ORANGUTAN DI MATA MAHASISWA KEDOKTERAN HEWAN UNPAD

Balik ke satu tahun yang lalu, saya Azzahra Aziz, mahasiswa dari Program Studi Kedokteran Hewan, Universitas Padjadjaran pernah menjalani magang di Borneo Orangutan Rescue Alliance (BORA). Saat itu, saya bersama tiga teman lainnya mengikuti kepitan medis, namun tiap hari kami turut mengikuti kegiatan sekolah hutan bersama keeper dan babysitter. Kegiatan itu selalu saya ingat sampai setahun kemudian, dimana saya sudah ditahap membuat tugas akhir untuk kelulusan saya. Suatu hari, saya ditanya apa yang menjadi perhatian saya untuk dapat dijadikan penelitian sebagai tugas akhir oleh dosen saya. Tanpa berpikir panjang, saya menjawab bahwa perilaku anak orangutan sangat menarik, di antara banyaknya materi terkait kesehatan hewan yang saya dapatkan di bangku kuliah, namun perilaku merupakan sesuatu yang jarang dipelajari. Hal yang melatarbelakangi penelitian ini adalah karena orangutan memiliki korteks prefontal otak yang berkembang, sehingga mereka memiliki daya ingat yang baik. Hal ini yang membuat saya bertanya-tanya, “apakah mereka ingat saat hidup bersama dengan ibunya di hutan? Ingatkah akan hal-hal yang diajarkan ibunya untuk bertahan hidup jika sudah besar? Lalu, apakah mereka merasakan rasa sedih ketika mengingat pengalaman dimana mereka berpisah dengan ibu dan kehidupannya di hutan?”. Awalnya saya cukup ragu untuk mengangkat topik ini, mengingat topik tersebut bersinggungan pula dengan bidang biologi. Tapi atas dukungan orang tua, dosen, dan teman-teman saya, saya menjadi yakin untuk melanjutkannya.

Keesokan harinya, saya pun membawa orangutan yang bernama Mabel. Mabel memang menjadi orangutan pertama yang saya amati, dia senang bermain degan orangutan yang lebih besar seperti Jainul atau Ruby. Karena asik bermain di atas pohon, Mabel jadi sulit untuk dipanggil ketika sudah waktunya pulang. Selanjutnya, saya membawa Ochre yang dulunya, cukup sulit untuk bermain dengan siapa pun dan hanya mau duduk di dekat keeper. Sekarang, dia sudah bisa naik ke pohon yang tinggi dan seringkali didekati oleh orangutan yang lebih kecil untuk main. Kalau Cinta, dia senang untuk ekspor sendirian. Saat sudah sampai di lokasi sekolah hutan, Cinta tidak langsung mau untuk naik pohon dan hanya mau digendong. Selama pengamatan, saya belajar bahwa jika saya diam di satu tempat, perlahan dia berjalan menuju pohon dan memanjat sendiri. Menurut saya, Cinta sangat berkesan karena sering membuat sarang. Rasanya, tiap pohon di tempat sekolah ada satu sarang buatan Cinta. Bahkan, kalau Pansy membuat sarang, Cinta terlihat menambahkan ranting-ranting di sarang itu.

Selanjutnya saya mengamati orangutan di baby house. Ada Arto dan Harapi, dua nama orangutan yang tak terpisahkan. Seingat saya, waktu itu kandang mereka terlihat sangat luas karena tubuh mereka yang kecil. Sekarang, rasanya kandang itu menyusut dan terasa lebih hangat. Kedua orangutan tersebut memiliki sifat yang berbaring terbalik. Arto senang untuk menaiki pohon, mengikuti Pansy yang sama-sama senang eksplor. Seringkali Arto bermain dengan Aman, Jainul, atau Mabel yang lebih besar. Sebaliknya, Harapi menaiki pohon yang tidak terlalu tinggi. Dia senang mengajak main Felix yang masih sulit untuk jauh dari babysitter atau individual lain yang sedang tidak naik pohon. Dia pun senang mengamati orangutan yang lebih besar saat menyelesaikan enrichment. Menurut saya, anak orangutan dan anak manusia memiliki kesamaan yaitu setiap individunya memiliki pace belajar dan penerimaan yang berbeda-beda. Saya sendiri pun berusaha untuk tidak membanding-bandingkan diri saya dengan teman lain yang lebih bisa atau lebih mampu ketika belajar, karena semuanya ber-progres di jalur masing-masing jika didukung oleh orang-orang yang kita percayai. Mungkin saja hal yang sama berlaku pada anak-anak orangutan.

Jika ditanya siapa orangutan yang paling berkesan selama saya di BORA, rasanya agak sulit untuk menjawab pertanyaan tersebut. Semuanya memiliki perilaku yang berbeda-beda, semuanya punya hal untuk disukai. Bagaimana Aman selalu semangat untuk sekolah dengan kondisinya, bagaimana Jainul selalu mengincar boots untuk digigit, bagaimana Astuti dengan senangnya memainkan air di dalam tandon saat saya sudah dalam keadaan panik dan tidak tahu cara membuat dia berhenti. Bahkan dari orangutan besar seperti Bagus yang sangat pintar menggunakan ranting sebagai alat, hingga orangutan kecil seperti Pansy yang terkadang tidak dapat teramati dengan jelas karena sangat tingginya dia menaiki pohon dan tidur di sarang buatan sendiri. Semua itu membuat saya selalu semangat untuk ikut kegiatan sekolah hutan. Saat mereka sedang bermain, penanyaan bagaimana hidup tanpa ibu selalu terlintas. Saya tidak bisa membayangkan bila hal yang sama terjadi pada saya. Satu hal yang pasti adalah, ada rasa senang yang akan terasa jika mereka sudah besar dan dapat dilepasliarkan nanti, memakan buah di hutan yang lebih besar dan bertemu hewan lain. Rasa tulus para babysitter, keeper, biologis, dan tenaga medis di pusat rehabilitasi ini bahkan dapat saya rasakan sebagai pendatang di sini. (Azzahra_orangufriends).

