PERJUANGAN BAYI ORANGUTAN DI PUSAT REHABILITASI, SEHAT ITU PENTING

Rehabilitasi orangutan merupakan berjalan panjang yang dipenuhi berbagai macam tantangan. Orangutan yang hidup di pusat rehabilitasi tidak terlepas dari berbagai masalah kesehatan yang dipengaruhi berbagai macam faktor, seperti stres akibat perubahan lingkungan, kualitas pakan, paparan penyakit baru, serta sistem imun yang belum sempurna (terutama pada bayi) dapat membuat mereka rentan jatuh sakit.

Tim BORA selalu mengedepankan pendekatan menyeluruh. Setiap kasus ditangani melalui tahapan yang sistematis, anamnesis (pengumpulan riwayat kesehatan dan perawatan), observasi perilaku orangutan serta kondisi kandang, hingga pemeriksaan laboratorium bila diperlukan. Pendekatan ini penting untuk memastikan bahwa penanganan tidak hanya mengobati gejala, tetapi juga menyingkirkan kemungkinan penyebab yang lebih serius.

Salah satu kasus terjadi pada bulan Juli hingga September 2025 di Baby House BORA (Borneo Orangutan Rescue Alliance) adalah diare. Beberapa bayi orangutan seperti Felix, Pansy, Harapi, dan Arto pada awalnya diduga adanya infeksi parasit seperti cacing atau mikroorganisme patogen lainnya. Namun, hasil pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan adanya agen infeksi yang signifikan. Setelah evaluasi mendalam, faktor lingkungan terutama saat Sekolah Hutan diperkirakan sebagai pemicu utama. Sistem pencernaan bayi yang masih rentan membuat mereka lebih mudah terpengaruh oleh faktor eksternal lingkungan.

Selain kasus diare, pada periode yang sama juga ditemukan kasus flu pada Harapi. Gejala berupa bersin, pilek, dan gejala pernapasan lainnya teramati setelah perubahan cuaca yang cukup ekstrem, dari panas terik di siang hari hingga hujan deras di sore atau malam hari. Fluktuasi cuaca ini menjadi faktor pemicu utama yang melemahkan daya tahan tubuh bayi orangutan. Penanganan dilakukan dengan menjaga kebersihan kandang, isolasi untuk mencegah penularan ke orangutan lainnya, memberikan pakan bernutrisi tinggi, dan obat-obatan serta suplemen untuk mengurangi gejala serta meningkatkan daya tahan tubuh Harapi.

Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa perawatan orangutan di pusat rehabilitasi bukanlah hal yang sederhana. Kesehatan mereka sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan maupun pola asuh. Karena itu, dibutuhkan pengawasan ketat, evaluasi rutin, serta kerja sama erat antara dokter hewan, keeper, dan staf lapangan, logistik hingga administrasi. Setiap tantangan kesehatan yang ditemukan menjadi pembelajaran untuk memperbaiki standar perawatan. Harapannya, dengan pemantauan dan perbaikan berkelanjutan, orangutan dapat tumbuh sehat dan saat siap, kembali ke habitat alaminya. (TAL)

AWAL PERJALANAN BETI DI PUSAT REHABILITASI BORA

Awal Agustus yang lalu, pusat rehabilitasi BORA menyambut kedatangan satu individu orangutan eks-peliharaan ilegal. Beti, orangutan betina yang telah dipelihara sejak 2001, akhirnya diserahkan pemiliknya karena sudah menunjukkan perilaku liar dengan tenaga yang semakin kuat. Selama perjalanan panjang menuju pusat rehabilitasi, Beti di dampingin dokter hewan yang senantiasa memantau kondisi dan kesehatannya di dalam kandang angkut.

Ketika tiba di area karantina BORA (Borneo Orangutan Rescue Alliance), Beti diobservasi secara intens oleh perawat satwa, biologis, dan tim medis. Observasi perilaku dan kesehatan ini menjadi acuan penentuan diet, perawatan kesehatan, hingga penyesuaian kondisi kandang yang didasari lima prinsip kesejahteraan satwa. Namun ternyata, proses adaptasi Beti di lingkungan baru cukup fluktuatif dan sulit ditebak.

Dengan estimasi umur 25 tahun, Beti tidak memiliki perilaku umu layaknya orangutan liar seumurnya dan memiliki variasi pilihan pakan yang rendah. Ia belum mampu lokomosi arboreal seperti brakiasi di jalinan tali instalasi kandang. Postur ketika makan pun didominasi dengan duduk, telentang, dan tengkurap. Pemeliharaan ilegal yang sangat lama di kandang beton tertutup menyebabkan Beti tidak memiliki kesempatan untuk bergerak secara alami dan melatih kekuatan otot lengannya. Hal ini turut disertai dengan ragam aktivitasnya yang rendah selama di kandang.

