APE WARRIOR BERSIAP UNTUK GUNUNG MERAPI

Usai melihat pesan singkat berisi peningkatan status aktivitas Gunung Merapi dari Waspada (Level II) ke Siaga (Level III), pandangan mata tak lepas dari G. Merapi yang tak jauh dari camp APE Warrior Centre for Orangutan Protection. “Tepat sepuluh tahun yang lalu, tim relawan COP yang dipimpin Daniek Hendarto bolak-balik menurunkan pakan ternak ke kandang-kandang sapi. Rumput sebagai pakan sapi tersebut mereka potong sendiri dari daerah Bantul. Tidak ada rumput yang luput dari abu Merapi. Paginya ngarit, setelah truk penuh langsung bawa ke daerah Sleman. Utara ke Selatan dan Selatan ke Utara menjadi jalur tim penyedia pakan ternak. Begitu keesokan harinya. Sampai akhirnya membuat shelter atau tempat pengungsian untuk ternak di tempat yang lebih aman.”.

Tidak hanya ternak maupun hewan peliharaan. Satwa liar yang terkurung di kandang-kandang penduduk pun turut disisir, rumah tak berpenghuni karena ditinggal mengungsi. Burung-burung di dalam sangkar ada yang bertahan, tapi ada pula yang tidak. Yang mati dikuburkan, tentu saja dengan identifikasi dan dokumentasi agar tidak terjadi kesalah-pahaman. COP tidak sendiri, ada Jakarta Animal Aid Network (JAAN) dan Animal Friend Jogja (AFJ) yang juga fokus menyelamatkan hewan. “Merapi 2010 tidak mungkin terlupakan. Siapa pun kamu dengan keahlian apapun, bisa menjadi relawan. Yang bisa masak, langsung bergabung di dapur yang menyediakan makanan untuk para relawan satwa. Kebetulan, rumah Daniek adalah rumah terdekat di batas zona aman dari Merapi.

Untuk satwa-satwa yang terkurung dan masih hidup, lagi-lagi tim harus mencari pemiliknya. Meminta ijin untuk dievakuasi. Seperti nasib Elang kepala abu, kera ekor panjang yang ditinggal pemiliknya mengungsi. Bukan pekerjaan mudah, sembari tetap waspada akan turunya awan panas Merapi yang bisa membinasakan apapun yang dilewatinya. “Nyawa taruhannya, tapi kami terus berhitung, berbagi peran. Ada yang memantau informasi dari bawah, ada yang memperhatikan Merapi itu sendiri dan ada juga yang bergerak mencari korban (satwa), mendata, mendokumentasikan, membawa kandang atau juga membawa makanan hewan peliharaan. Kami juga memberi makan anjing, kucing dan ayam yang terkadang tidak mungkin kami evakuasi karena keterbatasan.”, ingat Daniek Hendarto yang kini telah menjadi Direktur Centre for Orangutan Protection.

Hela nafas panjang diiringi doa agar Merapi tak semarah 2010. Tim APE Warrior bersiap. Centre for Orangutan Protection memanggil relawannya. Orangufriends, kami akan mendata kemampuan dan kesedianmu. Tak menunggu lama, grup whatsapp menjadi ramai. COP bangga pada Orangufriends!

PENGAMBILAN SAMPEL DAHAK ORANGUTAN KANDIDAT RILIS

Kicau burung di pagi hari mengawali pagi ini dengan ceria. Tim medis hanya beristirahat lima jam saja. Persiapan untuk pengambilan dahak tiga orangutan tidak semudah yang terlihat. Pakaian hazmat, masker, sarung tangan medis, sepatu sudah dipersiapkan. Giliran peralatan untuk mengambil dahak orangutan, sudah disuci-hamakan. Peralatan pemeriksaan kesehatan seperti stetoskop, termometer, alat pendeteksi detak jantung, tabung sampel darah, kotak pendingin hingga timbangan sudah dalam daftar barang yang siap angkut ke lokasi pengambilan sampel.

“Jika semua peralatan dan perlengkapan sudah siap di tempat. Kecepatan mengerjakan pengambilan sampel harus dilakukan seefisien mungkin. Kita terbatas oleh waktu, tiga sampel dari tiga orangutan yang berbeda. Tim pengemasan sampel juga tidak boleh melakukan kesalahan, atau sampel akan rusak sebelum sampai tujuan. Surat jalan sampel juga harus sudah siap.”, begitu drh. Rian Winardi memeriksa ulang persiapan. Wajah seriusnya membuat tim lebih hati-hati lagi.

