BAGUS LANGSUNG NAIK KE HAMMOCK

Bagus… Bagus… Bagus. Begitulah akhirnya kami menamai orangutan yang baru datang di Pusat Rehabilitasi Orangutan COP Borneo. Bagus, seiring dengan doa yang kami panjatkan agar dia mendapatkan kehidupannya dengan bagus. “Lihat saja, Bagus tanpa rasa takut langsung menuju ke hammock yang cukup tinggi.”, ujar Linau, perawat satwa COP Borneo. Betul… Bagus sama sekali tidak ragu menuju tempat tinggi.

APE Defender menyelamatkan orangutan Bagus dengan penuh kesabaran. Tujuh bulan yang lalu, Bagus gagal diselamatkan karena dibawa lari pemeliharanya. Si pemelihara ilegal ini, khawatir, Bagus tidak mendapatkan perawatan yang cukup baik. Rasa sayangnya pada orangutan menjadi belenggu tersendiri buat Bagus. Syukurlah, tim APE Defender tidak putus asa. Tim ini terus melakukan pendekatan hingga akhirnya berhasil menyakinkan bahwa, zoonosis bisa saja terjadi sewaktu-waktu. Pandemi COVID-19 adalah salah satu bagaimana zoonosis terjadi.

Kandang karantina Bagus adalah kandang yang istimewa. Kandang ini adalah sumbangan dadakan dari Orangufriends yang tersebar di seluruh dunia. Orangufriends adalah kelompok relawan orangutan yang mendukung Centre for Orangutan Protection. Donasi melalui paypal dan kitabisa.com dengan cepat mewujudkan kandang karantina untuk Bagus. Semoga, tes kesehatan Bagus bisa segera dapat diketahui. Agar Bagus bisa segera bergabung dengan orangutan kecil lainnya. Pandemi COVID-19, akan kah segera berakhir? Tentu saja ini harapan kita semua… untuk Bagus bisa segera masuk kelas sekolah hutan.

Terimakasih Orangufriends… kini Bagus punya kesempatan kedua untuk kembali ke alam. (GIL)

BULAN KETIGA BIBIT POHON DARI JATAN

Apa kabar bibit-bibit pohon yang telah tiba di tempat persemaian COP Borneo? Hingga saat ini bibit-bibit pohon kapur, durian dan meranti tumbuh dengan baik. Tinggi setiap bibit memang tidak ada yang sama. Bibit pohon durian yang terlihat semakin menjulang, tingginya mencapai 87 cm. Sedangkan bibit meranti dan pohon kapur sekitar 20-30 cm.

“Jika turun hujan, kami tidak perlu menyirami bibit-bibit. Sebagai gantinya kami pun harus semakin sering membersihkan rumput yang tumbuh lebih cepat.”, ujar Linau, kordinator perawat satwa ini. Di saat sekolah hutan ditiadakan karena pandemi corona virus, para perawat satwa menyibukkan diri dengan merawat bibit-bibit pohon yang berada di dekat parkir pusat rehabilitasi orangutan di KHDTK Labanan, Berau, Kalimantan Timur.

Tentu saja, tugas utama membersihkan kandang, memberi makan orangutan dan enrichment harus diselesaikan terlebih dahulu. Pandemi membuat rehabilitasi orangutan berjalan dengan lambat. “Kami saja rindu untuk ke sekolah hutan, memperhatikan tingkah orangutan yang tidak pernah ada habisnya. Apalagi orangutan itu? Mereka pasti sangat rindu memanjat pohon yang mereka sukai, atau mencari cemilan atau makanan hutan yang bisa mereka jumpai di sekolah hutan.”, kata Simson lagi. (NAU)

MENGAPA TERJADI KEKERASAN TERHADAP SATWA?

Sejak dahulu hingga kini, tindakan penyiksaan dan kekejaman terhadap satwa masih terus terjadi, baik yang disengaja (Intentional Animal Torture and Cruelty/IATC) maupun yang tidak disengaja. Sasaran tindakannya pun beragam. Mulai dari satwa yang sering ditemukan di pemukiman maupun satwa yang dilindungi. September 2017, Centre for Orangutan Protection menemukan empat tengkorak orangutan yang terpisah, salah satunya di atas pohon.

