DEPRESI PADA SATWA LIAR YANG TERKEKANG (3)

Sebelumnya kita mengetahui bahwa sama seperti manusia, satwa atau binatang pun sangat memungkinkan untuk bisa merasa stres dan depresi. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh satwa domestik, tetapi juga satwa liar yang tidak berada di habitat aslinya. Contohnya yaitu satwa-satwa liar yang ditangkap untuk diperjual-belikan ataupun satwa liar yang ada di kebun binatang, sirkus atau pertunjukkan satwa lainnya.

Di habitat aslinya, satwa-satwa liar menghabiskan waktunya sehari-hari untuk mencari makan, membuat sarang, bersosialisasi dengan satwa lainnya, menghindari predator dan mempertahankan wilayah. Namun alam situasi lain, baik di kebun binatang ataupun kadang dalam proses perdagangan satwa, satwa-satwa ini menjadi jauh lebih pasif. Makanan dan minuman diberikan oleh manusia, begitu juga area gerak dan lingkungan sangat dibatasi. Kemudian juga terlalu sedikit atau terlalu banyak individu di satu tempat atau kandang yang sama dapat mempengaruhi tingkat stres satwa.

Memang saat ini masih belum banyak peneliti yang mempelajari mengenai stres dan depresi pada hewan secara mendalam. Namun sudah ada penelitian-penelitian yang menggunakan primata sebagai subjeknya. Selain karena memiliki kekerabatan erat dengan manusia, primata juga memiliki ekspresi dan mimik wajah yang lebih mudah dikenali dibandingkan mamalia lainnya.

Sebuah penelitian di sebuah kebun binatang di Malaysia menemukan bahwa beberapa satwa mengalami ciri atau gejala stres dan depresi. Kera menunjukkan depresi dengan duduk di sudut kandang atau tidur dalam waktu yang lama. Kemudian orangutan, simpanse dan unta menunjukkan sensitivitas pada hujan dengan menjadi pasif atau terganggu dan mudah sakit saat terkena hujan. Harimau dan singa menunjukkan sikap gelisah dengan berjalan mondar-mandir di kandang dan menggeram. Orangutan yang stres mengalami kesulitan dalam merawat anak yang dilahirkannya sehingga beberapa kali kelahiran, anaknya selalu mati.

Hal ini biasanya disebabkan oleh banyak hal, seperti yang disebutkan di paragraf sebelumnya. Dan memang sulit untuk memenuhi kebutuhan satwa yang seharusnya tinggal bebas di alam. Terutama bila satwa-satwa liar ini dimiliki oleh individu-individu dan dipelihara begitu saja di rumah mereka. Tentu kondisi dan tingkat stres bisa menjadi lebih tinggi karena kurangnya fasilitas-fasilitas yang memadai.

Oleh karena itu, butuh kesadaran dari masyarakat untuk berhenti memelihara dan memperjualbelikan satwa liar. Apalagi dengan menjadikan satwa liar sebagai konsumsi, karena kita tahu selalu ada kemungkinan penyebaran penyakit baik dari satwa ke manusia ataupun sebaliknya. Selain itu juga setiap satwa masing-masing memiliki tugas dan peranan untuk menjaga keseimbangan di alam. Maka bila kita benar-benar pada satwa dan manusia, seharusnya kita berusaha untuk mempertahankan dan memperbaiki habitat mereka di alam. Karena sama seperti halnya manusia, hewan pun memiliki batasan baik secara fisik atau mental untuk hidup dalam kekangan. (LIA)

Sumber:

Haque, A. Depression in Caged Animals: A Study at the National Zoo, Kuala Lumpur, Malaysia. Department of Psychology: UAE University.

STRES PADA HEWAN TERNAK DAN HEWAN PELIHARAAN (2)

Amigdala yang merupakan sebuah bagian pada otak yang mengatur emosi termasuk rasa takut, stres dan kecemasan serta amarah ditemukan pada mamalia. Sedangkan pada hewan kelas lainnya juga bisa ditemukan namun dalam bentuk berbeda. Begitu juga ciri dan respon terhadap stres dan emosi ini bisa berbeda-beda bagi masing-masing spesies.

Penelitian-penelitian yang dilakukan pada hewan-hewan ternak seperti domba dan sapi menemukan bahwa stres dan rasa takut dapat berpengaruh buruk pada kesehatan fisik dari hewan itu sendiri. Manuja, dkk (2015), dalam penelitiannya mengenai stres dan dampaknya pada sapi ternak menemukan bahwa stres berpengaruh pada pertumbuhan tubuh dan produk yang dihasilkan. Saat sapi-sapi dikirim untuk diekspor atau dipindahkan, jantung mereka menjadi cepat sehingga menurunkan jumlah energi yang mereka miliki. Energi untuk bertumbuh dan memproduksi susu pun berkurang.

