SEKOLAH HUTAN DALAM BAYANG-BAYANG KEBAKARAN HUTAN

Di tengah hutan hujan yang lebat, tersembunyi di antara pohon-pohon tinggi dan flora yang beragam di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Labanan, Berau ada sebuah sekolah bagi orangutan yang disebut “sekolah hutan”. Sekolah hutan merupakan kesempatan kedua bagi orangutan muda yang diselamatkan dari konflik maupun kejahatan manusia untuk dapat eksplorasi dan belajar kemampuan bertahan hidup secara langsung di habitat alaminya. Dalam pengawasan para perawat satwa di pusat rehabilitasi orangutan Bornean Orangutan Rescue Alliance (BORA) yang penuh dedikasi, orangutan-orangutan yatim yang penuh penasaran ini mempelajari banyak keterampilan penting yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup, mulai dari mencari makan, membuat sarang , hingga bergelantungan di antara liana dan dahan pohon dengan lincah. Sekolah hutan layaknya sebuah simfoni dari gemuruh dedaunan yang tertiup angin, goyangan dahan yang diraih tangan-tangan orangutan, kicauan burung yang saling bersahut-sahutan, nyaring suara owa yang terdengar dari kejauhan dan saling berpadu dalam rimbunnya kanopi hutan.

Namun simfoni alam yang indah ini sedang menghadapi ancaman serius yang membuat kami harus waspada. Saat ini sebagian besar wilayah Indonesia sedang mengalami fenomena El Nino yaitu peristiwa pemanasan suhu muka laut di atas kondisi normal yang rentan memicu kekeringan dan kemarau panjang di sejumlah wilayah, hingga potensi kebakaran hutan khususnya di Kalimantan. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) luas total area terbakar pada peristiwa kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) pada tahun 2019 yang juga turut dipengaruhi oleh fenomena El Nino mendekati satu juta hektar lahan, tidak terkecuali di KHDTK Labanan.

“Tiba-tiba banyak abu daun yang berjatuhan dari udara, bau asap tercium hingga dekat area kandang”, kata Indah, ahli biologi BORA sambil menunjukkan bukti foto dan sebagian abu daun yang ia bawa di tangannya saat kembali ke camp BORA. Ia menyaksikan kejadian itu saat sedang melakukan observasi sore di sekitar kandang rehabilitasi BORA pada 7 Agustus 2023.

Asap dan abu ini diperkirakan terbawa angin dari pembakaran ladang yang lokasinya tidak jauh dari kawasan BORA. Ancaman kebakaran hutan kembali menghantui para staf BORA, mengingat peristiwa karhutla 2019 yang hampir mencapai area BORA dan membuat mereka turut berjuang siang dan malam dalam usaha memadamkan api.

Semoga potensi karhutla pada tahun ini adapat diantisipasi dengan baik, karena dampak buruk dari kebakaran hutan tidak hanya mengancam keberlangsungan rehabilitasi dan sekolah hutan bagi orangutan di BORA namun lebih dari itu. Saat nyala api berkobar di hutan, simfoni kehidupan dibungkam, meninggalkan jejak kehancuran yang mengganggu keseibangan ekosistem, memusnahkan spesies tumbuhan dan hewan yang tak terhitung jumlahnya. Dari serangga kecil hingga primata yang berayun tinggi di puncak pepohonan, mengikis jaring-jaring kehidupan yang menompang keberlangsungan planet kita, bumi. Musnahnya keanekaragaman hayati tidak hanya mengancam keindahan alam, namun juga mengurangi manfaat vital yang disediakan ekosistem bagi kehidupan manusia. Upaya mendesak dan terpadu diperlukan untuk mencegah, mengelola, dan memulihkan hutan untuk melindungi kekayaan kehidupan tak tergantikan yang dimiliki oleh hutan, serta memastikan koeksistensi yang lebih harmonis antara alam dan kehidupan manusia. (RAF)

KATA RIDWAN, ORANGUTAN PUNYA TINGKAH YANG UNIK

Sore ini, usai aktivitas feeding di BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance), saya duduk di dapur BORA untuk memikirkan pengalaman apa yang bagus saya ceritakan setelah beberapa bulan bekerja di BORA. Setelah merenung sejenak, saya memikirkan ada banyak tingkah unik dan lucu orangutan yang sering saya jumpai selama ini.

