300 + 100

The clock hand strikes midnight. The APE Warriors camp is still full of people. Members of Orangufriends Yogya are still busy, packaging 300 T-shirts, to be mailed out to those who have purchased them. The sales of this limited line of T-shirts will fund Sound for Orangutan (SFO), an annual music performance run by COP. The funds from this concert will be used to build a COP Orangutan Rehabilitation Center in East Kalimantan.
COP volunteers battle exhaustion; it is vital that this work is completed on time and customers are not let down. So that they will be happy to become customers again, next time T-shirts are on offer. This effort is for orangutans, for all wildlife.
Tonight, it appears members of Orangufriends will have to work harder again. 100 more shirts must now be packaged. Not for orangutans this time, but for the release of wild animals, caged in the Banjarbaru,City Gardens in South Kalimantan. These poorly-designed cages must be modified, so that these animals are no longer bound by chains. There must be investment in these facilities, so that these animals may prosper. All of this requires money. In the purchasers of these T-shirts we trust. In our members we trust.
With that, goodnight. To the Orangufriends members, now returning to their homes, remain firm – firm and alert. I know you are all exhausted, but the work of COD is not yet finished.

 

300 + 100

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 12 tengah malam. Camp APE Warrior di Yogya masih ramai. Para anggota Orangufriends masih sibuk mengemas 300 kaos untuk dikirimkan ke para pemesannya. Kaos yang diproduksi terbatas itu untuk mendanai pertunjukan musik tahunan Sound For Orangutan (SFO). Keuntungan dari konser musik tersebut akan digunakan untuk membangun Pusat Rehabilitasi Orangutan COP Borneo di Kalimantan Timur.

Capek dan ngantuk harus dilawan. Pekerjaan harus diselesaikan tepat waktu, agar para langganan tidak kecewa. Agar mereka dengan senang membeli kaos yang ditawarkan di kemudian hari. Hasilnya untuk orangutan. Hasilnya untuk satwa liar.

Malam ini, nampaknya para anggota Orangufriends harus bekerja lebih keras. Ada 100 lagi kaos yang harus dikemas. Kali ini bukan untuk orangutan, tetapi untuk membebaskan satwa – satwa yang kini dirantai di Taman Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Kandang yang salah desain di sana harus dimodifikasi, agar binatang – binatang di sana tidak perlu dirantai. Kandang mereka harus diperkaya fasilitasnya agar mereka bisa hidup lebih baik dan sejahtera. Semua butuh duit. Pada para penggemar kaos bergambar binatang kami berharap. Pada para anggota kami berharap.

Begitulah, selamat malam. Bagi para anggota Orangufriends yang kembali ke rumah masing – masing, tetap hati – hati dan waspada. Saya tahu kalian mengantuk, tapi tugas COD kaos dengan pembeli tetap harus diselesaikan.

FENESIA AND THE REALITY OF OIL

It is difficult to prove that palm plantation farmers are killing orang-utans during their land clearing and planting activities. It is even harder to prove this for the ‘pest control’ (the term that companies often use when referring to the task of hunting). Of course, their employment contract does not state that they officially work to kill wildlife that eat or damage oil palms. Consequently, investigations into orang-utan killings tend to take a long time.

This is all common knowledge for palm oil workers. Most of them often see or become perpetrators. To maintain the security and the continuity of their employment, workers tend to stay away from questions about orang-utans. Fenesia is a witness to how orang-utans and other wildlife can fall victim to companies’ land clearing processes when they have land use permits in the forest. Fenesia once worked for a palm oil company in Muara Wahau. In the same district, the COP was confiscating more than 10 baby orang-utans from the hands of the public and campaigning against three companies that had clearly damaged orang-utan habitats.

Fenesia is just one of many people who ultimately decided to tell this story to the public. Namely, that palm oil companies are the largest contributors to the extinction of orang-utans in Borneo. “Many orang-utans are there and they (the companies) do not care. They only care about their land clearing targets, and the orang-utans are secondary.” Fenesia talks while carrying a baby orang-utan to forest school. Fenesia has now has decided to work with the COP to care for orang-utans. His concern grew from seeing what happened to orang-utans while he was working for the oil company.

