MENJEMPUT ORANGUTAN BETI PULANG

Kala itu bulan sudah menampakkan dirinya di atas kepala, angin malam mulai berhembus, tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, di Yogyakarta. Aku, Tytha Nadhifa Winarto untuk pertama kalinya bertemu dengan Beti. Yang pertama kali aku lihat adalah sepasang bola mata di balik jendela kandang angkut, mulai dari sana aku penasaran apa yang Beti pikirkan. Waktu itu malam hari gelap, di pencahayaan minim mata coklat itu terlihat bagus dan masih berbinar, padahal hampir seperempat abad dia dirampas pergi dari induknya dan terpaksa hidup di tempat yang tidak semestinya. Tidak bisa memanjat, tidak bisa berayun, cuman bisa makan makanan yang di kasih ‘pemiliknya’ dengan makanan yang tidak semestinya. Dan ketika tubuh semakin besar dan kuat, wajah yang tak lucu lagi, orangutan ini diserahkan dengan alasan “tidak bisa mengurusnya lagi”.

Membawa Beti merupakan pengalaman pertamaku translokasi orangutan, tugasku sebagai dokter hewan adalah memastikan kondisi Beti aman dan sehat selama di perjalanan. Lumayan menegangkan, antar pulau lewat udara dan dilanjutkan perjalanan darat yang tidak sebentar. Aku memastikan Beti cukup minum dan kepanikan saat suara kargo yang dipindahkan pakai forklift cukup keras mengusik Beti. Kami pun berpisah, Beti masuk ke bagian bawah pesawat, aku pun duduk di kursi penumpang.

Perasaan cemas terus menghantui ku, penerbangan 2 jam terasa lama sekali. Akhirnya kami pun tiba di Balikpapan, melihat mata coklatnya kembali yang tetap waspada. Selanjutnya 25 jam berkendaraan dari bandara Sepinggan ke BORA (Borneo Orangutan Rescue Alliance) di Berau. Syukurlah, perjalanan kami lancar, matahari terik diatasi dengan pemberian karung goni basah dan dedaunan secara berkala di atas kandang angkutnya. Beti terlihat tenang dan sesekali berbaring tertidur.

Pukul 19.00 WITA, pintu kandang angkut dibuka, Beti pun berpindah ke kandang karantina di BORA. Beti menjauh, naik ke atas dan mengamati kami di kegelapan. Aku terharu, mungkin ini pertama kalinya setelah 24 tahun, Beti bisa manjat setinggi ini. Selesai tugas pemindahan ini, selanjutnya masih panjang tahapan karantina, rehabilitasi yang akan dijalaninya. “Kita jalan bareng ya Bet. Aku bantu semampuku”. (TYT)

DULU, POPI MEMELUK MANUSIA, KINI MEMELUK PEPOHONAN

Kabut tipis masih menggantung di atas Sungai Atan, Kampung Long Lees, Busang, Kutai Timur, ketika deru mesin perahu mulai memecah keheningan pagi itu. Di atas perahu, sebuah kandang angkut berwarna jingga terikat rapi. Di dalamnya duduk orangutan betina berusia sembilan tahun bernama Popi. Hari itu, 10 Agustus 2025 bertepatan dengan Hari Konservasi Alam Nasional akan menjadi hari yang mengubah hidupnya selamanya. Dari kampung Long Lees, Popi berangkat menuju Hutan Lindung Gunung Batu Mesangat, sebuah rumah baru yang telah lama menunggunya.

Popi adalah salah individu yang paling populer di pusat rehabilitasi BORA. Ia diselamatkan ketika usianya belum genap satu bulan, saat giginya pun belum ada yang tumbuh. Pada September 2016, Popi dibawa ke BORA untuk memulai perjalanan panjang rehabilitasinya setelah sempat dipelihara warga dalam waktu yang singkat. Mungkin ia tidak memiliki sedikitpun memori tentang induknya, karena ia telah kehilangan induknya pada usia yang terlalu muda. Kehidupan tanpa induknya sejak sangat kecil membuatnya terkenal manja pada para animal keeper dan staf BORA. Ia sering mencari kenyamanan dari manusia, dan sempat ada keraguan apakah Popi benar-benar bisa mandiri di alam liar suatu hari nanti.

Tetapi tahun-tahun panjang rehabilitasi dari sekolah hutan hingga pra-rilis di pulau, mengubah segalanya. Perlahan, insting liarnya tumbuh kembali. Data sekolah hutan menunjukkan bahwa Popi sering mengonsumsi variasi pakan alami lebih beragam dibandingkan orangutan lain. Di pulau pra-pelepasliaran, ia terbukti mampu bertahan hidup 24/7 selama beberapa bulan, beradaptasi dengan habitat liar tanpa lagi bisa berlindung di bawah naungan atap kandang.

Perjalanan menuju lokasi pelepasliaran ini bukan sekadar memindahkan Popi, ini adalah langkah mengembalikannya pada rumah sejatinya, habitat hutan yang masih terjaga, yang mampu menopang keberlangsungan hidupnya dengan baik. Bersama tim gabungan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur, Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Kelinjau, COP (Centre for Orangutan Protection), dan TOP (the Orangutan Project), Popi menempuh sekitar 10 jam perjalanan darat dari Berau dan 3 jam perjalanan sungai dari Long Lees untuk menuju Hutan Lindung Gunung Batu Mesangat, salah satu benteng terakhir keanekaragaman hayati di Kalimantan Timur.