Nigel, Hercules, Antak! Selesai sudah diambil sampel dahak dan darahnya. Matahari sudah condong ke barat, hari yang luar biasa. Tim pengambil sampel sudah selesai menyelesaikan tugasnya. Kini berpacu dengan waktu menuju kota untuk melanjutkan perjalanan ke bandara Kalimarau. Sampel harus tiba di laboratorium sebelum 24 jam. Semoga penerbangan ke Jakarta tidak ada tertunda. Doakan kami!

TANGISAN INDUK PRIMATA TANPA AIR MATA

Pernah melihat induk primata yang tidak ingin melepaskan anaknya bahkan ketika anak tersebut sudah mati? Perilaku ini memang benar ada dan disebut sebagai infant-corpse-carrying behavior. Tidak semua satwa memiliki perilaku ini, hanya anthropoid primates atau primata tingkat tinggi yang biasa melakukannya. Induk tersebut dapat membawa jasad anaknya selama beberapa hari, namun simpanse dan monyet jepang pernah terobservasi membawa anaknya selama lebih dari satu bulan, mulai dari jasadnya membusuk hingga akhirnya mengeras seperti mumi.

Sang induk memperlakukan anaknya seolah-olah mereka masih hidup. Merawat, mengusir lalat bahkan menjerit kesedihan ketika tidak sengaja menjatuhkan jasad anaknya dan meletakkannya di tanah secara pelan-pelan. Seorang pelajar Campfire Academy (Tracey) yang melihat kejadian itu mengatakan, “Dia (induk) tampak sedih seolah-olah sedang berduka dan terus mencoba melatakkannya di pohon seolah-olah mendorongnya untuk bergerak dan berpegangan.”. Walaupun dari jauh kita sudah dapat mencium bau yang tidak sedap, tetapi sang induk tampak tidak menghiraukannya.

Tidak diketahui secara pasti penjelasan mengapa perilaku itu muncul. Namun, peneliti mempercayai beberapa hipotesis. Pertama, “unawareness hypothesis’ yang menunjukkan sang induk tidak memiliki kemampuan kognitif untuk membedakan kondisi ‘mati’ pada anaknya. Hipotesis ini masih perlu dipertanyakan karena pada faktanya induk primata memperlakukan anaknya yang sudah mati berbeda dengan ketika anak tersebut asih hidup, contohnya anak yang sudah mati lebih sering digendong dan diseret, dimana perilaku ini tidak pernah dilakukan pada anak yang masih hidup.

Kedua, ‘unresponsive but alive’, menganggap bahwa anaknya hanya sakit dan akan pulih seperti normal kembali. Ketiga, ‘social-bonds hypothesis’ yang menyatakan bahwa sang induk melakukannya karena ikatan sosial terhadap anaknya yang sangat kuat hingga sulit untuk diputuskan. Ikatan antara induk dan anak ini memang sudah terbentuk sejak lahir dan tidak akan hilang begitu saja begitu anaknya mati. Terakhir, hipotesis yang dipercaya peneliti paling kuat dan masuk akal adalah ‘grief-management hypothesis’ yang menyatakan hal itu dilakukan sebagai cara untuk mengatasi kehilangan yang dirasakan sang induk secara emosional.

Kita memang tidak tahu pasti apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh setiap satwa. Namun jelas sekali bahwa mereka juga memiliki perasaan dan dapat kehilangan layaknya manusia. Tidak sepantasnya manusia terus menerus mengeksploitasi kehidupan mereka. Penting sekali untuk diingatkan bahwa manusia bukanlah satu-satunya makhluk yang sangat menyayangi anaknya dan akan melakukan apapun demi melindungi, mengasuh dan membesarkan anaknya. Ancaman hidup terhadap satwa harus dihentikan karena kehidupan mereka sama pentingnya seperti kehidupan kita (manusia). (Amandha_Orangufriends)

Sumber:
https://www.sciencedaily.com/releases/2020/03/200311082942.htmhttps://mol.im/a/7621385