EDUKASI SERU DI RIHAS BERSAMA SD IT BAITUL QUR’AN PANTI

Suara riang anak-anak terdengar dari kejauhan, semakin dekat seiring becak motor yang membawa mereka berhenti di depan RIHAS (Ruang Informasi Harimau Sumatra). Pada Sabtu, 13 September 2025, pagi yang cerah itu menjadi istimewa. Anak-anak dari SD IT BAITUL QUR’AN PANTI datang dan siap belajar cara mengenal hutan dan satwa liarnya.
Belajar di RIHAS bukan sekedar duduk di kelas. Anak-anak menjelajah pinggiran hutan Rimbo Panti, merasakan langsung bagaimana para penjaga hutan bekerja. Mereka mengamati suara burung yang berkicau, memperhatikan serangga kecil yang hidup di tanah, hingga mencari jejak satwa. Dengan penggaris sederhana di tangan, mereka belajar mengukur tapak kaki harimau dan satwa lainnya, lalu mencatatnya dalam buku kecil. Wajah serius dan penuh rasa ingin tahu terlihat ketika mereka menyalin bentuk jejak satwa ke lembar kertas, seolah sedang menjadi peneliti kecil.
Tidak berhenti di situ, anak-anak juga dikenalkan dengan cara kerja kamera jebak yang merekam kehidupan satwa di hutan. Rasa kagum muncul ketika mereka menyadari betapa teknologi sederhana ini bisa membuka jendela rahasia dunia liar yang jarang terlihat mata manusia. Di dalam ruangan RIHAS, mereka kemudian belajar tentang sembilan subspesies harimau di dunia, sambil mendengarkan cerita mengenai Harimau Sumatra yang kini semakin terancam.
Hari itu, rasa ingin tahu, dan semangat anak-anak memenuhi RIHAS. Semoga semakin banyak sekolah berkunjung agar pesan baik ini bisa tersebar luas dan melahirkan generasi yang peduli, berani, dan bertanggung jawab menjaga alam, hutan, serta satwa liar kita. (UZI)

PERSAHABATAN ANTAR BAYI ORANGUTAN DI BORA

Suasana kembali ceria di babyhouse BORA (Borneo Orangutan Rescue Alliance) sejak Harapi pulih dari sakit pada tangannya karena jatuh dari pohon. Kini ia sudah aktif lagi, bermain bersama kawan-kawannya, seolah tak pernah merasa lemah sebelumnya. Tingkah Harapi yang jenaka selalu mencuri perhatian para keeper lainnya. Ia pernah mengenakan tempurung kelapa di kepalanya seperti mengenakan hel atau topi, lalu berjalan dengan salah satu tangan memeluknya, dan ini mengundang tawa. Ada juga kebiasaannya menepuk-nepuk tanah dengan kedua tangan, seolah-olah sedang membuat irama musik hutan. Momen-momen lucu inilah yang membuat Harapi semakin dicintai oleh babysitter maupun keeper lainnya.

Suatu hari babysitter Anggita Putri Hariani atau yang sering dipanggil Gita harus membawa Harapi pulang lebih dulu dari sekolah hutan. Bukan karena sakit, melainkan karena Gita harus memberikan susu untuk Pansy dan Felix yang menunggu di baby house. Harapi mengikuti dengan tenang, meski orangutan lainnya masih sibuk sekolah hutan. Namun, kepergian Harapi rupanya meninggalkan kesan besan bagi Arto, sahabat karibnya. Babysitter Rara bercerita bahwa Arto tiba-tiba mengandang tangannya dan berjalan menuju jalur pulang. Seolah ia ingin segera menyusul Harapi yang sudah lebih dulu kembali. Rara mencoba membujuk dan membawa Arto kembali ke sekolah hutan, karena waktu belajar belum selesai. Akan tetapi, Arto tampak seperti mencari-cari sosok Harapi yang tak lagi ada di sana. Akhirnya, Arto menangis. Ia menolak bermain dan hanya ingin segera kembali ke babyhouse. Tangisan itu bukan karena lelah atau lapar, melainkan karena ia merasa kehilangan sahabatnya. Harapi yang biasanya selalu ada di sisinya kini pulang lebih dahulu, dan itu cukup membuat Arto sedih.

Bagi para babysitter, kejadian ini menjadi bukti betapa kuatnya ikatan emosional di antara bayi orangutan. Mereka bukan hanya teman bermain, melainkan juga sahabat sejati yang saling menguatkan. Kehadiran Harapi sangat berarti bagi Arto, begitu pula sebaliknya. Di baby house BORA, kisah sederhana ini mengajarkan bahwa persahabatan tak mengenal batas. Bahkan di dunia orangutan kecil, rasa sayang dan kebersamaan menjadi kunci untuk tumbuh sehat, ceria, dan penuh semangat. (GIT)