MELIHAT PELUANG TERJADINYA DIABETES PADA ORANGUTAN

Orangutan diklasifikasikan sebagai frungivora karena mereka di alam biasanya memakan buah-buahan jika sedang pada musimnya. Rata-rata orangutan dapat mengkonsumsi makanan 1-2% dari berat badannya setiap hari (berdasarkan bahan kering), orangutan yang hidup bebas di alam juga mengalami fluktuasi dramatis dalam ketersediaan makanan karena pembuahan pohon yang seragam di wilayah hutan-hutan di Asia Tenggara. Selama tidak musim buah, orangutan terpaksa bergantung pada makanan lain yang kurang padat energi. Fenomena ini telah mengarahkan para peneliti untuk berhipotesis bahwa orangutan telah melakukan evolusi untuk mengambil keuntungan dari buah tiang (klasifikasi pohon dengan diameter 10-19 cm) dengan menyimpan kelebihan kalori sebagai lemak dan sebagian kemudian mengandalkan cadangan energi ini ketika buah-buahan tidak tersedia. Makanan yang dipilih oleh orangutan liar ketika ketersediaan buah sangat kurang meliputi daun, kulit kayu, empulur, bunga, serangga dan madu.

Pengaturan pakan dimana jenis pakan tergantung pada kondisi ketersediaan di alam, menyebabkan orangutan berupaya mengatur kecukupan nutrisi mereka sendiri. Selama musim buah mereka akan menumpuk gula dan lemak dan akan menjadi cadangan energi ketika musim paceklik buah. Kondisi inilah yang menyebabkan orangutan di alam tidak mengalami obesitas ataupun menderita penyakit-penyakit metabolisme karena pada dasarnya mereka mengatur diet mereka sendiri.

Hal berbeda ketika orangutan mulai di kandangkan. Orangutan di kandang biasanya diberi pakan hanya mempertimbangkan faktor yang dapat mempengaruhi pola makan individu, seperti selera orangutan dan kondisi tubuh, sedangkan status kesehatan dan tingkat aktivitasnya sering kali diabaikan. Jumlahnya juga sering membuat orangutan terlalu selektif dalam memilih dan dapat menyebabkan ketidakseimbangan nutrisi. Meskipun orangutan diklasifikasikan sebagai pemakan buah dan tanaman lain, yang mereka konsumsi di alam liar sangat berbeda komposisinya dari buah yang dibudidayakan untuk konsumsi manusia. Buah-buahan yang dimakan oleh orangutan yang hidup bebas jauh lebih tinggi serat strukturalnya, sedangkan buah yang dibudidayakan untuk manusia biasanya lebih rendah serat dan lebih tinggi gulanya untuk memuaskan selera manusia. Tidak mungkin bertemu tingkat serat rata-rata yang dikonsumsi oleh orangutan liar hanya dengan menggunakan produk yang tersedia secara komersial.

Kondisi inilah yang menyebabkan kenaikan berat badań yang berlebihan dań dapat mempengaruhi banyak masalah yang berhubungan denga kesehatan termasuk peningkatan kejadian kematian, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, kanker, artritis degeneratif, masalah pernafasan, penyakit hati (fatty liver) dan diabetes. Banyak orangutan dewasa yang di kandang telah diklasifikasikan sebagai kelebihan berat badan dan bahkan obesitas. Obesitas sering dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes dan banyak klaim anekdot bahwa orangutan yang di kandang cenderung mengalami masalah dengan diabetes mellitus. Diabetes adalah penyakit akibat glukosa dalam darah atau gula darah terlalu tinggi. Glukosa adalah sumber energi utama tubuh yang berasal dari makanan. Sementara organ pankreas membuat hormon insulin yang membantu glukosa dari makanan masuk ke sel tubuh untuk digunakan sebagai energi. Namun terkadang, tubuh tak menghasilkan cukup insulin atau tidak bisa menggunakan insulin dengan baik. Glukosa yang dihasilkan oleh pakan pun tetap berada di dalam darah dan tidak mencapai sel-sel tubuh, menyebabkan konsentrasinya meningkat atau hiperglikemia.

Seperti pada manusia, diabetes melitus tipe 2 pada orangutan sering terjadi pada individu yang kegemukan dan tua, dengan perkembangan metabolik dari resistensi hormon insulin dan gangguan toleransi glukosa. Pada beberapa orangutan diketahui menderita diabetes melitus ini, diketahui juga telah mengalami perubahan pakan secara signifikan di pemeliharaan. Sumber glukosa selain buah yang manis dan rendah serat adalah nasi dan seperti sudah menjadi kebiasaan bahwa nasi merupakan pakan utama orangutan-orangutan di kandang di beberapa pemeliharaan ilegal orangutan di Indonesia.

Hal serupa terjadi di beberapa di pusat rehabilitasi, pakan yang diberikan walaupun diusahakan mendekati pakan alami, tetapi pola diet pemberian buah yang terlalu masak, manis dan rendah serat tanpa mempertimbangkan aktivitas harian orangutan membuat banyak orangutan menjadi obesitas dan beresiko. Gejala klinis orangutan penderita diabetes beragam, tapi biasanya yang teramati adalah adanya luka yang selalu kelihatan basah, tidak sembuh-sembuh dan terjadi infeksi yang kemudian meluas menyebabkan harus dilakukan amputasi karena kematian jaringan. Sayangnya, diagnosa hanya bisa dipastikan dengan melakukan pengecekkan kadar glukosa darah dan biasanya terlambat.