Begitu juga hal yang dialami oleh hewan-hewan dalam perdagangan di pasar-pasar dan hewan-hewan yang dipakai sebagai subjek penelitian atau percobaan. Seringkali kita melihat hewan-hewan yang diperdagangkan di pasar dikurung dalam kandang-kandang sempit dan berdesak-desakan. Terutama pada hewan-hewan yang akan diambil dagingnya untuk dikonsumsi. Perlakuanburuk, kekurangan makan, minum, ruang untuk bergerak dan udara segar akan membuat mereka stres dan menderita sehingga mengurangi juga kemampuan mereka untuk bertahan hidup. Maka seringkali kita menemukan adanya hewan-hewan yang akhirnya mati saat perjalanan atau pengiriman dan bahkan saat diperdagangkan.

Beberapa hewan peliharaan juga merasakan stres dan rasa takut atau cemas dalam bentuk perilaku yang berbeda. Beberapa jenis burung yang mengalami stres akan memperlihatkan perilaku agresif yang berlebihan seperti mematuk dan perubahan vokalisasi, kemudian kehilangan nafsu makan, mencabut bulu-bulu atau memutilasi bagian tubuhnya sendiri. Stres pada kucing dan anjing bisa dicirikan dengan rontoknya bulu, agresi berlebihan, nafas tersengal-segal, otot yang kaku, tubuh gemetaran, kehilangan nafsu makan, bahkan hingga diare dan muntah.

Stres dan rasa takut atau cemas ini bisa disebabkan oleh adanya perubahan lingkungan, kelaparan, kondisi yang menyebabkan trauma dan ketakutan, perubahan cuaca ekstrim, kebosanan, hingga masalah kesehatan. Perubahan lingkungan ekstrim dan ketakutan tentunya juga sangat dirasakan oleh hewan atau satwa-satwa yang ditangkap dari alam liar atau habitatnya dan kemudian diperjualbelikan baik secara online atau offline. (LIA)

Sumber :

Lloyd, J. K. F., (2017). Minimising Stress for Patients in the Veterinary Hospital: Why It Is 

Important and What Can Be Done About It. Vet. Sci. 2017, 4, 22.

Manuja, B. K., Aich, P., Manuja A., (2015). Stress and Its Impact on Farm Animals. Frontier in 

Bioscience E4, 1759-1767, January 1, 2012.

 

APAKAH HEWAN BISA MERASA STRES? (1)

Pada tahun 1965 berdasar laporan Brambell mengenai kesejahteraan hewan-hewan yang berada dalam sistem peternakan, pemerintah Inggris menunjuk sebuah Komite untuk mendalami permasalahan kesejahteraan hewan-hewan dalam peternakan. Komite ini kemudian merumuskan konsep lima kebebasan yang harus dimiliki tiap hewan peternakan dan kemudian meluas peruntukkannya dan dipakai untuk mengukur kesejahteraan berbagai spesies satwa di berbagai kondisi.

Pada laporan Brambell, ia mengatakan bahwa setiap hewan harus memiliki kebebasan untuk berdiri, berbaring, berputar, merawat tubuh mereka dan merenggangkan kaki-kaki mereka. Ini diketahui sebagai Lima Kebebasan Brambell dan kemudian berubah menjadi Five Freedom atau Lima Kebebasan yang dideskripsikan sebagai berikut, yaitu terbebas dari rasa lapar dan haus, terbebas dari ketidaknyamanan, terbebas dari rasa sakit, luka atau penyakit, bebas untuk mengekspresikan perilaku normalnya, dan yang terakhir bebas dari rasa takut dan stres.

Rasa takut dan stres disini membuktikan bahwa manusia meyakini bahwa hewan juga bisa merasakan stress dan emosi seperti rasa takut. Lalu apakah benar seperti itu? Selain kemampuan berpikir atau kognisi, kemampuan merasakan emosi seperti rasa takut dan marah yang diproses pada amigdala pada otak manusia ternyata juga ditemukan pada hewan terutama pada mamalia. Meski banyak penelitian masih mengarah pada emosi pada mamalia, saat ini mulai ada juga yang mendalami adanya perubahan emosi pada hewan-hewan kelas lainnya.

Namun tidak seperti manusia yang bisa mengkomunikasikan rasa takut dan stres yang dimilikinya, kita hanya bisa mengindikasikan seekor binatang atau hewan mengalami stres atau takut berdasar pengamatan atas perubahan perilaku dan kondisi tubuhnya. Dimana masing-masing spesies bisa memiliki respon berbeda atas stres atau tekanan yang dialaminya. (LIA)

Sumber :

Thaxton, Y.V., Christensen K., Clark, F.D. (2014). The Five Freedoms for Good Animal 

Welfare. University of Arkansas: Division of Agriculture Research & Extension.

