PEDAGANG ORANGUTAN DI SAMARINDA DENGAN VONIS 2,6 TAHUN

Samarinda, Sidang kasus perdagangan satwa liar orangutan melalui akun media sosial facebook akhirnya mencapai puncaknya. Pada hari Kamis (2/9) Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Samarinda menyatakan terdakwa Nur SAS alias Simex Bin Suwandi telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Terdakwa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 21 ayat (20 huruf A, Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yaitu menangkap, menyimpan, memiliki dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.

Majelis Hakim menjatuhkan Bonie pidana penjara selama 2 (dua) tahin dan 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) subsidair 2 (dua) bulan kurungan kepada Simex. Secara terpisah, ada terdakwa Abdullah Bin (alm) Bedu sebagai oelaku yang menyuruh dan turut melakukan transaksi jual-beli pada Senin, 26 April 2021 sekitar pukul 21.00 WITA atau setidak-tidaknya pada suatu waktu masih pada bulan April 2021 bertempat di depan Rumah Makan Bebek Ayam Ranjau, Jl. Pelita Sungai Pinang Dalam, Kecamatan Sunagi Pinang, Kota Samarinda. Lelaki paruh baya ini dijatuhi hukuman penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) sebsidair 2 (dua) bulan kurungan.

Sebelumnya pada Senin (26/4) Ditreskrimsus (Direktorat Reserse Kriminal Khusus) Mabes Polri dibantu COP dan OIC menggerebek pedagang satwa di Samarinda. Tim menangkap pedagang bernama Max dan mengamankan 1 individu bayi orangutan betina yang ditaruh dalam ember kecil di bagasi mobil. Untuk orangutan tersebut kini telah mendapatkan perawatan penuh di Bornean Orangutan Rescue Alliance (BORA) di Berau, Kalimantan Timur.

Vonis ini tentunya patut disambut baik sebagai bentuk apresiasi atas kinerja jajaran Kepolisian Daerah Kalimantan Timur yang bekerjasama dengan Balai KSDA Kalimantan Timur dalam mengungkap kasus-kasus perdagangan satwa liar. Dengan hukuman 2 tahun 6 bulan dan denda 10 juta ini mudah-mudahn dapat memberikan efek jera kepada para pelakju kejahatan lingkungan hidup, termasuk perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Harapannya ke depan dalam kasus yang lain, putusan majelis hakim dapat lebih berpihak pada dunia konservasi.

Perdagangan ilegal satwa liar meru[akan jenis kejahatan terorganisir yang berskala besar. Keuntungan ilegalnya bisa mencapai miliaran rupiah setiap tahun. Bisnis tersebut turut mendorong praktik korupsi, mengancam keanekaragaman hayati dan dapat menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap negara. Untuk memindahkan, menyembunyikan dan mencuci keuntungan yang didapatkan, pelaku memanfaatkan berbagai kelemahan di sektor keuangan dan non-keuangan yang memungkinkan kejahatan terhadap satwa liar terus berlangsung sekaligus merusak integritas sistem keuangan. Terlepas dari fakta ini, investigasi terhadap jejak keuangan yang ditinggalkan oleh tindak kejahatan ini masih tergolong langka.

Satwa liar dilindungi adalah aset negara yang nilainya tidak terukur dan negara rugi besar dengan adanya praktek pengambilan dan perdagangan satwa secara ilegal. Hal ini berhubungan langsung dengan keseimbangan ekosistem alam yang memberikan manfaat banyak bagi masyarakat luas. (SAT)

MORATORIUM SAWIT BERAKHIR 4 HARI LAGI

Kebijakan moratorium sawit sesuai Instruksi Presiden atau Inpres No. 8/2018 akan berakhir tanggal 19 September 2021 atau 4 hari ke depan. Inpres tersebut mengatur tentang pemberhentian sementara (penundaan) izin baru konsesi perkebunan kelapa sawit. Moratorium dilakukan untuk mengevaluasi dan menata izin-izin perkebunan sawit, serta meningkatkan produktivitas lahan.

Moratorium adalah salah satu upaya untuk membenahi izin konsesi kelapa sawit yang tumpah tindih. Ada beberapa kasus dimana satu lahan yang sama ternyata masuk ke dalam konsesi perusahaan-perusahaan yang berbeda. Dengan adanya moratorium, pemerintah memiliki waktu untuk meluruskan izin-izin konsesi yang kusut. Moratorium juga bertujuan untuk memberikan pembinaan kepada petani sawit dan peningkatan produktivitas lahan. Hal tersebut penting dilakukan agar hasil panen bisa meningkat tanpa harus membuka lahan yang baru.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa luas perkebunan sawit di Indonesia tahun 2020 mencapai 14,85 juta hektar. Artinya, perkebunan sawit lebih luas dibanding Pulau Jawa yang memiliki luas 12,82 juta hektar. Dengan konsesi yang sudah luar biasa besar, tentu pemberian izin-izin baru dikhawatirkan akan mengambil ruang hidup masyarakat adat dan flora fauna di hutan. Mau dimana lagi mereka akan hidup jika rumah mereka dijadikan perkebunan sawit?

