with Michelle, which has been likened to that of a mother and child. Michelle only follows instructions from Kasinius in jungle lessons, and whenever she becomes sad she immediately seeks him out.

This case shows us that saving orangutans is not only a job, but a calling of the heart. Orangutans do not understand who we are or what our backgrounds are. What they do understand however, is the care we show for them, continuing to work to save their homes and the lives of their future generations.(KAN)

 

PENDOA TERPANGGIL MENJADI KEEPER ORANGUTAN

Kanisius Jahenam merupakan pria kelahiran kabupaten Manggarai, kecamatan Terang, desa Golo Ketak. Pria yang sering disapa dengan nama Kanis ini merupakan perantau di Kalimantan Timur semenjak 2001. Tujuan utama pada saat itu adalah berkerja di perusahan kayu, hal ini dikarenakan memang pada saat itu Ijin Pemanfaatan Kayu di Kalimantan masih sangat banyak. Tercatat setidaknya ada lebih dari 100 ijin penggunaan kayu yang beroperasi hingga pada akhir 2005.

Kanisius kini menetap di desa Merasa, desa yang hanya berjarak 16 km dari Pusat Rehabilitasi Orangutan COP. Sebuah kebetulan Kanisius yang dulunya pernah mengikuti pelatihan memimpin ibadah umat di stasi-stasi kecil Katolik di desa-desa terpencil kini menjadikan dia terpanggil sebagai pemimpin umat gereja Katolik di stasi Santo Petrus desa Merasa. Setiap hari minggu kita dapat menjumpai Kanisius memimpin ibadah di gereja kecil di desa Merasa  bagian hilir. Ketekunannya memimpin umat Katolik ternyata membawa banyak perubahan, kini gereja Katolik Merasa tidak pernah sepi pen-doa.

Di sela kesibukannya sebagai pendoa, Kanisus pun dikenal sebagai penyayang binatang. Sehingga pada April 2015, Ia terpanggil untuk membantu COP dalam misi menyelamatkan Orangutan. Keinginannya untuk berinteraksi langsung dengan orangutan menjadikannya ia terpanggil untuk menjadi perawat orangutan atau sering disebut keeper.

“Manusia dan hewan mempunyai kesempatan yang sama untuk hidup, dan Tuhan mencintai mereka sama besarnya dengan Dia mencintai manusia.”, begitulah pemahaman Kanisius dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Selama menjaga orangutan, Kanisius memang terkenal sebagai penyayang dan penyabar, terkadang ia rela memanjat pohon dan menggendong bayi orangutan hanya agar bayi-bayi orangutan ini mau memanjat. Tentu saja seperti yang pernah ia katakan, “Jika kita mencintai binatang, mereka juga akan mencintai kita layaknya keluarga mereka.” Maka hal ini terbukti pada bayi orangutan bernama Michelle. Ia memiliki kedekatan khusus dengan Kanisius. Layaknya kedekatan ibu dan anak. Michelle hanya mau menuruti perintah Kanisius di setiap sekolah hutan, bahkan ketika Michelle menangis maka ia akan segera berlari dan mendekati Kanisius.

Hal ini mengajarkan kita bahwa menyelamatkan kehidupan orangutan bukan saja hanya sebuah pekerjaan tetapi pilihan hati. Orangutan tidak pernah mengerti siapa kita dan apa latar belakang kehidupan kita. Yang mereka tahu hanyalah kepedulian kita untuk terus menyelamatkan generasi nya dan hutan sebagai rumahnya.(KAN)

YOUR REPORTS – SAVING THE ANIMALS

Thanks to the report of one caring person, an online wildlife trafficker has been arrested in Langsa, East Aceh. 3 infant orangutans were saved along with several other rare species of wild animals. The owner of the online account ‘Habitat Aceh’ is now facing 5 years jail time based on Regulation 5, 1990. This is not the first time an online user has saved wild animals by reporting such crimes to COP. Thanks to their awareness, at least 12 individuals trading wildlife via social networks such as Facebook have been jailed and 167 rare species have been confiscated – including orangutans, bears and clouded leopards. Not bad, eh?

