TAHUN 2016 BERSAMA APE GUARDIAN

Pertengahan tahun 2016 adalah awal kiprah tim APE Guardian. APE yang merupakan singkatan dari Animal (Satwa), People (Masyarakat) dan Environment (Lingkungan) bergandengan dengan Guardian yang dapat diartikan sebagai malaikat pelindung orangutan. APE Guardian bekerja di Kalimantan Timur.

Satu bulan setibanya APE Guardian di Kalimantan Timur, langsung menyelamatkan orangutan Happi yang berasal dari Taman Nasional Kutai pada 29 Agustus 2016. Satu kawasan yang seharusnya cukup aman untuk induk dan bayi orangutan hidup. Namun Happi yang saat itu berusia 11 bulan tanpa induknya.

Sebulan setelah penyelamatan Happi, APE Guardian harus menyelamatkan bayi orangutan lagi. Kali ini masih berusia 8 minggu. Kami mnyebutnya bayi Popi, tanpa gigi dan sangat lemah. Bayi ini ditemukan warga di perkebunan sawit di desa Sempayau, kabupaten Kutai Timur, kalimantan Timur pada 20 September 2016.

“Dua bulan yang berat.”, begitu kata Eliz anggota tim yang baru bergabung. Emosi karena senang bisa menolong bercampur dengan sedih dan amarah melihat bayi yang harus terpisah dengan induknya ini. Di akhir November, APE Guardian terpaksa menyelamatkan orangutan Lana yang masih sangat liar. Lana pun tak berlama-lama singgah di COP Borneo, dan ditranslokasi ke Hutan Lindung Sungai Lesan pada 10 Desembernya.

APE Guardian adalah tim yang menangani proses pelepasliaran orangutan. 2017 adalah tahun kebebasan untuk orangutan-orangutan COP Borneo yang memenuhi syarat. Hidup di alam, adalah tempat terbaik bagi satwa liar. (YUN)

CATATAN APE CRUSADER TAHUN 2016

APE Crusader adalah tim gerak cepatnya COP yang berada di garis depan untuk perlindungan orangutan dan habitatnya. Sepanjang tahun 2016, APE Crusader menangani 16 orangutan di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Selain itu kasus-kasus satwa liar lainnya seperti penemuan 18 tringgiling di Sampit, evakuasi Bekantan (monyet Belanda) dan mitigasi konflik dengan buaya juga menjadi catatan APE Crusader menutup tahun 2016.

Tahun 2016, APE Crusader harus menghadapi kematian 5 orangutan, termasuk di dalamnya kasus 3 orangutan di Bontang yang mati dalam kondisi terbakar. Kasus ini menarik dan menantang pihak kepolisian untuk melakukan proses penegakan hukum. Berawal dari postingan seseorang di Facebooknya, bahwa ada tiga orangutan yang mati. Proses ini berhasil membuktikan pelaku dengan sengaja membakar orangutan sehingga melakukan tindak kriminal terhadap satwa endemik asli Indonesia yang dilindungi oleh undang–undang ini. Terdakwa telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 21 ayat (2) huruf a dan pasal 40 ayat (2) UU RI nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sehingga terdakwa terjerat hukuman vonis penjara 1 tahun 6 bulan. Keberhasilan kasus ini tidak lepas dari dorongan orangufriends dan media.

Sementara itu kasus pemeliharaan orangutan ilegal dengan latar belakang rasa kasihan mendominasi. Sebagian besar orangutan tersebut adalah bayi. Sebagai contoh kepemilikan dan pemeliharaan illegal yang dilakukan oleh anggota TNI yang bertugas di Bontang. Menurut Pasal 40 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1990, para pemelihara satwa dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) serta dikatagorikan sebagai tindak pidana kejahatan. Masih menjadi pertanyaan besar, bagaimana bayi-bayi orangutan tersebut sampai ke tangan manusia. Induk orangutan merawat anaknya hingga usia 6-8 tahun. “Dapat dipastikan, induknya mati.”, ujar Satria, kapten APE Crusader.

