TUBERCULOSIS (TB) IS DEADLY FOR ORANGUTANS

Hello! Today is World Tuberculosis (TB) Day. The World Tuberculosis Day is held annually on March 24 to raise awareness on the effect of the infectious disease TB on humans around the world. In 2016, TB was the second leading cause of death in Indonesia. But did you know that TB isn’t only deadly to humans, but also to primates, including Orangutans?
Tuberculosis disease is caused by the bacteria called Mycobacterium tuberculosis which is an airborne bacteria that spreads through air. Orangutans can be infected by the bacteria if they are around humans infected with TB. The situation can occur when there’s a conflict between humans and orangutans. It can also occur when an orangutan is held illegally in captivity and kept as a pet that’s frequently in touch with humans. To diagnose whether an Orangutan is infected with TB, the vet in BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance) will conduct a series of medical check ups to each Orangutan under rehabilitation. Then what happens if an Orangutan is diagnosed with TB?
Humans and Orangutans share approximately 97% of their DNA. Therefore dr. Elis, the vet in BORA explained that when an orangutan is infected with TB, it will experience similar symptoms as humans such as chronic cough (sometimes with blood), shortness of breath, fever, fatigue, and loss of weight. Infected Orangutans should be strictly quarantined and given medication for 6 months as well as vitamins. The animal keeper who takes care of the infected orangutan should wear medical protective equipment such as a medical mask and hazmat suit. They won’t be allowed to take care of other orangutans and should limit human interaction. If we’re not careful in handling the situation, Orangutans could either die or spread the disease back to humans.
Fortunately, since we run the BORA rehabilitation center, we found no infected Orangutan with TB. To prevent the case of TB in Orangutan, the medical team, animal keeper, and everyone that should interact with orangutan are obliged to take a series of medical check ups. They are also obliged to use medical protection equipment when they take care of Orangutans daily. They use protective suits, masks, and gloves. They should take a bath before and after they take care of Orangutans. The strict procedure was created not only to protect the orangutan from TB and other infection from humans, but also the other way around; to prevent the case of animal to human disease transmission such as the COVID-19.
At last, to prevent humans and animals from infecting each other with diseases like TB, we should reduce the interaction between the two. Orangutans should live freely in their habitat without human interventions. Therefore, don’t keep Orangutans at home as pets, hunt them in the forest, or send them somewhere far away from their habitat! Let’s protect them (and ourselves) from deadly diseases!

TUBERCULOSIS (TBC) MEMATIKAN BAGI ORANGUTAN
Halo! Tahukah kamu, hari ini, tanggal 24 Maret adalah hari Tuberculosis (TBC) sedunia lho! Hari TBC sedunia adalah momen yang dimanfaatkan untuk meningkatkan kesadaran akan dampak dari penyakit menular TBC pada manusia di seluruh dunia. Pada tahun 2016, TBC menjadi penyakit yang menyebabkan kematian terbesar kedua di Indonesia. Sebenarnya, TBC tidak hanya mematikan bagi manusia. Tapi juga bagi primata, termasuk Orangutan. Kok bisa ya?
Penyakit TBC disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dapat menyebar melalui udara. Orangutan bisa terjangkit TBC apabila mereka berada di sekitar manusia yang terdiagnosa TBC, misalnya ketika terjadi konflik atau ketika mereka dijadikan hewan peliharaan yang berinteraksi terus menerus dengan manusia. Untuk mengetahui apakah Orangutan terkena TBC, dokter hewan di Pusat Rehabilitasi Orangutan BORA akan melakukan rangkaian tes kesehatan pada setiap Orangutan yang akan direhabilitasi. Lalu apa yang terjadi jika Orangutan positif terinfeksi TBC?
97% DNA manusia mirip dengan orangutan. Sehingga beberapa gejala dan efek yang dirasakan pada tubuh Orangutan apabila terinfeksi TBC mirip dengan yang dialami manusia. Menurut dokter Elis, salah satu dokter hewan di Pusat Rehabilitasi BORA, orangutan mengalami gejala terbatuk-batuk berkepanjangan hingga berdarah, sesak napas, demam, lemas, dan turun berat badan. Mereka yang terjangkit harus dikarantina secara ketat dengan kandang yang jauh dari kandang orangutan lain, lalu diobati dengan terapi obat selama kurang lebih 6 bulan disertai pemberian vitamin. Perawat satwa yang mengurusi orangutan terinfeksi harus mengenakan alat perlindungan diri lengkap seperti hazmat dan masker. Mereka juga tidak diperkenankan untuk mengurusi orangutan lainnya serta harus mengurangi interaksi dengan manusia. Apabila tidak hati-hati dalam penanganannya, Orangutan bisa mati atau menyebarkan kembali penyakit TBC ke manusia.
Syukurlah, selama pusat rehabilitasi BORA dijalankan, belum pernah ada kasus orangutan yang terjangkit TBC. Untuk mencegah penularan penyakit seperti TBC pada orangutan, semua tim medis, perawat satwa, dan siapa pun yang berkepentingan untuk interaksi dengan orangutan wajib melakukan serangkaian medical check up. Selain itu, perawat satwa dan tim medis yang harus berinteraksi dengan orangutan sehari-hari, secara ketat menggunakan alat-alat perlindungan diri.
Mereka mengenakan pakaian khusus, memakai masker dan sarung tangan medis. Lalu mereka diharuskan mandi dan berganti pakaian sebelum dan setelah berinteraksi dengan orangutan. Tidak hanya untuk melindungi orangutan dari penyakit manusia seperti TBC, langkah-langkah tersebut juga dilakukan untuk menghindari penyebaran penyakit dari hewan ke manusia (zoonosis) seperti pandemi global COVID-19.
Agar manusia dan satwa (termasuk Orangutan) tidak saling menularkan penyakit mematikan seperti TBC, tentu diperlukan upaya-upaya untuk mengurangi potensi interaksi antara keduanya. Orangutan harus dibiarkan liar dan bebas di habitatnya tanpa gangguan dari manusia. Jadi, kamu jangan memelihara Orangutan di rumah, memburunya di hutan, apalagi mengirimkannya ke tempat yang jauh dari asalnya ya! Yuk lindungi diri dan Orangutan dari penyakit mematikan!(NAD)

