LAGI, DUA ORANGUTAN DITEMUKAN DI SEKITAR PT. GPM

Beberapa hari yang lalu, Tim APE Crusader menemukan adanya satu induk orangutan beserta anaknya bermain di pepohonan yang berada di daerah Amporo yang merupakan jalan poros untuk transportasi antar provinsi. Hal ini bukanlah yang pertama kali terjadi, mengingat pada tahun 2017 silam, tim pernah melakukan translokasi satu individu orangutan dewasa yang turun ke jalan untuk meminta makan hingga masuk ke warung di area yang sama.

Kemunculan orangutan di habitat manusia bukanlah hal yang lazim terjadi. Hal tersebut menjadi lazim saat habitat alaminya terganggu. Dan benar saja, hanya dengan masuk sejauh alaminya terganggu. Dan benar saja, hanya dengan masuk sejauh 500 meter dari tempat ditemukannya dua individu orangutan, area yang awalnya berhutan berganti menjadi bukaan lahan yang luas yang ditanami pohon-pohon sawit kecil berumur kurang lebih satu tahun. Hal ini cukup menjelaskan mengapa banyak laporan terkait orangutan yang muncul di jalan di sekitar Amporo. Perkebunan kelapa sawit milik PT. GPM telah mengubah hutan hujan tropis yang sebelumnya berisi berbagai pohon-pohon untuk pakan dan tempat bersarang menjadi luasan gersang yang berisi barisan tanaman sawit.

Temuan orangutan di da;am dan sekitar konsesi PT. GPM bukan;ah hal yang baru. Sejak PT. GPM memulai aktivitasnya di tahun 2017, tim COP setidaknya telah mendapati satu individu orangutan beserta anaknya di landclearing, translokasi satu individu orangutan dewasa yang mengemis di pinggir jalan raya dalam area konsesi dan menemukan setidaknya dua orangutan betina beserta anaknya berkeliaran di area yang sama. Hingga 2021, laporan serta temuan yang sama masih didapati oleh tim COP. “Temuan demi temuan tiap tahunnya mengidikasikan bahwa areal konsesi PT. GPM memang merupakan areal yang bernilai konservasi tinggi yang penting bagi orangutan. Jika hal ini tidak dianggap serius, keberadaan orangutan dan habitatnya di Kalimantan Timur yang akan menjadi taruhannya,” ujar Sari Fitriani, manajer Perlindungan Habitat COP. (SAR)

LANGGAR ZONA MERAH DEMI TANGGUNG JAWAB

Zona merah, 5 km dari kawah Gunung Merapi diminta untuk mengungsi, tak hanya manusia, hewan peliharaan juga. Ternak sapi sudah diamankan tapi mengarit rumput tetap di kawasan zona merah karena rumputnya lebih baik. Begitulah tanggung jawab sebagai peternak dan kepala keluarga, masuk zona merah pun dilakukan. Modalnya cuman handy talkie alias HT. Dari HT inilah masyarakat lereng Gunung Merapi bisa mengetahui aktivitas Merapi, mulai dari kegempaan sampai letusan.

Seminggu di awal tahun 2021, aktivitas Gunung Merapi semakin meningkat tajam. Bahkan dua hari terakhir terlihat lava pijar keluar dari bibir kawah. Hujan yang turun semakin membuat kawatir lahar dingin yang akan mengisi aliran lahar. Pagi ini baru saja awan panas (wedhus gembel) meluncur. HT pun menjerit-jerit dengan nada terputus-putus. Guguran yang cukup panjang. Tim APE Warrior mempercepat gerakannya. Keselamatan adalah yang utama.

Tim APE Warrior bersama Orangufriends (relawan satwa) sudah dua bulan ini membantu para peternak untuk mengangkut pakan hijau ke tempat pengungsian. Jarak 5-7 km dengan dua ikat pakan hijau cukup berbahaya jika dibawa dengan sepeda motor. Belum lagi harus naik-turun karena dua ikat tadi hanya cukup untuk dua sapi, sementara peternak tersebut memiliki 5 sapi.

Inilah tanggung jawab dan tugas sebagai laki-laki yang bisa dilihat dari motor yang terparkir di shelter Banjarsari, Yogyakarta. Ada HT sebagai standar, tali ban bekas untuk mengikat rumput. “Kami, tim APE Warrior yang telah turun sejak Gunung Merapi meletus di tahun 2010 berusaha menyelamatkan satwa yang membutuhkan. Sedikit meringankan beban peternak karena berada di pengungsian bukanlah hal yang mudah. Ternak adalah harapan, kehidupan yang tidak terpisahkan dari peternak. Setiap nyawa sangat berarti.”, ujar Satria Wardhana, kapten APE Warrior di sela-sela mengangkat pakan hijau ke atas mobil pikap. (DAN)

MERAIH IMPIAN UCOKWATI UNTUK KEMBALI KE RUMAHNYA

Berteman satu lutung jawa yang terikat di lantai dengan tali pendek di perutnya, itulah pertemuan COP pertama kali bersama orangutan yang bernama Ucokwati. Ramadhani, senior staf Centre for Orangutan Protection membawa kenangan orangutan Ucokwati dan Joko kembali. Juni 2011 bertempat di Taman Rekreasi Pabelan Kartasura atau lebih dikenal dengan Kolam Renang Rominsy, tim APE Warrior mendokumentasikan perawatan sangat tidak layak pada kedua orangutan tersebut. Tak hanya itu, kandang tanpa atap dan pemberian makanan yang berupa nasi dicampur dengan kecap manis pun menjadi sorotan tim ini. Empat bulan kemudian, akhirnya keduanya diselamatkan dan dititipkan ke Wildlife Rescue Centre (WRC) Jogja.

Dua tahun kemudian, lahirlah orangutan bernama Mungil. Ucokwati membesarkan Mungil dengan baik. Mungil yang kini berusia 7 tahunan semakin sulit untuk terus berada di WRC Jogja. Seperti anak orangutan di usia 7-8 tahun lainnya, disaat memulai kehidupan mandiri, Mungil menunjukkan kebiasaan baik nya, lebih banyak menghabiskan waktunya di atas, bergelantungan dan makan sambil memanjat.

“COP berusaha memberikan kesempatan kedua untuk orangutan kembali ke habitatnya. Syukurlah BKSDA Yogyakarta juga berpendapat sama dan menyetujui memindahkan orangutan Ucokwati dan Mungil ke Pusat Rehabilitasi Orangutan yang dikelolah COP di Berau, Kalimantan Timur. Minggu depan bersama tim YKAY (Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta) akan melakukan pemeriksaan medis secara menyeluruh. Semoga dapat berjalan dengan lancar dan hasilnya baik.”, jelas Daniek Hendarti, direktur COP.

Orangutan adalah satwa endemik kebanggan Indonesia. Keberadaannya di alam terancam alih fungsi hutan, perburuan dan perdagangan. Entah bagaimana Ucokwati maupun Joko sampai berada di tempat rekreasi. Setidaknya Ucokwati bersama anaknya masih memiliki harapan untuk kembali ke alam untuk menjalani perannya di tempat semestinya. Terimakasih International Fund Animal Welfare (IFAW) yang telah mendukung proses ini. Mimpi hanya akan jadi bunga tidur saja jika tidak ada usaha untuk mewujudkannya. (DAN)