NASIB ORANGUTAN DI BENGALON (2)

Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) merupakan primata terbesar di Indonesia yang hidup di hutan Kalimantan. Menurut IUCN Red-list 2016, primata ini masuk ke dalam kategori Critically Endangered (CR) atau kritis. Penemuan orangutan yang masih tertidur lelap di sekitar pertambangan pada pagi hari merupakan penyimpangan prilaku alami orangutan. Orangutan liar pada umumnya akan beraktivitas seiring dengan terbitnya matahari. Perpindahan harian dapat dilihat dari sarang yang dibuatnya pada siang dan sore hari. Penggunaan sarang yang sama, jarang terjadi.

Tak jauh dari jembatan hauling milik pertambangan batubara terbesar di Kalimantan Timur, satu individu Beruang Madu (Helarctos malayanus) dewasa melintas di depan mobil, menyeberangi jalan. Pergerakan beruang tersebut sangat gesit dan terlihat masih sangat liar. Hal ini mengindikasikan bahwa Beruang Madu di kawasan Bengalon masih belum terhabituasi.

Tim APE Crusader kembali menemukan satu individu orangutan dewasa betina yang sedang mencari makan di tengah hamparan semak belukar sambil menggendong anaknya yang masih bayi. Orangutan tersebut terlihat sedang memakan tumbuhan liana berjenis Capologonium mucunoides. Selain memakan liana, ditemukan juga bekas makanan orangutan berupa kulit kayu di sepanjang jalan Poros Bengalon yang masuk kategori famili fabaceae.

Orangutan merupakan satwa frungivora yaitu pemakan buah, namun jika ketersediaan buah menurun atau tidak sedang musim buah, orangutan dapat memakan daun, kulit batang, liana, bunga dan serangga. Menurut penelitian referensi pakan orangutan yang disukai adalah buah dan daun. Berdasarkan temuan orangutan memakan liana dan kulit batang diperkirakan karena ketersediaan pohon pakan bagi orangutan sudah menurun karena pembukaan lahan dan konversi lahan. (FEB)

NASIB ORANGUTAN DI BENGALON (1)

Perburuan liar dan perambahan hutan merupakan salah satu alasan penyebab menurunnya populasi orangutan secara drastis. Ditambah lagi konversi lahan hutan menjadi lahan perkebunan, pertambangan dan industri lain sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup dan populasi orangutan. Pembukaan lahan hutan secara ilegal dan dengan cara semena-mena sudah pasti mempengaruhi kelestarian populasi orangutan dan habitatnya. Pembukaan lahan tersebut juga menyebabkan fragmentasi habitat dan menyebabkan terpecahnya kelompok orangutan.

Akhir minggu pertama April 2021, tim APE Crusader dari Centre for Orangutan Protection melakukan survei keberadaan orangutan di kecamatan Bengalon, kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Penelusuran di sepanjang jalan Poros Bengalon merupakan respon COP mengenai informasi yang beredar di media sosial dan laporan dari masyarakat yang melihat keberadaan orangutan di Bengalon serta menindaklanjuti survei sebelumnya.

Pada hari pertama, tim menemukan satu individu orangutan jantan dewasa yang tertidur pulas di sarangnya. Orangutan tersebut membangun sarang di atas pohon Puspa (Schima wallichii) setinggi kurang lebih 7 meter dari tanah. Sarang tersebut masuk kategori tipe kelas A dengan ciri semua daun masih muda dan segar, serta terlihat baru. Posisi sarang termasuk posisi 1, yaitu sarang berada di pangkal percabangan pohon utama dan menempel pada batang pohon utama.

Orangutan tersebut membangun sarang tidak jauh dari ruas jalan, sekitar 30 meter saja. Hal ini dikarenakan luasan hutan yang merupakan habitatnya sudah berkurang drastis dan beralih fungsi menjadi kawasan pertambangan batubara. Orangutan tersebut tertidur begitu lelap hingga tidak peduli dengan keberadaan drone yang sedang mendokumentasikannya dan baru bangun pukul 07.23 WITA.

“Perubahan prilaku alami orangutan liar sangat mengkawatirkan. Aktivitas pertambangan yang hampir 24 jam disinyalir merusak jam biologis orangutan tersebut. Tidak ada pilihan lain untuk orangutan jantan tersebut, beradaptasi dalam kebingungan”, ujar Sari Fitriani, manajer perlindungan habitat COP. (FEB)

SEPENGGAL KISAH KEPULANGAN RAMBO DAN RIMBI (3)

Hanya drh. Putri Larasati yang bisa satu pesawat dengan kedua orangutan untuk penerbangan Semarang ke Cengkareng. Dua orang BKSDA Jateng bersama tiga orang Centre for Orangutan Protection terpaksa terbang dengan maskapai yang berbeda karena pada tanggal tersebut tiket penerbangan telah habis. Untungnya, waktu kedua penerbangan tersebut tidak terpaut jauh, bahkan karena sempat tertunda, kedua maskapai mendarat dalam waktu yang bersamaan.

Waktu makan siang, hampir semua tempat makan di terminal 3 bandara Soekarno-Hatta penuh bahkan habis. Tim akhirnya menuju Periplus BookCafe and Playground. Kebetulan chef Juna (junior Rorimpadey) sedang makan juga. Sedikit ulasan dari nya, makanan yang disajikan enak termasuk cara penyajiannya yang menarik. Tapi terbilang mahal untuk kami yang biasa bekerja di lapangan.

Waktu transit telah usai. Penerbangan dari bandara Cengkareng ke Kualanamu akan ditempuh hampir tiga jam. Kali ini, semua tim satu pesawat dengan kedua orangutan. Bedanya hanya letaknya saju, orangutan berada di kargo. Dokter hewan kembali mengingatkan pramugari agar suhu ruangan untuk kargo disesuaikan dengan suhu ruangan pada umumnya. Tentu saja agar membuat kedua orangutan nyaman selama perjalanan.

Tepat saat azan magrib berkumandang, tim telah keluar dari Balai Karantina Pertanian Kelas II Medan. Perjalanan Rambo dan Rimbi belum selesai. Setelah dilepas Bapak Sugeng (Kepala Resort Bandara Kualanamu), tim translokasi dikawal BBKSDA Sumatera Utara untuk melakukan perjalanan darat menuju Besitang, kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Tepat pukul 00.00 WIB, Minggu, 11 April 2021, Rambo dan Rimbi berpindah dari kandang angkut ke kandang klinik Sumatran Rescue Alliance. Keduanya dalam keadaan sehat. Selanjutnya, kedua orangutan akan menjalani masa karantina di SRA. Keduanya akan menjalani tes medis lengkap untuk mengetahui sejarah kesehatan medisnya. Kedua orangutan akan menjalani rehabilitasi yang waktunya tergantung kemampuan keduanya. Rambo dan Rimbi akan mengenal pakan alaminya, berlatih membuat sarang dan bertahan hidup atau mengenali predatornya.

“O iya, Rambo dan Rimbi berganti nama menjadi Asto dan Asih ya. Nama yang diberikan Menteri KLHK, ibu Siti Nurbaya. Semoga Asto dan Asih bisa lekas kembali ke habitatnya, bebas bertualang di antara pepohonan di hutan Sumatera”, ujar Daniek Hendarto, direktur Centre for Orangutan Protection. (RIS)