 

Reports that come in to COP will be quickly followed up with more detailed information, after an investigation to ascertain the truth of the situation. Once the facts have been confirmed, COP will communicate the report to the acting authorities – in these cases the police and the Office of Natural Resource Conservation (BKSDA)/Forestry Ministry. With this correspondence we are hoping for enforcement of the law. Until the suspects are caught and successfully brought to the interrogation room, the COP team will keep their mouths shut. Everything will be done swiftly and silently.
So, COP will not brag, make it into some kind of competition, ask for information from the public or pretend like we are chasing suspects. COP will not just turn your reports into a statistic like “online wildlife trafficking has risen 70%”, or “we receive as many as 1000 reports of cases per year”. For COP, the indicator of success in this war on crime will be the number of criminals thrown into jail, not the amount of comments, shares, or likes on Facebook.
That’s the way law enforcement should be done.
And so, COP urges you, the online community, not to rave on about these perpetrators, condemning them and spreading their faces far and wide. This only lets the suspect know that they have become a target, and allows them to quickly cover their tracks, making law enforcement a much more complicated task. Simply report them to us and let us deal with them alongside the authorities.

Once again, remember: Your reports are saving the animals!

 

LAPORANMU, MENYELAMATKAN SATWA

Berkat laporan seorang netizen yang peduli, seorang pedagang satwa liar berhasil ditangkap di Langsa, Aceh Timur. 3 bayi orangutan berhasil diselamatkan bersama dengan beberapa jenis satwa liar langka lainnya. Pemilik akun “Habitat Aceh” itu kini menghadapi tuntutan penjara 5 tahun berdasarkan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1990. Ini bukan pertama kalinya para netizen menyelamatkan satwa liar dengan cara melaporkannya ke COP. Berkat kepedulian mereka, setidaknya 12 orang yang berjualan melalui jejaring sosial seperti Facebook berhasil dipenjara dan 167 satwa langka disita termasuk orangutan, beruang dan macan dahan. Lumayan kan?

Laporan yang masuk ke COP akan segera ditindaklanjuti dengan pendalaman informasi, melalui sebuah penyelidikan untuk memastikan kebenarannya. Jika sudah pasti, COP akan memgkomunikasikannya dengan otoritas yang berwenang, dalam hal ini polisi dan BKSDA/ Kemenhut. Dalam komunikasi itu kami merencanakan operasi penegakan hukum. Sampai si tersangka ditangkap dan berhasil dibawa ke ruang interogasi, tim akan tutup mulut. Semua dilakukan dengan sunyi dan cepat.
Jadi, COP tidak akan berkoar – koar, semacam bikin sayembaralah, minta bantuan informasi ke masyarakatlah atau berpura – pura mengejar si tersangka. COP tidak akan menjadikan laporan anda sebagai bahan statistik seperti ini: perdagangan satwa online meningkat 70% atau kami menerima pengaduan sebanyak 1000 kasus per tahun. Bagi COP, indikator suksesnya perang melawan kejahatan adalah banyaknya orang dijebloskan ke penjara, bukan banyaknya komentar, bagi atau suka di Facebook. Begitulah seharusnya penegakan hukum dijalankan.
Bersama ini COP menghimbau kepada Netizen untuk tidak berkoar – koar mengutuk pelaku kejahatan dan menyebarluaskan secara sporadis dan brutal. Kegoblokan seperti ini hanya akan membuat si tersangka sadar bahwa dirinya sudah jadi target masyarakat dan lalu dia menghapus jejaknya. Maka penegakan hukum makin rumit dilakukan. Cukup laporkan kepada kami dan biarkan kami yang menyelesaikannya bersama otoritas yang berwenang.
Sekali lagi, ingatlah: Laporanmu menyelamatkan satwa!

ANIMAL TRADERS ARRESTED IN BKSDA ACEH. 3 INFANT ORANGUTANS SAVED

Aceh’s Natural Resource Conservation Organisation (BKSDA) has succeeded in arresting a suspected wild life trader in Langsa, East Aceh.  In the operation, the team confiscated 3 (three) orangutan, 3 (two) Brahminy Kites, 1 (one) Kuau King bird and I (one) protected clouded leopard. The suspect was detained in the Police Head Quarters in Aceh.