Untuk menstimulasi aktivitas dan minat Beti terhadap berbagai jenis pakan, para staf yang bertugas di area karantina gemar memberikan berbagai macam pengayaan (enrichment) menggunakan bahan-bahan alam. Mulai dari berbagai jenis bunga, dedaunan, sarang rayap, hingga buah-buahan yang dimanipulasi secara visual. Ternyata Beti tertarik dengan bunga berwarna cerah seperti bandotan, eceng gondok, dan belimbing. Ia memperhatikan, mengonsumsi, dan membawa bunga-bunga itu sambil mengeksplorasi kandang. Palatabilitas Beti juga meningkat ketika menu pakannya dibentuk kubus. Berbagai buah, sayur, dan protein yang dipotong dadu akan dikonsumsi Beti dengan lahap, khususnya di sore hari. Ice block berisi potongan buah juga diberikan. Uniknya, Beti selalu menyimpan ice block di tempat yang sama dan baru mengonsumsi buahnya ketika es sudah mencair.

Pakan favorit Beti juga menjadi bahan dasar pembuatan food enrichment. Enrichment ini bertujuan mengenalkan variasi pakan alami, menstimulasi kemampuan mencari pakan, mengenalkan materi alami yang ada di habitat asli hingga menurunkan tingkat stres Beti selama fase karantina.

Rehabilitasi yang dijalani Beti akan panjang. Ada banyak keterampilan bertahan hidup yang harus ia kuasai sebelum rilis ke habitat aslinya. Perlu dukungan, dedikasi, dan inovasi dari seluruh pihak di pusat rehabilitasi untuk memberi Beti kesempatan baru di hidupnya. Dalam proses ini, Beti tidak belajar sendirian. Para staf yang menyertainya juga akan mempelajari hal-hal baru untuk mendukung proses rehabilitasi yang efektif. (FAR)

DATING APES BATCH 9, DARI PEMUDA DESA UNTUK BUMI JOGJA

Camp APE Warrior kembali dipenuhi obrolan hangat dan diskusi lingkungan pada Jumat, 26 September 2025. Kelas bulanan COP yaitu Dating APES kembali digelar dan kali ini sudah memasuki edisi ke-9. Tamu istimewa, Rifka Agnes dari KPHI (Koalisi Pemuda Hijau Indonesia) Jogja, hadir untuk berbagi cerita tentang konservasi serta bagaimana anak muda bisa mengambil peran nyata dalam menjaga lingkungan sekitar.

Sore itu terasa akrab sejak awal. Teman-teman dari berbagai komunitas, mulai dari Orangufriends, Vetpagama, Teman Berjalan, 4K, Relung Indonesia, KSSL UGM, alumni COP School dan Orangufriends Yogyakarta berkumpul. Tidak ada jarak antara pemateri dan peserta. Seperti biasa, diskusi mengalir begitu saja, seolah semua duduk di satu lingkaran besar yang terbuka untuk siapa pun. Rifka membawa sudut pandang yang segar, ia menjelaskan tentang jenis-jenis pohon yang mereka fokuskan untuk penanaman dalam program restorasi, khususnya pohon-pohon penyerap air seperti pohon kepuh. “Namanya saja mungkin baru pertama kali didengar sebagian beserta peserta”. Penjelasan ini membuka wawasan bahwa memilih jenis pohon untuk rehabilitasi hutan bukan sekadar menanam, tapi harus memahami fungsi ekologis nya.

Berbagai pertanyaan menarik pun muncul. “Kalau di desa kami, anak muda ingin memulai aksi konservasi dari nol, tantangan paling besar biasanya apa ya, Kak?”, tanya seorang peserta. Rifka tersenyum, “Tantangan terbesar biasanya justru membangun kepercayaan. Tapi kalau kita konsisten, masyarakat akan melihat kesungguhan kita”. Pertanyaan lain menyusul, “Setelah pohon ditanam, bagaimana cara memastikan program ini benar-benar terpantau, apalagi kalau lahannya dikelola pihak lain?”. Rifka menjawab penuh semangat, “Kuncinya kolaborasi. Kita perlu menjalin komunikasi dengan pengelola setempat, membuat sistem monitoring bersama, bahkan sekecil laporan rutin sekalipun bisa menjadi kontrol yang efektif”.

Diskusi berjalan dengan penuh energi hingga waktu acara berakhir. Namun sangking semangatnya, banyak peserta tetap bertahan di lokasi meski acara sudah resmi ditutup. Obrolan kecil berlanjut di Joglo Camp APE Warrior, membuktikan bahwa ruang-ruang seperti ini bukan hanya ditunggu, tapi juga selalu dirindukan. (DIM)