“Dung… dung… dung…”
Tata menepuk perlahan perut Septi yang pagi itu tidak beranjak sedikit pun dari hammock.
“Kembung lagi nih”, jawab Tata ketika kutanya ada apa dengan Septi. Ini baru kali kedua aku bertemu Septi dan di perjumpaan pertama kami, Septi sungguh berbeda. Ia sangat aktif dan bahkan sempat membuatku shock di hari pertamaku menjadi perawat satwa. Pada hari itu, ketika dokter Elis hendak mengeluarkan Mabel, bayi orangutan yang tinggal satu kandang dengan Septi, justru Septi yang bersemangat keluar kandang.
“Nanti dulu Septi! Astaga ini belom waktunya sekolah hutan”, uyar dokter Elis sambal menahan pintu kandang. Ia langsung berguling-guling di tanah, memanjat pohon durian di depan klinik yang belum terlalu besar hingga hampir roboh, dan menggulingkan tiang permainan untuk anak orangutan yang tentu saja tidak bisa menahan berat tubuh Septi yang besar. Bujukan susu, madu, dan buah tidak berhasil. Ia justru mengejar dan menggigit sepatu dokter Elis dan paramedis Tata, mengajak mereka berdua bermain. Saat itu aku hanya berani berdiam di pojokan dan untungnya Septi sepertinya belum merasa kenal denganku dan tidak mengajakku bermain.
Benar-benar berbeda dengan hari ini, ia terlihat malas dan lemas sekali. Buah-buahan kesukaannya justru dikerubungi lebah-lebah yang berisik dan Septi tidak meliriknya sama sekali. Ia malah menutupi wajahnya dengan selimut. Sulit mengajaknya keluar kandang untuk berjemur. Berkali-kali ia kembali menaiki hammock dan menutup kepalanya dengan selimut seperti enggan terkena matahari.
Ternyata, ii bukan kali pertama Septi mengalami perut kembung. Ini sudah seperti penyakit kambuhan bagi Septi selama bertahun-tahun. Ia memang didiagnosa memiliki pencernaan yang sensitif. Septi pernah menjalani pemeriksaan x-ray oleh tim medis BORA. “Banyak kemungkinan faktornya sih, Nad. Bisa karena perubahan suhu dan kelembaban. Kan lagi sering hujan”, jelas dokter Elis. “Bisa juga karena perubahan pakan. Pencernaannya sangat sensitif”, tambah dokter Yudi.
“Lalu jika penyakit Septi ini sudah bertahun-tahun dan masih sering kambuh, bagaimana ya kalau dia dilepasliarkan di hutan?’, aku bertanya lagi.
“Aku yakin Septi masih bisa rilis sih. Tapi dia harus belajar cari cara supaya tubuhnya tetap hangat di cuaca dingin. Misal dengan membuat sarang yang lebih tebal. Pasti bisa deh”, dok Yudi menjelaskan dengan optimis.
Untuk sementara waktu, Septi diberikan terapi berupa jus buah-buahan yang dimasukkan dalam botol, dibaluri minyak penghangat, dan diajak keluar kandang ketika cuaca cerah. Sayangnya, beberapa hari terakhir ini cuaca di BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance) hujan sepanjang hari. Untuk menyiasati hal itu, Septi diberikan sinar infra merah yang dapat menghangatkan tubuhnya. Ini jadi pekerjaan yang cukup berat untuk para keeper karena Septi enggan bergerak dan harus dipaksa.
Doakan Septi agar cepat sembuh dan aktif kembali ya! (NAD)