Bulan lalu, 11 Agustus 2020 BKSDA Jawa Timur dan Perhutani dikejutkan temuan mayat lutung jawa yang berada di kawasan hutan lindung di atas dusun Perinci, kecamatan Dau, kabupaten Malang, Jawa Timur. Pada awalnya, mayat satwa tersebut ditemukan dalam kondisi hanya tinggal kepala dan kulit badannya. Sehari setelahnya, ketika tim gabungan kembali melakukan investigasi, mayat satwa tersebut sudah tidak serupa lagi, hanya tinggal kedua tangan yang digantung di pohon cemara. Hal tersebut sangat mengejutkan dan menimbulkan tanda tanya besat bagi tim penyidik.

Jika ditinjau dari kasus yang selama ini terjadi, alasan seseorang melakukan tindak kekerasan diantaranya seperti ritual pengorbanan keagamaan, faktor ekonomi, keisengan atau kesenangan semata, pelampiasan emosional dan yang terakhir adakah masalah kejiwaan. Sebagian besar penelitian psikologi dan kriminologi menunjukkan bahwa orang-orang yang tega berbuat sadir seperti itu kemungkinan besar memiliki trauma pada masa lalu seperti pelecehan, kebrutalan dan pengabaian yang dilkaukan oleh orangtua atau orang-orang di sekitarnya yang kemudian dilampiaskan kepada pihak yang tidak berdaya, dalam hal ini adalah satwa. Perilaku tersebut juga data menjadi hasil perilaku meniru (modeling) orang-orang di sekitarnya yang menikmati perasaan berkuasa atas hewan yang mereka sakiti, tanpa turut menderita secara emosional (terkait empati)1) . Pelaku melakukan hal tersebut terhadap satwa karena mereka tidak dapat berbuat apa-apa dan di satu sisi, masih sering dipandang sebelah mata oleh pihak penegak hukum sehingga dianggap tidak separah kasus kekerasan yang dilakukan terhadap sesama manusia.

IATC merupakan salah satu perilaku dalam tiga sifat teori psikologi yang sering disebut sebagai ’The Dark Triad’. Tiga sifat dalam teori tersebut adalah psikopati (kurang rasa empati), machiavellianisme (fokus pada keuntungan pribadi) dan narsisme (kebanggaan egosentrik). Hasil penelitian psikolog Phillip. S. Kavanagh, et al (2013) yang mengasosiasikan teori The Dark Triad dengan prilaku kekerasan terhadap satwa3) . Dalam penelitiannya, psikopati menjadi sifat yang dikaitkan dengan perilaku sengaja membunuh satwa liar tanpa alasan yang baik dan dengan sengaja melukai atau menyiksanya untuk menyebabkan rasa sakit.

Psikopati memang erat hubungannya dengan empati yang dimiliki seseorang. Empati merupakan satu bagian dari faktor hubungan interpersonal yang berpengaruh pada aspek penalaran moral agar dapat memahami dan merasakan apa yang dirasakan individu lain. Semakin tinggi empati yang dimiliki oleh seseorang, maka akan semakin rendah kecenderungan orang tersebut untuk melakukan kekerasan terhadap individu lain. Untuk itu, pendidikan ‘sikap proanimal’ memang perlu diterapkan sejak dini agar anak-anak dapat belajar untuk peduli terhadap satwa dan turut serta menjaganya. Meningkatkan empati terhadap satwa juga dipercaya akan meningkatkan empati pada manusia lain, sehingga kekerasan terhadap satwa maupun manusia dapat dicegah. (Amandha_Orangufriends)

Sumber:
1) Arkow, P. (2019). The “Dark Side” of the Human-Animal Bond. In &. C. Lori Kogan, Clinician’s Guide to Treating Companion Animal Issues: Adressing Human-Animal Interaction. Nikki Levy.
2) Kavanagh, P. S., Signal, T. D., & Taylor, N. (2013). The Dark Triad and Animal Cruelty: Dark personalities, dark attitudes, and dark behaviors. Personality and Individual Differences, 55(6), 666-670.