Saat pintu kandang akhirnya dibuka, Popi bergegas keluar tanpa ragu, Ia melangkah keluar dengan penuh semangat, lalu memanjat pohon pertama yang dilihatnya. Gerakannya seakan menuliskan episode baru dalam cerita panjang perjalanan hidupnya, orangutan tanpa induk yang akhirnya pulang. Di pohon itu, Popi langsung menemukan buah balangkasua atau disebut juga ginalun (Lepisanthes alata), kumpulan buah berwarna merah keunguan mirip seperti anggur, ia kemudian menyantapnya dengan lahap.

Tim post-release monitoring (PRM) dari APE Guardian COP mengamati perilaku Popi dari kejauhan. Semua keraguan lama kini terbantahkan. Popi bergerak aktif, mencari buah-buahan hutan, mengunyah kulit liana, memakan daun muda, minum air sungai, hingga “pesta panen” di pohon sengkuang/dahu (Dracontomelon dao) yang sedang berbuah lebat. Popi bukan lagi anak manja yang selalu mencari perhatian manusia. Ia kini orangutan muda dengan naluri liar yang sudah terbentuk kembali.

Hari kedua monitoring membawa kejutan. Dari atas kepala kami, sekitar sepuluh meter dari permuakaan tanah, muncul suara pergerakan kanopi pohon, tampak pula siluet orangutan.

“Itu Popi bukan?”, tanya Yusuf, asisten lapangan APE Guardian.

Kami ragu, karena Popi sebelumnya sudah menyeberang sungai melalui liana yang melintang dari pohon ke pohon melintasi sungai. Tidak lama kemudian wajahnya yang terasa familiar terlihat jelas, memori segera menyeruak, itu adalah Bonti.

Bonti adalah teman sekandang Popi saat di BORA, yang lebih dahulu dilepasliarkan pada Januari 2025. Dari kanopi pohon, ia tampak memperhatikan Popi yang berada di atas pohon seberang sungai selebar kurang lebih 6 meter. Beberapa menit setelah memperhatikan dari seberang, Bonti memberanikan diri menyeberang sungai melalui liana, mendekati Popi yang sedang mencari makan.

Pertemuan itu seperti reuni teman lama. Bonti mengejar Popi layaknya saat mereka masih bersama di sekolah hutan. Beberapa lama setelah momen itu, Popi menjelajah lebih jauh ke dalam hutan. Gerakannya cepat, daya jelajahnya tak terkejar oleh tim PRM, hingga akhirnya ia menghilang dari pantauan tim PRM yang kewalahan menembus rapatnya vegetasi.

Kini Popi benar-benar bebas. Ia hidup di ekosistem Busang yang kaya akan sumber pakan, jauh dari ancaman aktivitas manusia. Pada Hari Konservasi Alam Nasional, kebebasan Popi menjadi lebih dari sekadar kisah individu. Ia adalah simbol dengan cerita uniknya, yang suatu hari nanti akan mendapat kesempatan yang sama, kembali ke rumah sejati mereka, hutan Kalimantan. (RAF)

PAGARI ADALAH PENJAGA HUTAN DAN HARIMAU SUMATRA

Global Tiger Day 2025 membawa semangat yang mengingatkan kita bahwa Harimau Sumatera sedang berada di ujung tanduk. Melalui pameran foto, diskusi publik, bedah buku, scrrening film, hingga aktivitas interaktif, acara ini bukan sekedar perayaan, tetapi sebuah panggilan darurat agar kita bersatu menyelamatkan satwa ikonik Nusantara ini.

Pameran foto PAGARI (Patroli Anak Nagari) menjadi saksi bisu betapa beratnya perjuangan menjaga hutan. Setiap gambar bukan hanya indah, tapi juga menyimpan cerita akan langkah kaki yang menyusuri hutan berhari-hari, kamera jebak yang menangkap sekilas bayangan harimau, hingga interaksi hangat dengan masyarakat lokal untuk mencegah konflik manusia dan satwa. Foto-foto ini menggugah kesadaran bahwa perjuangan konservasi adalah perjuangan mempertahankan masa depan.

Dikusi publik bersama anggota PAGARI dan BKSDA Sumatera Barat membuka mata banyak orang, pengalaman mereka menghadapi medan berat, bernegosiasi dengan warga demi titik temu, hingga merasakan getirnya keterbatasan sumber daya. “Kami hanya bagian kecil dari perjuangan besar ini. Harimau tidak akan selamat tanpa keterlibatan semua pihak”, ungkap Bu Erlinda dari BKSDA Sumbar. Kata-kata ini menjadi pengingat bahwa harimau tidak bisa berjuang sendiri, mari bersama menyuarakan suara mereka.

Pemutaran film dokumenter juga mengajak kita masuk ke dalam hutan, menembus pepohonan lebat, melewati jalan setapak yang berbahaya, hingga melihat jejak harimau yang masih tersisa. Beberapa pengunjung tak bisa menyembunyikan rasa haru dan bangga karena harimau masih ada, sekaligus sedih karena ancamannya semakin nyata. Anak-anak pun ikut berpartisipasi lewat games dan art therapy menunjukkan bahwa kepedulian bisa tumbuh sejak dini. “Inilah ruang harapan, dimana Harimau Sumatra adalah simbol kekuatan alam sekaligus penentu keseimbangan ekosistem hutan tropis. Jika masyarakat adat, pemerintah, akademisi, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), dan setiap individu bersatu, harimau masih punya kesempatan untuk terus berlari bebas, bukan tinggal cerita”. (Putra_COP School 15)