Yang pertama ada Astuti. Astuti adalah nama orangutan korban perdagangan internasional di Gorontalo. Orangutan yang masih kecil ini memiliki rambut yang lebat dan berdiri alias jigrak dengan kepala bagian depan yang masih belum terlalu banyak ditumbuhi rambut alias botak sehingga mengingatkan kita pada gaya rambut “Albert Einstein”. Ada satu hal unik yang paling saya ingat dari si Astuti, kebiasaan dia memutar badan seperti menari balet saat dia sedang menunggu perawat satwa memberi dia makanan.

Orangutan kedua adalah Popi yang memiliki tubuh lebih besar dibanding postur dan umur Astuti tadi. Popi tergolong orangutan manja terhadap perawat satwa di BORA. Terlihat dari kebiasaan Popi saat diajak untuk sekolah hutan. Orangutan lain yang ada di BORA pada umumnya saat menuju lokasi sekolah hutan cukup dengan dituntun, dipegang tangannya dan mereka akan berjalan sendiri. Namun Popi lebih senang digendong di bandingkan berjalan sendiri menuju lokasi. Sekolah hutan adalah salah satu kegiatan yang ada di pusat rehabilitasi orangutan BORA untuk mengembalikan insting liar orangutan, mengenalkan kembali mereka kepada alam liar sehingga saat mereka nanti dilepasliarkan, mereka sudah siap dengan kondisi yang ada karena perlahan-lahan mereka telah dibiasakan sejak di pusat rehabilitasi. Ini adalah salah satu tugas perawat satwa yaitu bagaimana Popi bisa kembali mandiri tidak ketergantungan dengan manusia karena di alam bebas nanti mereka dituntut mandiri, tidak ada lagi perawat satwa yang bakal memperhatikan makanan mereka dan kesehatan mereka. Popi juga suka ngambek saat perawat satwa melakukan candaan, seakan tidak mau memberi makanan kepada Popi, Popi akan menunjukkan gestur ngambek dengan menunduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Itulah beberapa tingkah unik orangutan yang ada di BORA, masih banyak tingkah unik orangutan yang ada di BORA… nantikan cerita selanjutnya ya. (RID)

PERJUMPAAN DENGAN MARNI DAN SIGIT, ORANGUTAN TRANSLOKASI JUNI 2023

Selalu ada hal tak terduga setiap perjalanan ke hutan pelepasliaran orangutan di kawasan Busang, Kalimantan Timur. Tak terkecuali di hari terakhir kegiatan monitoring pasca translokasi orangutan Bono. Dua minggu ini, tim APE Guardian menyisir titik lokasi pelepasliaran Bono. Usai dibukanya pintu kandang menggunakan katrol, Bono yang sedari di kandang angkut sudah mengeluarkan suara amarahnya dan keinginan keluar kandang langsung memanjat pohon terdekat dan berhenti di percabangan. Kembali mengeluarkan suara mengusir, hingga matahari semakin condong ke barat.

Keesokan harinya, Bono pun sudah menghilang ke Hutan Lindung Gunung Batu Mesangat lebih kedalam lagi. Tak terbaca lagi keberadaannya. Tim APE Guardian pun melakukan patroli di kawasan yang telah menjadi rumah untuk 14 orangutan rehabilitasi maupun translokasi korban konflik. Tepat di hari keempat belas, sebelum tim kembali ke desa Longless, tim bertemu orangutan Sigit dan Marni yang merupakan anak dan induk orangutan liar yang ditranslokasi di kawasan ini pada 26 Juni 2023 oleh BKSDA SKW II Tenggarong.

“Senang sekali, kedua orangutan ini berhasil bertahan hidup di rumah barunya. Keduanya sedang bersantai di percabangan. Keduanya terlihat sehat dan dapat beraktivitas dengan normal. Tim juga menemukan dua sarang orangutan kelas 3 di sekitarnya. Jaga Hutan Lindung Gunung Batu Mesangat ya”. (AAN)