ANIMAL KEEPERS’ CREATIVITY FOR SEPTI

Not too much movement. At first glance, she is indeed a calm and quiet type. This female orangutan is named Septiana. With the characteristic of thick hair all over her body, of course male orangutans will like her very much.

Unfortunately, Septi still has to be patient. Her movement is still limited in a 4 × 5 meter quarantine cage. An 8-year-old with a large body, she is no longer in a jungle school which is usually filled with orangutan babies under the animal keepers supervision.

However, the animal keepers never give up to keep Septi busy despite limited space. Breakfast at 8 am usually is not an easy task for Septi. “We call it an ‘enrichment’ or food enrichment,” said Jhony. It is indeed quite complicated to serve it. We have to drill bamboo and fill it with grains and honey. We also use the Kong ball to put the cut fruit mixed with young leaves into it. The same is true when we give dinner around 5 pm. Occasionally we talk to her and joking around by playing twigs.

Usually in the afternoon, we also give her twigs and leaves, so that Septi is busy arranging them into a nest as her sleeping pad. This is all we do to make her busy and keep honing its natural behavior. (EBO)

KREATIFITAS ANIMAL KEEPER UNTUK SEPTI

Gerakannya tidak terlalu banyak. Sekilas melihatnya, dia memang tipe yang kalem dan pendiam. Orangutan betina ini bernama Septiana. Dengan ciri khas rambut yang lebat disekujur tubuhnya, tentunya dia akan sangat disukai orangutan jantan.

Sayangnya, Septi masih harus bersabar. Gerakannya masih terbatas dalam kandang karantina 4×5 meter. Usianya yang 8 tahun dengan tubuh yang besar, sudah bukan lagi berada di sekolah hutan yang biasanya diisi orangutan anak-anak dengan pengawasan babysister maupun animal keeper.

Namun, para animal keeper tak putus asa membuatnya tetap sibuk walau terbatas ruang geraknya. Makan pagi yang biasanya jam 08.00 WITA disajikan dengan tidak mudah. “Kami menyebutnya dengan ‘enrichment’ atau pengkayaan makanan.”, ujar Jhony. Memang menyajikannya jadi lebih rumit. Kami harus mengebor bambu dan mengisinya dengan biji-bijian dan madu. Kami juga memanfaatkan bola kong untuk memasukkan buah-buahan yang sudah dipotong bercampur daun-daun muda ke dalamnya. Sama halnya saat kami memberikan makan malamnya sekitar jam 17.00 WITA. Sesekali mengajaknya berbicara dan bercanda dengan memain-mainkan ranting.

Biasanya di siang hari, kami juga memberikannya ranting dan daun, agar Septi sibuk menyusunnya menjadi sarang sebagai alas tidurnya. Ini semua kami lakukan untuk membuatnya sibuk dan tetap mengasah prilaku alamiah nya. (Jhony_COPBorneo)

HARI PERTAMA YANG MERUBAH DUNIAKU

28 Mei 2006. Siang bolong di Pusat Reintroduksi Orangutan Nyarumenteng. Ada pesan masuk : orangutan besar ditangkap pekerja di perkebunan kelapa sawit PT. Globalindo Alam Perkasa, anak perusahaan Musim Mas. Tim Penyelamat segera bersiap dan melaju ke arah kota Sampit, berburu dengan waktu, agar orangutan itu masih bisa diselamatkan. Lambat bisa mengakibatkan cacat tubuh atau kematian bagi orangutan. 

Kami mengemudi tanpa henti selama 6 jam melalui aspal yang pecah sana sini dilindas truk – truk pengangkut kelapa sawit yang melebihi batas muatan. Dari kota Sampit masih tambah 1 jam lagi ke arah Barat Daya, memasuki kawasan perkebunan kelapa sawit. Senja mulai turun. Perasaan saya remuk redam menyaksikan pohon – pohon yang baru saja dirobohkan oleh ekskavator. Benar – benar hancur lebur. Untuk mencapai perkebunan Musim Mas, saya harus melewati kawasan konsesi PT. Agro Bukit, anak perusahaan Goodhope Asia Holdings Ltd. Bram Sumantri, paramedis menyela,”Kita sudah me-rescue banyak orangutan dari Agro Bukit, mungkin akan terus berlanjut karena mereka sedang land clearing.”  

Tiba di PT. Globalindo Alam Perkasa sudah sekitar jam 7 malam. Tim langsung menuju ke kantor perkebunan. “Orangutan sudah tidak ada, sudah mati,” kata petugas keamanan. “Saya ingin lihat tubuhnya,” saya ngotot. Lalu kami dipandu ke belakang. Terlihat seorang polisi, yang mengaku bernama Teguh dari Polres Sampit, bersama dengan 2 orang petugas keamanan hendak menguburkan orangutan. Tak terasa, air mata saya meleleh. Apa yang dilakukan mereka sampai orangutan ini tewas? Kami memutuskan untuk membawa jenazah orangutan itu ke Nyarumenteng, malam itu juga. Besoknya akan dilakukan otopsi. 

Hasil otopsi tidak mengejutkan. Tim medis menemukan retak di tengkorak kepala si orangutan. Kemungkinan dipukul dengan benda keras dan tumpul. “Hampir 100% orangutan yang tertangkap perusahaan kelapa sawit menderita luka serius di tangan, kaki dan kepala,” kata Lone Droscher Nielsen, atasan saya waktu itu. “Untuk menangkap orangutan, para pekerja harus memukul kepalanya, lalu mengikat tangan dan kakinya dengan tali plastik atau kawat,” lanjutnya. 

Malamnya, saya tidak bisa tidur. Semua yang kusaksikan selama 24 jam terakhir sungguh menyiksaku, menakutiku, bahkan menghantuiku. Pada orangutan yang merupakan kerabat dekat manusia secara biologis saja kita berlaku sedemikian kejam, lalu apa yang bisa kita tawarkan pada species lainnya? Saya merasa benar – benar malu. Merasa tidak layak menyebut diri sebagai pecinta alam. Malam itu juga saya berjanji, untuk membalas dendam.