“This operation is the first of its kind in Aceh. The success of this operation is thanks to the solid support from the regional police team, OIC from Medan and COP from Jakarta.  The next major task is ensuring the suspect is punished to the full extent of the 5th law under the 1990 Conservation of Natural Resources and Ecosystem Act.” , stated Genman Hasibuan, the Head of BKSD Aceh.

Daniek Hendarto, Manager of the Anti-Crimes against Wild Life from the Centre for Orangutan Protection (COP) explained “The mother of the three infants which were confiscated had obviously been killed by the poachers.  Without the establishment of harsh laws, orang-utans will continue to die in this manner.  A light sentence will only make the perpetrators return to their business because the potential profit is so large. From the hands of a poacher, a trader can receive between 500 thousand to 1 million rupiah and then can sell the animal on the market for 5 to 10 million rupiah.  On the international market, the price of an orangutan can be estimated at 400 million rupiah

“The majority of animals which are traded have been taken from the wild including the Leuser Ecosystem. Poaching and trading often causes suffering and unnecessary death for the wild life and disturbs the ecosystem. It is time that Indonesia seriously fights this crime. OIC will mobilise all of its potential so that the suspect receives the maximum punishment, that is 5 years imprisonment and a fine of 100 million rupiah.”, asserted  Panut Hadisiswoyo, Director of the Orangutan Information Centre.

So far, in the year 2015, COP has already exposed 2 cases of orangutan trade online. 4 infant orang-utans have already been saved along with tens of birds and other mammals associated with these cases. The Centre for Orangutan Protection through the APE Warrior team is fighting the illegal wild life trade. #PERANGIPERDAGANGANSATWALIAR

 

PEDAGANG DITANGKAP BKSDA ACEH, 3 BAYI ORANGUTAN SELAMAT

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh berhasil menjebak seorang tersangka pedagang satwa liar di Langsa, Aceh Timur. Dalam operasi tersebut, tim menyita 3 (tiga) orangutan, 2 (dua) elang bondol, 1 (satu) burung kuau raja dan 1 (satu) awetan macan dahan. Tersangka langsung ditahan di markas Polda Aceh.

“Operasi ini merupakan yang pertama kali dilakukan di Aceh. Suksesnya operasi ini berkat dukungan tim yang solid dari Polda, OIC dari Medan dan COP dari Jakarta. Tugas berat selanjutnya adalah memastikan tersangka mendapatkan hukuman seberat – beratnya sesuai dengan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.”, kata Genman Hasibuan, Kepala BKSDA Aceh

Daniek Hendarto, Manager Anti Kejahatan Satwa Liar dari Centre for Orangutan Protection (COP) menjelaskan, “Induk dari 3 bayi orangutan yang disita, jelas sudah dibunuh oleh pemburunya. Tanpa penegakan hukum yang keras, korban orangutan akan terus berjatuhan. Hukuman yang ringan hanya akan membuat para penjahat kembali ke bisnisnya karena keuntungannya sangat besar. Dari tangan pemburu, seorang pedagang mendapatkan harga antara 500 ribu hingga 1 juta rupiah dan kemudian dijualnya di pasaran seharga 5 sampai 10 juta rupiah. Di pasaran internasional, harga bayi orangutan ditaksir 400 jutaan rupiah.”

“Hampir sebagian besar satwa liar yang diperdagangan adalah tangkapan dari alam, termasuk dari Ekosistem Leuser. Perburuan dan perdagangan seringkali menimbulkan penderitaan dan kematian yang tidak perlu pada satwa liar dan mengacaukan ekosistem. Sudah saatnya Indonesia serius memerangi kejahatan ini. OIC akan mengerahkan segenap potensinya agar si tersangka bisa mendapatkan hukuman maksimal, yakni penjara 5 tahun dan denda 100 juta rupiah.”, tegas Panut Hadisiswoyo, Direktur Orangutan Information Centre

Selama tahun 2015 ini, COP telah membongkar 2 kasus perdangangan orangutan secara online. Ada 4 bayi orangutan yang telah diselamatkan dan puluhan burung serta belasan mamalia lainnya dalam kasus perdagangan tersebut. Centre for Orangutan Protection melalui tim APE Warriornya memerangi perdagangan satwa liar #PERANGIPERDAGANGANSATWALIAR