PERJALANAN UNTUK SATWA ERUPSI MERAPI

Jumat, 17 Maret 2023, di bawah teriknya matahari Jogja, Tim Animal Rescue COP yang beranggotakan 6 orang (Daeng, Jogi, David, Zain, Dippy dan Disma) berangkat dari camp APE Warrior menuju daerah Pakem untuk mengangkut rumput kolonjono. Kami bahu-membahu menyusun rumput ke atas mobil pick up untuk dibagikan ke warga Dusun Tempel di Kecamatan Dukun, Jogjakarta. Tiga hari sebelumnya, tim Animal Rescue COP juga telah membagikan pakan hijauan untuk warga desa Krinjing secara bergantín. Setelah pakan tursusun rapi di mobil dengan tubuh yang basah oleh keringat, kami bergegas berangkat.

Saat sampai di daerah Muntilan hujan tiba-tiba turun dan puji syukur ternyata hujan turun hingga Desa Krinjing. Hujan yang turun cukup deras dan lama, hingga bisa membersihkan sisa abu dari erupsi Merapi beberapa hari lalu. Tumbuhan dan atap rumah yang sebelumnya berwarna abu-abu kini mulai terlihat hijau kembali.

Sesampainya di Dusun Tempel kami langsung menuju rumah bapak Kadus. Sambil menunggu hujan agak reda kami berkordinasi tentang teknis pembagian rumput. Rumput akan dibagikan untuk warga RT 3 yang berjumlah 35 KK. Rencananya rumput akan kami berikan secara bergiliran untuk RT lainnya di hari berikutnya. Hujan yang sempat reda dan kembali deras lagi memaksa kami berteduh di salah satu rumah warga, kami disambut segerombolan ibu-ibu yang sudah menanti kedatangan kami. Obrolan ringan dan candaan menemani kami menunggu hujan reda, rupanya Daeng menjadi idola ibu-ibu di sana karena kegemaran bercanda.

Gerimis tipis masih turun, karena sudah mulai sore tim Animal Rescue COP memutuskan untuk memulai pembagian pakan hijauan. Berkat bantuan warga pembagian rumput berjalan dengan tertib dan lancar. Selesai membersihkan mobil dari sisa pakan, kami diajak beristirahat di pos kamling dan ternyata sudah disajikan teh hangat dan camilan oleh salah satu warga. Pas sekali menghangatkan badan kami yang kedinginan terguyur hujan. Tidak lama kemudian kami disuguhi nasi beserta lauk pauknya. Rejeki anak sholeh dapat hidangan yang mengenyangkan. Sambil mengobrol ngalor-ngidul kami makan dengan lahap. Salah satu warga mewakili warga lainnya menyampaikan ucapan terimakasih kepada kami untuk menyalurkan bantuan pakan hijauan dan kami pamit pulang.

Berkat hujan di hari ini, rumput mulai bersih, tapi sayangnya rumput itu belum layak untuk diberikan pada ternak karena masih ada yang menempel di sela-sela dalam. Harapannya rumput segera bersih dan bisa diarit untuk pakan tak lama lagi. Setelah seharian kami bergelut dengan hujan dan tubuh yang menggigil kedinginan, malam ini kami layak untuk tidur dengan nyenyak dan penuh kehangatan. Karena esok kami harus melanjutkan misi kami. (Disma_COPSchool12)