Fenesia became the first keeper at the COP Orang-utan Rehabilitation Centre. He saw so much sorrow in orang-utans’ lives. He decided to help them. Do you also choose to help orang-utans? Save or delete, you decide!

 

FENESIA, KENYATAAN DI SAWIT

Sulit untuk membuktikan bahwa pembunuhan orangutan oleh pihak perkebunan sawit dalam kegiataan landclearing maupun tanam baru mereka. Terlebih lagi para pembasmi hama (bahasa yang sering digunakan perusahaan untuk pekerjaan berburu). Memang tidak terikat kontrak kerja yang menyatakan ia secara resmi bekerja untuk membunuh satwa yang memakan atau merusak tanaman sawit tersebut. Karenabeberapa kejadian yang terungkap biasanya memerlukan waktu yang panjang dalam investigasi.

Sebenarnya ini merupakan rahasia umum dalam dunia pekerja kelapa sawit. Kebanyakan dari mereka sering melihat atau menjadi pelaku itu sendiri. Tentu saja untuk menjaga keamanan serta kelangsungan pekerjaanya di perusahaan tersebut, para pekerja cenderung menjauh dari pertanyaan seputar orangutan. Fenesia, merupakan saksi bagaimana proses landclearing oleh perusahaan sawit sering mengorbankan orangutan dan satwa lainnya di hutan tempat perusahaan tersebut mendapatkan Hak Guna Usaha. Fenesia dahulunya merupakan pekerja di sebuah perusahaan kelapa sawit di kecamatan Muara Wahau. Merupakan kecamatan yang sama, saat COP melakukan penyitaan lebih dari 10 bayi orangutan dari tangan masyarakat serta mengkampanyekan 3 perusahaan yang terbukti secara jelas merusak habitat orangutan.

Fenesia hanya satu dari sekian banyak orang yang pada akhinya memutuskan untuk menceritakan hal ini kepada khalayak ramai. Bahwa perusahan sawit memberikan sumbangan terbesar dalam punahnya orangutan di Kalimantan. “Di sana sangat banyak orangutan dan mereka (perusahaan), tidak peduli. Mereka punya target landclearing hanya itu yang mereka perdulikan, orangutan itu urusan belakangan.”, Fenesia bercerita sambil menggendong bayi orangutan berangkat sekolah hutan. Kini Fenesia telah memutuskan untuk berkerja di COP untuk merawat orangutan. Kepeduliannya tersebut beranjak dari rasa iba melihat nasib orangutan sewaktu ia masih berkerja di perusahaan sawit.

Fenesia menjadi keeper pertama di Pusat Rehabilitasi Orangutan COP. Dia melihat begitu banyak duka di dalam kehidupan orangutan. Dia memutuskan untuk membantu orangutan. Apakah anda juga memilih untuk membantu orangutan? Save or delete, you decide!

 

PRAYER LEADER RECRUITED AS ORANGUTAN KEEPER

Kanisius Jahenam was born in the village of Golo Ketak, in the sub-district of Terang, Manggarai. This man, known simply as Kanis, settled in East Kalimantan in 2001. He moved to Kalimantan with the purpose of working for a timber company, since Timber Utilisation Permits were still widely available at the time. More than 100 of these permits were still in operation by the end of 2005.

Kanisius now lives in the village of Merasa, only 16 kilometres from COP’s Center for Orangutan Rehabilitation. Previously, Kasinius worked as a prayer leader in various small Catholic worship stations throughout a number of regional villages in Kalimantan. These experiences led to his being appointed as prayer leader in Merasa’s Santo Petrus church. Every Sunday, he can be found leading worship in the small church just downstream from the village center. His perseverance as a leader has led to various developments in the church, which is now never empty of people coming to pray.

Aside from his devotion to prayer, Kasinius is also known for his love of animals. As a result, in April 2015, he was called to assist COP in their mission to save orangutans. His desire to interact directly with the animals led to his appointment as an orangutan keeper.

