PENEMBAK ORANGUTAN HOPE DIHUKUM AZAN?

Satu anak orangutan mati dan induknya yang diberi nama Hope terluka parah dengan 74 peluru senapan angin bersarang ditubuhnya. Desakkan publik dan dukungan untuk mencari pelaku penembakan di desa Bunga Tanjung, kecamatan Sultan Daulat, kota Subulussalam, Aceh pada Polda Aceh berhasil mengungkap tersangka yang ternyata masih di bawah umur. 

AIS (17 tahun) dan SS (16 tahun) dihukum dengan sanksi sosial setelah penyelesaian kasus itu diputuskan melalui diversi. Upaya pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana dilakukan pada tingkat penyidik. Sanksi sosial untuk keduanya, pertama, wajib azan magrib dan sholat isya di masjid desa Bunga Tanjung selama sebulan yang diawasi oleh Bapas (Balai Pemasyarakatan) dan aparat desa. Kedua, bila sanksi pertama dilanggar, maka akan diulangi lagi dari awal. Terakhir, pelaku harus membersihkan tempat ibadah masjid atau mushola. Pelaku mengakui perbuatannya serta meminta maaf kepada pihak terkait.

“Pelaku penembakan orangutan dengan 74 peluru senapan angin cuma dihukum azan selama sebulan? Itu efek jeranya apa ya? Katanya orangutan satwa dilindungi. Apa begini bentuk perlindungannya?”, Indira Nurul Qomariah, ahli Biologi COP mempertanyakan hukum yang dianggapnya tidak sesuai. 

Begitulah, yang bikin aturan aja seperti gak punya niat buat melindungi. Gimana mau selesai urusan perlindungan satwa liar yang udah pada di depan mata kepunahannya itu. Kek yang satu ini nih, masak hukumannya begini? Dikira dagelan apa? Gak malu apa sama dunia internasional? Nanti kalau dibahas asing bilang “antek asing” lagi, cape deehhh… hukuman yang aneh! Dilindungi tapi tak terlindungi!”, Novi Fani Rofika, orangufriends Padang.

Daniek Hendarto, direktur Centre for Orangutan Protection menyampaikan kekecewaannya atas sanksi pada kedua pelaku pembunuh orangutan di Subulussalam, Aceh. “Ini membuat penegakkan hukum semakin berat. Semoga kedepannya penegak hukum dapat bekerja lebih baik lagi, agar hukum dapat lebih dipandang!”.

WORLD CHALLENGE MENGENAL ORANGUTAN

Rabu kemarin (17/7/19), COP bersama orangufriends diberi kesempatan untuk mengisi sesi acara school group programme di Wildlife Rescue Centre (WRC) Jogja untuk menjelaskan tentang apa yang COP kerjakan untuk orangutan dan satwa liar. Peserta acara tersebut merupakan siswa siswi SMA dari UK yang tergabung dalam serangkaian kegiatan World Challenge. Selama 6 hari, mereka menetap dan berkegiatan di WRC untuk belajar tentang satwa liar, membantu memperbaiki enclosure dan membuat enrichment untuk satwa liar yang ada di WRC. 

Acara dimulai pukul 19.30 setelah makan malam. Sekitar 15 orang berkumpul di lobi WRC Jogja untuk mendengarkan presentasi yang disampaikan oleh Sari Fitriani. Dalam presentasi tersebut dijelaskan tentang apa yang dilakukan oleh COP untuk orangutan, dan satwa liar dari investigasi, kampanye, rescue, rehabilitasi, rilis, edukasi hingga melawan perdagangan satwa liar. Selain itu, juga diputar beberapa video seperti Lara Pongo, proses pelepasliaran orangutan dan monitoring paska pelepasliaran. Mereka terlihat sangat antusias dan tersentuh saat menyaksikan video-video tersebut.

Di akhir presentasi mereka menanyakan beberapa pertanyaan, seperti mengapa banyak orang yang mau menyakiti orangutan, apakah budaya masyarakat mengancam keberadaan orangutan dan bagaimana kehidupan dan populasi mereka (orangutan) sekarang ini, apakah membaik atau tambah buruk. Jawabannya adalah masih banyak sekali orang-orang yang tidak sadar seberapa penting menjaga orangutan dan hutan yang ada untuk masa depan. Dan bukan budaya yang menjadi ancaman orangutan, namun pihak-pihak serakah yang ingin meraup keuntungan besar dengan mengubah hutan tempat tinggal orangutan atas nama industri dan memperjualbelikan orangutan atas nama uang. Tidak dapat dikatakan bahwa populasi orangutan saat ini membaik karena deforestasi terus terjadi. Di akhir sesi, mereka mengucapkan terima kasih atas kerja Centre for Orangutan Protection dan berharap mereka juga dapat membantu untuk kehidupan orangutan yang lebih baik kedepannya. (SAR)

TRANSLOKASI BERUANG MADU KE BALATIKON

Beruang Madu merupakan salah satu satwa liar yang dilindungi Undang-Undang. Satwa ini tidak akan masuk area “hooman” apabila habitat mereka tidak diusik. Contohnya, beruang madu ini. Dia “terpaksa” masuk ke area manusia karena kelaparan. Karena manusia terusik dengan kehadiran beruang madu tersebut, akhirnya satwa ini dimasukkan ke dalam kandang dan diberi makan “layaknya manusia” seperti dikasih roti.

Karena mendapat pengaduan dari pihak Pertamina, akhirnya BKSDA Berau dan tim COP berangkat ke lokasi untuk translokasi beruang madu tersebut ke Hutan Lindung Balatikon. Tim APE Defender dari Centre for Orangutan Protection, awalnya menggunakan metode “door to door” untuk memindahkan beruang ke kandang angkut. Namun metode tersebut tidak berhasil setelah tim menunggu selama dua jam. Akhirnya beruang madu dibius.

Keesokan harinya, jalur darat maupun air ditempuh untuk menuju lokasi translokasi. Pencarian titik pelepasan juga dipilih lebih hati-hati, mengingat beruang liar. Briefing sebelum kandang dibuka pun dilakukan untuk memastikan proses berjalan lancar dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diingingkan. “Beruang madu sangat mungkin menyerang manusia.”, ujar drh. Rizki Widiyanti, tim medis APE Defender.

Dan saat kandang angkut dibuka dengan tali, beruang tak langsung menuju lebatnya hutan. Beruang madu tersebut berbalik badan sambil mengendus-endus, seperti mengisyaratkan ucapan “terimakasih” karena sudah dikembalikan ke habitatnya. (QQW)