MENJAGA POPULASI LUTUNG MERAH DENGAN MORATORIUM

Salah satu hal mengagumkan dari Pulau Borneo adalah kekayaan alamnya. Ada banyak sekali tumbuhan dan hewan yang hanya bisa ditemui di pulau ini, atau istilahnya spesies endemik. Beberapa contoh satwa endemik di Kalimantan antara lain orangutan Kalimantan, bekantan, owa, kalawet dan lutung merah. Saat melakukan investigasi di Jalan Poros Kelay-Merapun, tim APE Crusader sangat beruntung bisa berjumpa dengan sekolompok lutung merah.

Lutung merah dapat ditemui di kelima provinsi di Kalimantan (Indonesia) serta Sabah dan Serawak (Malaysia). Nama ilmiah lutung merah ialah Presbytis rubicunda, sedangkan dalam bahasa lokal disebut kelasi. Satwa ini memiliki rambut berwarna merah marun dengan wajah gelap kebiruan dan memiliki ekor yang panjang. Lutung merah hidup berkelompok sebanyak 6-8 ekor dengan 1 jantan dewasa, beberapa betina dan anakan. Spesies ini hidup di hutan hujan tropis dan hutan rawa. Makanan utama lutung merah adalah daun. Selain itu, mereka juga mengkonsumsi biji, buah, jamur dan serangga.

Ancaman terbesar bagi lutung merah adalah kerusakan hutan dan perburuan. IUCN Red List memperkirakan populasi lutung merah telah turun sebesar 50% jika dilihat dari perubahan habitat selama 30 tahun terakhir serta ancaman pembukaan hutan, pengeringan rawa gambut dan kebakaran hutan dalam 15 tahun ke depan. Oleh sebab itu, IUCN memasukkan spesies ini ke dalam kategori Vulnerable (Rentan). Lutung merah trmasuk golongan Appendix II CITES serta satwa yang dilindungi di Indonesia menurut UU No. 5/1990 dan PermenLHK No. 106/2018.

Menjaga kelestarian suatu spesies tentu harus diimbangi dengan menjaga habitatnya. Moratorium kelapa sawit berperan dalam menjaga hutan alam dari industri sawit yang tidak berkelanjutan. Instruksi Presiden No 8/2018 tentang Moratorium Perkebunan Kelapa Sawit telah berakhir tanggal 19 September 2021. Moratorium kelapa sawit sangat perlu untuk diperpanjang demi melindungi habitat lutung merah dan satwa endemik lainnya yang terancam punah. (IND)

KOMUNITAS SENI DANGAU DUKUNG KAMPANYE TEROR SENAPAN ANGIN

Akhirnya Centre for Orangutan Protection secara resmi bekerja di Pulau Sumatra. Tim APE Guardian yang menjadi malaikat bagi satwa liar Sumatra melakukan silahturahmi ke salah satu perkumpulan seni yang berada di Padang, yaitu Komunitas Dangau. Berdiri sejak 2015, diinisiasi oleh Budi, salah satu pemuda yang sempat menunaikan pendidikan di ISI Yogyakarta. “Dangau berarti bagunan (gubuk) di tengah sawah. Sama seperti studio kami yang berada di area persawahan”.

Saat tim berkunjung, Komunitas Dangau sedang melakukan pameran kecil di kebun yang tak jauh dari studio mereka. Beberapa karya yang mereka tampilkan mengangkat tema tentang teror senapan angin. Salah satu kampanye COP sejak enam tahun yang lalu. Bahwa peluru senapan angin yang kecil itu menjadi ancaman kehidupan orangutan dan satwa liar lainnya. Tak sebatas itu, ternyata peluru sena[pan angin pun memakan korban manusia, tak hanya satu atau dua kasus. Namun puluhan kasus penyalah gunaan senapan angin.

“Rencananya, beberapa karya akan masuk ke dalam buku Sumatran Mission sebagai kolaborasi perdana Komunitas Dangau dengan COP. Menambah relasi, memperpanjang silahturahmi, juga memperkaya pendukung COP di Sumatra”, kata Nanda Rizki, kapten APE Guardian. Harapannya, akan tumbuh kolaborasi lain dan aksi saling dukung antar komunitas untuk Indonesia Baik. (SON)

DEVI MEMBUAT SARANG ORANGUTAN DI HAMMOCK NYA

Giginya baru 20 buah. Orangutan yang baru masuk 28 April yang lalu ini terlihat sangat liar. Tak seorang pun diijinkannya mendekatinya. Berat badannya hanya 8 kg, namun kekuatannya mempertahankan diri, luar biasa. Menggigit adalah caranya mempertahankan diri. Hampir semua tim APE Defender yang menjemputnya berkenalan dengan giginya.

Devi menghuni kandang yang dekat dengan klinik BORA sendirian. “Sebenarnya masa karantina Devi sudah berakhir. Namun kasus COVID-19 di sekitar pusat rehabilitasi sedang tinggi, sehingga Devi belum dicoba untuk sekolah hutan. Kami berharap dia memahami kalau kami tidak berniat menyakitinya. Kami ingin suatu saat dia kembali lagi ke habitatnya”, ujar Linau, kordinator perawat satwa BORA.

Hampir lima bulan mengamati aktivitas Devi di kandang. Devi tak pernah menyia-nyiakan daun-daunan dan ranting yang diberikan perawat satwa usai makan pagi dan sore. Sekalipun hammock yang terpasang di kandang ada, Devi tetap menyusun dedaunan untuk menambah kenyamanannya. Sesekali terlihat seperti membuat pelindung untuk kepalanya. “Semoga orangutan lainnya bisa belajar dari Devi untuk membuat sarang nantinya. Entah apa yang terjadi pada induknya. Mungkin membuat sarang adalah satu-satunya kenangan yang diingatnya bersama induknya yang bisa dia lakukan sekarang”, tambah Linau dengan sedih.

Orangutan bukan hewan peliharaan. Perdagangan orangutan itu melanggar hukum. Pelaku kejahatan ini diancam 5 tahun penjara dan dengan denda 100 juta rupiah. “Putusan atas kejahatan perdagangan orangutan tak pernah ada yang mencapai hukuman maksimal ini. Bagaimana hukum bisa ditegakkan, jika masih setengah hati. Kerugian ekologi yang harus ditanggung jauh lebih besar dari hukuman maksimal itu. Centre for Orangutan Protection berharap jaksa berani menuntut hukuman masimal ini. Dan hakim berpihak pada dunia konservasi”, kata Satria Wardhana, Anti Wildlife Crime COP.