“Mankind and animals have the same opportunities in life, and God loves animals with the same strength that He loves humans.”

Such is the philosophy that Kasinius implements in his everyday life. When working with orangutans, Kasinius is famous for being loving and caring. At times, he has even been known to climb trees while holding baby orangutans, to teach them a love for climbing, when their parents have been injured or captured and are unable to do so.

As he says, “If we show love for animals, in turn they will love us as they do their own family.”.

Baby orangutan Michelle is further evidence of this idea. Kasinius has an especially close relationship with Michelle, which has been likened to that of a mother and child. Michelle only follows instructions from Kasinius in jungle lessons, and whenever she becomes sad she immediately seeks him out.

This case shows us that saving orangutans is not only a job, but a calling of the heart. Orangutans do not understand who we are or what our backgrounds are. What they do understand however, is the care we show for them, continuing to work to save their homes and the lives of their future generations.(KAN)

 

PENDOA TERPANGGIL MENJADI KEEPER ORANGUTAN

Kanisius Jahenam merupakan pria kelahiran kabupaten Manggarai, kecamatan Terang, desa Golo Ketak. Pria yang sering disapa dengan nama Kanis ini merupakan perantau di Kalimantan Timur semenjak 2001. Tujuan utama pada saat itu adalah berkerja di perusahan kayu, hal ini dikarenakan memang pada saat itu Ijin Pemanfaatan Kayu di Kalimantan masih sangat banyak. Tercatat setidaknya ada lebih dari 100 ijin penggunaan kayu yang beroperasi hingga pada akhir 2005.

Kanisius kini menetap di desa Merasa, desa yang hanya berjarak 16 km dari Pusat Rehabilitasi Orangutan COP. Sebuah kebetulan Kanisius yang dulunya pernah mengikuti pelatihan memimpin ibadah umat di stasi-stasi kecil Katolik di desa-desa terpencil kini menjadikan dia terpanggil sebagai pemimpin umat gereja Katolik di stasi Santo Petrus desa Merasa. Setiap hari minggu kita dapat menjumpai Kanisius memimpin ibadah di gereja kecil di desa Merasa  bagian hilir. Ketekunannya memimpin umat Katolik ternyata membawa banyak perubahan, kini gereja Katolik Merasa tidak pernah sepi pen-doa.

Di sela kesibukannya sebagai pendoa, Kanisus pun dikenal sebagai penyayang binatang. Sehingga pada April 2015, Ia terpanggil untuk membantu COP dalam misi menyelamatkan Orangutan. Keinginannya untuk berinteraksi langsung dengan orangutan menjadikannya ia terpanggil untuk menjadi perawat orangutan atau sering disebut keeper.

“Manusia dan hewan mempunyai kesempatan yang sama untuk hidup, dan Tuhan mencintai mereka sama besarnya dengan Dia mencintai manusia.”, begitulah pemahaman Kanisius dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Selama menjaga orangutan, Kanisius memang terkenal sebagai penyayang dan penyabar, terkadang ia rela memanjat pohon dan menggendong bayi orangutan hanya agar bayi-bayi orangutan ini mau memanjat. Tentu saja seperti yang pernah ia katakan, “Jika kita mencintai binatang, mereka juga akan mencintai kita layaknya keluarga mereka.” Maka hal ini terbukti pada bayi orangutan bernama Michelle. Ia memiliki kedekatan khusus dengan Kanisius. Layaknya kedekatan ibu dan anak. Michelle hanya mau menuruti perintah Kanisius di setiap sekolah hutan, bahkan ketika Michelle menangis maka ia akan segera berlari dan mendekati Kanisius.

Hal ini mengajarkan kita bahwa menyelamatkan kehidupan orangutan bukan saja hanya sebuah pekerjaan tetapi pilihan hati. Orangutan tidak pernah mengerti siapa kita dan apa latar belakang kehidupan kita. Yang mereka tahu hanyalah kepedulian kita untuk terus menyelamatkan generasi nya dan hutan sebagai rumahnya.(KAN)