ADA BAYI ORANGUTAN DI LONG LEES

Cahaya matahari mulai menyelinap masuk melalui sela-sela rumah panggung camp APE Guardian COP di desa Long Lees, kecamatan Busang, Kalimantan Timur. Tim APE Guardian mulai membagi tugas, ada yang ke pos monitoring orangutan rilis dan ada yang menjadi tim pendukung yang berada di desa. Logistik belum semua terbeli, sarapan belum dimasak, pukul 08.15 WITA, Bapak Kun, tetangga dari RT 1 melapor ke camp APE Guardian ketika dia melintas menuju kota Sangatta, bahwa ada satu orangutan yang didapat dari pemilik kebun di daerah Bengalon.

Tim mendapati bayi orangutan meringkuk dalam kandang kucing. Sorot matanya yang sayu dan gerakannya yang pasif menandakan orangutan mungil ini sedang tidak baik-baik saja. “Diare itu bukan disebabkan oleh makanan yang dimakan hari ini, namun makanan kemarin atau kemarin lusa”, ujar drh. There yang memeriksa bayi penuh luka di kepala ini.

Bayi orangutan ini mengalami pertukaran susu yang menjadi makanan pokok bayi orangutan ini. Selama 6 bulan diberi susu kaleng oleh pemelihara sebelumnya, tiba-tiba ganti merek susu dengan alasan lebih murah oleh pemelihara barunya. “Biaya merawat bayi orangutan memang tidaklah murah. 3 kali sehari itu minum susu, sekali minum bisa sampai 4 botol 150 ml, kalau kami telat memberi makan, dia teriak-teriak sambil menggoyang-goyangkan kandang dengan tangannya, itu sebabnya ada luka di tangannya. Masih kecil saja sudah pintar berontak, bagaimana nanti kalau sudah dewasa, kami takut digigit. Itu sebabnya saya suruh kalian bawa orangutan ini saja”, ujar istri pak Kun.

Tim APE Guardian secara bergantian memberikan pakan dan menghindari orangutan tersebut dikerumuni tetangga sambil mensosialisasikan bahaya memelihara orangutan. Luka-luka di kepala dan tangannya dibersihkan, tim juga membuatkan oralit (air campuran garam dan gula) untuk mengatasi diare dan menjaga agar tetap terhidrasi. Menjelang sore, tim memasukkan ranting dan dedaunan ke dalam kandang. Bayi ini pun langsung menyusun dedaunan dan ranting yang ada seperti membuat sarang. Hal ini menandakan, bayi ini belum lama lepas dari pengasuhan induknya, dia masih ingat yang biasa induknya lakukan. Tidak lama, dia pun tertidur di atas sarang yang dibuatnya. (ARA)

CATATAN AKHIR TAHUN 2024 COP

Di penghujung tahun ini, Daniek Hendarto, direktur Centre for Orangutan Protection merefleksikan setahun berjalan dengan segala tantangannya dalam mendukung dan melakukan program konservasi alam di Indonesia. Bekerja sama dengan multi pihak menjadikan COP melebarkan sayap bekerja di pulau Kalimantan, Sumatra, dan Jawa. Tentunya luasan lokasi merupakan bentuk sumbangsih yang bisa dilakukan COP bersama pemerintah dan stakeholder lainnya untuk mendukung program konservasi alam di Indonesia.

Ada 3 tim di Sumatra dengan 1 pusat rehabilitasi, 3 tim di Kalimantan dengan 1 pusat rehabilitasi, 3 pulau pra pelepasliaran dan 1 kawasan rilis orangutannya, serta 1 tim di Jawa menjadikan COP sebagai organisasi lokal asli Indonesia yang bekerja untuk 3 spesies orangutan yang ada di dunia, yaitu Orangutan Kalimantan, Orangutan Sumatra, dan Orangutan Tapanuli. COP pun menyadari tongkat estafet konservasi tak hanya ada di tangan yang sedang bekerja saat ini, tetapi generasi penerus alpha, betha bahkan gamma dan seterusnya nanti. Edukasi dari satu sekolah ke sekolah lain, dari satu komunitas ke komunitas lainnya mulai dari penyelamatan satwa, penegakkan hukum hingga dunia maya (cyber space) pun tak luput dari kinerja COP hingga 2024 berakhir. Menghidupkan kembali event Sound For Orangutan yaitu konser musik tahunan yang sempat terhenti karena pandemi COVID 19 juga berhasil menyalakan semangat relawan orangutan yang disebut Orangufriends. Dalam tahun ini mereka juga berhasil menjalankan pameran foto di kota Samarinda, Kalimantan Timur dan kota Medan, Sumatra Utara. Sebuah usaha meluaskan jangkauan pemahaman kerja konservasi orangutan yang dilakukan COP.

Bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur dan Balai Besar Penelitian Pengembangan Ekosistem Hutan Dipterokarpa (B2P2EHD) menjalankan pusat rehabilitasi orangutan di KHDTK (Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus) Labanan di Berau, Kaltim. Sepanjang tahun 2024, ada 21 individu orangutan yang merupakan korban interaksi negatif dan serahan masyarakat. Orangutan yang diselamatkan ini mendapatkan perawatan sebelum dilepasliarkan kembali di alam dengan melalui pemeriksaan kesehatan yang ketat dari tim medis di BORA (Borneo Orangutan Rescue Alliance) di kampung Tasuk dan pengamatan perilaku oleh biologist dan antropologist COP. Ada 10 indivdu orangutan dilepasliarkan pasca rehabilitasi maupun orangutan yang mendapatkan perawatan dengan kasus tertentu seperti luka dan malnutrisi. Pelepasliaran ini telah melalui serangkaian prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan lokasi pelepasliaran yang telah mendapat persetujuan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dengan telah dilakukan serangkaian survey lapangan dan kajian ilmiah.

Bersama Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara mengelola pusat rehabilitasi orangutan di Sumatra Utara. Ada 5 individu orangutan dengan latar belakang penyelamatan dari perdagngan satwa liar ataupun serahan masyarakat yang sedang menjalani rehabilitasi di Sumatran Rescue Alliance yang dijalankan bersama Orangutan Information Center (OIC). Orangutan-orangutan menjalani karantina dan sekolah hutan sembari menunggu program lanjutan sekolah hutan di kawasan soft rilis orangutan yang sedang dibangun di Suaka Margasatwa Siranggas yang berada di Pakpak Bharat. Kandang orangutan telah berdiri dan awal tahun 2025 pembangunan fasilitas pendukungnya dalam pembangunan.

Penegakan hukum kejahatan satwa liar berhasil menyelesaikan 10 kasus di pulau Sumatra dengan 100% masuk ranah pengadilan. 17 orang terdakwa dengan barang bukti didominasi bagian-bagian satwa liar dilindungi yang sudah mati. Sayang putusan tertinggi masih di 1 tahun 6 bulan penjara.

Tahun 2024 adalah tahun ketiga Centre for Orangutan Protection bekerja untuk konservasi Harimau Sumatera. Penguatan masyarakat lokal menjadi tim mitigasi konflik harimau yang dibentuk bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar dengan nama PAGARI atau Patroli Anak Nagari kini berjumlah 3. Ada 25 orang yang secara berkala melakukan patroli, mitigasi konflik satwa hingga edukasi warga di sekitar habitat. Tak sebatas itu, COP juga berperan aktif dalam pelepasliaran kembali 1 individu Harimau Sumatra berjenis kelamin betina bernama Puti Malabin yang merupakan korban interaksi negatif yang berhasil diselamatkan. Kerja bersama dengan berbagai pihak menjadi seni di dunia konservasi.

“COP menutup tahun 2024 dengan membuka lembaran baru tahun 2025, semoga satwa liar mendapatkan kesempatan keduanya untuk hidup nyaman di rumah sesungguhnya”. (NIK)

ARTO, SANG PETUALANG KECIL

Arto memang petualang kecil yang pemberani, tapi kadang keberaniannya itu tidak selalu diiringi perhitungan yang matang. Suatu hari, saya membawanya ke sekolah hutan di area pepohonan depan kandang klinik. Kebetulan saat itu sedang banyak pohon jengkol yang berbuah. Saat tiba di lokasi, saya langsung meletakkan Arto di salah satu pohon jengkol. Batang pohon itu kecil, tapi cukup kuat untuk menimpang tubuh mungilnya. Arto melihat sebuah pohon jengkol yang penuh dengan buah di cabang-cabangnya. Tanpa ragu, dia langsung memanjat pohon itu.

Aku membiarkannya, berpikir ini adalah bagian dari pembelajarannya untuk mengenal hutan. Awalnya, dia tampak menikmati petualangannya, memanjat semakin tinggi, bahkan dengan percaya dirinya mulai berpindah ke pohon jengkol lain di sebelahnya. Cabang-cabang pohon atas yang rapat memudahkan Arto untuk berpindah. Namun, masalah muncul ketika Arto sadar bahwa pohon kedua ini jauh lebih besar dengan batang yang lebar dan sangat tinggi serta cabang yang tidak mudah dijangkau untuk turun.

Saya mulai merasa waswas. Firasatku bilang, dia akan kesulitan turun, dan benar saja. Dari bawah, saya bisa melihat dia berhenti bergerak dan memandangi saya, seolah meminta bantuan. Lalu, suara tangis kecilnya mulai terdengar, suara rengekan khas bayi orangutan. Arto, si pemberani, akhirnya sadar bahwa dia terjebak di atas pohon yang terlalu tinggi untuknya. Saya hanya bisa berdiri di bawah, mencoba menenangkannya dengan suara dan gerakan tangan, meski saya tahu, dia tidak benar-benar mengerti apa yang saya katakan. Saya menunjuk-nunjuk cabang yang lebih kecil yang lebih mudah dilewati, berharap Arto akan memahami arahanku.

Perlahan-lahan, dia mulai bergerak. Saya terus mengarahkannya. Beberapa kali dia berhenti ragu-ragu, terlihat seperti ingin menyerah, tapi akhirnya, Arto berhasil turun melalui cabang-cabang yang lebih kecil. Begitu dia sampai di tanah, tanpa pikir panjang, dia langsung mendekat dan memelukku erat-erat. Setelah itu, Arto tidak mau jauh-jauh dari saya. Sepanjang perjalanan kembali, dia terus menempel tidak mau lepas. (JAN)