KOLA KEMBALI KE SEKOLAH HUTAN (1)

Ini adalah cerita dari perawat satwa yang baru saja masuk ke BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance). Setyo Pambudi namanya, yang sebelumnya sama sekali tidak pernah bahkan melihat orangutan secara langsung. Kali ini, Pambudi begitu panggilannya, akan bercerita tentang Kola, orangutan repatriasi Thailand yang selalu berdiri tegak dengan kedua kakinya.

Kola, orangutan betina berusia 11 tahun sejak Juni 2021 yang lalu tidak pernah keluar dari kandangnya. Pandemi COVID-19 memaksa sekolah hutan diliburkan, dengan tujuan untuk mengurangi kontak fisik antara orangutan dengan perawat satwa. “Kini, 7 November menjadi hari yang mendebarkan buat saya, apakah Kola akan memaksa kami bermalam di sekolah hutan lagi atau tidak. Katanya, dulu Kola sempat tidak bisa turun dan akhirnya bermalam di sekolah hutan. Keesokan harinya, tim medis terpaksa menembak bius-nya untuk kembali ke kandang”, ujar Pambudi.

Pintu kandang pun dibuka, Kola pun dituntun ke lokasi sekolah hutan. Setiba di sekolah hutan, Kola malah berjalan menjauh dari lokasi sekolah hutan. “Saya mencoba menarik Kola untuk kembali, namun Kola malah melawan dan mencoba menggigit tangan saya. Setelah seperempat jam akhirnya Kola mau diajak kembali ke sekolah hutan dan… Kola langsung memanjat pohon setinggi 20 meter melalui akar-akar. Waduh!”, cerita Pambudi lagi.

“Sekitar sepuluh menit, Kola hanya diam di atas pohon. Lalu dia turun dan berpindah ke pohon lain setinggi 4 meter untuk menghindari orangutan lain yang juga sedang berada di sekolah hutan, sampai akhirnya berada di luar lokasi sekolah hutan”, tambah Pambudi.

Sebenarnya tidak ada batasan jelas seperti pagar, antara lokasi sekolah hutan dengan yang bukan, karena semuanya memang berada di KHDTK (Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus) Labanan. Tetapi BORA menerapkan batasan, agar orangutan tidak terlalu jauh menjelajah untuk orangutan-orangutan yang masih dalam pengawasan ketat atau kalau disetarakan dengan anak SD (Sekolah Dasar) masih di kelas 1 hingga kelas 3. Tentu saja ini untuk keselamatan orangutan tersebut. (PAM)

MONYET ADALAH SATWA LIAR

Terimakasih Orangufriends, kamu menyelamatkan dua monyet ini dan memberikan kesempatan kedua untuknya hidup lebih baik lagi. Seminggu yang lalu di belakang sebuah restoran tengah sawah di Yogyakarta, kedua monyet ini dikurung dalam kandang kecil beratapkan seng dan terpal bekas banner. Laporan mahasiswi ini ditindak-lanjuti WRC (Wildlife Rescue Center) Jogja dan tim APE Warrior COP.

Selasa pagi, bersama lima Orangufriends (relawan orangutan), tim telah tiba di lokasi. “Namanya juga satwa liar, pasti galak lah. Ya gitu masih aja dipelihara. Kecil sih lucu, tambah besar…”, ujar Satria Wardhana, kapten APE Warrior tanpa meneruskan kalimatnya. Dokter hewan WRC terpaksa melakukan pembiusan untuk mempercepat proses evakuasi. Tepat pukul 13.00 WIB, kedua monyet ekor panjang ini sudah masuk kandang angkut dan siap dibawa ke WRC Jogja.

Kedua monyet itu telah dipelihara selama 3 tahun. Menurut si pemilik, ia mendapatkan satwa ini saat masih bayi dan dibeli dari pedagang satwa yang ada di Yogyakarta. Setelah sekian lama dipelihara, monyetnya semakin besar dan galak. Pemilik sudah kewalahan dan akhirnya kebingungan dan melemparkan persoalan ini ke siapa saja termasuk pecinta satwa. “Hal ini merupakan alasan klasik para pecinta primata sebagai kedok membuang satwa peliharaannya”, kata Satria lagi.

Menjadikan monyet ekor panjang sebagai hewan peliharaan adalah salah satu hal yang salah. Walau dengan lengkapnya perawatan, tersedianya makanan yang cukup bahkan tempat yang nyaman, tidak bisa dijadikan dasar untuk memelihara satwa primata. Primata termasuk satwa liar, sudah sewajarnya mereka hidup bebas dan harapannya kita bisa ikut andil untuk melestarikan nya di alam liar. (SAT)

ULAH ORANGUTAN BERANI DI SEKOLAH HUTAN

Orangutan bernama Berani adalah orangutan remaja yang berumur 7-8 tahun berada di Pusat Rehabilitasi BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance). Di sekolah hutan, Berani cukup berbeda dengan yang lainnya. Ketika pagi hari berada di sekolah hutan, Berani biasanya belum ingin beraktivitas di atas pohon untuk mencari makan dan bermain gelantungan di tali akar. Berani lebih senang menarik orangutan yang lain untuk bermain gulat-gulatan, gigit-gigitan di tanah hingga ia puas.

Menjelang siang, saatnya balik ke kandang. “Yuk pulang… pulang”, ajak perawat satwa. Kalau orangutan lain langsung menuju ke perawat satwa dan langsung naik ke pundak untuk digendong. “Hemmm di sinilah Berani pelan-pelan naik ke atas pohon, mulai menjauh dari perawat satwa dan memanjat pohon yang tinggi sekitar 15-20 meter dengan asiknya. Berani juga bergelantungan di tali akar sambil melihat ke bawah”, cerita Linau, kordinator perawat satwa BORA.

Perawat satwa terus memanggil turun sambil memancingnya dengan buahmaupun susu tetapi Berani tidak menghiraukan itu. Hingga waktu terus berlalu, bahkan perawat satwa harus saling bergantian menuju kamp untuk makan siang dan kembali lagi ke lokasi sekolah hutan dimana Berani masih asik bergelantungan.

Hari sudah sore, hujan pun mulai turun. Berbagai cara sudah diupayakan untuk mengajak Berani turun. Seluruh perawat satwa hingga paramedis sudah basah karena hujan namun tetap semangat. “Alamat bermalam di sekolah hutan nih kalau Berani tak juga turun”, gumam perawat satwa Stefen. Sekolah hutan sudah semakin gelap dan dengan santainya Berani turun. Perawat satwa hanya bisa geleng-geleng kepala, antara gemes dan lega. “Wahhh… parah banget nih Berani. Senengnya ngerjain perawat satwanya”. (NAU)