Seperti kasus orangutan Apung yang akhirnya berganti nama menjadi orangutan Bumi. Orangutan dengan tali pusar yang baru lepas ini diselamatkan dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Setiap kali tubuhnya diangkat dia menjerit kesakitan. Setelah dilakukan x-ray ditemukan peluru senapan angin di dadanya. Bayi orangutan berusia 2 minggu dengan peluru senapan angin di dadanya? Bagaimana nasib induknya?

APE Crusader bersyukur bisa memberikan kesempatan kedua bagi orangutan-orangutan yang bisa diselamatkan dalam kondisi hidup di tahun 2016. Namun juga harus mengatasi depresi yang mendalam saat menangani orangutan maupun satwa liar lainnya yang mati. Dan terus mencari jalan terbaik untuk orangutan-orangutan liar yang terjebak di hutan terfragmentasi akibat pembukaan perkebunan kelapa sawit yang terjadi di PT AE, Kalimantan Timur. Dukungan anda semua adalah kekuatan tim ini untuk terus melakukan yang terbaik untuk orangutan dan habitatnya. (PET)

CATATAN AKHIR TAHUN 2016: PERDAGANGAN SATWA LIAR

TRANSFORMASI PERDAGANGAN SATWA LIAR ILEGAL DAN UPAYA PENANGANAN DI INDONESIA

Pembabatan hutan untuk membuka perkebunan kelapa sawit dalam skala yang besar di Sumatera dan Kalimantan, telah berpengaruh besar pada pasar perdagangan satwa liar di Indonesia. Satwa Liar buruan semakin mudah di dapat, terutama yang memiliki harga mahal seperti primata dan kucing besar.
Media Sosial seperti Facebook memiliki peran besar dalam membangun pasar perdagangan satwa liar ilegal. Pemeliharaan satwa liar dilindungi, yang sebelumnya hanya dilakukan oleh kalangan tertentu saja sebagai simbol status sosial dan kekuasaan,kini sudah merambah ke masyarakat biasa, terutama anak-anak muda. Mereka berkomunikasi dan membangun kelompok maya. Di dalam kelompok inilah para pedagang masuk sebagai anggota dan menawarkan dagangannya. Kelompok-kelompok seperti ini semakin tumbuh subur dan kuat dengan membentuk organisasi nyata dan melakukan pertemuan-pertemuan. Sementara itu, para pedagangnya tetap bersembunyi dengan akun-akun palsunya.
Untuk menegakkan hukum, dibutuhkan strategi tersendiri untuk memastikan bahwa operasi tidak bocor. Besarnya nilai kejahatan ini merupakan daya tarik tersendiri bagi para petugas korup bahkan orang-orang yang bekerja untuk konservasi satwa liar itus endiri, misalnya dokter hewan. Rivalitas agensi penegakkan hukum juga merupakan tantangan tersendiri. Dalam 5 tahun terakhir, COP dan Animals Indonesia bersama aparat penegak hukum telah melakukan 25 operasi dan 168 satwa liar berhasil diselamatkan dari perdagangan ilegal, diantaranya 9 orangutan, 2 beruang, 21 lutung jawa. Kasus-kasus perdagangan orangutan dan harimau biasanya melibatkan para pedagang profesional dan sangat berpengalaman. Nilai transaksinya berkisar 10 juta sampai 200 juta rupiah.
14 orang telah dipenjara dengan masa hukuman 3 bulan sampai 1,5 tahun. Ringannya masa hukuman menjadikan para pedagang tidak jera. Dalam pantauan kami, sebagian pedagang yang keluar penjra masih berjualan lagi dan sebagian beralih profesi ke bentuk kejahatan yang lain karena di dalam penjara mendapatkan relasi baru.
COP masih percaya bahwa penegakkan hukum merupakan jalan terbaik untuk mengatasi perdagangan satwa liar karena hal ini sama sekali tidak berkaitan dengan ketidaktahuan dan kemiskinan. Kita sedang berhadapan dengan orang-orang sakit yang merasa bangga dengan melanggar hukum dan dibutakan oleh tren keliru. (APE Warrior, 2016)