Vargas, J. P., Lopez, J. C., Portavella, M. (2012). Amygdala and Emotional Learning in 

Vertebrates- A Comparative Perspective. University of Sevilla: Intech.

TRENGGILING: SI MANIS YANG TERANCAM

Serial Satwa Dilindungi

Pangolin atau trenggiling dalam Bahasa Indonesia, adalah mamalia yang paling sering diperjualbelikan dan diselundupkan dalam bisnis satwa liar ilegal. Diperkirakan setiap lima menit seekor trenggiling diambil dari habitatnya untuk dijual. Meski statusnya terus menurun dan telah dilarang untuk diperjualbelikan, hal ini tidak menyurutkan permintaan akan daging dan sisiknya yang sudah lama terkenal di dunia pengobatan tradisional.

Saat ini tersisa delapan spesies trenggiling di dunia, diantaranya yaitu empat spesies di Afrika dan empat spesies tersebar di Asia.  Berdasar data IUCN Redlist dua spesies dalam status rentan (VU), tiga dalam status terancam punah (ER), dan tiga kritis (CR). Dan salah satu ancaman terbesarnya adalah perdagangan ilegal. 

Banyak golongan masyarakat tertentu di Afrika dan Asia yang percaya sejak dahulu bahwa trenggiling berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit dan hampir seluruh bagian tubuhnya memiliki manfaat. Salah satu yang dianggap memiliki manfaat terbesar adalah sisiknya yang unik. Sisik ini dipercayai oleh masyarakat memiliki beberapa khasiat. 

Beberapa diantara khasiat itu adalah sebagai obat penyakit jantung, penyakit mental, sebagai antibiotik tradisional, penawar racun, penyakit pada perut, sakit kepala, menyembuhkan luka dan banyak penyakit lainnya hingga juga dipercaya menjadi semacam jimat untuk menolak penyakit-penyakit spiritual. Meski berlangsung bertahun-tahun sayangnya kepercayaan ini tidak pernah didukung oleh penelitian ilmiah untuk membuktikannya.

Diketahui bahwa sisik trenggiling terdiri dari kandungan keratin. Kandungan yang sama dengan kuku dan rambut kita manusia serta cula atau tanduk pada hewan lainnya. Sisik ini adalah baju pelindung bagi trenggiling yang memiliki makanan utama semut dan rayap. Sisik yang tebal melindungi mereka dari gigitan semut dan predator lainnya. Namun sayangnya sisik ini tidak dapat melindungi mereka dari manusia. 

Ketika menemui predator, mereka akan menggulung tubuhnya dan tidak bergerak sehingga predator akan kebingungan dan akhirnya meninggalkan mereka. Namun mekanisme pertahanan diri ini menjadi keuntungan bagi manusia yang dengan mudahnya dapat menangkap dan mengambil mereka begitu saja dari atas tanah tanpa perlawanan yang berarti. Maka dengan permintaan dan harga jual yang besar semakin banyak oknum-oknum yang memburu dan menjual mereka untuk mendapat keuntungan.

Di Indonesia sendiri trenggiling bisa ditemukan di pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Namun karena maraknya diperjualbelikan, saat ini trenggiling sangat sulit untuk ditemui di alam atau habitatnya. Padahal trenggiling memiliki peranan yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Selain menjadi kontrol bagi populasi serangga, kebiasaan mereka untuk membuat liang-liang di tanah juga membawa manfaat dalam pencampuran bahan-bahan organik di dalam tanah. Selain itu mereka juga menjadi mangsa bagi harimau, macan dan spesies lainnya. Bila jumlah mereka terus berkurang tentunya akan berpengaruh besar bagi spesies-spesies lain dan ekosistem di alam.

Trenggiling juga beberapa bulan belakangan ramai disebut sebagai salah satu hewan selain kelelawar yang menjadi pembawa virus corona, yaitu Covid-19. Beberapa pengamat dan peneliti memperkirakan adanya kemungkinan trenggiling yang tidak sengaja memakan kotoran-kotoran kelelawar dari tanah. Lalu ketika trenggiling ini ditangkap manusia maka virus yang berasal dari kotoran kelelawar ini dapat menyebar pada manusia. Meski hal ini belum terbukti secara pasti, tentu kemungkinan-kemungkinan seperti ini sangatlah bisa terjadi karena sudah ditemukan adanya beberapa jenis virus corona dari tubuh trenggiling yang diteliti.

Maka dari itu perlu adanya penanganan serius dari pemerintah untuk dengan tegas melarang penjualan satwa-satwa liar terutama satwa yang dilindungi. Selain untuk menjaga keberlangsungan spesies-spesies yang ada, juga untuk menghindarkan manusia dari penularan-penularan virus yang fatal dan mematikan. Biarkan satwa-satwa liar hidup dengan bebas di habitatnya dan menjadi penjaga keseimbangan ekosistem di alam, karena kita manusia pun hidup sangat bergantung pada alam. (LIA)