EDUKASI “SAVE ORANGUTAN’” BERSAMA KOMUNITAS JEJAK JENAKA DAN COP

Suasana area Futsal PJA, Tanjung Redeb, Berau, Kalimantan Timur pada tanggal 26 Oktober 2025 dipenuhi tawa dan semangat anak-anak. Sebanyak 95 peserta berusia 3–11 tahun berkumpul untuk mengikuti kegiatan edukasi bertema “Save Orangutan”, hasil kolaborasi antara Komunitas Jejak Jenaka dan Centre for Orangutan Protection (COP).

Peserta dibagi menjadi tiga kelompok sesuai rentang usia, dan setiap kelompok bergiliran mengunjungi tiga pos edukasi yang disiapkan. Di Pos ‘Dongeng’, kami menceritakan tentang ukuran tubuh, makanan, ancaman, dan alasan mengapa orangutan perlu dilindungi. Lalu di Pos ‘Kreasi’, kami memandu peserta membuat rope ladder dari potongan kayu dan tali, yang nantinya akan dibawa ke BORA (Borneo Orangutan Rescue Alliance) sebagai furnitur kandang. Sementara di Pos ‘Games’, tim bersama volunteer Jejak Jenaka mengajak
anak-anak bermain “pemburu dan penebang” serta puzzle mencocokkan hewan dilindungi dan tidak dilindungi berdasarkan pulau habitatnya. Maskot berupa kostum orangutan khas COP berkeliling sepanjang sesi, menambah keceriaan dan antusiasme peserta.

Meskipun sebagian besar peserta sangat antusias, beberapa anak tampak lebih tertarik berlarian di lapangan futsal yang luas dan bersih. Suara riuh dalam satu ruangan menjadi tantangan tersendiri bagi tim untuk menjaga fokus peserta. Setelah kurang lebih 3,5 jam penuh kegiatan seru, acara ditutup dengan pembagian doorprize. Tim kembali ke site dengan pengalaman baru dan semangat segar.

Kegiatan kolaborasi ini diharapkan menjadi bekal awal bagi peserta untuk mengenal dan berupaya melindungi orangutan serta habitatnya, sekaligus menjadi langkah awal kolaborasi positif antara COP dan berbagai komunitas peduli lingkungan lainnya. (ARA)

KETIKA HARIMAU SUMATRA MASUK KAWASAN BRIN, APE PROTECTOR HADIR DI AGAM

Semuanya berawal pada malam 15 Oktober 2025, ketika kamera CCTV LAPAN BRIN Agam menangkap sosok loreng yang melintas sunyi di antara bayangan. Seekor Harimau Sumatra ternyata masuk dan terjebak di dalam area berpagar beton setinggi dua meter! Tim gabungan dari BKSDA Sumatera Barat, PAGARI, dan COP segera bergerak cepat. Dari atap gedung dan dengan bantuan drone termal, kami memantau setiap sudut, memastikan si raja rimba masih berada di dalam kawasan.

Keesokan harinya, laporan baru pun muncul, sebuah jejak harimau ditemukan di Mudiak Palupuah dan viral di media sosial. Namun setelah diverifikasi, ternyata jejak tersebut merupakan jejak palsu yang dibuat menggunakan telapak tangan manusia. Sambil menenangkan warga, tim terus berjaga di BRIN, memasang tangga dan kamera jebak, serta mencoba menggiring harimau keluar menggunakan suara petasan dan meriam spritus.

Hingga akhirnya, setelah dua hari pemantauan intensif, tanda-tanda keberadaan harimau mulai hilang. Di tembok pagar, tim menemukan bekas cakaran dan beberapa helai rambut oranye-putih, petunjuk bahwa induk dan anak harimau itu telah berhasil keluar dari area terisolasi.

Operasi pun akhirnya dinyatakan selesai. Warga kini bisa beraktivitas kembali, sementara tim pulang dengan satu pelajaran penting, yaitu di antara pagar beton dan suara petasan malam itu, ada momen langka ketika manusia dan alam sama-sama belajar tentang batas, ruang hidup, dan cara saling menjaga. (DIV)

KISAH DARI GARIS DEPAN PENYELAMATAN SATWA

Di tengah teriknya dataran tinggi Yogyakarta, tawa dan obrolan terdengar bersahutan di Camp APE Warrior. Tapi sore itu, udara terasa sedikit berbeda. Camp yang biasanya riuh dengan suara sawah dan canda relawan, kini menyambut tamu-tamu istimewa dari perwakilan KSSL UGM, BKSDA Yogyakarta, Aksi Konservasi Yogyakarta, Sekber PPA DIY, hingga mahasiswa dan warga yang penasaran dengan “Kelas Bulanan” COP, yaitu Dating Apes.

Pada hari Sabtu sore, 18 Oktober 2025, Dating Apes ke-11 ini bukan seperti biasanya. Di antara para tamu, hadir sosok yang membuat suasana mendadak terasa lebih “global”, Jennifer Gardner, Senior Program Disaster dari International Fund for Animal Welfare (IFAW). Ia datang jauh-jauh dari Amerika hanya untuk berbagi satu hal yang jarang dibicarakan, yaitu bagaimana rasanya menjadi penyelamat satwa di tengah bencana.

Tanpa banyak basa-basi, Jennifer memutar sebuah video dokumenter. Di layar kecil di tengah hamparan sawah itu, terpampang potongan realitas dari berbagai penjuru dunia, badai di Karibia, kebakaran di Australia, gempa, banjir, dan kehancuran. Semua orang di camp mendadak hening. Yang terlihat di sana bukan hanya manusia yang kehilangan, tapi juga hewan-hewan yang menjadi korban, tanpa suara, tanpa daya, hanya menunggu tangan yang mau menolong.

Setiap cerita yang Jennifer bagikan membuka mata, bahwa di balik setiap bencana, selalu ada makhluk hidup lain yang berjuang untuk tetap hidup. Bahwa empati bukan sekadar rasa iba, tapi tindakan nyata untuk tidak berpaling.

Sesi tanya jawab pun berjalan panjang, bukan karena waktunya, tapi karena rasa ingin tahu yang seolah tak habis-habis. Bahkan setelah acara selesai, para peserta masih bertahan. Ada yang ingin tahu lebih dalam tentang cara kerja relawan satwa di luar negeri, ada yang sekadar ingin mengucap terima kasih.

Di antara obrolan ringan dan senyum yang tak kunjung pudar, satu hal terasa jelas sore itu, yaitu cinta pada satwa tidak butuh paspor. Hanya butuh hati yang siap turun ke lapangan, bahkan ketika dunia sedang runtuh. (DIT)