Masih banyak yang harus dipelajari tentang kebutuhan nutrisi orangutan. Mengidentifikasi kebutuhan konsentrasi nutrisi dasar mereka untuk vitamin, mineral, lemak dan protein akan membantu dalam perumusah diet yang lebih tepat untuk populasi orangutan di pusat-pusat rehabilitasi. Penelitian lebih lanjut tentang kemampuan mereka untuk memanfaatkan serat sebagai sumber energi, kecenderungan menjadi gemuk dan kecenderungan mereka menjadi diabetes juga berarti. Selamat Haria Diabetes Sedunia, 14 November 2021. (DTW)

ORANGUTAN COP KUNJUNGI TK KHALIFAH 23 PALEMBANG

Dua puluh empat pasang mata memandang kostum Orangutan yang tiba-tiba saja masuk ke ruangan kelas. Seketika, anak-anak TK Khalifah 23 Palembang menjadi tak terkendali. Ada yang berteriak, tertawa namun juga ada yang terlihat takut. Kunjungan sekolah yang dilakukan Orangufriends (relawan orangutan) Palembang ini adalah rangkaian kegiatan Orangutan Caring Week yang diadakan secara serentak sejak tanggal 9 hingga 13 November 2021, di seluruh dunia.

Ini adalah kunjungan ke sekolah yang ke-3 dari rangkaian kegiatan APE Guardian di Palembang. Lokasi TK berada di 11-12 Ruko Griya Hero Abadi, Jl. Hasanudin, Talang Klp., Kecamatan Alang-Alang Lebar, Kota Palembang, Sumatra Selatan. “Beruntung sekali, Centre for Orangutan Protection mempunyai relawan di banyak kota di Indonesia. Sehingga rangkaian penyadartahuan bahwa Orangutan adalah satwa endemik Indonesia dapat terlaksana di tengah pandemi yang mulai melandai. Semoga saja, kegiatan ’school visit’ dapat terus berjalan kembali”, ujar Meylanda P. Sari, salah satu tim APE Guardian COP.

Siapa sih orangutan, bagaimana dia hidup, apa yang dimakannya dan apa saja yang dikerjakannya membuat anak-anak TK ini semakin penasaran. Boneka-boneka tangan yang ikut membantu menjelaskan tak terlepas dari perhatian mereka. Semuanya ingin menyentuh dan mencoba bermain boneka tangan tersebut. “Kalau ini boleh, kalau satwa liar ya di hutan saja”. (MPS)

KOLA KEMBALI KE SEKOLAH HUTAN (1)

Ini adalah cerita dari perawat satwa yang baru saja masuk ke BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance). Setyo Pambudi namanya, yang sebelumnya sama sekali tidak pernah bahkan melihat orangutan secara langsung. Kali ini, Pambudi begitu panggilannya, akan bercerita tentang Kola, orangutan repatriasi Thailand yang selalu berdiri tegak dengan kedua kakinya.

Kola, orangutan betina berusia 11 tahun sejak Juni 2021 yang lalu tidak pernah keluar dari kandangnya. Pandemi COVID-19 memaksa sekolah hutan diliburkan, dengan tujuan untuk mengurangi kontak fisik antara orangutan dengan perawat satwa. “Kini, 7 November menjadi hari yang mendebarkan buat saya, apakah Kola akan memaksa kami bermalam di sekolah hutan lagi atau tidak. Katanya, dulu Kola sempat tidak bisa turun dan akhirnya bermalam di sekolah hutan. Keesokan harinya, tim medis terpaksa menembak bius-nya untuk kembali ke kandang”, ujar Pambudi.

Pintu kandang pun dibuka, Kola pun dituntun ke lokasi sekolah hutan. Setiba di sekolah hutan, Kola malah berjalan menjauh dari lokasi sekolah hutan. “Saya mencoba menarik Kola untuk kembali, namun Kola malah melawan dan mencoba menggigit tangan saya. Setelah seperempat jam akhirnya Kola mau diajak kembali ke sekolah hutan dan… Kola langsung memanjat pohon setinggi 20 meter melalui akar-akar. Waduh!”, cerita Pambudi lagi.

“Sekitar sepuluh menit, Kola hanya diam di atas pohon. Lalu dia turun dan berpindah ke pohon lain setinggi 4 meter untuk menghindari orangutan lain yang juga sedang berada di sekolah hutan, sampai akhirnya berada di luar lokasi sekolah hutan”, tambah Pambudi.

Sebenarnya tidak ada batasan jelas seperti pagar, antara lokasi sekolah hutan dengan yang bukan, karena semuanya memang berada di KHDTK (Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus) Labanan. Tetapi BORA menerapkan batasan, agar orangutan tidak terlalu jauh menjelajah untuk orangutan-orangutan yang masih dalam pengawasan ketat atau kalau disetarakan dengan anak SD (Sekolah Dasar) masih di kelas 1 hingga kelas 3. Tentu saja ini untuk keselamatan orangutan tersebut. (PAM)