Sampai hari ini pemerintah belum memperpanjang moratorium, padahal izin-izin perkebunan sawit masih belum dibenahi. Masih banyak konsesi yang tumpah tindih. Hasil analisis JATAM di tahun 2019. menemukan bahwa di Kalimantan Timur ada 4,5 juta hektar konsesi yang saling tumpah tindih antara izin pertambangan, kehutanan dan perkebunan kelapa sawit. Luas konsesi yang tumpah tindih ini setara dengan 68 kali luas DKI Jakarta. Itu baru kasus di Provinsi Kalimantan Timur, belum di provinsi yang lain.

Selain penataan izin dan peningkatan produktivitas, moratorium juga sangat berperan dalam kelestarian lingkungan. Moratorium menjaga hutan-hutan alam dari ancaman pembukaan lahan (land clearing). Jika hutan lestari, flora fauna di dalamnya juga akan lestari, termasuk orangutan. Batas akhir moratorium sawit sudah tinggal 4 hari lagi. Kami harap kebijakan moratorium diperpanjang untuk membuktikan komitmen pemerintah dalam menjaga lingkungan dan membangun perkebunan sawit yang berkelanjutan. (IND)

VONIS 2 TAHUN UNTUK PENYELUDUP ORANGUTAN SUMATRA

Pada penghujung bulan April 2021 lalu, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu, Seksi Konservasi Wilayah (SKW) III Lampung bersama dengan Kepolisian Sektor Kawasan Pelabuhan (KSKP) Bakauheni Polres Lampung Selatan dan Balai Karantina Pertanian Wilayah Karja Bakauheni melakukan operasi kegiatan K9 di pelabuhan Bakauheni. Operasi gabungan ini berhasil menyelamatkan dua individu bayi orangutan Sumatra (Pongo abelii) berkelamin jantan dan betina dengan umur diperkirakan 1 hingga 1 tahun 4 bulan.

Awalnya kedua bayi ini sempat dirawat di lokasi transit Pusat Penyelamatan Satwa Lampung, Sumatran Wildlife Center (SWC JAAN) Lampung. Kemudian pada bulan Mei 2021, kedua bayi tersebut diserahkan ke BKSDA Jambi bersama Frankfurt Zoogical Society (FZS) sebagai pengelola sekolah orangutan. Oleh Menteri Siti Nurbaya, kedua orangutan ini diberi nama Siti untuk yang betina dan Sudin untuk yang jantan.

Ketika diseludupkan, kedua orangutan ini dibawa oleh bus ALS dengan Nomor polisi BK 7885 DK dari Medan, Sumatra Utara menuju Tanggerang. Semua awak bus diamankan oleh pihak berwajib untuk dimintai keterangan. Dari hasil pemeriksaan, supir dan kernet bus ditetapkan menjadi tersangka oleh penyidik KSKP yang berada di bawah Kepolisian Resor Lampung Selatan. Penunjukkan kedua tersangka tersebut menunjukkan bahwa kasus ini telah masuk ke dalam proses hukum di tingkat penyidikan. Penyidik dapat melakukan upaya paksa yakni penyitaan dan penggeledahan di Tempat Kejadian Perkara (TKP) hingga melakukan pengembangan kasusnya.

Selanjutnya, 30 April 2021, penyidik Polres Lampung Selatan berhasil mengamankan seseorang yang diduga penjual orangutan yang beralamat di kota Medan, Sumatra Utara. Disinyalir pelaku kejahatan ini adalah pemain lama perdagangan orangutan, namun belum pernah tertangkap dan diproses hukum.

Terkait dengan tindak pidana pada kasus ini, penyidik menjerat pelaku dengan Pasal 21 Ayat 2 UU No.5 tahun 1990 tentang Koservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan bunyi, “Setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup’. Pasal 40 Ayat 2 berbunyi, “Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketntuan sebagaimana dimaksud pasal 21 Ayat 2 dipida dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.

Penantian panjang pemerhati satwa langka ini pun berbuah manis. Selama kurang lebih lima bulan proses pengembangan, penyidikan dan persidangan akhirnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kalianda menjatuhkan vonis pidana penjara kepada 2 orang pelaku penyeludupan orangutan ke pulau Jawa dan kepemilikan satwa dilindungi lainnya.

Tersangka berinisial EDP pemilik satwa dijatuhi pidana penjara selama 2 tahun, sementara terdakwa HP yang merupakan supir kendaraan bus ALS yang mengangkut orangutan, dijatuhi hukuman pidana penjara selama 1 tahun.

Kedua vonis yang diberikan lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Lampung Selatan (Lamsel).”Kendati demikian, Centre for Orangutan Protection mengapresiasi kinerja tim penegakan hukum pada kasus ini. Vonis tersebut menjadi langkah serius untuk upaya menekan kasus kejahatan terhadap satwa liar dilindungi, khususnya orangutan”, kata Satria Wardhana, kordinator Anti Wildlife Crim COP. (SAT)