KUKU IBU JARI KAKI ASTUTI NGGAK ADA

“Nad, kita adain Posyandu yuk”.
Aku terheran saat Tata berujar padaku seusai sesi feeding sore. Hari itu, hanya giliranku dan Tata, paramedis COP yang berjaga siang di klinik BORA. Jevri, penjaga satwa yang biasa menemani kami sedang bertugas ke lokasi lain.
Hah? Memangnya klinik di BORA bisa juga untuk manusia? Itu kan klinik Orangutan?
Dalam hati aku bertanya-tanya. Maklum saja, hari itu adalah hari ketigaku di klinik BORA dan ikut merawat orangutan. Seperti membaca raut bingungku, Tata menambahkan, “Haha, maksudnya Posyandu si Mabel sama Astuti, Nad”.
Aku mengangguk-ngangguk mengerti. Kemudian Tata menjelaskan padaku bahwa bayi-bayi orangutan yang ada di pusat rehabilitasi BORA secara berkala dilihat dan dicatat perkembangan serta pertumbuhannya. Persis seperti bayi-bayi manusia di Posyandu.
“Berarti nanti kita gantian? Aku ikut megang juga ya? Tata mengangguk.
Aku deg-degan membayangkan harus memeluk atau menggenggam Astuti dan Mabel. Pada hari itu, aku masih canggung saat harus bersentuhan dengan orangutan. Bukan karena takut digigit atau disakiti, tapi aku melihat perilaku bayi orangutan sangat mirip seperti bayi manusia. Selama ini aku merasa canggung saat berhadapan dengan anak-anak dan tidak terlalu pandai apalagi sabar saat harus mengasuh mereka. Meski takut, aku juga merasa tertantang. Mungkin ini adalah kesempatanku untuk menghadapi kecanggunganku itu.
Setelah Tata mempersiapkan berkas pencatatan, alat timbang dan meteran, ia menjelaskan padaku apa saja yang akan kita lihat dan ukur dari Astuti dan Mabel.
“Kita timbang di sini. Terus ukur-ukur badan, tangan, kepala, kaki… Umm, semuanya deh sesuai daftar ini. Nanti kita lihat juga giginya dan kita cap jari-jarinya”, ujar Tata sambil membolak-balikkan kertas pencatatan. Kemudian kami bergegas ke kandang Astuti dan membawanya ke klinik. Benar saja, perilaku Astuti terlihat seperti bayi manusia bagiku. Ia naik ke tubuhku minta digendong dan harus dibujuk dengan madu agar mau naik ke timbangan. Aku berusaha tetap tenang. Akhirnya ia mau diam di atas timbangan. Beratnya menunjukkan 7,7 kg. Pantas saja lumayan berat. Kemudian kita mengukur lingkar kepala, panjang tubuh, jarak antar mata, panjang dan lebar tiap ruas tangan dan kaki, hingga ukuran telapak kaki. Sesekali Astuti tidak mau diam dan kami harus memegang tubuhnya dan dengan sabar menunggunya tenang. Saat hendak memeriksa giginya, Astuti sempat mengamuk dan tidak mau menunjukkan giginya. Tata dengan lembut membujuk Astuti hingga akhirnya kami sampai di rangkaian pencatatan terakhir, memeriksa jari-jari dan membubuhkan cap tiap jari Astuti di atas kertas. Wah, sabar banget si Tata, pikirku. Aku jadi kagum dengan Tata dan membayangkan tim medis lainnya yang juga harus sabar dalam bekerja.
“Catat di bagian keterangan Nad. Ini kuku ibu jari Astuti nggak ada. Kanan dan kiri”, ujar Tata sambil menahan tubuh Astuti yang mulai kabur ke sana ke mari. Aku terkejut mendengarnya, “Hah?! Koq bisa? Dilepasin sama pedagangnya dulu?”. Astuti adalah orangutan yang diselamatkan di Gorontalo saat hendak diseludupkan ke luar negeri oleh pedagang. Jadi kupikir kukunya sengaja dilepaskan dengan kejam.
“Bukan Nad. Emang ada orangutan yang lahir dengan kuku ibu jari kaki, tapi ada juga yang nggak. Normal koq. Bukan kelainan ini tuh”, jelasnya. Aku lega mendengar penjelasannya. Dari semua yang kami catat, Astuti tergolong baik pertumbuhan dan perkembangannya, Sykurulah. Akhirnya rangkaian ‘posyandu’ hampir selesai. Banyak hal baru tentang anatomi orangutan yang kupelajari saat itu. Selain variasi pada kuku ibu jari kaki, aku juga baru mengetahui bahwa orangutan memiliki sidik jari yang unik seperti manusia. Ternyata, mengidentifikasi orangutan bia juga dilakukan melalui sidik jari. Saat kami membubuhkan cap tiap jari tangan dan kaki Astuti di satu kolom dalam kertas pencatatan, aku nyeletuk, “Terus ini kita catat juga buat apa Ta? Buat dia bikin KTP ya?”, Tata tertawa. “Bukan Nad. Buat bikin surat permohonan utang”, balasnya. Kami berdua tertawa sementara Astuti masih sibuk berusaha merebut madu yang Tata sembunyikan di kantong bajunya. (NAD)